Share

4. Tunaikan Kewajibanmu

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Azura Angraeni binti Ruslan Adinata dengan mas kawin cincin mas dibayar tunai.” Aksha melafazkan dengan lancar.

Para saksi pun berseru, “Sah!”

Dahlia dan Bakhtiar tersenyum bahagia. Air mata Dahlia tak luput dari perhatian Aksha. Sedangkan Azura gamang menghadapi inipernikahan keduanya. Rela jadi pengganti atas balas budinya. Menjalani pernikahan keduanya sungguh membuatnya tersiksa. Karena hatinya tidak bisa berpaling dari mantan suaminya.

Namun, di sisi lain Azura terjepit. Kebaikan Dahlia menjadikan Azura mengiyakan permintaannya. Meski begitu, dibalik semuanya. Azura bisa dekat dengan orang yang mengenal masa lalunya. Dari pengamatannya Dahlia perhatian padanya, tentu ada alasannya. Itu yang harus Azura cari tahu.

Lebih ia harus membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Demi hal itu , ia rela melakukan apa pun asal dendamnya terwujud. Bersembunyi saat ini cara yang bagus sebelum ia melangkah maju.

“Zura.” Tepukan lembut Dahlia membuyarkan lamunan Azura.

“Maaf, Mah. Aku melamun,” sahutnya tak enak.

“Ayo, Nak. Cium tangan Aksha, sekarang kalian sudah halal,” interupsi Dahlia.

Azura yang ragu-ragu menggapai uluran tangannya lantas Aksha kesal dibuatnya.

“Cepat, capek nih!” gerutunya.

Azura mencium punggung tangan suaminya dengan bibir mengerut. Kemudian giliran Aksha mengecup kening istrinya.

“Jangan terlalu bahagia. Saya terpaksa menikahimu karena orang tuaku,” bisik Aksha.

Azura menyunggingkan sudut bibirnya sepertinya ia tak perlu khawatir soal rumah tangga.

“Kita sama,” balas Azura penuh arti.

Dalam penglihatan Dahlia dan Bakhtiar, putranya sudah menerima Azura sebagai istrinya.

“Pah, mereka terlihat serasi. Aksha beruntung dapat Azura,” ucapnya pada Ahmad.

Bakhtiar menggenggam tangan istrinya.

 “Kita doakan hubungan mereka sampai Jannah dan kita diberikan cucu lucu-lucu.”

“Amin,” jawab Dahlia mengusap wajahnya dengan dua tangan seperti orang selesai berdoa.

Acara dilanjutkan sungkeman kepada kedua orang tua disaksikan oleh tamu undangan. Suasana haru menghiasi ritual tersebut.

Pesta pernikahan yang diadakan sederhana itu tidak banyak mengundang tamu. Hanya berapa keluarga terdekat saja yang hadir dan tetangga sekitarnya.

Semua itu atas permintaan Aksha sendiri. Dia tidak rela menikah seorang janda dengan pesta mewah,. Pantasnya pesta sederhana untuk istri jandanya itu.

“Aku mau menikah dengannya, tapi ada syaratnya. Pesta pernikahan biasa-biasa aku gak mau yang mewah,” katanya tempoh hari.

Bakhtiar tidak mempermasalahkan pesta yang sederhana. Selama putra semata wayangnya mau menurutinya.

“Mamah yakin kalau pemilik kalung itu Azura?” bisik Baktiar usai ritual menguras air mata.

“Yakin, Pah. Kita tidak boleh didahului mereka. Sudah saatnya mereka kita keluar dari persembunyiannya,” jawab Dahlia pelan. Tentu pembicaraan itu hanya didengar dua orang itu.

“Tersenyumlah, jangan buat saya dipandang buruk oleh orang,” perintah Aksha geram melihat wajah datar Azura.

Sepanjang hari rahang Azura kaku, efek tersenyum paksanya. Tubuhnya juga pegal-pegal akibat duduk berjam-jam. Untungnya tangannya tidak ikut-ikutan murka, tak terbayang jika semua mengamuk karena kelelahan.

Sontak saja Azura terkejut manakala tubuhnya dipepet ke dinding. Kedua tangannya di kunci di atas kepalanya.

“Katakan, apa yang sedang kamu rencanakan?” tanya sengit Aksha tajam.

“Rencana apa?” balik bertanya.

“Aku tahu kamu punya niat tidak baik pada keluargaku. Aku bisa lihat dari gelagatmu,” tekan Aksha.

“Ngawur kamu, Aksha. Buat apa aku jahat sama keluarga kamu. Kenal saja baru berapa bulan ini, itu lantaran mamamu jadi dokterku,” jawab Azura.

