Share

Rahasia Besar

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-03 20:13:18

“Fia, keluar, Nak! Nenek mau pulang, pakdemu sudah datang.” Nenek mengetuk pintu kamarku dengan pelan.

Semenjak kepergian Gus Azam dan keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah keluar kamar selain makan, mandi, dan salat. Hingga akhirnya Nenek dan Bude akan pulang sore ini.

Tadi malam acara doa bersama tujuh hari sudah selesai. Aku akan tinggal di rumah ini sendirian. Kuhapus sisa air mata kemudian memakai jilbab dan keluar. Sudah ada Nenek, Kakek, Bude Siti dan suaminya yang menjemput.

Mereka akan kembali ke rumah hari ini. Jarak rumah kami memang cukup dekat, masih dalam lingkup satu kecamatan. Namun, mereka harus tetap pulang karena memiliki kesibukan masing-masing.

“Fia, Bude sudah siapkan makanan buat kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa telepon bude atau langsung datang ke rumah.” Bude Yuli membantu mengemasi barang-barang nenek.

“Makasih, Bude. Aku juga akan balik ke pondok karena sebentar lagi ada acara perpisahan.”

Perpisahan akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku harus segera kembali ke pondok supaya bisa ikut meramaikan. Dua tahun terakhir, aku selalu ditunjuk menjadi pembawa acara. Namun, tahun ini adalah acara perpisahanku. Aku tidak mungkin menjadi MC lagi.

“Kapan kamu balik ke pondok? Bilang saja sama Bude biar nanti kami yang mengantarkan,” tanya Pakde Irul.

“Lusa, Pakde. Fia mau beresin rumah dulu.”

Setidaknya aku kembali ke pondok jika rumahku sudah rapi. Tadi pagi Bude Yuli sudah mengecek barang di toko. Semuanya masih bagus dan belum kadaluwarsa.

Aku akan meminta Bude Yuli supaya membuka dan mengurus toko Ibu untuk sementara waktu agar tidak ada pelanggan yang kecewa. Toko Ibu sudah memiliki banyak pelanggan. Untung sedikit tidak apa-apa asalkan lancar dan bisa balik modal.

“Ini ATM dan tabungannya. Pinnya tanggal lahir kamu. Simpan dan gunakan sebaik mungkin. Uang itu bisa kamu gunakan untuk kuliah,” ucap Pakde Irul sambil menyerahkan sebuah kartu dan buku rekening berwarna biru.

Kemarin pakde membantuku mengurus santunan jasa raharja. Aku memiliki tabungan yang cukup banyak untuk bisa bertahan hidup dan melanjutkan kuliah. Lulus dari pesantren nanti, aku juga bisa melanjutkan berjualan di toko Ibu.

“Insya Allah, Pakde. Fia akan menggunakan uang ini sebaik mungkin.”

Pukul empat sore, mereka bersiap pulang ke rumah. Aku mengantar mereka hingga di teras rumah. Namun, belum sempat naik ke mobil, mereka dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil sport hitam keluaran terbaru.

Seorang lelaki paruh baya turun dari mobil tersebut. Sebuah kacamata hitam bertengger di hidung peseknya. Gayanya seperti OKB, orang kaya baru. Apakah ayah memiliki teman seperti itu? Sepertinya tidak.

“Assalamu’alaikum, Pak Mujib ada?” tanya lelaki tersebut dengan senyum ramah.

Dia berjalan mendekat membawa sebuah map yang entah apa isinya aku tidak tahu. Apakah dia tidak mendengar kabar jika ayahku sudah meninggal satu minggu yang lalu.

“Ada urusan apa dengan anak saya?” tanya Kakek.

“Jadi begini, Pak. Perkenalkan nama saya Rozaq, pemilik perkebunan kopi terluas seantero kota ini. Mujib pernah meminjam uang kepada saya untuk pengobatan istrinya. Dan bulan ini dia berjanji akan melunasinya. Sebagai jaminannya, dia bahkan memberikan sertifikat rumah ini kepada saya.”

Mendadak tubuh Kakek melemas. Dia memegang dada kirinya sambil mengucapkan istighfar.

“Berapa hutangnya Mujib?” tanya Pakde Irul.

“Lumayan, sih. Cuma 150 juta,” ucapnya sambil memperlihatkan bukti surat perjanjian hutang bermeterai.

“Jangan asal ngomong, Pak. Ayah saya tidak mungkin melakukan itu. Dan Ibu saya baik-baik saja. Ibu tidak pernah sakit.”

Toko sembako Ibu sangat ramai bahkan ayah bisa membeli mobil second dua bulan yang lalu. Tidak mungkin jika ayah sampai mengambil hutang.

“Fia, yang dia katakan memang benar. Ibu kamu sakit.” Nenek merangkulku dari belakang.

“Ibu tidak sakit, Nek. Ibu sehat, dia wanita yang kuat.”

“Ibu kamu sakit, Shafia. Tini memiliki kanker payudara. Berbagai pengobatan selalu dia jalani supaya bisa bertahan hidup. Ini semua dilakukan demi kamu.”

“Nenek pasti bohong. Mengapa semua orang membohongiku? Apa salahku, Nek? Apa aku ini bukan anak kandung Ayah dan Ibu?”

“Istighfar, Fia! Adikku adalah orang yang melahirkanmu. Aku sendiri yang menyaksikan. Perihal dia tidak bisa memberikanmu adik karena rahimnya sudah diangkat. Lima tahun setelah kelahiranmu, dia keguguran. Di saat itu pula dia harus merelakan rahimnya diangkat.” Bude Yuli angkat bicara.

Jadi, inikah hal yang selama ini disembunyikan Nenek? Begitu banyak rahasia yang sama sekali tidak aku ketahui.

“Jadi, Shafia ini anaknya Mujib?” tanya orang yang bernama Rozaq itu. “Aku akan membebaskanmu dari hutang ayahmu dengan satu syarat.”

Semua orang menatap ke arahnya. Aku sendiri bingung bagaimana cara melunasi hutang Ayah yang tidak sedikit itu. Aku tidak mau jika rumahku disita, apalagi dijual oleh lelaki tua itu.

“Apa syaratnya?” Aku memberanikan diri menatap lelaki bau tanah itu.

“Menikahlah denganku!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Ternyata.....inilah rahasia besar itu....Ibunya Shafia terkena kanker payudara.....
goodnovel comment avatar
Yuli Hastutik
bagus bgt ceritanya
goodnovel comment avatar
Senja jingga
ceritanya bagus semangat thorrt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status