“Assalamu’alaikum Fia, kamu dipanggil sama Umi! Katanya ada sesuatu yang harus disampaikan.” Nadia, teman satu kamarku berlari dari rumah Abah. Napasnya tersengal-sengal seperti habis dikejar maling.
Aku mengerutkan kening. “Yang benar saja?” ucapku setelah menjawab salam.Beberapa menit yang lalu, aku baru kembali dari rumah Abah Sya'roni. Kedua orang tuaku datang berkunjung karena sebentar lagi aku akan ujian. Mereka mendoakanku dan memberikan uang untuk melunasi administrasi serta Muwadaah.“Buruan, Fia! Ada mobil polisi di depan rumah Abah.” Nadia menarik tanganku supaya segera lepas dari kitab.“Sebentar, aku rapikan dulu kitabku.”Setiap kali belajar, kitabku selalu berserakan sehingga harus selalu dirapikan agar tidak tercecer dan rusak. Di pondok seperti ini banyak sekali barang-barang yang hilang jika tidak hati-hati menyimpannya.“Mobil polisi? Jangan-jangan ada penjahat, Nad?”“Bukan, aku enggak tahu apa-apa. Buruan, udah ditungguin sama Abah dan Umi.”Segera kuambil jilbab instan yang cukup lebar karena akan bertemu dengan Gus di sana. Aku tidak mau dianggap sebagai santri yang tidak sopan.Aku dan Nadia berjalan dengan langkah panjang menuju kediaman Abah. Tidak biasanya aku dipanggil pada jam malam seperti ini. Apalagi aku adalah santri yang taat. Jarang sekali aku dihukum jika bukan karena tertidur di kelas.“Ada apa, sih, Nad? Tidak biasanya ada rame-rame di rumah Abah. Apalagi malam-malam begini.”“Enggak tahu! Tadi Gus Azam yang ngasih tahu supaya menyuruhmu datang ke sana.”Gus Azam? Beliau adalah anak pertama dari empat bersaudara. Umi Hanifah memiliki empat putra yang berparas rupawan seperti personil boy band Korea BTS. Banyak sekali santriwati yang mengidolakan mereka, termasuk diriku.Abah dan Umi tidak memiliki anak perempuan. Umi menjadi wanita tercantik di rumah itu. Beruntung sekali menjadi wanita yang disayangi lima lelaki sekaligus, suami dan empat anaknya.Kami mengucapkan salam saat sampai di rumah Abah. Beberapa orang berkumpul di dalam. Namun, aku tidak melihat Gus Azam. Hanya kedua adiknya yang terlihat, Gus Anam dan Gus Ahza.“Shafia, sini sama Umi, Nak!” Umi merentangkan tangannya. Aku mengerutkan kening, ada apa ini? Mengapa semua orang menatapku sendu.“Duduk dulu, Fia!” Kini Abah Sya'roni memintaku duduk.Aku duduk ditemani Nadia dan Umi berhadapan dengan Abah dan Dua orang polisi. Mereka terlihat cemas. Hening, suasana semakin mencekam. Hanya terdengar suara rintik hujan gerimis di atas genting.“Saudari Shafia, kami telah menemukan mobil Pak Mujib bertabrakan dengan bus. Mobilnya rusak parah dan—““Dan apa, Pak?” Perasaanku mulai menerka-nerka.“Orang tua Anda meninggal di tempat.” Polisi tersebut melanjutkan.“إنا لله وإنا اليه راجعون"Semua orang mengucapkan kalimat tarji'.Mendadak duniaku runtuh. Aku tidak mempercayai polisi tersebut. “Bapak bercanda. Pasti lagi ngeprank saya, ‘kan?”Aku berdiri menegakkan tubuh. “Tidak mungkin ini terjadi, Pak! Abah, tolong usir polisi itu. Mereka pasti berbohong.”Air mata ini sudah tidak bisa kubendung. Allah pasti sedang mengajakku bercanda. Baru setengah jam yang lalu Ayah dan Ibu pulang dari tempat ini.“Fia, yang tabah, Nak! Semua ini ujian.” Umi Hanifah mulai menitikkan air mata.