MasukAku bukan tipe pria yang suka datang ke pesta kantor, apalagi jika bukan aku yang diundang langsung. Tapi malam itu berbeda. Ada satu alasan kenapa aku berdiri di sana, memegang segelas minuman tanpa menyentuhnya, menunggu sesuatu yang bahkan aku sendiri belum bisa definisikan.
Erica. Namanya kudengar pertama kali dari teman divisi akuntansi. Katanya, ada satu staf keuangan yang paling perfeksionis dan paling sulit diajak kompromi soal angka. Aku pikir, itu hanya cara mereka menyebut orang yang teliti. Tapi saat aku pertama kali melihat Erica di ruang rapat—dengan ekspresi dingin, fokus, dan suaranya yang tegas—aku langsung tahu, dia bukan perempuan biasa. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin tahu lebih banyak. Lebih dalam. Dan malam itu, saat aku melihatnya berdiri canggung di pojok ruangan, aku tahu, ini kesempatan langka. Dia bukan tipe yang suka keramaian, jadi jika aku tak bicara malam ini, mungkin aku tak akan pernah punya kesempatan lain. Jadi aku mendekat. Dengan jantung yang entah kenapa lebih cepat dari biasanya. Aku menyapanya, menyebut namaku, dan melempar candaan soal invoice yang terlambat. Syukurlah, dia tertawa. Tawa yang singkat, tapi tulus. Untuk seseorang yang tampak tertutup, bisa membuatnya tertawa adalah pencapaian kecil—yang entah kenapa membuatku merasa bangga. Obrolan kami mengalir mudah. Dia punya cara bercerita yang jujur. Apa adanya. Dia tidak berusaha menarik perhatian, justru karena itulah dia menarik. Saat dia bilang biasanya tak tahan di pesta lebih dari sejam, aku hampir spontan ingin bilang, "Jangan pulang dulu. Aku belum selesai mengenalmu." Tapi tentu aku tahan. Aku hanya tersenyum. Dan ketika aku mengaku datang ke pesta hanya untuk melihatnya—itu bukan gombal. Itu jujur. Erica diam sejenak, lalu tertawa. Mungkin dia menganggapku pria iseng seperti yang lain. Tapi aku tahu, dia sedikit goyah. Ada sesuatu di matanya yang berubah saat aku bicara begitu. Sesuatu yang memberi harapan. Malam itu aku pulang dengan perasaan yang tak pernah kurasa sejak lama. Seolah aku baru saja membuka lembar pertama dari sebuah cerita yang lama kutunggu. Sejak malam itu, aku mulai memperhatikan dia di kantor. Tidak mencolok, tapi cukup untuk membuatku tahu jam berapa dia datang, di mana biasanya dia duduk saat istirahat, bahkan lagu apa yang dia dengarkan saat bekerja. Aku tahu ini terdengar seperti penguntit, tapi kenyataannya... aku hanya jatuh cinta terlalu cepat. Aku mulai mencatat hal-hal kecil tentangnya. Cara dia menyipitkan mata saat membaca laporan panjang. Bagaimana dia selalu merapikan poninya sebelum presentasi. Bahkan caranya tersenyum saat berhasil menyeimbangkan neraca yang rumit. Semakin aku mengenalnya, semakin aku tahu—dia bukan sekadar perempuan cantik yang canggung di pesta. Erica punya dunia yang dalam, dan aku ingin jadi bagian dari dunia itu. Tapi aku juga tahu, Erica tak mudah didekati. Dia menyimpan luka. Mungkin dari masa lalu, mungkin dari seseorang yang pernah membuatnya percaya, lalu mengecewakan. Dan aku tak ingin menjadi pria berikutnya yang masuk hanya untuk meninggalkan jejak yang sama. Jadi aku bersabar. Tidak buru-buru. Tidak menekan. Hanya mencoba hadir, setiap kali dia membutuhkan seseorang untuk sekadar mendengarkan atau menyemangati. Aku ingin dia tahu—aku di sini, dan aku tidak akan pergi. Aku tidak tahu bagaimana akhir dari cerita ini. Tapi satu hal yang pasti—aku akan menuliskannya bersama Erica. Dengan caraku. Dengan ketulusan.Pagi itu, kamar kos Nadya terasa lebih sempit dari biasanya. Sinar matahari yang menyusup melalui jendela berdebu seakan mengejek kegelisahan yang menggunung di dadanya. Di atas meja kayu yang lapuk, tiga test pack berjejer—masing-masing dengan dua garis merah yang tegas, seperti penjara yang mengurung masa depannya."Aku hamil."Dua kata itu bergema dalam kepalanya, tapi tak bisa keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kaku, tenggorokannya serasa tersumbat oleh kenyataan pahit yang harus ditelannya sendiri.Dia mengingat malam itu dengan jelas. Ricardo datang dengan wajah lesu, membawa sebotol anggur dan segudang penyesalan. Mereka duduk di lantai, berbagi cerita tentang kesepian yang sama. Nadya, yang baru putus cinta. Ricardo, yang merasa hubungannya dengan Erica mulai retak. Dua jiwa yang tersesat, saling mencari kehangatan di tengah dinginnya Kalimantan."Kita berdua sama-sama bersalah," bisik Nadya pada bayangannya di cermin. Tapi kini, dia ha
