“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan.
Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini.Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput.Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing.“Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek.“Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku harus segera kembali ke pondok supaya bisa ikut meramaikan. Dua tahun terakhir, aku selalu ditunjuk menjadi pembawa acara. Namun, tahun ini adalah acara perpisahanku. Aku tidak mungkin menjadi MC lagi.“Kapan kamu balik ke pondok? Bilang saja sama Bude biar nanti kami yang mengantarkan,” tanya Pakde Irul.“Lusa, Pakde. Fia mau beresin rumah dulu.”Setidaknya aku kembali ke pondok jika rumahku sudah rapi. Tadi pagi Bude Yuli sudah mengecek barang di toko. Semuanya masih bagus dan belum kadaluwarsa.Aku akan meminta Bude Yuli supaya membuka dan mengurus toko Ibu untuk sementara waktu agar tidak ada pelanggan yang kecewa. Toko Ibu sudah memiliki banyak pelanggan. Untung sedikit tidak apa-apa asalkan lancar dan bisa balik modal.“Ini ATM dan tabungannya. Pinnya tanggal lahir kamu. Simpan dan gunakan sebaik mungkin. Uang itu bisa kamu gunakan untuk kuliah,” ucap Pakde Irul sambil menyerahkan sebuah kartu dan buku rekening berwarna biru.Kemarin pakde membantuku mengurus santunan jasa raharja. Aku memiliki tabungan yang cukup banyak untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan kuliah. Lulus dari pesantren nanti, aku juga bisa melanjutkan berjualan di toko Ibu.“Insya Allah, Pakde. Fia akan menggunakan uang ini sebaik mungkin.”Pukul empat sore, mereka bersiap pulang ke rumah. Aku mengantar mereka hingga di teras rumah. Namun, belum sempat naik ke mobil, mereka dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil sport hitam keluaran terbaru.Seorang lelaki paruh baya turun dari mobil tersebut. Sebuah kacamata hitam bertengger di hidung peseknya. Gayanya seperti OKB, orang kaya baru. Apakah ayah memiliki teman seperti itu? Sepertinya tidak.“Assalamu’alaikum, Pak Mujib ada?” tanya lelaki tersebut dengan senyum ramah.Dia berjalan mendekat membawa sebuah map yang entah apa isinya aku tidak tahu. Apakah dia tidak mendengar kabar jika ayahku sudah meninggal satu minggu yang lalu.“Ada urusan apa dengan anak saya?” tanya Kakek.“Jadi begini, Pak. Perkenalkan nama saya Rozaq, pemilik perkebunan kopi terluas seantero kota ini. Mujib pernah meminjam uang kepada saya untuk pengobatan istrinya. Dan bulan ini dia berjanji akan melunasinya. Sebagai jaminannya, dia bahkan memberikan sertifikat rumah ini kepada saya.”Mendadak tubuh Kakek melemas. Dia memegang dada kirinya sambil mengucapkan istighfar.“Berapa hutangnya Mujib?” tanya Pakde Irul.“Lumayan, sih. Cuma 150 juta,” ucapnya sambil memperlihatkan bukti surat perjanjian hutang bermeterai.“Jangan asal ngomong, Pak. Ayah saya tidak mungkin melakukan itu. Dan Ibu saya baik-baik saja. Ibu tidak pernah sakit.”Toko sembako Ibu sangat ramai bahkan ayah bisa membeli mobil second dua bulan yang lalu. Tidak mungkin jika ayah sampai mengambil hutang.“Fia, yang dia katakan memang benar. Ibu kamu sakit.” Nenek merangkulku dari belakang.“Ibu tidak sakit, Nek. Ibu sehat, dia wanita yang kuat.”“Ibu kamu sakit, Shafia. Tini memiliki kanker payudara. Berbagai pengobatan selalu dia jalani supaya bisa bertahan hidup. Ini semua dilakukan demi kamu.”“Nenek pasti bohong. Mengapa semua orang membohongiku? Apa salahku, Nek? Apa aku ini bukan anak kandung Ayah dan Ibu?”“Istighfar, Fia! Adikku adalah orang yang melahirkanmu. Aku sendiri yang menyaksikan. Perihal dia tidak bisa memberikanmu adik karena rahimnya sudah diangkat. Lima tahun setelah kelahiranmu, dia keguguran. Di saat itu pula dia harus merelakan rahimnya diangkat.” Bude Yuli angkat bicara.Jadi, inikah hal yang selama ini disembunyikan Nenek? Begitu banyak rahasia yang sama sekali tidak aku ketahui.“Jadi, Shafia ini anaknya Mujib?” tanya orang yang bernama Rozaq itu. “Aku akan membebaskanmu dari hutang ayahmu dengan satu syarat.”Semua orang menatap ke arahnya. Aku sendiri bingung bagaimana cara melunasi hutang Ayah yang tidak sedikit itu. Aku tidak mau jika rumahku disita, apalagi dijual oleh lelaki tua itu.