“Alhamdulillah.” Semua orang mengucap kalimat hamdalah. “Dia pasti malu mengatakannya, lihatlah wajahnya bersemu merah,” ucap Umi. Oh tidak! Apa yang baru saja kulakukan? Aku telah menerima lamaran Gus Azam? Meski dia sedingin kulkas, tidak sedikit santriwati yang mengidolakannya. Aku bakal menjadi sasaran empuk penggemarnya jika menikah dengan Gus Azam. “Jika diamnya seorang gadis adalah persetujuan, apalagi sebuah anggukan? Jelas jika Fia mau menerima lamaran ini,” jelas Abah Sya’roni.Keluarga Umi terlihat senang. Abah menepuk-nepuk bahu anaknya. “Azam, akhirnya Umi bakalan punya anak perempuan.” Ya Allah, benarkah keputusan yang kuambil ini? Aku sudah terlanjur mengiyakan. Gus Azam tampak tersenyum. Senyum pertama yang dia berikan kepadaku. Senyum yang tidak pernah dia perlihatkan di depan sembarang wanita. Senyum yang selama ini disembunyikan seakan membuat duniaku runtuh. Meleleh hati ini, Gus. “Kamu jadi pulang hari ini, Fia?” tanya Umi. “Iya, Umi. Kami harus pulang. Oran
“Mengapa berhenti di sini, Gus?” tanya Kakek. “Mau beli sesuatu, Kek,” jawab Gus Azam santun.Mobil Gus Azam berhenti di sebuah toko buah dan sayur. Tidak lama kemudian dia membawa dua kantong sayuran dan diletakkan di bagasi mobil. Mungkin Umi yang memintanya membelikan sayur. Perjalanan kembali hening hingga sampai di rumahku. Di sana sudah terparkir mobil Pak Rozaq dan sebuah motor king. Untuk apa dia ke sini? Bukankah dia sudah bilang tidak akan menemuiku lagi sampai hari itu tiba?“Kenapa dia ke sini lagi?” tanya kakek emosi. Aku menggeleng. “Fia takut, Kek.”Gus Azam tidak lekas membuka pintu mobil. Entah apa yang dia tunggu. Aku melihat ke arah kaca depan, ternyata dia juga sedang melihat ke kaca. Aku segera melihat ke jendela samping. Menatap matanya membuat detak jantungku bekerja lebih cepat. Karena tidak lekas keluar, akhirnya Pak Rozaq yang mendatangi kami. Gus Azam terlihat tenang, dia menyunggingkan sebuah senyuman. “Keluar!” teriak Pak Rozaq sambil mengetuk kaca mo
Aku meninggalkan Pak Rozaq yang mengaduh kesakitan. Aku melirik ke Gus Azam dan ingin menolongnya, tetapi dia menggeleng. Dari tatapan matanya, dia menyuruhku segera masuk ke rumah. Karena teriakan Pak Rozaq, salah satu pengawalnya mendekat dan hendak membantu. Saat itulah Gus Azam memiliki kekuatan untuk bangkit kembali. Dia mulai menghajar seorang pengawal yang telah dilumpuhkan. Aku meminjam ponsel kakek untuk menghubungi Pak RT. Ibu pernah menuliskan nomornya di kalender. Aku segera mencarinya kemudian lekas menelepon. “Assalamu’alaikum, Pak. Saya Fia putri almarhum Bapak Mujib. Di rumah saya sedang terjadi keributan. Mohon bantuannya, Pak.”“Keributan apa, Nak?”“Ada preman yang sedang menghajar calon suami saya. Tolong ke sini secepanya, Pak.”“Tunggu sebentar, Nak. Saya akan segera ke sana!”Aku menutup telepon dan kembali melihat Gus Azam dari balik jendela kaca. “Pergi dari sini dan jangan pernah kembali!” ucap Gus Azam kepada seorang preman yang sudah tidak berdaya. “B
Sejak kejadian beberapa waktu yang lalu, Pak Rozaq tidak pernah datang ke rumahku. Namun, aku mempunyai feeling yang tidak enak. Besok adalah waktu di mana aku harus membayar semua hutang ayah. Aku sudah mengambil uang santunan jasa raharja, toko Ibu di pasar sudah kusewakan beserta isinya dan hanya mendapatkan uang dua puluh juta untuk satu tahun. Hari ini hatiku sangat risau. Gus Azam belum memberikanku kabar meskipun dia mengatakan uangnya sudah siap besok. Aku juga belum tahu kapan dia akan datang bersama orang tuanya. Serasa digantung di pohon ciplukan. Aku menjemur pakaian setelah lima hari tidak ada panas. Hujan di bulan Januari membuatku harus bekerja keras. Sekarang tidak hanya bajuku yang kucuci, tetapi baju kakek dan nenek juga. Aku mengusap peluh di kening setelah semua baju tergantung rapi di jemuran. Kulangkahkan kaki pelan memasuki rumah membawa keranjang baju yang sudah kosong. Kuletakkan ia di sebelah mesin cuci kemudian pergi ke kamar.Kulepaskan jilbab kemudian m
