“Tunggu, Shafia!”
Nadia ingin mengejarku, tetapi Umi mencegahnya. "Biarkan dia, Nad. Shafia butuh waktu untuk sendiri."
Hujan malam ini sangat deras seolah mengerti akan kesedihanku. Petir menyambar-nyambar seolah ikut marah. "Mengapa Engkau berikan takdir seperti ini untukku ya Allah? Apa salahku?"
Aku berlari tanpa alas kaki, berhambur bersama dinginnya air hujan. Berteriak sekencang-kencangnya melepaskan semua sesak di dada.
“Ayah ... Ibu! Jangan tinggalkan aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.”
Aku tertunduk lemas, kujatuhkan lutut di tanah berbatuan. Sakit, tetapi lebih sakit hatiku. Lututku terasa perih hingga membuatku meringis.
Bebatuan dan rumput jepang mendominasi halaman rumah Abah. Tidak ada jalan paving di rumah ini, semuanya masih sangat tradisional. Bunga-bunga indah milik Umi turut menyaksikan betapa hancurnya perasaanku.
Suara petir menggelegar seolah mengancamku supaya diam. Aku memegang kedua bahu, memeluk tubuhku sendiri. Masih kurasakan hangatnya sentuhan dari Ibu. Namun, semuanya perlahan sirna terkikis dinginnya air hujan.
“Maafkan aku, Ibu, Ayah. Aku belum bisa menjadi kebanggaan kalian.”
Masih dalam isak tangis, kurasakan rintik hujan tidak mengenai tubuhku lagi. Saat aku mendongak ternyata ada sebuah tangan kokoh yang membawa payung untukku. Aku beranikan menatap matanya, bola mata itu seakan mampu menghipnotis ku.
“Menangislah dan jangan ragu ungkapkan!” Ucapan Gus Anam membuatku semakin terisak. Dia adalah putra kedua Kyai Sya’roni.
Untuk apa dia ke sini? Bahkan seorang gus rela hujan-hujanan demi memberikan sebuah payung untukku. Apakah aku terlihat sangat mengenaskan? Mungkin di matanya aku hanyalah anak kecil yang menyusahkan.
“Mengapa semua ini terjadi kepadaku, Gus? Tinggal sedikit lagi aku lulus. Untuk apa mereka melakukan semua ini jika akhirnya meninggalkanku sebelum waktunya tiba?” Aku tertunduk lemah. Kupukul dan kucabut sampai akar rumput jepang di depanku yang tidak bersalah.
“Rizki, jodoh, dan mati sudah digariskan takdirnya. Kamu harus Ikhlas, menangis tidak akan membuat mereka kembali. Kamu bisa saja mati sekarang jika tidak segera masuk ke rumah. Siapa yang akan mendoakan mereka jika kamu juga meninggal?
Bahkan kamu belum cukup ilmu. Sudahkah kamu siap jika Malaikat Munkar dan Nakir memberikan pertanyaan kepadamu di alam kubur? Siapa yang akan mendoakanmu nanti? Kamu bahkan tidak punya sanak saudara. Bukankah kamu anak tunggal?”
Ucapan Gus Anam menyadarkanku. Sejenak aku bergeming. Sudah cukup lama aku menangis, tetapi perasaanku masih terasa pedih. Kehilangan orang tua yang sangat kucintai ternyata sesakit ini. Aku tidak tahu bagaimana melewati hari-hariku nanti tanpa mereka.
“Pakai payung ini! Kamu bisa demam dan Umi yang akan kesusahan karena merawatmu!” Gus Anam mengulurkan sebuah payung bergambar Hello Kitty kepadaku.
Aku menerima payungnya, tetapi lekas kubuang. “Aku tidak perlu payung. Aku ingin orang tuaku. Aku ingin Ayah dan Ibu kembali. Aku tidak percaya mereka sudah meninggalkanku, Gus! Semua ini bohong, ini tidak nyata.”
