Share

7 Pergi

Penulis: p.hara
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-29 08:16:43

"Arghh ...!"

Ammar melempar kertas itu sembarangan. Kertas yang isinya surat pengunduran diri dari Elif Sabrina.

Beberapa saat laki-laki itu menyenderkan kepala ke belakang kursi kehormatannya, memejam sesaat, lalu kembali melek dengan cincin cantik di atas meja sebagai objek pertama yang tampak di depan mata.

Sebelah tangannya tergerak untuk meraih benda kecil itu. Menelisik dengan hati-hati, hingga ukiran nama Ammar di balik cincin ter-eja dengan pasti.

"Apa susahnya mengambil cincin ini. Dasar angkuh."

"Dia memilih pergi. Itu yang aku tunggu-tunggu dari dulu. Apa dia sudah bosan jadi benalu? Memangnya, ada tempat yang mau menerimanya selain keluargaku. Ck."

Ammar sibuk bermonolog dalam ruangannya. Berasumsi, bertanya dan menjawab sendiri. Kadang memaki, menganggap Elif terlalu angkuh karena tidak memilih kembali.

Ammar mulai mengingat banyak hal tentang Elif yang tak pernah lelah mengambil perhatian darinya. Mas, sudah pulang? Mau mandi atau makan dulu. Mas ini ... Mas itu dan bla bla bla.

"Dia sangat menyebalkan. Aku membencinya."

Ammar tersenyum sinis, sebelum akhirnya keluar dengan tergesa menuju pintu lift. Tujuannya ke lantai satu, menanyakan tentang Elif pada resepsionis. Dan menurut laporan, Elif sudah pergi beberapa saat yang lalu.

.

Di apartemen, Elif tengah sibuk memasukkan pakaian serta beberapa dokumen penting lainnya ke dalam koper berukuran sedang.

Semalam Elif telah bertekad untuk pergi. Tanpa persiapan yang sempurna,kecuali kemantapan hati. Entah tempat mana dan seperti apa yang hendak dituju, yang penting baginya, terlepas dari jeratan kebencian Ammar terlebih dahulu.

Dengan mengandalkan tabungan yang lumayan jumlahnya, hasil jerih payah selama ini, Elif berharap cukup untuk bertahan hidup hingga dirinya mendapat pekerjaan baru.

Selesai mengemas semuanya, wanita itu mendaratkan tubuhnya di atas ranjang. Seketika, sepasang netranya beralih pada bingkai kecil yang terletak di atas nakas.

"Mama, papa, Elif akan pergi. Terimakasih untuk segalanya yang Elif dapatkan selama ini."

"Maaf, jika Elif lancang melakukan semua ini. Bukan Elif tidak tahu terimakasih, tapi ini adalah bentuk terimakasih Elif yang paling tepat. Selama ini kalian menerimaku dengan sepenuh hati. Tapi, tidak dengan Ammar. Ammar membenciku, karena telah merebut apa yang hanya menjadi miliknya selama ini," lirih Elif dengan pilu.

Saat Elif tengah bernostalgia dengan masa lalu. Bunyi bel terdengar dari luar. Sempat menerka-nerka siapa yang datang. Namun, langsung mempebaiki diri yang tampak berantakan dan bergegas keluar ketika bunyi bel terdengar kian memaksa.

"Siapa?"

Elif termagu saat tahu siapa yang kini berdiri di depan pintu.

"Mas, ada perlu apa ke sini?" ucapnya datar.

"Apartemen ini milikku. Apa aku butuh alasan untuk ke sini?" balas Ammar angkuh dengan memasang wajah kelewat dingin.

Lagi-lagi Elif merasa terhina mendengar ucapan suaminya.

'Benar. Apapun yang aku gunakan selama ini memang miliknya. Dan karena itu dia sangat membenciku. Ya Tuhan, kenapa takdir hidupku harus menyusahkan orang lain. Kenapa kehadiranku harus menghancurkan hubungan seorang anak dengan orangtuanya?'

