Azan isya berkumandang, segera kami berwudhu dan melaksanakan shalat wajib empat rakaat. Kami shalat berjamaah di imami Mas Adam. Suara merdu Mas Adam saat melantunkan ayat-ayat suci.
Ku cium tangan Umi dan Abi dengan khitmat. Ku cium tangan Mas Adam. Ini kulakukan semata-mata karena Mas Adam adalah suamiku. Tak pernah lebih dari itu.
Aku dan Mas Adam berada di depan untuk menyambut para tetangga yang hadir di acara tahlilan ayah. Para tetangga mulai berdatangan dan setiap orang yang melewati kami selalu menatap Mas Adam dengan penuh tanda tanya. Maklumlah, karena baru pertama kali Mas Adam menginjakkan kaki di rumah ini.
"Saya turut berduka cita ya mbak, semoga Almarhum Pak Kurniawan diterima di sisiNya, mbak Asiyah yang sabar ya." Bu Marni menatapku dengan iba lalu menatap Mas Adam dengan penuh selidik.
"Aamiin Bu, terima kasih atas doanya." kuberikan seulas senyum walaupun berat.
"Mbak Aisyah, maaf, yang di samping mbak ini siapa ya? Saya kok baru lihat ya." tanya Bu Marni.
"Ini Mas Adam Bu, suami saya. Maaf belum laporan dengan Pak Rt." Mas Adam menatapku dengan tatapan tak suka.
Apa aku salah mengatakan kalau kamu suamiku Mas? Kenapa tatapan matamu tak suka...?
Mungkin karena kami belum saling mengenal."Selamat ya mbak Asiyah, suaminya ganteng." Bu Marni melirik Mas Adam.
Memang benar suamiku tampan, tapi sayang sikapnya es, dingin."Terima kasih Bu."
Sebenarnya ini acara tahlilan atau sesi tanya jawab tentang Mas Adam.
Acara tahlilan berjalan dengan lancar. Abi juga memberitahukan bahwa aku dan Mas Adam telah menikah walau masih secara agama. Karena memang pernikahan ini tak di rencanakan sama sekali. Abi hanya ingin tak ada fitnah untuk kedepannya.
Mas Adam dan Abi masih mengobrol di luar. Umi sendiri sudah ada di kamar ayah untuk istirahat. Mungkin kelelahan karena tadi membantuku membersihkan rumah setelah acara tahlilan selesai.
Rumah ini memang tergolong kecil, hanya ada dua kamar tidur. Satu kamar mandi di dekat dapur, ruang keluarga dan juga ruang tamu. Jadi Umi tidur di kamar alm. ayah.
Berjalan perlahan menuju kamar, ku tutup pintu namun tak ku kunci. Karena aku tahu sekarang kamar ini bukan milikku seorang. Duduk di tepi ranjang dengan pikiran tak menentu.
Apakah malam ini Mas Adam akan meminta haknya sebagai seorang suami...?
Sungguh aku belum sanggup melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri. Aku takut, aku tak sanggup membayangkannya.Ampuni aku Ya Allah...
Kreeekk...
Suara pintu di buka, Mas Adam masuk dan mengunci kamar kami. Jantungku berdetak dengan cepat, rasa takut semakin merasuki jiwa.
Apakah ini saatnya?"Aisyah..." kutoleh ke arah Mas Adam, hingga tak sengaja mata kami saling bertemu.
"I-iya Mas..." jawabku tergagap.
"Kenapa tidak lepas hijab? apa tidak gerah?"
"Iya Mas..." kulepas hijab yang menutupi kepalaku. Mas Adam menatapku hingga tak berkedip. Kemudian membuang pandangannya saat dia tahu aku memperhatikannya.
"Tidurlah kamu pasti sangat lelah." ucapnya dingin.
Ada rasa lega luar biasa, karena Mas Adam tak meminta haknya hari ini. Di balik sikap dinginnya ternyata Mas Adam begitu perhatian padaku.
Mas Adam tidur di atas ranjang yang sama, namun kami saling membelakangi. Hening, tak ada percakapan diantara kami. Hingga akhirnya aku terlelap karena kelelahan.
****
Samar-samar terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan subuh. Segera aku bangun, kulihat Mas Adam masih terlelap mungkin karena kelelahan mengurusi pemakaman ayah.