Malam itu di Kalimantan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin malam berhembus pelan melalui jendela kamar Ricardo yang terbuka, membawa serta suara jangkrik yang seolah bersimfoni dalam kesendirian. Ricardo baru saja menutup laptopnya setelah video call dengan Erica, tapi senyumnya yang tadi masih mengembang tiba-tiba memudar.Dia mengambil ponselnya lagi, membuka pesan dari Nadya untuk kesekian kalinya. Dua kata itu masih terpampang di sana, sederhana namun menghancurkan.Nadya: "Aku hamil."Jari Ricardo gemetar. Pikirannya langsung melayang ke malam-malam kelam di Kalimantan, saat dirinya yang rapuh mencari pelarian di pelukan yang salah. Dia ingat betul malam itu—setelah pertengkaran sengit dengan Erica via telepon, dan Nadya yang kebetulan ada di sana, mendengarkan keluhannya dengan sabar."Aku harus melakukan sesuatu," bisik Ricardo pada dirinya sendiri. Tapi tubuhnya terasa lumpuh. Bagaimana mungkin dia bisa menghancurkan lagi semua yang s
Sejak kepulangan Ricardo ke Kalimantan, hubungan mereka berkembang dalam ritme yang berbeda. Jarak tak lagi menjadi jurang, melainkan jembatan yang menghubungkan dua hati yang sedang belajar percaya lagi. Setiap malam, pukul tujuh tepat, dunia mereka menyatu melalui layar ponsel.Malam itu, wajah Ricardo muncul dengan latar belakang kamar yang berantakan. "Maaf, hari ini lembur sampai sore," ujarnya sambil mengusap wajah yang tampak lelah. Tapi begitu melihat Erica, matanya langsung berbinar."Kamu kurusan," sahut Erica dengan suara lembut."Karena rindu itu berat,sayang. Aku harus angkat beban rindu setiap hari."Mereka tertawa. Percakapan mereka malam itu berlanjut ke topik yang lebih serius. Ricardo membuka dokumen berjudul "Rencana Masa Depan Kita" yang sudah ia siapkan selama seminggu terakhir."Aku sudah hitung-hitung," katanya serius. "Kalau aku kerja lembur dua hari seminggu, dalam enam bulan aku bisa kumpulkan cukup uang untuk DP ruma
Hari-hari setelah kepergian Ricardo kembali ke Kalimantan terasa seperti luka yang mulai mengering—masih ada bekasnya, tapi tak lagi menganga lebar. Erica masih sering terbangun di tengah malam, tangannya meraih ponsel untuk memeriksa pesan dari Ricardo. Bedanya kini, ia tak lagi menemukan layar yang kosong.Setiap malam, pukul sembilan tepat, ponselnya berdering. Wajah Ricardo muncul di layar dengan latar belakang yang berbeda-beda—kadang di kamarnya yang berantakan, kadang di dermaga dengan langit jingga senja."Malam ini aku masak sop buntut," kata Erica suatu malam, mengangkat mangkuk ke kamera.Ricardo tersenyum, tapi matanya menyimpan kerinduan. "Aku di sini cuma makan nasi bungkus lagi. Kok bisa ya dulu aku memilih makan nasi bungkus sendirian daripada pulang ke kamu?"Diam sejenak. Lalu Erica berkata pelan, "Kita semua pernah membuat pilihan bodoh."Minggu-minggu berlalu dengan ritme yang sama. Pagi diawali pesan "selamat pagi", malam diakhiri dengan "tidur yang nyenyak". Tapi
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai, menyinari wajah Erica yang masih bercucuran air mata. Ini hari keenam—besok Ricardo akan kembali ke Kalimantan. Waktu terasa begitu kejam, memberi mereka hanya sisa-sisa hari yang tak cukup untuk menyembuhkan semua luka. Tapi pagi itu, dengan hati yang masih berdarah, Erica memutuskan untuk memberikan satu hari terakhir—untuk mengenang, dan mungkin, untuk melepaskan.Ricardo sudah menunggu di depan rumah dengan mobil sewa yang sama sejak ia tiba seminggu lalu. Saat Erica keluar dengan mata sembap dan senyum getir, dadanya sesak. Perempuan ini—yang dulu selalu menyambutnya dengan pelukan hangat—kini berdiri dengan jarak yang terasa menyiksa."Mau kita mulai dari mana?" tanya Ricardo suara serak."Taman kota dulu,"jawab Erica pendek.Di taman yang dulu menjadi saksi bisu cinta mereka, Ricardo membeli dua gelas kopi dari kedai langganan. Tapi kali ini, rasanya pahit—seperti hubungan mereka yang tak lagi manis."Kamu Masih ingat waktu kita
Ricardo duduk di bangku taman yang sama, menunggu. Tangan yang menggenggam buku puisi kecil itu basah oleh keringat dingin. Setiap detik terasa seperti abadi. Ketika Erica akhirnya muncul, wajahnya pucat bagai mayat berjalan."Mau kubuang bukumu itu," bisik Erica dengan suara hampa, tanpa menatapnya. "Tapi setiap kali mau kulempar, tanganku lumpuh."Ricardo menunduk dalam-dalam. "Aku tak akan mengelak. Aku pantas menerima itu. Bahkan lebih dari itu.""Malam-malam ini," suara Erica tiba-tiba pecah, "aku masih terbangun menjerit. Masih merasakan sakitnya pengkhianatanmu seperti pisau yang terus mengoyak-ngoyak dadaku."Dia akhirnya menatap Ricardo, dan di matanya terbaca penderitaan yang tak tertahankan. "Kau tahu apa yang paling menyedihkan dari pengkhianatan ini? Aku masih mencintaimu. Dan itu membuatku semakin membenci diriku sendiri. Karna itu adalah hal terbodoh yang masih melekat di dalam diriku. Mencintai manusia yang tak pernah tau arti dari kesetiaan. Ck.. Bodoh!!!!"Ricardo te







