Share

4. AMM! 4

Seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi usai mengerjakan kewajiban sebagai ibu rumah tangga yang menggurus suami dan anak di rumah.

Setelah suami berangkat untuk mengais rezeki. Segera aku memandikan Zaskia dan menyuapinya.

Hari ini aku mengawali mempersiapkan keperluan untuk mengerjakan pesanan pelanggan yang dijadwalkan untuk hari esok, tepatnya untuk acara pengajian di rumah ibu RW.

Saat sedang sibuk mengupas bawang di dapur, terdengar bunyi gawai yang kuletakkan di atas meja yang berada di sudut dapur ini berbunyi, menandakan ada notifikasi dari aplikasi hijau, sengaja settingan untuk nada dering, baik panggilan telepon, WA pribadi, juga WA group aku bedakan.

Mendengar beberapa notif, yang sepertinya dari pesan pribadi, segera aku ambil dan membuka layar gawai yang terkunci otomatis. Langsung saja ku scroll pada bagian aplikasi hijau. Benar dugaan ku, pesan-pesan masuk tersebut berasal dari percakapan di gawai suami dan keluarganya yang sengaja aku sadap.

[Bu, besok datang ke rumah, mumpung Fitri sedang masak enak-enak, kebetulan ada menu kesukaan ibu dan mbak Mila, rendang daging dan ayam goreng crispy kesukaan anak-anak mbak Mila.] tulisan pesan yang dikirimkan suami untuk ibu mertua, karena jelas tertulis kata, 'bu'.

[Wah, beneran, Gun].

[Kalo gitu ibu gak usah capek-capek masak sama belanja].

Dasar pengeretan, manusia-manusia pelit bin medit, kita lihat besok.

Ku lanjutkan membaca chat mereka, kali ini pesan dari mbak Mila.

[Gitu dong, Gun, kalo masak enak itu inget keluargamu]

Dasar, kalo mereka yang makan enak, boro-boro inget aku atau Zaskia, paling cuma mas Guntur saja yang mereka suruh datang ke sendiri kesana tanpa kami.

[Iya, mbak besok juga ada ayam goreng crispy kesukaan anak-anak].

[Wah, beneran, aku gak usah masak, biar sekalian ngirit uang dapur].

'Bukan irit, emang dasar aslinya aja pelit.' Ucapku membatin.

Hanya bisa geleng-geleng membaca pesan-pesan dari orang yang otaknya di bawah rata-rata orang normal.

[Sipp, mbak] .

Dengan dibubuhi emoticon tangan jempol oleh suami.

Ah, benar-benar mereka itu keluarga somplak.

*

Keesokan harinya.

Aku sengaja tidak mengatakan pada suami, kalo pesanan makanan kali ini, akan aku kerjakan di rumah bu RW, bukan di rumah kami seperti biasanya, karena makan tersebut dipesan untuk makan-makan di acara arisan rutin bu RW teman-temannya.

Setelah suami pergi bekerja dan oekerjaan rumah telah beres, bergegas aku menuju rumah mbak Tatik, yang kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga dengan berjalan kaki kami akan cepat sampai.

Karena Zaskia sudah terbiasa dengan anak-anak dari mbak Tatik, sengaja aku menitipkannya pada mereka, itu pun karena saran dari mbak Tatik juga anak-anaknya yang tidak merasa keberatan untuk mengasuh Zaskia yang memang anaknya anteng, sedikit rewel jika merasa haus dan lapar juga jika ingin buang air saja.

Tak lupa ku bawah bumbu-bumbu yang telah ku persiapkan sebelumnya, aku dan mbak Tatik berangkat ke rumah bu RW, kami berjalan kaki, karena jarak rumah bu RW dengan rumah mbak Tatik, hanya beda dua rumah milik tetangga yang lain.

*

Semua pekerjaan telah beres sebelum para tamu dari tuan rumah itu datang.

Kami bisa cepat menyelesaikan semua pekerjaan, karena kami berbagi tugas.

Cepek pasti, sebelum kami berdua pulang, terlebih dahu tuan rumah yaitu bu RW, telah memberikan upah atas jasa tenaga kami, tak lupa beliau membagikan sedikit makanan dari yang telah kami masak tadi.

*

Aku telah sampai di rumah kontrakan kami.

Sebelum pulang, aku mampir ke rumah mbak Tatik terlebih dahulu untuk mengambil Zaskia yang aku titipkan di rumah mbak Tatik.

Nampak dua orang yang tidak asing sedang duduk di lantai teras kontrakan kami, memang kami tidak meletakkan bangku didepan rumah kami. Iya, mereka adalah ibu mertuaku dan anak perempuannya, mbak Mila.

Terlihat kekesalan di raut muka mereka yang telah dibanjiri oleh peluh mereka sendiri. Munkin karena terlalu lama menunggu kepulanganku juga karena cuaca siang hari di tempatku ini memang terik.

Begitu melihat sosokku yang mulai memasuki halaman kami, segera mereka beranjak dari tempatnya untuk segera menghampiriku, tentu dengan mimik yang bersungut-sungut penuh dengan kekesalan.

"Hei, Fit, kamu dari mana saja? Kamu tahu gak aku dan ibu sudah hampir mirip ikan asin yang dijemur nungguin kamu!" sungut kakak iparku.

"Benar kata kakakmu, tau mertua datang disambut atau gimana, ini malah kamu kacangin seperti kacang goreng!" sungguh ibu mertua tak mau kalah.