"Mas Adam bangun sudah adzan subuh." Ku elus pipinya perlahan.
Mas Adam membuka mata, lalu dengan cepat mengibaskan tanganku begitu saja.
"Jangan pegang-pegang, aku bisa sendiri." ucapnya kasar sambil berdiri meninggal kamar begitu saja.
Astaghfirullah...
Kupegang dada yang terasa nyeri. Tak terasa bulir bening mengalir dari sudut netra. Apakah seperti ini watak suamiku? Sekasar itukah?
Segera aku hapus air mata, keluar kamar untuk mandi dan berwudhu.
"Sudah bangun Asiyah?" tanya Umi yang baru keluar dari kamar ayah.
Kamarku dan kamar ayah memang bersebelahan. Rumah ini memang kecil sehingga tak ada jarak luas antar ruangan. Kami memang hidup dengan kesederhanaan, kuliah pun karena beasiswa.
"Iya mi, ini Aisyah mau kebelakang..."
"Pengantin baru, subuh-subuh sudah mandi saja."ucap Umi sambil menahan tawa.
Ah, boro-boro malam pertama mi, ngobrol saja pun tidak. Sekalinya ngomong membuat orang sakit hati.
Kuulas senyum, beranjak pergi ke kamar mandi. Pintu kamar mandi masih tertutup, Mas Adam masih di dalam kamar mandi. Ku tunggu dekat dapur.
Kreeekk..
Pintu kamar mandi di buka, Mas Adam keluar dengan wajah yang lebih segar. Handuk melilit di pinggangnya, menampakkan tubuh atletis. Tak ku pungkiri dilihat dari fisik,Mas Adam sangat sempurna.
"Mas baju gantinya sudah Aisyah siapkan." ucapku saat kami saling berhadapan.
Tanpa menjawab Mas Adam berlalu begitu saja dari hadapanku. Kembali ku elus dada yang begitu nyeri. Harusnya aku sadar, Mas Adam menikahiku karena terpaksa begitupun diriku.Tapi salahkah aku berharap cinta akan datang dengan perlahan, seperti orang Jawa bilang Tresno Jalaran Soko Kulino.
Kami duduk diruang keluarga beralaskan tikar. Ku siapkan nasi goreng, teh hangat dan piring. Karena memang tak ada meja makan di rumah ini. Kalau kami makan ya di ruang keluarga ini.
"Maaf ya Bi, Mi, rumah Aisyah kecil," ucapku tak enak hati.
"Gak apa-apa sayang." Umi mengelus pundakku.
Ku siapkan piring untuk Mas Adam, mengambil nasi goreng untuknya.
"Aku bisa sendiri." Diambilnya piring dari tanganku.
Astaghfirullah...
Lagi kuelus dadaku yang terasa nyeri. Sebegitu tak sukanya Mas Adam terhadapku?"Jangan di ambil hati sikap suamimu. Dia memang seperti itu. Namanya juga baru kenal, lama kelamaan pasti berubah." Umi berusaha menenangkanku.
"Aisyah mengerti Mi...." Kuberi senyum untuk menutupi hati yang terasa nyeri.
