Share

5. Muak

DOR!

Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura.

“Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya.

Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu.

Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya.

"Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura.

Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha.

Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat kulit yang menempel padanya semalam. Alhasil Azura menggosok semua tempat yang di sentuh Aksha dengan rakus. Susah payah Azura menata hatinya antara kewajiban dan benci.

“Apa ini?” Melempar semua pakaian ke Azura, “kamu kira, saya mau berkabung?” ucapnya seolah marah dengan tangan di pinggang. Akal-akalan Aksha mencari ribut Azura. Hidup terlalu tenang itu tidak mengasyikkan.

“Maaf, aku tidak tahu kamu suka yang mana. Jadi, aku ambil yang, aku lihat saja,” jawab Azura malas berdebat.

Alih-alih melawan malah meminta maaf. Menjadikan Aksha jengkel bukan kepalang. Lawannya tidak mau membalas serangnya.

“Lain kali kalau tidak bisa jangan sok. Saya bisa sendiri tidak butuh bantuan dari kamu.” Berdiri di depan cermin.

Kalau tidak suka berkatalah dengan baik. Ia hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Wanita itu suka kelembutan. Hatinya akan terluka mendengar suara yang meninggi.

Azura terkekeh geli melihat Aksha kesulitan memasang dasinya.

Si Kompor meleduk besar berkoar. Mulut banyak bicara nyatanya butuh bantuan orang juga.

 Azura berkata, “Sini aku pakaikan.” Meraih dasi bernuansa biru polkadot.

“Memangnya bisa?” tanya Aksha meremehkan kemampuan Azura berusaha bersikap tenang meskipun hati berselimut benci.

“Bisa kok.” Azura mendongak, berjinjit sedikit. Azura menarik ujung dasi ke belakang kemudian selipkan ujung dasi lainnya. Putar dan selipkan lagi. Lalu tarik melalui lilitan dan kencangkan ikatan.

“Selesai,” ujar Azura menghindari seketika netra mereka saling beradu.

Menyadari Azura membuang muka seolah jijik memandang dirinya. Sorot kebencian terbaca di mata Azura. Mata yang sama memandangi dalam mimpi dengan senjata api mengarahkan padanya.

“Aksha, nanti aku ijin keluar bentar ya,” pintanya pelan menunduk.

“Mau ke mana?” tanya Aksha merendahkan kepalanya. “Kalau bicara itu lihat orangnya. Jangan lihat ke bawah,” sambung Aksha mengambil tas di atas meja rias.

Napas hangat Aksha menyebarkan sensasi berbeda. Azura menggeleng, jangan tergoda. Bisa besar kepala nanti Aksha.

“Aku mau ....” Azura menggantung perkataannya.

Aksha yang mulai jemu menunggu. Memperhatikan jam di tangan yang terlihat mahal itu.

“Sudah, saya tidak peduli kamu mau pergi ke mana. Yang penting di saat saya pulang, kamu sudah di rumah.” Mengibaskan tangannya.

Melihat Aksha keluar kamar. Azura pun mengejarnya dari belakang.

“Aksha, enggak sarapan dulu. Aku sudah masak nasi goreng,” ucapnya menghentikan langkah kaki suaminya yang hendak keluar.

Aksha berbalik menghampiri Azura. Menoleh meja makan yang sudah tersaji nasi goreng yang kelihatan lezat.

“Saya tidak sudi makan masakan yang di masak sama wanita seperti kamu.” ucap Aksha dingin.

Untuk kesekian kalinya perkataan Aksha menusuk tajam ke jantungnya. Sakit yang tidak berdarah tapi bisa dirasakan.

“Apa sih salah, aku sama kamu? sampai setiap kata yang keluar dari mulut, kamu itu selalu kasar.” Azura tidak tahan lagi.

“Salah, salah kamu bilang,” tunjuknya menekan dahi Azura, “pikir sendiri salah kamu apa!” tekan Aksha melempar vas bunga yang berada di dekatnya.

Prang!

Azura tercekam, tak terhindar lagi potong vas bunga itu melanting melukai tumit kakinya. Darah pun mengalir dari luka, menodai lantai marmer yang mengkilap.

Kalau membunuh itu tidak dihukum mati. Sudah Azura lakukan sejak semalam. Ini bikin sakit kepala menghadapi sikap Aksha yang berubah-ubah.

“Sakit jiwa," batinnya mengumpat.

Azura bangkit, mengusap air matanya. Semesta akan mengejek dirinya yang cengeng. Dunia akan menertawakan Azura yang lemah.

Azura sudah rapi dengan kaos birunya dipadu jeans warna senada tak lupa sepatu hitamnya. Ia sangat nyaman dengan pakaian seperti ini.

Di depan pagar sudah di tunggu ojek Online yang tadi ia pesan. Ia pun meluncur ke tempat tujuan. Tempat di mana ia akan tumpahkan segalanya. Tentang cinta, tentang rindu yang tak bertepi ini.

“Bang, berhenti di sini saja,” pinta Azura menepuk pundak belakang tukang ojek. Lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru.

Dengan langkah berat ia melangkah kakinya memasuki jalan setapak. Setiap sisi jalan ditumbuhi pohon Kamboja yang bermekaran. Suasana lengang, tak ada suara hiruk pikuk di sini. Hanya terdengar suara burung berkicau. Orang yang berlalu lalang pun tidak ada.

Azura terus berjalan melewati setiap gundukan tanah yang sudah di tutupi rerumputan hijau. Ia berhenti di tepat di sebuah batu nisan yang bertuliskan ‘Hanan Prasetyo bin Herlambang’

Azura membuka kantong plastik hitam yang ia bawa berisi kelopak bunga. Ia menaburkan kelopak bunga itu ke permukaan pemakanan suaminya.

“Mas, apa kabarnya?” ucapnya mencium batu nisan, mengelus penuh kerinduan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status