"Iya, maaf Bu, mbak Mila, Fitri gak tahu kalo ibu dan mbak Mila akan datang kesini, mas Guntur juga gak ngomong sebelumnya." ku buat semanis mungkin saat menanggapi orang yang berbeda alam dari kita. "Kok tumben, ibu dan mbak Mila mau datang ke kontrakan kami?" tanyaku.

Ku lihat, dua wanita di depanku ini saling melempar pandang, munkin ingin menyamakan alasan untuk menjawab pertanyaan dari ku.

"Ya sudah, kita masuk dulu."

Ajakku, segera ku raih kunci rumah yang sengaja aku bawah dan ku masukkan kedalam dompet kecil yang selalu aku bawah.

"Silahkan duduk duduk dulu Bu, mbak."

Ku persilahkan mereka berdua untuk duduk di di atas kursi dari bahan plastik yang sengaja kami letakkan untuk ruang tamu rumah kontrakan ini. "Ibu dan mbak Mila mau minum apa?" ucapku menawari mereka minuman.

Sengaja untuk pemanis. Jelas di rumahku ini hanya tersedia kopi dan teh saja.

"Gak usah, kita juga mau cepet- cepet pulang." ucap ibu mertua masih dengan rasa kesalnya. " Oh...iya cepetan mana makan yang sudah kamu persiapkan untuk kami." ujar ibu mertua seperti layaknya seorang yang mau menagih apa yang menjadi haknya.

"Maaf, makanan apa yang ibu maksud?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Loh, Guntur sendiri yang bilang pada kami, kalo kamu hari ini, masak makanan kesukaan kami, malah Guntur sendiri yang menyuruh datang kesini untuk menggambilnya." ibu mertua berucap tanpa beban dan tak ada sedikitpun raut malu yang dinampakkannya.

"Iya, Bu, memang benar apa yang dikatakan oleh mas Guntur, sayangnya yang didengar mas Guntur waktu ada pesanan yang datang hanya sebagian. "jelasku.

"Maksud?" tanya mbak Mila penasaran atas penjelasanku.

"Iya, mbak, kemaren itu yang pesen makanan itu datang kerumah, minta sama Fitri masaknya minta di rumahnya saja. Jadi hari ini masaknya gak di rumah ini, tapi di rumah Bu RW yang pemesan makan itu." jelasku.

Ku tahan rasa ingin tertawa melihat ekspresi dari ibu mertua juga iparku yang sama-sama sudah putus urat malunya.

Kesal tentu, karena wajah mereka berubah menjadi merah, setelah tadi merah karena sengatan matahari di luar rumah, sekarang giliran hari mereka yang tersengat oleh malu karena perbuatan mereka sendiri.

"Terus, maksud kamu, kedatangan kami kesini hanya sia-sia saja?" ujar ibu mertua belum terima.

"Iya, buk, Fitri minta maaf." ku berikan senyuman yang termanis.

"Si*l!" umpat mbak Mila.

"Kalo ibu dan mbak Mila kepengen makan enak, kan bisa beli atau masak sendiri, masa mau nungguin ada orang yang bersedekah dulu."

"Maksud kamu apa?" sungut mbak Mila.

"Mbak tiap bulan mas Guntur kan rutin bayar utang budi sama keluarga mbak, ditambah uang gaji dari suami mbak masa kurang aja."

"Ya yang namanya utang budi kan harus dibayar!" tandasnya.

"Emang lima tahun gak cukup buat lunasin utang budinya mas Guntur, mbak? atau cuma alasan saja biar mas Guntur selalu ngasih jatah sama keluarga mbak."

"Eh, Fit, kamu mana ngerti, kamu baru berapa hari jadi istrinya Guntur." ibu mertua turut bicara membela anak sulungnya.

"Iya, kalo gini cara pemikiran keluarga ibu dan mbak Mila, kasihan banget mas Guntur, kalian bisa hidup enak, sedang kami kebagian sengsaranya karena terus-menerus kalian poroti dan manfaatkan." tersulut juga emosi ini. "Fitri kira, setelah keluar dari rumah ibu kami akan keluar dari penderitaan, ternyata penderitaan yang kalian hadirkan selalu menyertai di mana mas Guntur berada.

"Jaga mulutmu, Fit!" ucap ibu mertua yang tidak terima. "Guntur itu anak ibu, jadi sudah kewakljibannya menafkahi orangtuanya."

"Fitri juga gak ngelarang mas Guntur memberikan sebagian uangnya untuk menafkahi ibu, tapi ibu sudah keterlaluan, terlalu berat sebelah, ibu selalu menuruti menantu ibu yang di rumah dengan memanfaatkan suamiku, apa ada seorang bibu macam itu, Jagan dikira aku tidak mengetahui kelakuan buruk kalian, disaat kalian senang kalian melupakan aku dan anakku, jadi jangan harap dan mengharap aku akan menghargai kalian."

"Awas, kamu, Fit, aku akan melaporkan perlakuan burukmu pada Guntur, lihat saja dia pasti akan meninggalkanmu dan lebih memilih kami keluarganya," ancam mbak Mila.

Dengan napasnya yang memburu karena emosi.

"Silahkan laporkan semuanya, aku tidak takut sama sekali, dan tolong tinggalkan rumah ini sekarang juga, aku ingin istirahat." ucapku sambil mendorong kedua wanita yang ada di hadapanku untuk segera keluar.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ira
mau tanya .klo menyadap hp suami..memangnya g akan ketahuan ya dihp suami. misal ada pesan trus kita baca...dan dihp suami...ketshusn ga bahwa pesan itu sudh dibaca...
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Salut sama Fitri yang berani berkata jujur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status