“Saya minta sedikit waktu kelonggaran, insya Allah saya bisa melunasi semua hutang ayah.” Aku masih punya Allah. Hanya kepada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. “Fia!” Pakde dan bude menggeleng. “Satu minggu. Senin depan kamu harus datang ke rumah saya membawa uang atau memakai gaun pengantin yang sudah saya siapkan,” ujar Pak Rozaq.“Gila!” Pakde Irul menonjok muka Pak Rozaq. “Satu minggu lagi Fia masih di pondok. Beri kami waktu tiga bulan.”“Dua minggu.” Ucapan Pak Rozaq mendapat sebuah tonjokan lagi dari pakde. “Satu bulan!” ujar Pakde. Itu bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan kalimat perintah. “Satu lagi. Jangan pernah kembali ke sini! Kami yang akan datang ke rumahmu.”Lelaki tua itu mengangkat kedua tangannya. Menunjukkan bahwa dia sudah menyerah. Syukurlah Pakde Irul berhasil mengusir dan mengulur waktu kepada lelaki itu. Kami semua kembali masuk rumah. Bude, Pakde, Kakek, dan Nenek tidak jadi pulang sore ini. Hingga azan Magrib tiba, semuanya masih diam dalam
Pagi ini kami sudah bersiap-siap menuju ke pondok pesantren. Pukul enam pagi Pakde Irul sudah memanaskan mobil. Aku sendiri sudah memakai tas ransel dan siap berangkat. “Cepetan, Fia! Kami semua sudah siap,” teriak Bude Yuli dari luar. “Iya, Bude. Tunggu sebentar,” teriakku sambil memakai sepatu. Setelah itu, aku harus memastikan jika semuanya sudah aman. Aku mengunci semua kamar dan menyembunyikan kunci di tempat yang aman. Sedangkan kunci rumah kubagi dua dengan Bude. Aku membawa satu kunci, dan satunya lagi dibawa Bude Yuli. Setelah keluar rumah, aku tidak lekas masuk mobil. Kupandangi rumah dengan satu lantai itu. Warna catnya sedikit memudar dan banyak sekali rumput yang mulai memanjang. Satu minggu tanpa Ibu, rumahku terlihat lusuh dan tidak terawat. “Fia! Ayo naik,” ajak Nenek. Aku mengangguk kemudian menatap ke arah langit. Air mataku sudah di pelupuk mata. Aku harus kuat dan tidak boleh menangis. Aku yakin semua ini sudah digariskan takdirnya oleh Allah. Perjalanan ke
Sebuah mobil melaju kencang dan lampunya menyilaukan mata. Ingin aku berlari menghindar, tetapi kakiku seolah tidak bisa digerakkan. Aku menutup mata dengan kedua telapak tangan dan berteriak sekencang-kencangnya, tetapi hingga beberapa saat tidak terjadi apa pun kepadaku. Aku membuka mata dan merasa beruntung karena mobil berhenti tepat setengah meter dariku. Aku bernapas lega, tetapi mendadak lututku lemas. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu mobil dibuka dan langkah kaki seseorang mulai mendekat. “Kamu ngapain di sini?” Suara seorang laki-laki mengagetkanku. Suara ini tidak asing bagiku. Aku mendongak lalu menatapnya. “Gus Azam?”“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya. Dia terlihat khawatir.Aku menggelengkan kepala. Dari mana dia sepagi ini? Penampilannya tidak seperti biasanya. Lelaki ini sering memakai koko dan sarung. Namun, kali ini dia memakai kemeja dan celana. Aku belum pernah melihatnya berpakaian seperti ini. Kalau pun kuliah, dia juga tidak mungkin memakai pakai
"Aku ada uang santunan dari jasa raharja seratus juta. Masih kurang lima puluh juta lagi. Aku bingung bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan. Kalian tidak akan percaya jika aku ke sini naik bus. Kami awalnya naik mobil bersama, tetapi keadaan memaksaku untuk turun karena lelaki tua bangka itu mengejar kami.” Aku menceritakan semua hal yang kualami kepada dua sahabatku, Nadia dan Anin. “Jika uangmu digunakan untuk membayar hutang Ayah, bagaimana kuliahmu nanti, Fia?” tanya Anindya. Aku menggeleng pelan. “Sepertinya aku akan mengubur dalam cita-citaku. Mungkin memang beginilah takdirku. Bukankah manusia itu hanya merencanakan dan Allah lah yang menentukan?” Sebelumnya kami pernah saling berjanji akan kuliah di tempat yang sama meskipun berbeda jurusan. Nadia ingin masuk jurusan sastra, aku di jurusan pendidikan guru, dan Anindya ingin kuliah kedokteran. Anindya sebenarnya santri baru, tetapi dia dengan mudah bisa bergaul dengan siapa pun. Dia mondok di