Aku masih berharap semua ini hanya mimpi. Mimpi yang selamanya hanya menjadi bunga tidur dan saat aku terbangun semuanya akan kembali seperti semula. Belum satu jam mereka pergi dan tiba-tiba aku mendengar kabar mereka kecelakaan. Secepat itukah takdir memisahkan? Aku masih tidak mempercayainya.
“Sadarlah! Semuanya sudah menjadi kehendak Allah.” Gus Anam berjongkok di depanku.
Wajah putih dengan jambang tipis itu terlihat pucat karena tengah kedinginan. Entah mengapa aku lancang membalas tatapannya. Mata yang selama ini selalu kuhindari karena mampu membuat hatiku goyah. Orang yang selalu membuat hatiku bergetar meski hanya dengan mendengar namanya saja. Seseorang yang diam-diam kukagumi dan selalu kusebut namanya dalam doa.
“Mundur! Jangan mendekat!” Aku mundur selangkah darinya kala dia semakin mendekat. Aku takut bersentuhan dengannya. Apalagi sekarang bajuku basah kuyup hingga tampak jelas tubuhku yang kurus kering.
Gus Anam semakin mendekat ke arahku. Aku harus menjaga jarak darinya. Jantungku sudah tidak bisa diajak kompromi, rasa sesak bercampur dengan tangis dan– entahlah, aku tidak mampu mengucapkan kata-kata puitis.
“Aku hanya ingin memayungimu. Aku melakukan ini juga terpaksa karena Umi. Jadi, hargailah usahaku ini. Aku juga tidak akan melakukannya jika bukan Umi yang meminta. Kamu tidak lihat? Bajuku menjadi basah semua.”
"Tidak! Aku tidak mau!" Rasanya aku ingin mati sekarang juga supaya bisa berkumpul dengan orang tuaku, tetapi aku takut mati. Aku belum memiliki bekal untuk ke surga sedangkan aku juga tidak mau masuk neraka.
Gus Anam maju selangkah lagi. Begitu juga denganku. Semakin dia mendekat, semakin aku mundur. Namun, hujan semakin lebat. Aku sudah mulai kedinginan, tetapi juga tidak bisa satu payung berdua dengan Gus Anam. Aku sudah melempar payung yang dia berikan dan terhempas entah ke mana karena angin begitu kencang. Sekarang aku menyesal karena gengsiku terlalu tinggi.
“Kamu semakin pucat. Pakailah payung ini, aku tidak akan menyentuhmu.” Gus Anam menyerahkan payungnya untukku.
Hujan semakin deras, angin kencang membuat suasana semakin mencekam. Aku ingin berdiri, tetapi kakiku terasa sangat kaku. Kulitku memutih dan berkerut, pucat seperti mayat. Rasanya kakiku seperti kesemutan. Aku sudah tidak tahan lagi. Ingin rasanya aku menerima payung itu dan segera berteduh.
Aku hendak meraih payung dari Gus Anam, tetapi rasanya kepalaku pusing dan pandanganku mulai gelap. Samar aku mendengar teriakannya memanggil namaku. Namun, aku sudah tidak sanggup membuka mata lagi. Mungkin aku akan segera pergi menyusul Ayah dan Ibu.