"Silahkan masuk, Mas!"

Elif mencoba bersikap seperti biasa. Seolah hinaan Ammar tidak berpengaruh apa-apa bagi kondisi psikologisnya.

Ah, atau barangkali, hati Elif sudah kebal. Hinaan semacam itu tidak ada apa-apanya dibanding luka-luka lain yang Ammar torehkan.

Tanpa memberi jawaban apapun. Ammar mendahului Elif masuk ke dalam langsung menuju kamar yang selama ini ditempati Elif. Ammar tidak perlu bertanya untuk memastikan sebelumnya. Karena di apartment itu memang hanya ada satu kamar.

"Ck."

Selama ini yang Ammar sadari, dirinya begitu membenci Elif. Dan kebenciannya semakin menggila saat melihat sebuah koper di atas ranjang.

"M–as." Elif yang muncul di belakang, tampak gelagapan saat mendapati Ammar sudah berada di kamarnya.

"Koper itu isinya apa?"

Ammar langsung berbalik menghadap Elif yang hanya setinggi dadanya.

"Hanya beberapa baju dan perlengkapanku yang lain."

Ammar berjalan mendekat ke arah jendela. Membelakangi Elif yang masih menatap bingung pada pemilik punggung tegap itu.

Ammar menghela nafas kasar.

"Kau benar-benar akan pergi?"

"Ya."

"Ke mana? Kalau suamimu tidak mengizinkanmu pergi, bagaimana?"

'Suami? Sejak kapan aku punya suami?'

Hati Elif tersenyum sinis.

"Aku tetap akan pergi."

Elif masih berbicara dengan normal dan itu membuat Ammar semakin jengah. Muak sekali dengan istrinya yang sekarang.

Rahang Ammar tampak mengeras, laki-laki itu mendekati Elif dan mencengkram kedua bahunya.

"Apa susahnya sih, untuk kembali ke rumah, hah?! Memangnya kau mau ke mana? Tidak ada tempat yang mau menerima wanita sepertimu!" bentaknya menggelegar. Wanita dalam cengkramannya tampak gemetar.

Di hari-hari yang lalu, Ammar juga sering marah hingga membentaknya. Tapi, tidak sampai main fisik.

"Ke–napa? Kenapa aku tidak boleh pergi?"

"Ishh."

Mendengar Elif meringis kesakitan, Ammar buru-buru menarik tangannya dari bahu wanita itu.

"Karena aku belum puas menyakitimu. Kau harus membayar semua yang sudah kau ambil dariku!"

Haha. Tidak, bukan itu yang ingin Ammar katakan. Sebenarnya, Ammar tidak rela jika ditinggal pergi. Hanya saja gengsinya terlalu tinggi. Sampai-sampai ada sebuah rasa lain yang tertimbun oleh tumpukan kebencian di lapisan paling dasar.

Dan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya hanya bisa mengoyak luka Elif dan membuatnya semakin menganga.

'Lihatlah! Selain kebencian, aku memang tidak pernah punya tempat di hatinya.'

Wanita itu mati-matian menahan sesak agar hanya mendekam dalam dada dan tidak muncul kepermukaan.

Bahkan di detik-detik terakhir pun, Ammar hanya bisa memberikan scene menyakitkan untuk disimpan sebagai kenangan.

'Apa salahnya dia berpura-pura baik sekali ini saja, seperti saat menjebakku dulu. Kenapa, nasibku harus mencintai manusia dalam wujud seperti ini, Tuhan?'

Elif mencoba menembus ke dalam mata suaminya, tapi yang hanya tatapan kebencian yang ia temukan.

Wanita itu tersenyum sinis, sebelum akhirnya meraih koper dan tasnya di atas ranjang dan melewati Ammar begitu saja.

