“Assalamu’alaikum Fia, kamu dipanggil sama Umi! Katanya ada sesuatu yang harus disampaikan.” Nadia, teman satu kamarku berlari dari rumah Abah. Napasnya tersengal-sengal seperti habis dikejar maling. Aku mengerutkan kening. “Yang benar saja?” ucapku setelah menjawab salam. Beberapa menit yang lalu, aku baru kembali dari rumah Abah Sya'roni. Kedua orang tuaku datang berkunjung karena sebentar lagi aku akan ujian. Mereka mendoakanku dan memberikan uang untuk melunasi administrasi serta Muwadaah. “Buruan, Fia! Ada mobil polisi di depan rumah Abah.” Nadia menarik tanganku supaya segera lepas dari kitab. “Sebentar, aku rapikan dulu kitabku.” Setiap kali belajar, kitabku selalu berserakan sehingga harus selalu dirapikan agar tidak tercecer dan rusak. Di pondok seperti ini banyak sekali barang-barang yang hilang jika tidak hati-hati menyimpannya. “Mobil polisi? Jangan-jangan ada penjahat, Nad?” “Bukan, aku enggak tahu apa-apa. Buruan, udah ditungguin sama Abah dan Umi.” Segera kuambi
“Tunggu, Shafia!”Nadia ingin mengejarku, tetapi Umi mencegahnya. "Biarkan dia, Nad. Shafia butuh waktu untuk sendiri."Hujan malam ini sangat deras seolah mengerti akan kesedihanku. Petir menyambar-nyambar seolah ikut marah. "Mengapa Engkau berikan takdir seperti ini untukku ya Allah? Apa salahku?"Aku berlari tanpa alas kaki, berhambur bersama dinginnya air hujan. Berteriak sekencang-kencangnya melepaskan semua sesak di dada.“Ayah ... Ibu! Jangan tinggalkan aku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.”Aku tertunduk lemas, kujatuhkan lutut di tanah berbatuan. Sakit, tetapi lebih sakit hatiku. Lututku terasa perih hingga membuatku meringis.Bebatuan dan rumput jepang mendominasi halaman rumah Abah. Tidak ada jalan paving di rumah ini, semuanya masih sangat tradisional. Bunga-bunga indah milik Umi turut menyaksikan betapa hancurnya perasaanku.Suara petir menggelegar seolah mengancamku supaya diam. Aku memegang kedua bahu, memeluk tubuhku sendiri. Masih kurasakan hangatnya se
“Masya Allah, anak Ibu sudah besar.” Ibu memelukku erat saat kami bertemu. Beliau sampai menangis, padahal Ibu dan Ayah selalu mengunjungiku setiap satu bulan sekali.“Alhamdulillah, Bu. Sebentar lagi Shafia lulus,” ucapku kemudian mencium punggung tangan Ayah dan Ibu bergantian.Aku tinggal di pondok pesantren Al Falah semenjak lulus SD karena orang tuaku ingin aku menjadi anak yang mandiri saat dewasa nanti. Sebagai anak tunggal, mereka selalu memanjakanku dari kecil. Semua keinginanku selalu terpenuhi, hingga akhirnya mereka memasukkanku ke pesantren.Aku merasa mereka sudah tidak sayang lagi padaku karena membuangku ke pesantren. Namun, setelah sampai di detik ini membuatku sadar betapa sayangnya mereka kepadaku. “Gimana ujian kitabnya? Lancar?” tanya Ayah. “Alhamdulillah lancar, Yah. Semua berkat doa dan dukungan dari Ayah dan Ibu.”Kami berbincang cukup lama malam ini seolah esok sudah tidak bertemu lagi. Ibu membawakanku banyak makanan. Sebagian untuk Abah dan sebagian bisa k
Aku meracau dan berteriak sekencang-kencangnya. Kulempar semua benda yang ada di dekatku. Bantal, guling, dan selimut sudah tidak ada di tempatnya lagi. “Fia, yang sabar, Nak!” Bude Yuli mendekat. Dia adalah kakak pertama Ibuku. “Ayo keluar, kita doakan orang tuamu bersama-sama.”“Fia, ikhlaskan mereka, Sayang.” Umi Hanifah memeluk dan mengelus rambutku. “Pakai jilbabmu, kita keluar bersama-sama. Orang tuamu sudah disucikan.”Bude Siti mengambil jilbab dari almari pakaianku. Kuikat asal rambut dengan karet gelang yang masih bertengger di tangan. Namun, talinya putus hingga membuatku semakin frustrasi. Ibu pernah mengajarkanku menggelung rambut, tetapi selalu gagal karena rambutku kurang panjang. Kini rambutku panjangnya sudah sepinggul, tetapi sudah tidak ada lagi Ibu yang akan membantu. Aku mengacak rambut dengan kasar. “Sini Umi bantu, Fia.” Aku berhenti menangis kala Umi memegang rambutku. Umi menyisir rambutku dengan jari kemudian menggelungnya. Aku memegang rambutku, bentukny