“Masya Allah, anak Ibu sudah besar.” Ibu memelukku erat saat kami bertemu. Beliau sampai menangis, padahal Ibu dan Ayah selalu mengunjungiku setiap satu bulan sekali.“Alhamdulillah, Bu. Sebentar lagi Shafia lulus,” ucapku kemudian mencium punggung tangan Ayah dan Ibu bergantian.Aku tinggal di pondok pesantren Al Falah semenjak lulus SD karena orang tuaku ingin aku menjadi anak yang mandiri saat dewasa nanti. Sebagai anak tunggal, mereka selalu memanjakanku dari kecil. Semua keinginanku selalu terpenuhi, hingga akhirnya mereka memasukkanku ke pesantren.Aku merasa mereka sudah tidak sayang lagi padaku karena membuangku ke pesantren. Namun, setelah sampai di detik ini membuatku sadar betapa sayangnya mereka kepadaku. “Gimana ujian kitabnya? Lancar?” tanya Ayah. “Alhamdulillah lancar, Yah. Semua berkat doa dan dukungan dari Ayah dan Ibu.”Kami berbincang cukup lama malam ini seolah esok sudah tidak bertemu lagi. Ibu membawakanku banyak makanan. Sebagian untuk Abah dan sebagian bisa k
Aku meracau dan berteriak sekencang-kencangnya. Kulempar semua benda yang ada di dekatku. Bantal, guling, dan selimut sudah tidak ada di tempatnya lagi. “Fia, yang sabar, Nak!” Bude Yuli mendekat. Dia adalah kakak pertama Ibuku. “Ayo keluar, kita doakan orang tuamu bersama-sama.”“Fia, ikhlaskan mereka, Sayang.” Umi Hanifah memeluk dan mengelus rambutku. “Pakai jilbabmu, kita keluar bersama-sama. Orang tuamu sudah disucikan.”Bude Siti mengambil jilbab dari almari pakaianku. Kuikat asal rambut dengan karet gelang yang masih bertengger di tangan. Namun, talinya putus hingga membuatku semakin frustrasi. Ibu pernah mengajarkanku menggelung rambut, tetapi selalu gagal karena rambutku kurang panjang. Kini rambutku panjangnya sudah sepinggul, tetapi sudah tidak ada lagi Ibu yang akan membantu. Aku mengacak rambut dengan kasar. “Sini Umi bantu, Fia.” Aku berhenti menangis kala Umi memegang rambutku. Umi menyisir rambutku dengan jari kemudian menggelungnya. Aku memegang rambutku, bentukny
“Astaghfirullah, Fia. Maaf Nenek mengagetkanmu.” Wanita yang rambutnya sudah didominasi oleh rambut putih itu mendekat. Dia tampak khawatir melihat jari telunjukku berdarah.“Nggak apa-apa, Nek. Ini hanya luka kecil. Aku punya plester di kamar.”“Sudah malam, Fia. Kamu harus istirahat. Kalau kamu kecapekan, nanti malah jadi sakit.” Nenek menuntunku ke kamar dan meminta untuk segera mengobati luka di jariku.“Nenek temenin Fia tidur, ya! Fia masih keinget sama Ayah dan Ibu.”“Tidurlah, Nenek mau bicara sama Kakek dulu. Nanti Nenek temani tidur.”“Nenek boleh pergi, tetapi nunggu aku dah tidur, ya!” Aku bukannya takut tidur sendiri, tetapi setiap kali mengingat Ayah dan Ibu rasanya aku tidak sanggup menahan air mata. Bukannya tidur, yang ada aku bakal menangis terus. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Kehilangan orang tua secara tiba-tiba membuatku belum siap untuk melakukan semuanya sendirian. “Baiklah, Nenek akan menemanimu lebih dahulu.”“Makasih, Nek!” Kutarik selimut hingga me
“Lebih baik kamu menikah dan melanjutkan usaha orang tuamu. Hidup di desa itu keras, Nak. Apalagi kamu bakal tinggal sendirian di rumah. Nenek khawatir kamu menjadi gunjingan orang.”Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Nek. Aku akan tetap melanjutkan kuliah. Entah bagaimana caranya. Bukankah nenek sendiri yang bilang aku harus bisa menjadi kebanggaan orang tuaku?”Nenek terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ada hal yang disembunyikan dariku?“Aku bisa berjualan sambil kuliah, Nek. Aku masih bisa menjalankan usaha Ayah dan Ibu tanpa harus berhenti sekolah.”“Tapi, Fia! Ada hal yang tidak kamu ketahui selama kamu tinggal di pondok.”Hal yang tidak kuketahui? Tentu banyak sekali. Aku bahkan tidak mengetahui apa saja isi toko Ibu sekarang ini. Terakhir mereka mengatakan mengalami penurunan penghasilan saat wabah Covid-19 melanda. Lalu, sekarang harga minyak goreng dan telur ayam naiknya selangit. Selama ini aku tidak pernah memikirkannya. Aku memang egois, yang terpenti