“Tidak mungkin, Umi! Mereka baru saja menjengukku. Mereka bilang akan menghadiri muwadaah bulan depan. Ini semua pasti bohongan. Ini mimpi, Umi. Iya ini pasti hanya mimpi.”Umi Hanifah semakin memelukku erat, “Shafia, ini nyata, Nak. Orang tuamu sudah pergi.”Aku melepaskan pelukan Umi kemudian menampar pipiku, tetapi yang kurasakan adalah panas dan perih. Ini nyata. Aku tidak sedang bermimpi. “Pipiku sakit, Umi. Ini bukan mimpi.”Aku hendak memukul pipiku yang sebelah, tetapi Umi menahannya. “Jangan lakukan itu, Fia! Kamu harus ikhlas. Semua ini sudah takdirnya.”Ya Allah, mengapa Kau ambil orang tuaku secepat ini? Aku bahkan belum bisa membahagiakan mereka. Aku belum bisa menjadi anak yang berbakti.Aku menangis tergugu di pelukan Umi karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Siapa yang akan membiayai kuliahku nanti? Aku tidak pernah hidup sendiri dan belum siap dipaksa menjadi mandiri. Selama ini aku masih bergantung kepada orang tua. Inikah tujuan orang tuaku memasukkanku ke pesantren?“Shafia! Istighfar, Nak. Doakan mereka supaya tenang.” Abah Sya'roni angkat bicara.“Maaf, Pak. Kami permisi dulu. Kedua jenazah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Setelah itu kami akan menyerahkannya kembali ke pihak keluarga. Adakah pihak keluarga lain selain anak dari Bapak Mujib yang bisa ikut kami?” tanya polisi tersebut, tetapi akuu menggeleng.Ayah sama sepertiku. Dia anak tunggal, sedangkan kakek dan nenek sudah tiada. Keluarga yang tersisa tinggal kakek dan nenek dari Ibu.“Saya ikut, Pak. Saya ingin melihat orang tua saya.” Aku berdiri hendak ikut, tetapi Umi dan Nadia mencegah.“Biar Abah yang pergi dengan Azam. Kamu di sini dulu, Fia. Kita akan ke rumahmu bersama-sama.” Umi Hanifah kembali memelukku.Tubuhku rasanya lemas. Aku tidak memiliki semangat hidup lagi. Mereka telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.“Shafia, kamu yang sabar! Doakan mereka semoga husnul khotimah.” Nadia mengusap bahuku.“Nadia, aku tidak punya siapa-siapa lagi, sudah tidak akan ada lagi orang yang mengirimkan makanan untuk kita.” Nadia memelukku erat.“Kamu masih punya aku, Fia. Kita bisa melewati ini semua. Aku yakin kamu gadis yang kuat. Kamu pasti bisa!” ucap Nadia menyemangatiku.Aku menggeleng. “Aku tidak sekuat itu, Nad.”Rintik hujan berubah menjadi semakin deras setelah kepergian dua polisi tersebut. Mataku menatap kosong ke arah luar. Aku ingin berlari dan menangis bersama hujan supaya tidak ada yang melihat betapa hancurnya perasaanku.Perlahan aku berdiri. Entah mendapat kekuatan dari mana, aku memelesat keluar rumah hingga tetes air hujan membasahi tubuh. Sayup terdengar suara umi dan teriakan Nadia memanggil namaku. Namun, separuh hatiku seperti luruh bersama derasnya hujan. Bumi muram, semuram jiwaku yang kehilangan dua malaikat takbersayap.“Shafia, tunggu!” Aku tidak menghiraukan teriakan Umi.“Tunggu, Shafia!”Nadia ingin mengejarku, tetapi Umi mencegahnya. "Biarkan dia, Nad. Shafia butuh waktu untuk sendiri."Hujan malam ini sangat deras seolah mengerti akan kesedihanku. Petir menyambar-nyambar seolah ikut marah. "Mengapa Engkau berikan takdir seperti ini untukku ya Allah? Apa salahku?"Aku berlari tanpa alas kaki, berhambur bersama dinginnya air hujan. Berteriak sekencang-kencangnya melepaskan semua sesak di dada.“Ayah ... Ibu! Jangan tinggalkan aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.”Aku tertunduk lemas, kujatuhkan lutut di tanah berbatuan. Sakit, tetapi lebih sakit hatiku. Lututku terasa perih hingga membuatku meringis.Bebatuan dan rumput jepang mendominasi halaman rumah Abah. Tidak ada jalan paving di rumah ini, semuanya masih sangat tradisional. Bunga-bunga indah milik Umi turut menyaksikan betapa hancurnya perasaanku.Suara petir menggelegar seolah mengancamku supaya diam. Aku memegang kedua bahu, memeluk tubuhku sendiri. Masih kurasakan hangatnya se