“Apa syaratnya?” Aku memberanikan diri menatap lelaki bau tanah itu.“Menikahlah denganku!”“Menikahlah denganku!” ucap Pak Rozaq percaya diri. “Jangan mimpi! Anda bukan selera saya. Usia saya masih terlalu muda untuk menikah.” Lelaki itu bergeming. Apa kata dunia jika aku menikah dengan lelaki tua sepertinya? Mau dikemanakan Gus Anam?Cita-citaku masih tinggi. Aku tidak akan menikah muda, apalagi dengan tua bangka seperti itu. Masih banyak hal yang harus kuperjuangkan. Aku ingin menjadikan masa mudaku bermanfaat, tidak hanya untukku sendiri, tetapi juga untuk orang lain. “Aku akan menganggap lunas semua hutang ayahmu. Hidupmu akan terjamin. Aku akan membuatkan rumah untukmu jika mau menjadi istriku yang ketiga,” ucapnya sambil tersenyum meremehkan. Istri ketiga? Aku menggeleng. Bahkan menjadi istri pertamanya pun aku tak sudi. “Mujib pasti bangga memiliki anak yang berbakti sepertimu.” Dia berjalan mendekat dan hendak menyentuh daguku, tetapi aku lekas menghindar. Selama ini Ayah dan Ibu mendidik dan menjagaku dengan baik, bahkan sampai memasukkanku ke pesantren. Aku
“Saya minta sedikit waktu kelonggaran, insya Allah saya bisa melunasi semua hutang ayah.” Aku masih punya Allah. Hanya kepada-Nya aku mengadu dan meminta pertolongan. “Fia!” Pakde dan bude menggeleng. “Satu minggu. Senin depan kamu harus datang ke rumah saya membawa uang atau memakai gaun pengantin yang sudah saya siapkan,” ujar Pak Rozaq.“Gila!” Pakde Irul menonjok muka Pak Rozaq. “Satu minggu lagi Fia masih di pondok. Beri kami waktu tiga bulan.”“Dua minggu.” Ucapan Pak Rozaq mendapat sebuah tonjokan lagi dari pakde. “Satu bulan!” ujar Pakde. Itu bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan kalimat perintah. “Satu lagi. Jangan pernah kembali ke sini! Kami yang akan datang ke rumahmu.”Lelaki tua itu mengangkat kedua tangannya. Menunjukkan bahwa dia sudah menyerah. Syukurlah Pakde Irul berhasil mengusir dan mengulur waktu kepada lelaki itu. Kami semua kembali masuk rumah. Bude, Pakde, Kakek, dan Nenek tidak jadi pulang sore ini. Hingga azan Magrib tiba, semuanya masih diam dalam
Pagi ini kami sudah bersiap-siap menuju ke pondok pesantren. Pukul enam pagi Pakde Irul sudah memanaskan mobil. Aku sendiri sudah memakai tas ransel dan siap berangkat. “Cepetan, Fia! Kami semua sudah siap,” teriak Bude Yuli dari luar. “Iya, Bude. Tunggu sebentar,” teriakku sambil memakai sepatu. Setelah itu, aku harus memastikan jika semuanya sudah aman. Aku mengunci semua kamar dan menyembunyikan kunci di tempat yang aman. Sedangkan kunci rumah kubagi dua dengan Bude. Aku membawa satu kunci, dan satunya lagi dibawa Bude Yuli. Setelah keluar rumah, aku tidak lekas masuk mobil. Kupandangi rumah dengan satu lantai itu. Warna catnya sedikit memudar dan banyak sekali rumput yang mulai memanjang. Satu minggu tanpa Ibu, rumahku terlihat lusuh dan tidak terawat. “Fia! Ayo naik,” ajak Nenek. Aku mengangguk kemudian menatap ke arah langit. Air mataku sudah di pelupuk mata. Aku harus kuat dan tidak boleh menangis. Aku yakin semua ini sudah digariskan takdirnya oleh Allah. Perjalanan ke
Sebuah mobil melaju kencang dan lampunya menyilaukan mata. Ingin aku berlari menghindar, tetapi kakiku seolah tidak bisa digerakkan. Aku menutup mata dengan kedua telapak tangan dan berteriak sekencang-kencangnya, tetapi hingga beberapa saat tidak terjadi apa pun kepadaku. Aku membuka mata dan merasa beruntung karena mobil berhenti tepat setengah meter dariku. Aku bernapas lega, tetapi mendadak lututku lemas. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu mobil dibuka dan langkah kaki seseorang mulai mendekat. “Kamu ngapain di sini?” Suara seorang laki-laki mengagetkanku. Suara ini tidak asing bagiku. Aku mendongak lalu menatapnya. “Gus Azam?”“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya. Dia terlihat khawatir.Aku menggelengkan kepala. Dari mana dia sepagi ini? Penampilannya tidak seperti biasanya. Lelaki ini sering memakai koko dan sarung. Namun, kali ini dia memakai kemeja dan celana. Aku belum pernah melihatnya berpakaian seperti ini. Kalau pun kuliah, dia juga tidak mungkin memakai pakai