Lihat! Laki-laki itu bahkan tidak tahu cara menuruti kata hati untuk menahan agar istrinya tidak pergi.

"Tunggu!"

Langkah Elif terhenti saat sudah tiba di ruang tamu. Elif menoleh bingung saat Ammar berjalan melewati istrinya untuk duduk di sofa.

"Aku hanya ingin menyampaikan satu hal sebelum kau pergi. Barangkali kau sudah lupa. Tidakkah apa kau bawa itu milik keluargaku. Kunci mobil, pakaian, ponsel, bahkan uang yang kau dapatkan itu hasil bekerja di perusahaanku dengan ijazah sarjana yang juga kau peroleh karena belas kasih keluargaku.

Kau masih ingat 'kan, apa yang kau bawa saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku? Jadi, jika berkeras ingin pergi, maka pergilah tanpa membawa apapun," cibir Ammar dengan sinis.

'Ck, aku yakin, dengan begini dia tidak akan pergi. Mau hidup dengan apa dia di luar sana?' batin Ammar merasa menang.

Deg.

Elif masih ingat sekali saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah megah keluarga Ammar. Hanya dengan pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya.

Kasarnya, Elif hanya gadis yatim piatu yang dipungut Ny. Risma dan Tn. Rasyid. Seperti yang sering Ammar katakan untuk membuat Elif sadar diri mulai saat itu.

Ya, Elif memang tidak membawa apapun selain pakaian lusuh. Wanita itu membenarkan, semua yang Ammar sebutkan tadi, memang dia dapat karena belas kasih mertuanya.

Lalu, apa Elif harus mengembalikan semua itu agar bisa bebas dari dendam suaminya?

Laki-laki itu baru saja kembali membuka luka lama.

"Ambillah! Semua ini memang milikmu!"

Elif meletakkan ponsel, kunci mobil serta ATM dan tasnya ke atas meja. Tepat di hadapan Ammar. Kemudian, membuka koper dan mengambil map yang berisi ijazah yang diperjuangkan dengan susah payah untuk diserahkan pada suaminya.

Setelah menutup koper yang hanya berisi beberapa potong pakaian, Elif mendorongnya ke samping sofa, di mana Ammar duduk. Lalu, melepaskan high heels yang yang melekat di kedua kakinya.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Ammar tidak habis pikir.

"Apa kau sudah gila?!"

Laki-laki itu menatap nyalang pada istrinya.

"Apa aku harus melepaskan pakaian ini juga?" tanya Elif dengan suara tertahan. Sudut matanya mulai berkaca.

Melihat tingkah istrinya, kedua tangan Ammar terkepal erat.

"Tidak. Aku pikir kau masih punya sedikit nurani untuk tidak membiarkan aku pergi dengan telanjang. Tenang saja, aku akan mengganti harga pakaian ini saat aku punya uang. Kalau tidak ada lagi, aku pergi dulu."

Elif meninggalkan suaminya dalam keadaan mematung. Ammar menatap nanar pada benda-benda milik istrinya yang kini tergeletak di hadapannya.

"Dasar wanita keras kepala! Apa dia mencoba menggertakku? Mau ke mana dia dengan kaki telanjang dan tanpa uang sepeser pun," monolog Ammar setuju dengan logikanya.

Entah kapan laki-laki itu sadar dengan rasa sakit yang Elif dapatkan karena ulahnya.

Sementara Elif berjalan di pinggir jalan dengan kaki telanjang. Tanpa tahu ke mana arah yang akan dituju.

Tanpa membawa apapun, selain pakaian yang melekat ditubuhnya.

Ada yang menatapnya dengan aneh, prihatin, dan banyak juga yang tidak peduli. Sebagian ada yang mengira, jika wanita cantik itu sedang putus cinta.

Nyatanya, apa yang Elif alami lebih pelik dari dugaan mereka. Telapak kakinya mulai perih, tapi luka hatinya jauh lebih kentara.