“Awas saja sampai aku tahu niat busukmu,” ancam Aksha.

“Siapa takut,” sahut Azura tak gentar.

Lirikan mata Aksha yang mtak nyaman membuat Azura ingin enyah dari kamar ini.

“Apa yang kamu lihat?” Azura melotot kepada Aksha.

“Tunaikan kewajibanmu.”

Entah, setan mana yang merasuki Aksha hingga pria berwajah rupawan itu meminta haknya. Aneh sekali, baru saja dituduh dan diancam sekarang diminta memenuhi kewajiban sebagai istri.

“Kamu gila, Aksha bukankah kamu tak menyukaiku. Lalau mengapa aku harus melayanimu?” tolak Azura merasakan aneh.

“Aku sedang ingin. Punya istri lalu kenapa aku cari yang lain,” ucapnya memegang kasar dagu Azura hingga belahan bibir lebih maju, membentuk kerucut.

Malam yang dingin menampakkan sisi gelap seorang Aksha jauh dari kata lembut. Dia memperlakukan Azura sesukanya di tempat tidur. Suka atau tidak Aksha enggan menerima.

Aksha berbaring memeluk Azura dari belakang. Suara napasnya teratur menandakan Aksha sudah tertidur lelap. Suara lirih sakit memecahkan kesunyian ketika Aksha menggauli istrinya.

Rasa marah, benci dan muak dilampiaskan Aksha malam ini seakan-akan ada bom yang meledak. Setelah sekian tahun dipendam. Usai percumbuan itu Aksha tertidur memeluk pinggang Azura dari arah belakang.

Berbeda dengan Azura yang menangis. Membekap mulut menahan suara keluar. Ia salah memilih tempat bersembunyi dan malah membuat dirinya terjebak dalam neraka yang dibuat Aksha.

Azura tak menduga bila Aksha bisa seegois itu. Ia pikir menikah tanpa cinta akan terhindar sementara dari berhubungan badan. Salah besar ternyata, semua lelaki sama, suka memaksa.

Kring!

Ponsel Azura berbunyi, memecahkan keheningan malam. Azura beringsut turun menggunakan selimut untuk menutupi tubuh polosnya.

“Halo, Pak Tua. Apa yang membuatmu menghubungi, aku tengah malam?” tanyanya heran, mengendap keluar kamar.

“Ini soal, Dahlia.“ Suara Albert dari seberang sana.

“Katakan, jangan membuatku menunggu.” Mengusap sisa air mata.

“Dahlia mungkin salah satu dari mereka,” ujar Albert.

“Berengsek!” tangan Azura meninju pembatas tangga. Darah Azura mendidih bak di atas tungku api. Tanpa mendengar kelanjutannya dari Albert, Azura mengabaikan ponselnya.

Dengan langkah besar Azura masuk ke kamar. Ia mencari satu benda yang ia simpan di balik ranjang.

Setelah yang Azura cari didapatkan. Ia naik kasur dengan posisi di atas badan Aksha. Ada sesuatu yang mulai mengeras lagi.

“Oh, shit!” kecam Azura muak.

Azura mengarahkan senjata api tepat di kening Aksha.

“Akan aku buat, kau kehilangan putra kesayanganmu Dahlia! Seperti kau merengut Hanan dariku.” Azura menarik pelatuk, Sekali saja si lepas. Peluru itu akan menembus kepala pria yang sudah menggerayangi tadi.

“Nyonya, tenanglah. Jangan mengambil keputusan yang salah. Yang akan merugikan Nyonya sendiri.” Albert mencoba menenangkan Azura. Ia bisa menebak Azura menodongkan senjata api yang ia berikan waktu itu. Penyesalan tiada guna.

“Lalu aku harus berdiam diri saja, ah! Saat musuh di depan mata.”

Senjata api itu masih menempel di dahi Aksha.

“Informasi ini belum jelas kebenarannya. Bisa saja Dahlia umpan sama seperti pengemudi truk itu,” ungkap Albert.

Ia berharap Azura bisa mengerti dan mengendalikan emosi.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak tahan hidup bersama pria brengsek ini,” ucap Azura turun merosot, punggung bersandar di dinding ranjang. Merengkuh kedua lutut. Jidat menempel di permukaan lutut. Tangan kanan memegang ponsel menempel di telinga. Sedangkan tangan kiri menggenggam erat senjata api.

“Bersikap sewajarnya saja, Nyonya. Jangan sampai mereka mencurigai nyonya. Rencana kita bisa gagal untuk menge

tahui siapa pelaku utamanya.”

“Kau benar, Pak Tua.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status