“Astaghfirullah, Fia. Maaf Nenek mengagetkanmu.” Wanita yang rambutnya sudah didominasi oleh rambut putih itu mendekat. Dia tampak khawatir melihat jari telunjukku berdarah.“Nggak apa-apa, Nek. Ini hanya luka kecil. Aku punya plester di kamar.”“Sudah malam, Fia. Kamu harus istirahat. Kalau kamu kecapekan, nanti malah jadi sakit.” Nenek menuntunku ke kamar dan meminta untuk segera mengobati luka di jariku.“Nenek temenin Fia tidur, ya! Fia masih keinget sama Ayah dan Ibu.”“Tidurlah, Nenek mau bicara sama Kakek dulu. Nanti Nenek temani tidur.”“Nenek boleh pergi, tetapi nunggu aku dah tidur, ya!” Aku bukannya takut tidur sendiri, tetapi setiap kali mengingat Ayah dan Ibu rasanya aku tidak sanggup menahan air mata. Bukannya tidur, yang ada aku bakal menangis terus. Aku butuh seseorang untuk menemaniku. Kehilangan orang tua secara tiba-tiba membuatku belum siap untuk melakukan semuanya sendirian. “Baiklah, Nenek akan menemanimu lebih dahulu.”“Makasih, Nek!” Kutarik selimut hingga me
“Lebih baik kamu menikah dan melanjutkan usaha orang tuamu. Hidup di desa itu keras, Nak. Apalagi kamu bakal tinggal sendirian di rumah. Nenek khawatir kamu menjadi gunjingan orang.”Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Nek. Aku akan tetap melanjutkan kuliah. Entah bagaimana caranya. Bukankah nenek sendiri yang bilang aku harus bisa menjadi kebanggaan orang tuaku?”Nenek terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ada hal yang disembunyikan dariku?“Aku bisa berjualan sambil kuliah, Nek. Aku masih bisa menjalankan usaha Ayah dan Ibu tanpa harus berhenti sekolah.”“Tapi, Fia! Ada hal yang tidak kamu ketahui selama kamu tinggal di pondok.”Hal yang tidak kuketahui? Tentu banyak sekali. Aku bahkan tidak mengetahui apa saja isi toko Ibu sekarang ini. Terakhir mereka mengatakan mengalami penurunan penghasilan saat wabah Covid-19 melanda. Lalu, sekarang harga minyak goreng dan telur ayam naiknya selangit. Selama ini aku tidak pernah memikirkannya. Aku memang egois, yang terpenti
“Bismillahirohmaanirrohiim.” Gus Azam mulai memimpin doa tanpa ragu. Beruntung sekali diriku. Akhirnya aku bisa selamat dari pertanyaan Umi. Semua orang menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Namun, mataku tak lepas dari Gus Anam. Sayangnya dia terhalang oleh Gus Azam. Baru kali ini aku mendengar suara Gus Azam. Dia membaca tahlil dengan fasih. Tanpa sadar aku memandangnya terus menerus. ‘Ya Allah, mengapa rasanya hatiku bergetar mendengar suaranya? Sepertinya aku lapar karena belum sarapan.’ Waktu bergerak seiring berputarnya jarum jam. Tanpa terasa Gus Azam telah selesai memimpin doa. “Fia, kami pamit dulu, ya!” Umi Hanifah berpamitan. “Mohon maaf apabila kehadiran kami merepotkan nenek dan kakeknya Shafia.” “Tidak, Umi. Kami malah merasa senang karena Umi dan keluarga bersama teman-teman Fia mau datang ke sini. Kami mengucapkan terima kasih banyak.” Nenek mengucapkan terima kasih kemudian bersalaman dengan Umi. Teman-temanku juga berpamitan untuk segera kembali ke pond
“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini. Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput. Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing. “Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek. “Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. A