'Aku harus ke mana?'

.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Marfuah
baik lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku Pergi, Mas   27 Ekstra Part

    Pukul 10 malam. Elif mengerjab perlahan saat tangannya menyentuh sisi ranjang di sebelahnya untuk mencari seseorang yang ternyata kosong—sosok yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Elif segera memaksa mata cantiknya untuk terbuka sepenuhnya. Gadis yang beberapa saat yang lalu telah menjadi wanita seutuhnya itu gegas bangkit untuk duduk. Senyuman di bibir merah jambunya mulai mengembang saat pikirannya mengingatkan Elif tentang sesuatu. Sesuatu yang begitu indah tentu saja. Oh, apakah ini nyata? Begitu tanya yang muncul dalam hati wanita cantik berlesung pipi itu—saat melihat tubuhnya yang polos di balik selimut. Elif sedikit mencubit lengannya, dan ternyata terasa sakit. 'Ini nyata. Akhirnya, mimpi itu telah menjadi nyata,' batin Elif dengan mata berkaca. Dulu, jangankan untuk disentuh, meliriknya saja Ammar seperti sangat jijik. Tapi, hari ini ... ah, Elif bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana cara Ammar memperlakukannya tadi. Sangat lembut. Seolah tubuh istrinya ada

  • Aku Pergi, Mas   26 Ending

    Sementara di lain tempat, sudah beberapa hari Elif tidak pergi bekerja dan hanya menyendiri di kontrakan. Elif sedang memantapkan hati untuk perpisahan, tapi Ammar terus saja hadir mengusik ego dan hatinya. "Kenapa suka sekali hadir untuk mempermainkan hatiku, Mas? Kenapa? Kau senang, kan melihatku seperti ini?" Elif selalu saja memaki Ammar kala bayangnya muncul tanpa tanda dan tiba-tiba. Hingga entah di hitungan hari ke berapa, Elif memilih untuk mengalah dengan hatinya dan bertekad pergi ke rumah utama.Wanita itu menekan bell dengan perasaan cemas. Pasalnya, sudah lama Elif tidak pernah datang setelah hari kepergiannya dari rumah. "Mama!" panggil Elif saat pintu besar berwarna putih itu terbuka lebar dan seorang wanita paruh baya berdiri dengan anggun di hadapannya."Sayang? Elif, ya ampun, akhirnya kamu datang." Ny. Risma memeluk menantunya dengan erat, seolah enggan mengizinkan pergi. "Kamu ke mana saja? Mama sangat merindukan kamu, El," ucap Ny. Risma setelah melepas pelu

  • Aku Pergi, Mas   25 Perpisahan?

    Memaafkan adalah kemenangan terbaik.__ Ali bin Abi Thalib __"Tentu saja. Aku telah memaafkanmu jauh-jauh hari," jawab Elif dengan bibir mengerucut. "Benarkah? Apa itu berarti kau akan pulang bersamaku?" tanya Ammar spontan.Deg. Jantung Elif seketika berdebar kencang. Aliran darahnya seperti terhenti. Pernyataan Ammar terlalu blak-blakan dan tiba-tiba seperti ini. "Mas,""Kenapa? Apa permintaanku terlalu berlebihan? Ammar menahan tangan Elif saat wanita itu hendak beranjak dari sana. Tak bisa melarikan diri, Elif memilih tenggelam dalam mata Ammar. Di mana dirinya tengah menari-nari di sana. Menit kemudian wanita itu tersenyum. Satu yang bisa Ammar tangkap. Ketulusan. Elif laksana Edelweis, senyuman tulus seorang kekasih. "Tak hanya di lisan, aku telah memaafkanmu dari hatiku, Mas. Jujur, aku begitu tersanjung saat diajak untuk pulang, tapi ...." Ammar semakin mempererat pelukan. Menanti kalimat yang terputus dengan perasaan tak karuan. "Mas, bolehkah aku meminta waktu sebe

