Share

Aku Padamu, Gus!
Aku Padamu, Gus!
Penulis: Shofie Widdianto

Berita Mengejutkan

“Assalamu’alaikum Fia, kamu dipanggil sama Umi! Katanya ada sesuatu yang harus disampaikan.” Nadia, teman satu kamarku berlari dari rumah Abah. Napasnya tersengal-sengal seperti habis dikejar maling.

Aku mengerutkan kening. “Yang benar saja?” ucapku setelah menjawab salam.

Beberapa menit yang lalu, aku baru kembali dari rumah Abah Sya'roni. Kedua orang tuaku datang berkunjung karena sebentar lagi aku akan ujian. Mereka mendoakanku dan memberikan uang untuk melunasi administrasi serta Muwadaah.

“Buruan, Fia! Ada mobil polisi di depan rumah Abah.” Nadia menarik tanganku supaya segera lepas dari kitab.

“Sebentar, aku rapikan dulu kitabku.”

Setiap kali belajar, kitabku selalu berserakan sehingga harus selalu dirapikan agar tidak tercecer dan rusak. Di pondok seperti ini banyak sekali barang-barang yang hilang jika tidak hati-hati menyimpannya.

“Mobil polisi? Jangan-jangan ada penjahat, Nad?”

“Bukan, aku enggak tahu apa-apa. Buruan, udah ditungguin sama Abah dan Umi.”

Segera kuambil jilbab instan yang cukup lebar karena akan bertemu dengan Gus di sana. Aku tidak mau dianggap sebagai santri yang tidak sopan.

Aku dan Nadia berjalan dengan langkah panjang menuju kediaman Abah. Tidak biasanya aku dipanggil pada jam malam seperti ini. Apalagi aku adalah santri yang taat. Jarang sekali aku dihukum jika bukan karena tertidur di kelas.

“Ada apa, sih, Nad? Tidak biasanya ada rame-rame di rumah Abah. Apalagi malam-malam begini.”

“Enggak tahu! Tadi Gus Azam yang ngasih tahu supaya menyuruhmu datang ke sana.”

Gus Azam? Beliau adalah anak pertama dari empat bersaudara. Umi Hanifah memiliki empat putra yang berparas rupawan seperti personil boy band Korea BTS. Banyak sekali santriwati yang mengidolakan mereka, termasuk diriku.

Abah dan Umi tidak memiliki anak perempuan. Umi menjadi wanita tercantik di rumah itu. Beruntung sekali menjadi wanita yang disayangi lima lelaki sekaligus, suami dan empat anaknya.

Kami mengucapkan salam saat sampai di rumah Abah. Beberapa orang berkumpul di dalam. Namun, aku tidak melihat Gus Azam. Hanya kedua adiknya yang terlihat, Gus Anam dan Gus Ahza.

“Shafia, sini sama Umi, Nak!” Umi merentangkan tangannya. Aku mengerutkan kening, ada apa ini? Mengapa semua orang menatapku sendu.

“Duduk dulu, Fia!” Kini Abah Sya'roni memintaku duduk.

Aku duduk ditemani Nadia dan Umi berhadapan dengan Abah dan Dua orang polisi. Mereka terlihat cemas. Hening, suasana semakin mencekam. Hanya terdengar suara rintik hujan gerimis di atas genting.

“Saudari Shafia, kami telah menemukan mobil Pak Mujib bertabrakan dengan bus. Mobilnya rusak parah dan—“

“Dan apa, Pak?” Perasaanku mulai menerka-nerka.

“Orang tua Anda meninggal di tempat.” Polisi tersebut melanjutkan.

“إنا لله وإنا اليه راجعون"

Semua orang mengucapkan kalimat tarji'.

Mendadak duniaku runtuh. Aku tidak mempercayai polisi tersebut. “Bapak bercanda. Pasti lagi ngeprank saya, ‘kan?”

Aku berdiri menegakkan tubuh. “Tidak mungkin ini terjadi, Pak! Abah, tolong usir polisi itu. Mereka pasti berbohong.”