“Masya Allah, anak Ibu sudah besar.” Ibu memelukku erat saat kami bertemu. Beliau sampai menangis, padahal Ibu dan Ayah selalu mengunjungiku setiap satu bulan sekali.“Alhamdulillah, Bu. Sebentar lagi Shafia lulus,” ucapku kemudian mencium punggung tangan Ayah dan Ibu bergantian.Aku tinggal di pondok pesantren Al Falah semenjak lulus SD karena orang tuaku ingin aku menjadi anak yang mandiri saat dewasa nanti. Sebagai anak tunggal, mereka selalu memanjakanku dari kecil. Semua keinginanku selalu terpenuhi, hingga akhirnya mereka memasukkanku ke pesantren.Aku merasa mereka sudah tidak sayang lagi padaku karena membuangku ke pesantren. Namun, setelah sampai di detik ini membuatku sadar betapa sayangnya mereka kepadaku. “Gimana ujian kitabnya? Lancar?” tanya Ayah. “Alhamdulillah lancar, Yah. Semua berkat doa dan dukungan dari Ayah dan Ibu.”Kami berbincang cukup lama malam ini seolah esok sudah tidak bertemu lagi. Ibu membawakanku banyak makanan. Sebagian untuk Abah dan sebagian bisa k
Aku meracau dan berteriak sekencang-kencangnya. Kulempar semua benda yang ada di dekatku. Bantal, guling, dan selimut sudah tidak ada di tempatnya lagi. “Fia, yang sabar, Nak!” Bude Yuli mendekat. Dia adalah kakak pertama Ibuku. “Ayo keluar, kita doakan orang tuamu bersama-sama.”“Fia, ikhlaskan mereka, Sayang.” Umi Hanifah memeluk dan mengelus rambutku. “Pakai jilbabmu, kita keluar bersama-sama. Orang tuamu sudah disucikan.”Bude Siti mengambil jilbab dari almari pakaianku. Kuikat asal rambut dengan karet gelang yang masih bertengger di tangan. Namun, talinya putus hingga membuatku semakin frustrasi. Ibu pernah mengajarkanku menggelung rambut, tetapi selalu gagal karena rambutku kurang panjang. Kini rambutku panjangnya sudah sepinggul, tetapi sudah tidak ada lagi Ibu yang akan membantu. Aku mengacak rambut dengan kasar. “Sini Umi bantu, Fia.” Aku berhenti menangis kala Umi memegang rambutku. Umi menyisir rambutku dengan jari kemudian menggelungnya. Aku memegang rambutku, bentukny
“Astaghfirullah, Fia. Maaf Nenek mengagetkanmu.” Wanita yang rambutnya sudah didominasi oleh rambut putih itu mendekat. Dia tampak khawatir melihat jari telunjukku berdarah.“Nggak apa-apa, Nek. Ini hanya luka kecil. Aku punya plester di kamar.”“Sudah malam, Fia. Kamu harus istirahat. Kalau kamu kecapekan, nanti malah jadi sakit.” Nenek menuntunku ke kamar dan meminta untuk segera mengobati luka di jariku.“Nenek temenin Fia tidur, ya! Fia masih keinget sama Ayah dan Ibu.”“Tidurlah, Nenek mau bicara sama Kakek dulu. Nanti Nenek temani tidur.”“Nenek boleh pergi, tetapi nunggu aku dah tidur, ya!” Aku bukannya takut tidur sendiri, tetapi setiap kali mengingat Ayah dan Ibu rasanya aku tidak sanggup menahan air mata. Bukannya tidur, yang ada aku bakal menangis terus. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Kehilangan orang tua secara tiba-tiba membuatku belum siap untuk melakukan semuanya sendirian. “Baiklah, Nenek akan menemanimu lebih dahulu.”“Makasih, Nek!” Kutarik selimut hingga me
