“Saya terima nikahnya dan kawinnya Azura Angraeni binti Ruslan Adinata dengan mas kawin cincin mas dibayar tunai.” Aksha melafazkan dengan lancar.
Para saksi pun berseru, “Sah!”
Dahlia dan Bakhtiar tersenyum bahagia. Air mata Dahlia tak luput dari perhatian Aksha. Sedangkan Azura gamang menghadapi inipernikahan keduanya. Rela jadi pengganti atas balas budinya. Menjalani pernikahan keduanya sungguh membuatnya tersiksa. Karena hatinya tidak bisa berpaling dari mantan suaminya.
Namun, di sisi lain Azura terjepit. Kebaikan Dahlia menjadikan Azura mengiyakan permintaannya. Meski begitu, dibalik semuanya. Azura bisa dekat dengan orang yang mengenal masa lalunya. Dari pengamatannya Dahlia perhatian padanya, tentu ada alasannya. Itu yang harus Azura cari tahu.
Lebih ia harus membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Demi hal itu , ia rela melakukan apa pun asal dendamnya terwujud. Bersembunyi saat ini cara yang bagus sebelum ia melangkah maju.
“Zura.” Tepukan lembut Dahlia membuyarkan lamunan Azura.
“Maaf, Mah. Aku melamun,” sahutnya tak enak.
“Ayo, Nak. Cium tangan Aksha, sekarang kalian sudah halal,” interupsi Dahlia.
Azura yang ragu-ragu menggapai uluran tangannya lantas Aksha kesal dibuatnya.
“Cepat, capek nih!” gerutunya.
Azura mencium punggung tangan suaminya dengan bibir mengerut. Kemudian giliran Aksha mengecup kening istrinya.
“Jangan terlalu bahagia. Saya terpaksa menikahimu karena orang tuaku,” bisik Aksha.
Azura menyunggingkan sudut bibirnya sepertinya ia tak perlu khawatir soal rumah tangga.
“Kita sama,” balas Azura penuh arti.
Dalam penglihatan Dahlia dan Bakhtiar, putranya sudah menerima Azura sebagai istrinya.
“Pah, mereka terlihat serasi. Aksha beruntung dapat Azura,” ucapnya pada Ahmad.
Bakhtiar menggenggam tangan istrinya.
“Kita doakan hubungan mereka sampai Jannah dan kita diberikan cucu lucu-lucu.”
“Amin,” jawab Dahlia mengusap wajahnya dengan dua tangan seperti orang selesai berdoa.
Acara dilanjutkan sungkeman kepada kedua orang tua disaksikan oleh tamu undangan. Suasana haru menghiasi ritual tersebut.
Pesta pernikahan yang diadakan sederhana itu tidak banyak mengundang tamu. Hanya berapa keluarga terdekat saja yang hadir dan tetangga sekitarnya.
Semua itu atas permintaan Aksha sendiri. Dia tidak rela menikah seorang janda dengan pesta mewah,. Pantasnya pesta sederhana untuk istri jandanya itu.
“Aku mau menikah dengannya, tapi ada syaratnya. Pesta pernikahan biasa-biasa aku gak mau yang mewah,” katanya tempoh hari.
Bakhtiar tidak mempermasalahkan pesta yang sederhana. Selama putra semata wayangnya mau menurutinya.
“Mamah yakin kalau pemilik kalung itu Azura?” bisik Baktiar usai ritual menguras air mata.
“Yakin, Pah. Kita tidak boleh didahului mereka. Sudah saatnya mereka kita keluar dari persembunyiannya,” jawab Dahlia pelan. Tentu pembicaraan itu hanya didengar dua orang itu.
“Tersenyumlah, jangan buat saya dipandang buruk oleh orang,” perintah Aksha geram melihat wajah datar Azura.
Sepanjang hari rahang Azura kaku, efek tersenyum paksanya. Tubuhnya juga pegal-pegal akibat duduk berjam-jam. Untungnya tangannya tidak ikut-ikutan murka, tak terbayang jika semua mengamuk karena kelelahan.
Sontak saja Azura terkejut manakala tubuhnya dipepet ke dinding. Kedua tangannya di kunci di atas kepalanya.
“Katakan, apa yang sedang kamu rencanakan?” tanya sengit Aksha tajam.
“Rencana apa?” balik bertanya.