Kami bertemu di sebuah ruangan yang masih satu rumah dengan rumah Abah. Di sinilah biasanya santri bisa bertemu dengan orang tua karena bisa meminta izin langsung kepada pengurus pondok. Di sebelah kanan rumah Abah adalah gedung kantor dan madrasah, sedangkan pondok berada di samping kiri rumah Abah. “Wa’alaikum salam.” Mereka bertiga menjawab salamku saat aku memasuki ruangan ini. Kulihat Nenek dan Kakek duduk berdua di sebuah kursi, berseberangan dengan lelaki tua bangka itu. Di tengahnya ada sebuah meja kecil yang terdapat beberapa bingkisan yang entah apa isinya. Untuk apa dia ke sini?Aku berjalan menuju tempat di mana Kakek dan nenekku duduk kemudian mencium tangan keduanya. Lelaki itu juga mengulurkan tangannya, tetapi kuabaikan. “Maaf, bukan mahram.”“Tenang aja, bentar lagi kita halal, Shafia.” Lelaki itu mengerlingkan matanya hingga membuatku bergidik ngeri. Rasanya aku ingin muntah melihat tingkahnya.“Tidak akan pernah. Aku akan melunasi semua hutang ayahku. Sekali pun
“Siapa kamu? Nguping, ya?” tanya Pak Rozaq. Gus Azam menegakkan kepalanya. “Maaf, saya mau ambil bolpoin saya yang jatuh.” Dia menunjuk ke arah lantai.Kami semua melihat ke bawah dan memang ada sebuah bolpoin di sana. Gus Azam berjongkok kemudian mengambil benda kecil berwarna hitam itu. “Maaf, Gus. Kami membuat keributan di sini. Saya akan segera kembali ke kelas.” Aku harus segera pergi sebelum lelaki tua bangka itu mengatakan hal yang tidak-tidak. Bisa malu jika Gus Azam mendengar aku akan menikah dengan lelaki tua bangka. Ish, amit-amit jabang bayi. “Tunggu, Shafia. Kita belum selesai ngomong.” Masih terdengar samar suaranya ketika aku berlari meninggalkan Pak Rozaq. Tidak kuhiraukan makanan yang dia bawakan. Aku akan meminta bantuan Anin dan Nadia untuk mengambilnya nanti setelah Pak Rozaq pergi. Mereka pasti tidak akan menolak jika berhubungan dengan makanan. Huft! Aku bernapas lega ketika sampai di madrasah. Tamu tidak diperkenankan ke masuk di area ini. Untuk sementar
Malam ini aku tidak bisa tidur, bayangan Gus Azam ketika sedang menungguku di aula tadi siang masih menari-nari di atas kepala. Aku bahkan tidak pernah memikirkan Gus Anam sampai sejauh ini. Gus Azam jarang pulang, entah ke mana kesehariannya tidak ada yang tahu. Aku mencoba memejamkan mata kembali, tetapi aku seolah melihat Gus Azam tersenyum kepadaku. Apakah aku terkena guna-guna? Aku mulai ragu tentang perasaanku. Aku sukanya sama adiknya, tetapi kenapa yang ada di pikiran malah kakaknya?Aku menggelengkan kepala dan melihat ke samping, ada Nadia yang sudah tertidur. Tadi siang kami memakan makanan yang dibawakan Pak Rozaq, bersyukur bukan dia yang menghantui pikiranku. Ternyata makanan yang dia bawa tidak ada guna-gunanya. Lalu apa yang terjadi sekarang? Mungkin aku harus banyak beristighfar. Hari berganti demi hari. Kini tiba saatnya acara muwadaah. Waktu dua minggu di pesantren tidak menghasilkan apa-apa. Aku masih belum punya cukup uang untuk melunasi hutang Ayah. Aku membuk
Anin dan Nadia memimpin di depan, sedangkan aku di tengah dan di belakangku masih ada dua orang lagi. Ketika kami melewati dhuyuf, ada beberapa wali murid yang sedang mengobrol dengan anak-anak mereka. Ruangan itu tampak sesak sehingga mereka ada yang mengobrol di aula, bahkan di masjid. “Fia, kamu jangan lirik kana kiri, lurus aja ke depan! Nanti ketahuan kalau kamu sedang mencari seseorang.”“Maaf, aku terlalu gugup.” Benar juga kata Nadia. Aku tidak boleh terlihat mencurigakan. Namun, ketika sampai di dekat pondok putri, kulihat lelaki itu berdiri di luar masjid. Dia datang bersama Nenek dan Kakek. Bagaimana aku bisa mengabaikannya jika kedua orang yang kusayangi bersamanya?“Nad, dia datang bersama Kakek dan Nenek. Bagaimana ini?”“Kita masuk saja! Nenekmu bisa masuk ke pondok putri. Dia tidak akan bisa menemuimu.”“Yang mana, sih, orangnya?” tanya Fia.“Arah jam 2, di dekat pohon palem.”Anin dan Nadia tertawa hingga tubuhnya terguncang. “Astaga Fia, maaf aku tertawa,” ujar N