Aldo dan Gino sudah berjanjian malam ini di salah satu klub yang berada di kota ini. Menghabiskan malam di tempat hiburan ini, berkumpul bersama teman-teman mereka.
Sambil menghisap kuat nikotin itu, Kevin yang kebetulan adalah teman Aldo dan Gino saat kuliah sekarang, tersenyum menyeringai saat mengetahui dua temannya itu datang.
“Lama banget, kalian? Gue udah jamuran nungguinnya!” tanya Kevin dengan jari yang kini menjepit puntung rokok itu kemudian menghisapnya kembali. Asap dari rokok itu ia tiupkan pada Aldo saat duduk mendekatinya, yang membuatnya refleks memukul bahu Kevin.
Ruang VIP ini seperti sudah menjadi langganan mereka bersenang-senang bersama. Kevin mematikan rokoknya yang masih setengah ke dalam asbak. Ia kemudian menuang wine ke gelas cantik berkaki yang disediakan klub ini.
Saat akan meneguk minuman berwarna merah gelap itu, tiba-tiba Diva datang mengagetkan mereka bertiga. Ia berlari kecil dan duduk di antara Kevin dan Aldo.
Gino terus menelepon Kinan sepulang dari klub. Ia sudah berusaha berkali-kali mengirim pesan sejak Kinan pulang sendiri tadi siang. Namun, tak ada jawaban dari gadis itu.Waktu sudah sangat larut. Sebenarnya, Gino tak sabar untuk menemui Kinan di rumahnya. Tidak peduli apakah mengganggu atau tidak, ia mengemudikan mobilnya ke arah rumah Kinan.Ponsel yang bergetar langsung ia sambar. Berharap Kinan yang memberi balasan, tapi nyatanya Alya yang dari pagi ia abaikan. Gino melempar kembali ponselnya. Keputusan Alya untuk memilih kuliah jauh darinya, membuat Gino kesal.Tak satu dua kali, ponselnya terus mengganggu konsentrasinya menyetir. Ia terpaksa mengangkat telepon Alya. “Ada apa sih, Yang?” tanyanya dengan wajah cemberut.“Lo kemana aja? Akhir-akhir ini susah banget dihubungi,” gerutu Alya.“Gue, diperjalanan. Mau balik. Nanti kalau nyampe rumah, gue telpon lagi.” Gino langsung mematikan ponsel dan membantingny
Sudah beberapa bulan ini Gino berusaha mendekati Kinan. Namun, gadis itu semakin membuatnya geram. Kinan terus menolak cinta Gino, mengabaikan perhatiaannya dan juga terus menghindar.Kinan merasa tak enak hati pada Alya, membuatnya malu untuk menghubungi bahkan, hanya menanyakan kabar pada sahabatnya itu.Kinan sepulang dari bekerja bergegas mandi dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Ibunya kini sudah terbiasa sendiri untuk berjualan. Kesibukan Kinan bekerja, membuatnya jarang membantu pekerjaan Ibunya.“Kinan ... ada Gino tuh!” teriak Ibunya dari balik pintu kamar. Kinan berdecak kesal. Bagaimana caranya agar laki-laki itu menjauhinya?Gadis itu membuka pintu kamarnya. “Biarin aja, Bu! Kinan lagi males ketemu sama dia.”“Nggak boleh gitu, lah! Ayo sana temuin!”Gadis itu memamerkan wajah cemberut pada Ibunya. Namun, sepertinya percuma. Ibunya menarik tangannya untuk keluar menemui Gino.“Ke
Kinan tercengang saat pulang kerja melihat Alya dan Devan duduk di teras rumahnya. Selepas pertemuan tiba-tiba semalam, Alya tampak begitu dingin pada Kinan. Begitu pula Kinan, ia tak enak hati pada Alya masalah Gino yang tiba-tiba datang ke rumah dan memegang tangannya.Kinan memarkir motornya asal di halaman. Ia berjalan lemas mendekati mereka. Kehadiran Devan membuat Kinan sedikit bingung. Pasalnya, semenjak pengakuan Kinan padanya dulu, Devan tak menampakkan batang hidungnya lagi.Alya berdiri diikuti Devan. Mereka tersenyum simpul menyambut Kinan. “Udah pulang, Kin?” tanya Alya yang membuat Kinan bingung. Bukankah semalam Alya seperti acuh padanya? Kenapa sekarang wajahnya menjadi berseri-seri?Kinan menaruh tasnya di kursi. “Kalian ngapain di sini? Dan kamu Al, bukannya harus datang ke acara ultahnya Gino?” tanya Kinan dengan dahi berkerut dalam.