Setelah selesai acara tujuh harian ayah, Mas Adam memboyongku tinggal di rumahnya. Sebenarnya Abi dan Umi mengharapkan kami tinggal di rumah beliau tapi Mas Adam tak mau. "Tinggal bersama Umi,ya, Dam?"pinta Umi saat membantuku berkemas. "Adam ingin hidup mandiri Mi, biarkan kami saling mengenal. Iya kan Aisyah?" Mas Adam melirikku. Tepatnya memintaku mengatakan iya kepada Umi. "Iya mi, Mas Adam benar, Aisyah janji akan sering-sering main ke rumah Umi." Umi memelukku erat.Pelukan hangat, mengingatkan sosok bunda yang telah tiada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku bahagia memiliki mertua seperti Umi dan Abi. Mereka sangat menyayangiku, aku seperti memiliki kedua orang tua. Mungkin ini alasan ayah memintaku menikah dengan anak temannya. Agar ayah tenang meninggalkanku. Meski sikap suamiku berbanding terbalik dengan Umi dan Abi. Mas Adam mengantarkan Umi dan Abi, baru setelah itu menuju rumah Mas Adam.Aku duduk di belakang bersama Umi. Umi masih saja memelukku. Dari Umi aku
Kriiingg ... Kriiingg.... Suara ponsel membangunkanku. Siapa yang meneleponku? Dari pada terus berbunyi, kuambil ponsel yang masih ada di dalam tas. Nama Putra terlihat di layar ponselku. Bingung antara menjawab teleponnya atau tidak, mengingat diri ini sudah memiliki suami. Meski Mas Adam tak menganggapku ada. Akhirnya kubiarkan bunyi ponsel berhenti dengan sendirinya. Aku belum sanggup mendengar suara Putra. Bagaimana mungkin aku dapat mendengar suara orang yang aku cintai setelah aku menancapkan belati di hatinya. TingSatu pesan masuk. Ku buka, benar saja Putra mengirim pesan setelah teleponnya ku abaikan. [Aisyah, tolong angkat teleponku. Aku ingin berbicara serius. ]Tak berselang lama, ponselku kembali berbunyi. Putra benar-benar ingin berbicara denganku. Apa dia sudah tahu kalau aku sudah menikah? "Assalamu'alaikum..." suara Putra sedikit bergetar. Apa dia habis menangis? Apa benar dia sudah tahu pernikahan siriku? Bagaimana aku bisa mengatakan pada Putra kalau sebenarny
"Mas Adam..." Mas Adam dan wanita itu menoleh ke arahku. Mas Adam membisu, wajahnya menegang seperti maling yang sedang ketahuan mencuri. Ada apa ini, dan apa hubungan mereka sebenarnya? Beberapa saat kami saling terdiam, sibuk dengan praduga masing-masing. "Siapa dia Mas?" matanya melirik ke arahku lalu berpindah ke Mas Adam."Perkenalkan nama saya Aisyah, saya is...""Dia sepupuku Jes," Mas Adam memotong ucapanku. DEG...! Sepupu? Ada gemuruh yang disini, di hati ini. Sebegitu malukah dia mengakuiku sebagai istri? Apa aku benar-benar tak dianggap? "Saya Jesica, pacar Mas Adam, senang berkenalan dengan kamu Aisyah." Jesica mengulurkan tangan. Ku sambut ulur tangannya dengan menahan gemuruh di dalam hati. Jadi ini alasan Mas Adam tak menyentuhku, bukan karena berduka atas meninggalnya ayah. Tapi karena cinta dan hatinya milik Jesica. Sekarang aku paham, akulah orang ketiga dalam hubungan mereka sekalipun aku istri pertama, tapi aku hadir di tengah-tengah hubungan mereka.
Sayup-sayup terdengar muadzin sedang mengumandangkan azan subuh. Kubuka mata, berjalan perlahan ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, hanya untuk berwudhu dan segera melaksanakan ibadah sholat subuh. Kutengadahkan tangan, meminta pada Sang Pemilik hati untuk menyatukan hatiku dan Mas Adam. Karena sesungguhnya Dialah yang mampu membolak-balikan hati hambanya. Bukan karena aku mulai mencintainya, tapi karena sebuah ikatan suci tak layak dijadikan permainan. Tak mengenal dan tak mencintai bukan berarti dengan gampang menjadi alasan untuk berpisah. Sedikit lega yang kurasakan saat dapat mencurahkan isi hati kepada Sang Pemilik kehidupan. Ku lipat mukenah, lekas ku buka pintu kamar. Berjalan menaiki anak tangga, membangunkan Mas Adam untuk menjalankan ibadah wajib. Tok... Tok.... "Mas shalat subuh dulu." Hening tak ada jawaban. Jangan-jangan Mas Adam masih tidur lagi. Tok... Tok.... "Subuh dulu mas." Tak ada sahutan, sepertinya Mas Adam memang masih tidur pulas. KlikKnop pintu kuput