"Aku ada uang santunan dari jasa raharja seratus juta. Masih kurang lima puluh juta lagi. Aku bingung bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan. Kalian tidak akan percaya jika aku ke sini naik bus. Kami awalnya naik mobil bersama, tetapi keadaan memaksaku untuk turun karena lelaki tua bangka itu mengejar kami.” Aku menceritakan semua hal yang kualami kepada dua sahabatku, Nadia dan Anin. “Jika uangmu digunakan untuk membayar hutang Ayah, bagaimana kuliahmu nanti, Fia?” tanya Anindya. Aku menggeleng pelan. “Sepertinya aku akan mengubur dalam cita-citaku. Mungkin memang beginilah takdirku. Bukankah manusia itu hanya merencanakan dan Allah lah yang menentukan?” Sebelumnya kami pernah saling berjanji akan kuliah di tempat yang sama meskipun berbeda jurusan. Nadia ingin masuk jurusan sastra, aku di jurusan pendidikan guru, dan Anindya ingin kuliah kedokteran. Anindya sebenarnya santri baru, tetapi dia dengan mudah bisa bergaul dengan siapa pun. Dia mondok di
Kami bertemu di sebuah ruangan yang masih satu rumah dengan rumah Abah. Di sinilah biasanya santri bisa bertemu dengan orang tua karena bisa meminta izin langsung kepada pengurus pondok. Di sebelah kanan rumah Abah adalah gedung kantor dan madrasah, sedangkan pondok berada di samping kiri rumah Abah. “Wa’alaikum salam.” Mereka bertiga menjawab salamku saat aku memasuki ruangan ini. Kulihat Nenek dan Kakek duduk berdua di sebuah kursi, berseberangan dengan lelaki tua bangka itu. Di tengahnya ada sebuah meja kecil yang terdapat beberapa bingkisan yang entah apa isinya. Untuk apa dia ke sini?Aku berjalan menuju tempat di mana Kakek dan nenekku duduk kemudian mencium tangan keduanya. Lelaki itu juga mengulurkan tangannya, tetapi kuabaikan. “Maaf, bukan mahram.”“Tenang aja, bentar lagi kita halal, Shafia.” Lelaki itu mengerlingkan matanya hingga membuatku bergidik ngeri. Rasanya aku ingin muntah melihat tingkahnya.“Tidak akan pernah. Aku akan melunasi semua hutang ayahku. Sekali pun
“Siapa kamu? Nguping, ya?” tanya Pak Rozaq. Gus Azam menegakkan kepalanya. “Maaf, saya mau ambil bolpoin saya yang jatuh.” Dia menunjuk ke arah lantai.Kami semua melihat ke bawah dan memang ada sebuah bolpoin di sana. Gus Azam berjongkok kemudian mengambil benda kecil berwarna hitam itu. “Maaf, Gus. Kami membuat keributan di sini. Saya akan segera kembali ke kelas.” Aku harus segera pergi sebelum lelaki tua bangka itu mengatakan hal yang tidak-tidak. Bisa malu jika Gus Azam mendengar aku akan menikah dengan lelaki tua bangka. Ish, amit-amit jabang bayi. “Tunggu, Shafia. Kita belum selesai ngomong.” Masih terdengar samar suaranya ketika aku berlari meninggalkan Pak Rozaq. Tidak kuhiraukan makanan yang dia bawakan. Aku akan meminta bantuan Anin dan Nadia untuk mengambilnya nanti setelah Pak Rozaq pergi. Mereka pasti tidak akan menolak jika berhubungan dengan makanan. Huft! Aku bernapas lega ketika sampai di madrasah. Tamu tidak diperkenankan ke masuk di area ini. Untuk sementar
Malam ini aku tidak bisa tidur, bayangan Gus Azam ketika sedang menungguku di aula tadi siang masih menari-nari di atas kepala. Aku bahkan tidak pernah memikirkan Gus Anam sampai sejauh ini. Gus Azam jarang pulang, entah ke mana kesehariannya tidak ada yang tahu. Aku mencoba memejamkan mata kembali, tetapi aku seolah melihat Gus Azam tersenyum kepadaku. Apakah aku terkena guna-guna? Aku mulai ragu tentang perasaanku. Aku sukanya sama adiknya, tetapi kenapa yang ada di pikiran malah kakaknya?Aku menggelengkan kepala dan melihat ke samping, ada Nadia yang sudah tertidur. Tadi siang kami memakan makanan yang dibawakan Pak Rozaq, bersyukur bukan dia yang menghantui pikiranku. Ternyata makanan yang dia bawa tidak ada guna-gunanya. Lalu apa yang terjadi sekarang? Mungkin aku harus banyak beristighfar. Hari berganti demi hari. Kini tiba saatnya acara muwadaah. Waktu dua minggu di pesantren tidak menghasilkan apa-apa. Aku masih belum punya cukup uang untuk melunasi hutang Ayah. Aku membuk