“Aku tahu kamu punya niat tidak baik pada keluargaku. Aku bisa lihat dari gelagatmu,” tekan Aksha.
“Ngawur kamu, Aksha. Buat apa aku jahat sama keluarga kamu. Kenal saja baru berapa bulan ini, itu lantaran mamamu jadi dokterku,” jawab Azura.
“Awas saja sampai aku tahu niat busukmu,” ancam Aksha.
“Siapa takut,” sahut Azura tak gentar.
Lirikan mata Aksha yang mtak nyaman membuat Azura ingin enyah dari kamar ini.
“Apa yang kamu lihat?” Azura melotot kepada Aksha.
“Tunaikan kewajibanmu.”
Entah, setan mana yang merasuki Aksha hingga pria berwajah rupawan itu meminta haknya. Aneh sekali, baru saja dituduh dan diancam sekarang diminta memenuhi kewajiban sebagai istri.
“Kamu gila, Aksha bukankah kamu tak menyukaiku. Lalau mengapa aku harus melayanimu?” tolak Azura merasakan aneh.
“Aku sedang ingin. Punya istri lalu kenapa aku cari yang lain,” ucapnya memegang kasar dagu Azura hingga belahan bibir lebih maju, membentuk kerucut.
Malam yang dingin menampakkan sisi gelap seorang Aksha jauh dari kata lembut. Dia memperlakukan Azura sesukanya di tempat tidur. Suka atau tidak Aksha enggan menerima.
Aksha berbaring memeluk Azura dari belakang. Suara napasnya teratur menandakan Aksha sudah tertidur lelap. Suara lirih sakit memecahkan kesunyian ketika Aksha menggauli istrinya.
Rasa marah, benci dan muak dilampiaskan Aksha malam ini seakan-akan ada bom yang meledak. Setelah sekian tahun dipendam. Usai percumbuan itu Aksha tertidur memeluk pinggang Azura dari arah belakang.
Berbeda dengan Azura yang menangis. Membekap mulut menahan suara keluar. Ia salah memilih tempat bersembunyi dan malah membuat dirinya terjebak dalam neraka yang dibuat Aksha.
Azura tak menduga bila Aksha bisa seegois itu. Ia pikir menikah tanpa cinta akan terhindar sementara dari berhubungan badan. Salah besar ternyata, semua lelaki sama, suka memaksa.
Kring!
Ponsel Azura berbunyi, memecahkan keheningan malam. Azura beringsut turun menggunakan selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
“Halo, Pak Tua. Apa yang membuatmu menghubungi, aku tengah malam?” tanyanya heran, mengendap keluar kamar.
“Ini soal, Dahlia.“ Suara Albert dari seberang sana.
“Katakan, jangan membuatku menunggu.” Mengusap sisa air mata.
“Dahlia mungkin salah satu dari mereka,” ujar Albert.
“Berengsek!” tangan Azura meninju pembatas tangga. Darah Azura mendidih bak di atas tungku api. Tanpa mendengar kelanjutannya dari Albert, Azura mengabaikan ponselnya.
Dengan langkah besar Azura masuk ke kamar. Ia mencari satu benda yang ia simpan di balik ranjang.
Setelah yang Azura cari didapatkan. Ia naik kasur dengan posisi di atas badan Aksha. Ada sesuatu yang mulai mengeras lagi.
“Oh, shit!” kecam Azura muak.
Azura mengarahkan senjata api tepat di kening Aksha.
“Akan aku buat, kau kehilangan putra kesayanganmu Dahlia! Seperti kau merengut Hanan dariku.” Azura menarik pelatuk, Sekali saja si lepas. Peluru itu akan menembus kepala pria yang sudah menggerayangi tadi.
“Nyonya, tenanglah. Jangan mengambil keputusan yang salah. Yang akan merugikan Nyonya sendiri.” Albert mencoba menenangkan Azura. Ia bisa menebak Azura menodongkan senjata api yang ia berikan waktu itu. Penyesalan tiada guna.
“Lalu aku harus berdiam diri saja, ah! Saat musuh di depan mata.”
Senjata api itu masih menempel di dahi Aksha.
“Informasi ini belum jelas kebenarannya. Bisa saja Dahlia umpan sama seperti pengemudi truk itu,” ungkap Albert.