"Diminum teh hangatnya, Mas." Kuberikan secangkir teh hangat pada Mas Adam. Tak butuh waktu lama teh di dalam cangkir tinggal setelahnya. "Buka mulutnya Mas!" Kuberikan sendok yang berisi nasi dan telur dadar. "Gak mau makan, nanti kamu racunin lagi!"ucapnya menyilangkan kedua tangan di dada. Kumasukan sendok ke mulut, segera ku kunyah dan kutelan. "Puas Mas?""Ha..." Kumasukan nasi ke dalam mulutnya yang sedang terbuka lebar, tak perduli Mas Adam mau bilang apa. "Buruan telan dan habiskan, setelah itu minum obat. Pakai air putih ya, jangan teh."Tanpa protes dan banyak bicara Mas Adam menghabiskan makanan. Sekali-sekali anteng, kan tambah cakep Mas. Ups...! "Buat istirahat Mas," Kubawa piring dan gelas ke lantai bawah. "Ais..."Kutoleh ke belakang. Mas Adam menatapku. Tatapannya membuat jantungku berdebar, kaki ku gerak-gerakkan karena salah tingkah. "Terima kasih." Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Senyum ketulusan. ****Tok... Tok... Tok.... "Sebentar..." Aku be
Sebuah pernikahan pada hakikatnya adalah menyatukan dua hati, dua pikiran dan dua karakter untuk satu tujuan kebahagiaan. Tapi jika dalam sebuah pernikahan tak ada yang bisa di satukan, mampukah kebahagiaan itu tercapai? Ah, kurasa tidak! Apakah aku kuat menjalani biduk rumah tangga yang penuh kepura-puraan? Apakah aku sanggup bertahan? Atau aku akhiri saja, karena masih banyak kebahagiaan di luar sana. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuiku. Meski lelah, aku akan bertahan. Aku tak mau mengecewakan ayah, umi dan abi. Apakah aku terlalu bodoh bila memilih berjuang. Walau kurasa itu sangat sulit. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Mas Adam sedang bermesraan dengan Jesica menari-nari di benakku.Tiap kali ku tutup mata, bayangan itu selalu hadir. Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, tapi mata ini tetap saja enggan terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk shalat tahajud dan bertadarus. Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang, ku
"Masuk mbak." Daniel membukakan pintu mobil. "Saya duduk di belakang saja ya Mas," ucapku tak enak hati. Bukan niat tak sopan, aku hanya takut menimbulkan fitnah. Terlebih statusku sekarang adalah seorang istri, meski tak diakui Mas Adam. "Lho, kenapa mbak? Saya bukan sopir lho." Daniel menatapku, seakan keberatan jika aku duduk di belakang. "Takut jadi fitnah Mas, Mas Daniel kan bukan mahram saya. Kalau Mas Daniel tidak mau, saya bisa naik tadi online kok Mas." Kutundukkan kepala. Sungguh aku benar-benar tak enak hati. "Oke, baiklah." Daniel membuka pintu bagian belakang. "Terima kasih Mas.""Kembali kasih." Sulas senyum tergambar di wajahnya. Sepanjang perjalanan Daniel terus saja bercerita. Dari status lajangnya sampai kesibukannya sehari-hari. Daniel, tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun. Termasuk orang yang baru dia kenal, seperti diriku ini. "Mbak Aisyah benar sepupunya Adam?" tanyanya sambil terus menyetir. "Em, i-iya Mas." jawabku tergagap. Ya Allah maafkan
Sesaat situasi menjadi hening, Bu Bella seperti memberikan ruang untukku merangkai kata. Sejujurnya aku masih dilema, bingung antara berkata jujur atau diam saja. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Ada yang ingin kamu tanyakan?"Bu Bella menyatukan ketua alisnya. "Em, itu, anu...." Suara ini seperti berhenti ditenggorokan. Ternyata jujur tak semudah yang aku bayangkan. Padahal biasanya lancar-lancar saja. "Apa sih mbak? Kok gugup gitu."Daniel tak sabar dengan apa yang akan kukatakan. "Sebenarnya saya su...." Kriiingg ... Kriiingg .... Ponselku berbunyi, satu panggilan masuk dari nomor baru. "Maaf Bu, saya angkat telepon dulu, sepertinya penting." Aku berjalan keluar ruangan. "Assalamu'alaikum...,"ucapku. "Waalaikumsalam, kamu di mana Tiara Aisyah Kurniawan." Suara yang sangat familiar. "Em, ini di butik kakaknya Mas Daniel, kemarin aku ditawari pekerjaan di butik kakaknya.Kamu lupa Mas?" "Siapa yang memberi izin kamu bekerja?" ucap Mas Adam ketus. "Bukankah tempo hari Mas bil