Air mata ini sudah tidak bisa kubendung. Allah pasti sedang mengajakku bercanda. Baru setengah jam yang lalu Ayah dan Ibu pulang dari tempat ini.

“Fia, yang tabah, Nak! Semua ini ujian.” Umi Hanifah mulai menitikkan air mata.

“Tidak mungkin, Umi! Mereka baru saja menjengukku. Mereka bilang akan menghadiri muwadaah bulan depan. Ini semua pasti bohongan. Ini mimpi, Umi. Iya ini pasti hanya mimpi.”

Umi Hanifah semakin memelukku erat, “Shafia, ini nyata, Nak. Orang tuamu sudah pergi.”

Aku melepaskan pelukan Umi kemudian menampar pipiku, tetapi yang kurasakan adalah panas dan perih. Ini nyata. Aku tidak sedang bermimpi. “Pipiku sakit, Umi. Ini bukan mimpi.”

Aku hendak memukul pipiku yang sebelah, tetapi Umi menahannya. “Jangan lakukan itu, Fia! Kamu harus ikhlas. Semua ini sudah takdirnya.”

Ya Allah, mengapa Kau ambil orang tuaku secepat ini? Aku bahkan belum bisa membahagiakan mereka. Aku belum bisa menjadi anak yang berbakti.

Aku menangis tergugu di pelukan Umi karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Siapa yang akan membiayai kuliahku nanti? Aku tidak pernah hidup sendiri dan belum siap dipaksa menjadi mandiri. Selama ini aku masih bergantung kepada orang tua. Inikah tujuan orang tuaku memasukkanku ke pesantren?

“Shafia! Istighfar, Nak. Doakan mereka supaya tenang.” Abah Sya'roni angkat bicara.

“Maaf, Pak. Kami permisi dulu. Kedua jenazah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Setelah itu kami akan menyerahkannya kembali ke pihak keluarga. Adakah pihak keluarga lain selain anak dari Bapak Mujib yang bisa ikut kami?” tanya polisi tersebut, tetapi akuu menggeleng.

Ayah sama sepertiku. Dia anak tunggal, sedangkan kakek dan nenek sudah tiada. Keluarga yang tersisa tinggal kakek dan nenek dari Ibu.

“Saya ikut, Pak. Saya ingin melihat orang tua saya.” Aku berdiri hendak ikut, tetapi Umi dan Nadia mencegah.

“Biar Abah yang pergi dengan Azam. Kamu di sini dulu, Fia. Kita akan ke rumahmu bersama-sama.” Umi Hanifah kembali memelukku.

Tubuhku rasanya lemas. Aku tidak memiliki semangat hidup lagi. Mereka telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

“Shafia, kamu yang sabar! Doakan mereka semoga husnul khotimah.” Nadia mengusap bahuku.

“Nadia, aku tidak punya siapa-siapa lagi, sudah tidak akan ada lagi orang yang mengirimkan makanan untuk kita.” Nadia memelukku erat.

“Kamu masih punya aku, Fia. Kita bisa melewati ini semua. Aku yakin kamu gadis yang kuat. Kamu pasti bisa!” ucap Nadia menyemangatiku.

Aku menggeleng. “Aku tidak sekuat itu, Nad.”

Rintik hujan berubah menjadi semakin deras setelah kepergian dua polisi tersebut. Mataku menatap kosong ke arah luar. Aku ingin berlari dan menangis bersama hujan supaya tidak ada yang melihat betapa hancurnya perasaanku.

Perlahan aku berdiri. Entah mendapat kekuatan dari mana, aku memelesat keluar rumah hingga tetes air hujan membasahi tubuh. Sayup terdengar suara umi dan teriakan Nadia memanggil namaku. Namun, separuh hatiku seperti luruh bersama derasnya hujan. Bumi muram, semuram jiwaku yang kehilangan dua malaikat takbersayap.

“Shafia, tunggu!” Aku tidak menghiraukan teriakan Umi.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Kasihan Shafia.......dalam seketika menjadi yatim piatu .........
goodnovel comment avatar
Senja jingga
bagus aku suka banget ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status