“Lebih baik kamu menikah dan melanjutkan usaha orang tuamu. Hidup di desa itu keras, Nak. Apalagi kamu bakal tinggal sendirian di rumah. Nenek khawatir kamu menjadi gunjingan orang.”Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Nek. Aku akan tetap melanjutkan kuliah. Entah bagaimana caranya. Bukankah nenek sendiri yang bilang aku harus bisa menjadi kebanggaan orang tuaku?”Nenek terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ada hal yang disembunyikan dariku?“Aku bisa berjualan sambil kuliah, Nek. Aku masih bisa menjalankan usaha Ayah dan Ibu tanpa harus berhenti sekolah.”“Tapi, Fia! Ada hal yang tidak kamu ketahui selama kamu tinggal di pondok.”Hal yang tidak kuketahui? Tentu banyak sekali. Aku bahkan tidak mengetahui apa saja isi toko Ibu sekarang ini. Terakhir mereka mengatakan mengalami penurunan penghasilan saat wabah Covid-19 melanda. Lalu, sekarang harga minyak goreng dan telur ayam naiknya selangit. Selama ini aku tidak pernah memikirkannya. Aku memang egois, yang terpenti
“Bismillahirohmaanirrohiim.” Gus Azam mulai memimpin doa tanpa ragu. Beruntung sekali diriku. Akhirnya aku bisa selamat dari pertanyaan Umi. Semua orang menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Namun, mataku tak lepas dari Gus Anam. Sayangnya dia terhalang oleh Gus Azam. Baru kali ini aku mendengar suara Gus Azam. Dia membaca tahlil dengan fasih. Tanpa sadar aku memandangnya terus menerus. ‘Ya Allah, mengapa rasanya hatiku bergetar mendengar suaranya? Sepertinya aku lapar karena belum sarapan.’ Waktu bergerak seiring berputarnya jarum jam. Tanpa terasa Gus Azam telah selesai memimpin doa. “Fia, kami pamit dulu, ya!” Umi Hanifah berpamitan. “Mohon maaf apabila kehadiran kami merepotkan nenek dan kakeknya Shafia.” “Tidak, Umi. Kami malah merasa senang karena Umi dan keluarga bersama teman-teman Fia mau datang ke sini. Kami mengucapkan terima kasih banyak.” Nenek mengucapkan terima kasih kemudian bersalaman dengan Umi. Teman-temanku juga berpamitan untuk segera kembali ke pond
“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini. Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput. Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing. “Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek. “Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. A
“Menikahlah denganku!” ucap Pak Rozaq percaya diri. “Jangan mimpi! Anda bukan selera saya. Usia saya masih terlalu muda untuk menikah.” Lelaki itu bergeming. Apa kata dunia jika aku menikah dengan lelaki tua sepertinya? Mau dikemanakan Gus Anam?Cita-citaku masih tinggi. Aku tidak akan menikah muda, apalagi dengan tua bangka seperti itu. Masih banyak hal yang harus kuperjuangkan. Aku ingin menjadikan masa mudaku bermanfaat, tidak hanya untukku sendiri, tetapi juga untuk orang lain. “Aku akan menganggap lunas semua hutang ayahmu. Hidupmu akan terjamin. Aku akan membuatkan rumah untukmu jika mau menjadi istriku yang ketiga,” ucapnya sambil tersenyum meremehkan. Istri ketiga? Aku menggeleng. Bahkan menjadi istri pertamanya pun aku tak sudi. “Mujib pasti bangga memiliki anak yang berbakti sepertimu.” Dia berjalan mendekat dan hendak menyentuh daguku, tetapi aku lekas menghindar. Selama ini Ayah dan Ibu mendidik dan menjagaku dengan baik, bahkan sampai memasukkanku ke pesantren. Aku