  • Aku Pergi, Mas   24 Permintaan Tidak Biasa

    Ammar sudah dipindahkan ke ruang perawatan untuk pemulihan setelah tiga jam lebih berada dalam ruang operasi. Meski sudah melewati masa kritis, Ammar belum sadarkan diri. Dan hanya satu orang yang diperbolehkan dokter untuk menemani, demi ketenangan pasien. Elif—lah yang melakukan itu dengan segala rasa bersalahnya. Alzam dan pak Kidar memilih berjaga-jaga di luar ruangan, dalam keadaan sama-sama membisu. Mengingat kejadian buruk yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua laki-laki itu tidak berani meninggalkan Elif dan Ammar di rumah sakit. "Saya ke toilet sebentar!" pamit pak Kidar yang hanya diangguki oleh Alzam.Ada banyak hal yang sedang Alzam renungi. Salah satunya, apa yang terjadi dengan Elif beberapa saat yang lalu. 'Aku saja begitu murka saat melihat kondisinya, apa lagi Ammar yang berstatus sebagai suaminya.' Alzam tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang sahabat tega melakukan hal rendahan seperti itu. Seorang laki-laki sekelas Darius, bagaimana bisa memiliki cint

  • Aku Pergi, Mas   23 Nasib Elif

    HAPPY READING ❤️Ammar pulang dari kantor dengan perasaan yang tidak bisa diartikan. Sejak tadi, ingatannya hanya pada Elif, Elif dan Elif saja. Ini berbeda. Bukan rasa seperti biasa. Jika kemarin-kemarin Ammar hanya merindu, kini didampingi kecemasan yang juga berbalut luka."Apa aku menghubunginya, saja?" tanya Ammar pada diri sendiri setelah tiba di depan pintu apartemen. "Tapi, bagaimana kalau dia tidak senang kuhubungi?" ulangnya lagi. Tidak, tidak. Ammar menggeleng-geleng kepala. Laki-laki itu merasa kekhawatirannya sebagai sesuatu yang berlebihan. 'Mungkin aku hanya terlalu rindu, karena efek baru bertemu kemarin. Semoga Elif baik-baik saja.'Setelah menyakinkan diri, Ammar langsung masuk ke dalam, menuju kamar untuk meletakkan tas dan melepas pakaian kantor. Lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap di bawah guyuran air bisa membuat dirinya kembali pulih. Juga pikiran yang kembali jernih. 'Apa aku siap jika harus berpisah? Sekarang saja, aku hampir gila karen

  • Aku Pergi, Mas   22 Elif Dalam Bahaya

    Tubuh Elif membeku. Setelah banyak hal tak biasa yang mereka lewati, dengan mudahnya Ammar berucap seperti itu.Kalimat sederhana yang ingin Elif dengar sejak dulu.'Apa dia sedang mencoba membodohiku seperti dulu? Kenapa jantungku seperti ini? Ini akan sangat memalukan jika Mas Ammar sampai mendengarnya.'Elif menatap mata elang itu lekat-lekat. Namun, tidak terdapat setitik kebohongan pun di sana. "Aku tidak sedang berbohong, Elif. Aku berani bersumpah untuk itu." "Maafkan aku, Mas! Kalau saja aku tidak muncul dalam kehidupan ....""Sstt!"Ammar meletakkan telunjuknya di bibir Elif. Lalu, menariknya dengan cepat setelah menyadari kelancangannya. Tak hanya Elif, Ammar juga merasakan ada yang salah dengan jantungnya. Riuh sekali di dalam sana. "Ma–af, aku tidak bermaksud lancang! Hanya saja aku tidak suka mendengarmu meminta maaf seperti itu. Jelas-jelas aku yang bersalah. Harusnya aku berterima kasih karena kamu telah sudi hadir dalam hidupku. Orangtuaku tidak bersalah, begitu ju

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status