“Bismillahirohmaanirrohiim.” Gus Azam mulai memimpin doa tanpa ragu. Beruntung sekali diriku. Akhirnya aku bisa selamat dari pertanyaan Umi. Semua orang menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Namun, mataku tak lepas dari Gus Anam. Sayangnya dia terhalang oleh Gus Azam. Baru kali ini aku mendengar suara Gus Azam. Dia membaca tahlil dengan fasih. Tanpa sadar aku memandangnya terus menerus. ‘Ya Allah, mengapa rasanya hatiku bergetar mendengar suaranya? Sepertinya aku lapar karena belum sarapan.’ Waktu bergerak seiring berputarnya jarum jam. Tanpa terasa Gus Azam telah selesai memimpin doa. “Fia, kami pamit dulu, ya!” Umi Hanifah berpamitan. “Mohon maaf apabila kehadiran kami merepotkan nenek dan kakeknya Shafia.” “Tidak, Umi. Kami malah merasa senang karena Umi dan keluarga bersama teman-teman Fia mau datang ke sini. Kami mengucapkan terima kasih banyak.” Nenek mengucapkan terima kasih kemudian bersalaman dengan Umi. Teman-temanku juga berpamitan untuk segera kembali ke pond
“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini. Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput. Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing. “Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek. “Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. A
“Menikahlah denganku!” ucap Pak Rozaq percaya diri. “Jangan mimpi! Anda bukan selera saya. Usia saya masih terlalu muda untuk menikah.” Lelaki itu bergeming. Apa kata dunia jika aku menikah dengan lelaki tua sepertinya? Mau dikemanakan Gus Anam?Cita-citaku masih tinggi. Aku tidak akan menikah muda, apalagi dengan tua bangka seperti itu. Masih banyak hal yang harus kuperjuangkan. Aku ingin menjadikan masa mudaku bermanfaat, tidak hanya untukku sendiri, tetapi juga untuk orang lain. “Aku akan menganggap lunas semua hutang ayahmu. Hidupmu akan terjamin. Aku akan membuatkan rumah untukmu jika mau menjadi istriku yang ketiga,” ucapnya sambil tersenyum meremehkan. Istri ketiga? Aku menggeleng. Bahkan menjadi istri pertamanya pun aku tak sudi. “Mujib pasti bangga memiliki anak yang berbakti sepertimu.” Dia berjalan mendekat dan hendak menyentuh daguku, tetapi aku lekas menghindar. Selama ini Ayah dan Ibu mendidik dan menjagaku dengan baik, bahkan sampai memasukkanku ke pesantren. Aku
“Saya minta sedikit waktu kelonggaran, insya Allah saya bisa melunasi semua hutang ayah.” Aku masih punya Allah. Hanya kepada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. “Fia!” Pakde dan bude menggeleng. “Satu minggu. Senin depan kamu harus datang ke rumah saya membawa uang atau memakai gaun pengantin yang sudah saya siapkan,” ujar Pak Rozaq.“Gila!” Pakde Irul menonjok muka Pak Rozaq. “Satu minggu lagi Fia masih di pondok. Beri kami waktu tiga bulan.”“Dua minggu.” Ucapan Pak Rozaq mendapat sebuah tonjokan lagi dari pakde. “Satu bulan!” ujar Pakde. Itu bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan kalimat perintah. “Satu lagi. Jangan pernah kembali ke sini! Kami yang akan datang ke rumahmu.”Lelaki tua itu mengangkat kedua tangannya. Menunjukkan bahwa dia sudah menyerah. Syukurlah Pakde Irul berhasil mengusir dan mengulur waktu kepada lelaki itu. Kami semua kembali masuk rumah. Bude, Pakde, Kakek, dan Nenek tidak jadi pulang sore ini. Hingga azan Magrib tiba, semuanya masih diam dalam