Sudah beberapa hari ini Alya menghabiskan waktu liburnya bersama Kinan dan Devan. Mereka sering jalan bertiga, entah itu makan atau hanya sekedar mencari angin malam. Alya lebih terlihat bahagia dan dicintai saat bersama Devan. Ia benar-benar sudah melupakan Gino.Semenjak Alya terus dekat dengan Kinan, Gino hanya memantau dari jarak jauh. Ia tak berani ke rumah bahkan menghubungi Kinan seperti dulu. Ini membuat Kinan berpikir jika Gino sudah tak menganggunya lagi.“Besok pagi-pagi gue balik, Kin. Lo hati-hati ya sama Gino! Pokoknya jauhi itu cowok! Kalau perlu secepatnya lo cari pacar. Biar ada yang ngelindungi,” saran Alya yang kini duduk bersama Kinan dan Devan di teras rumah Kinan.“Masalahnya siapa yang mau sama gue, Al?” Kinan tertunduk lemas.“Ya pasti adalah, pokoknya lo jangan terlalu ngumbar kekurangan sama mereka sebelum mereka jatuh cinta sama lo, Kin! Yakin deh, mereka pasti nerima lo.”Kinan mengang
Kinan melajukan sepeda motornya kencang menuju rumah. Perasaannya tak enak memikirkan keadaan Ibunya. Sering kali ia mengigiti bibir bawahnya. Ketakutan luar biasa terus menghinggapinya, ia tak ingin kehilangan lagi orang yang berharga dalam hidupnya. Kinan memarkir asal sepeda motornya di halaman. Berlari membuka pintu, dan berteriak memanggil Ibunya beberapa kali tapi, tak ada jawaban. Ia berjalan cepat memeriksa di kamar Ibunya, tapi tak ada. Kemana Ibunya pergi? “Kinan!” panggil lirih Ibunya dari pintu luar. Kinan berjalan menghampirinya. “Ibu dari mana aja? Ibu baik-baik aja, ‘kan?” Gadis itu meraba seluruh tubuh Ibunya yang masih hangat. “Ibu cuma ke warung sebentar beli teh.” Kinan berdecak, “Ibu ‘kan masih sakit, biar Kinan aja yang beli nanti.” Ia merangkul Ibunya untuk duduk di sofa ruang tamu. Napas Ibunya terengah. Kinan mengambilkan segelas air untuk Ibunya. “Minum dulu, Bu!” Ibunya mengangguk. “Kinan, kamu kok uda
Suara ketukan pintu mampu memecah kesedihannya. Ia berlari keluar berharap ada orang yang bisa membantunya. Saat membuka pintu, Kinan terdiam karena yang datang adalah pemilik apotek tadi.“Mbak, ini obat yang kurang tadi!” Laki-laki itu menyerahkan obat yang dipegangnya.Kinan melihat hujan bertambah deras. “Mas, boleh aku minta tolong?” tanyanya dengan raut wajah cemas.“Ya,” jawab singkat laki-laki itu.“Tolong antarkan Ibuku ke rumah sakit! Ibuku pingsan.”Mereka masuk ke dalam rumah dengan cepat. Laki-laki tadi membopong Ibu Kinan untuk masuk ke dalam mobilnya. Kinan memasukkan motornya dan mengunci pintu rumah.Di dalam mobil, Kinan terus berusaha membangunkan Ibunya, tapi tak ada hasil. “Tenanglah! Sebentar lagi sampai,” ucap laki-laki yang mengemudikan mobilnya kencang.Ibu Kinan langsung mendapat penanganan sesampainya di rumah sakit. Kinan dan laki-laki tadi menungg
Reno menyetujui permintaan Kinan menjadi pacar bohongannya. Laki-laki itu hampir tiga minggu ini sering datang menemuinya. Bahkan ia juga mengantar Ibu Kinan pulang dari rumah sakit. Ini membuat hati Gino terluka mengetahui di depan matanya Kinan sudah mempunyai pacar.Usia Reno yang lebih tua lima tahun dari Kinan, membuat gadis itu merasa sangat nyaman jika berbicara dengannya. Reno juga terlihat sangat menghormati Kinan dan juga Ibunya.Malam ini di teras rumah Kinan, Reno kembali menemuinya. Reno terdiam memandangi wajah Kinan. Suasana menjadi hening seketika. Ia membalas tatapan mata Reno dengan senyuman manis yang membuat Reno tak mampu lagi menyimpan lebih lama perasaannya.“Kinan!” panggilnya lirih. Kinan berdehem dengan mengangkat kedua alisnya. “Kalau kita pacaran beneran, kamu mau, nggak? Aku benar-benar serius suka sama kamu. Kamu cantik, mandiri, apa adanya, ka
Lima tahun sudah berlalu. Kinan harus berjuang sendiri mencari uang untuk pengobatan Ibunya yang sering sakit dan juga biaya hidupnya sehari-hari. Pendapatan bekerja di toko sepatu milik Aldo tak mampu mencukupinya. Ia benar-benar membanting tulang menitipkan makanan di warung-warung sebelum berangkat bekerja.Kinan tak mampu menyembunyikan wajahnya yang begitu lelah. Ingin rasanya mengeluh tapi ia takut tekanan darah tinggi Ibunya semakin naik karena memikirkannya. Seolah semua terlihat baik-baik saja.Pagi-pagi Reno datang ke rumahnya, memanggil namanya, tapi rumah tampak begitu sepi. Beberapa kali ia menelepon Kinan tak diangkat. Saat ia akan beranjak pergi, pintu rumahnya tiba-tiba terbuka.“Reno,” panggil lirih Ibu Kinan. Reno menoleh ke belakang. Ia mendekati dan mencium tangan Ibu Kinan yang berdiri membuka pintu. “Mau cari Kinan?”“Iya, Bu! Di mana Kinan?”“Dia mungkin di taman,” jawab Ibu Kin