Ia berharap Azura bisa mengerti dan mengendalikan emosi.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak tahan hidup bersama pria brengsek ini,” ucap Azura turun merosot, punggung bersandar di dinding ranjang. Merengkuh kedua lutut. Jidat menempel di permukaan lutut. Tangan kanan memegang ponsel menempel di telinga. Sedangkan tangan kiri menggenggam erat senjata api.
“Bersikap sewajarnya saja, Nyonya. Jangan sampai mereka mencurigai nyonya. Rencana kita bisa gagal untuk menge
tahui siapa pelaku utamanya.”
“Kau benar, Pak Tua.”
DOR! Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura. “Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya. Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu. Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya. "Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura. Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha. Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat
Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu . “Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya. Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert. “Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya. “Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil. Suara sera
Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha. Bugh! “Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura. “Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah. “Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya. Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan. “Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis. “Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel. “Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk. “Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas. Azura
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk
Barak terdiam memikirkan perkataan Aksha barusan. Memang benar Barak menyukai Ivana namun, hanya sebatas mengagumi kecantikan yang dimiliki Ivana Mengingat wanita itu lebih tertarik pada Aksha. Barak pikir lebih baik mengalah dan tidak ingin bersaing dengan teman sendiri. Bertengkar karena memperebutkan seorang wanita bukanlah gaya Barak. “Bukankah dia lebih menyukai kamu, Aksha?” tanya Barak memperbaiki duduknya. Ia penasaran apakah Aksha juga sama menyukai Ivana. Aksha terkekeh mendengar itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Ivana. Ia tau Barak sedang mengali informasi tentang perasaannya. Pertama kali bertemu Ivana gara-gara tersandung kasus penipuan. Aksha yang menjadi pengacara buat Ivana dalam menindak lanjuti kasus itu. Aksha selalu bersikap profesional pada setiap kliennya. Tidak melibatkan emosional di sana. Ivana saja yang menganggap berlebihan atas sikap perhatian yang diberikan Aksha. Ia tidak membedakan setiap kliennya selalu diperlakukan sama tanpa memandang status
Ketika Hanan, tak ada lagi di sisi Azura terkadang air matanya jatuh begitu saja tanpa permisi. Teringat akan canda tawa yang pernah dilaluinya, memupuk semangat hari Azura. Asanya pernah terbang tinggi ke awan sampai ia sulit meraihnya kembali. Pernikahan yang diimpikan Azura sampai kematian menjemput, kini sebatas angan-angan. Pria yang paling dicintai pergi untuk selamanya, ia masih terkungkung di masa lalu. Satu masa di mana saat ini Azura tidak menginginkan ada pria lain menggantikan posisi Hanan. Azura kembali mengetuk pintu setelah tak mendapat sahutan dari dalam. Malam semakin dingin, angin kencang menerpa tiap helai rambut sebahu Azura. Tangannya melipat, memeluk, mencari kehangatan di dalam dirinya. Cukup lama menunggu barulah pintu dibuka. Wajah pucat Azura memandang kesal Aksha. “Ingat pulang,” sindir Aksha menatap tajam. Azura diam seribu bahasa ia malas berdebat dengan Aksha. Perdebatan panjang tak ada habisnya jika dilawan. Ia selalu ingat perkataan Albert, ‘Keras hat
Azura Angraeni memiliki nama asli yaitu Avantika Hadinata lahir dari pasangan Ruslan Hadinata dan Arumi Hadinata. Ruslan Hadinata adalah seorang pengusaha batu permata yang sukses di Jakarta. Kesuksesan tidak membuat Ruslan dan Arumi bahagia. Memilik rumah mewah dan aset triliunan tiada guna bila tak memiliki seorang anak. Pernikahan yang sudah hampir menginjak lima tahun belum ada pertanda kehamilan pada Arumi. Soraya merupakan sahabat karib dari Arumi. Melihat Arumi bergelimang harta dan memiliki suami yang tampan membuat Soraya iri hati. Soraya hanya seorang gadis biasa mempunyai kekasih yang selalu menyiksanya. Bahkan kerap kali memukul Soraya bila tak mendapatkan apa yang ia mau. Terkadang Soraya dijual oleh kekasihnya pada lelaki hidung belang untuk mendapatkan uang. Kekasih Soraya hobi berjudi hingga Soraya terpaksa menjual diri untuk membayar hutang sang kekasih. Hidup penuh tekanan merayu Soraya untuk merebut suami sahabat sendiri. Kala itu Soraya tanpa sengaja bertemu Rusla