Dari luar terdengar suara deru mobil yang tidak asing bagiku. Kupikir bude yang datang karena aku sudah menghubunginya, tetapi ternyata yang datang adalah Pak Rozaq. Kulempar asal kain pel yang sedang kubawa. Aku segera menutup semua pintu supaya dia tidak bisa masuk. Aku berlari menyusul nenek yang sedang memasak di dapur. “Nek, ada Pak Rozaq di luar. Fia takut!” “Apa?” Nenek menjatuhkan pancinya tepat si kakiku. “Aw! Sakit, Nek! Bagaimana ini? Kakek belum pulang, tidak ada laki-laki yang bisa membantu kita di sini.” Kami memikirkan bagaimana caranya supaya laki-laki tua bangka itu pergi. Kakek belum pulang. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. “Shafia, buka pintunya!” Terdengar suara teriakan Pak Rozaq dari luar. Dia mencoba masuk rumahku. “Keluar atau kudobrak pintunya!” teriaknya lebih keras lagi. Aku dan nenek saling berpelukan. Kami bersembunyi di kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Aku harus menghubungi Pak RT secepatnya. Kuambil ponsel yang tergeletak di kasur, hanya nom
Dia mengambil kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana. Aku hendak masuk kembali ke kolong tempat tidur, tetapi dia segera menendang kakiku hingga membuatku terjatuh. “Aww!” Aku memekik kesakitan. Sakit sekali kakiku hingga membuatku susah berdiri. “Perlu bantuan, Sayang?” tanyanya menyeringai dan lekas kujawab dengan gelengan. Dia semakin mendekat kemudian melepas ikat pinggangnya. Aku takut jika dia melakukan sesuatu padaku. Aku beringsut mundur hingga sampai di tepi ranjang. Kulihat jendela kayu di ujung ranjang. Aku harus melompat dari sana. Perlahan aku naik ke ranjang. Sebisa mungkin aku berupaya tenang agar dia tidak curiga. Senyumnya menyeringai seperti kucing yang siap menerkam tikus. “Kamu mau ngajak main di ranjang, ya? Kebetulan sudah satu minggu aku libur.” Dia mulai mendekatiku. Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berdiri dan membuka jendela kemudian berteriak meminta tolong. Aku berharap ada tetangga atau orang lewat yang mendengar suaraku. “Bocah sialan!
Aku bernapas lega saat melihat Gus Azam berhasil melumpuhkan Pak Rozaq. Namun, di saat itu juga kurasakan kepalaku berdenyut nyeri dan ada sesuatu yang mengalir di pipi. Aku memegang kepalaku yang terasa sakit, ternyata darahnya keluar dari sana. “Shafia!” Umi Hanifah dan nenek langsung menghampiriku. Umi mencari jilbab untuk menutup kepalaku. Rambutku terurai panjang sepinggang dan berantakan. Darah di kepalaku terus mengalir. Umi mengambil jilbab yang lain untuk membersihkan darah yang ada di pipiku. “Kepalaku sakit, Umi.” Aku merasakan kepalaku semakin nyeri. Cairan kental berwarna merah ini tidak henti-hentinya mengalir, tetapi malah semakin banyak.“Kita bawa Shafia ke rumah sakit, Zam!” ajak Umi Hanifah. Umi meminta Gus Azam menggendongku, tetapi aku menolak. Aku masih bisa berjalan meskipun berat. “Saya masih bisa berjalan, Umi.” Hanya umi, nenek dan Gus Azam yang mengantarkanku ke rumah sakit. Aku rasanya sudah tidak kuat lagi. “Sabar, Fia! Sebentar lagi sampai,” ucap
“Fia, kamu harus makan dan segera minum obat agar rasa sakitmu berkurang.” Umi merebut sepiring nasi yang dibawa nenek. “Nenek salat dulu, ya! Biar saya yang menjaga calon mantu saya.”Aku menolak umi menyuapiku. Sebenarnya aku masih bisa makan sendiri, tetapi umi memaksa. Menjelang Maghrib, kakek datang bersama Abah Sya’roni dan Gus Azam, calon suamiku. Kakek mengatakan jika Pak RT tidak bisa hadir. Namun, pernikahan ini akan tetap berjalan sesuai rencana. Ketika azan Maghrib berkumandang, semua orang pergi ke musala untuk melaksanakan salat kecuali kakek dan nenek. Mereka sepertinya ingin mengatakan sesuatu. “Kamu tenang saja, Fia. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Semuanya sudah selesai. Pak Rozaq tidak akan datang lagi mengganggumu. Hutang ayahmu sudah dibayar oleh calon suamimu,” ucap kakek. “Gus Azam? Bukankah dia di sini dari tadi?”“Gus Azam pulang setelah kamu ditangani di UGD. Dia lelaki yang baik dan bertanggung jawab, Fia. Nenek berharap kamu bisa menerimanya menjadi su