Share

5. Muak

Author: Nasreen
last update Last Updated: 2022-04-25 16:32:10

DOR!

Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura.

“Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya.

Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu.

Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya.

"Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura.

Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha.

Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat kulit yang menempel padanya semalam. Alhasil Azura menggosok semua tempat yang di sentuh Aksha dengan rakus. Susah payah Azura menata hatinya antara kewajiban dan benci.

“Apa ini?” Melempar semua pakaian ke Azura, “kamu kira, saya mau berkabung?” ucapnya seolah marah dengan tangan di pinggang. Akal-akalan Aksha mencari ribut Azura. Hidup terlalu tenang itu tidak mengasyikkan.

“Maaf, aku tidak tahu kamu suka yang mana. Jadi, aku ambil yang, aku lihat saja,” jawab Azura malas berdebat.

Alih-alih melawan malah meminta maaf. Menjadikan Aksha jengkel bukan kepalang. Lawannya tidak mau membalas serangnya.

“Lain kali kalau tidak bisa jangan sok. Saya bisa sendiri tidak butuh bantuan dari kamu.” Berdiri di depan cermin.

Kalau tidak suka berkatalah dengan baik. Ia hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Wanita itu suka kelembutan. Hatinya akan terluka mendengar suara yang meninggi.

Azura terkekeh geli melihat Aksha kesulitan memasang dasinya.

Si Kompor meleduk besar berkoar. Mulut banyak bicara nyatanya butuh bantuan orang juga.

 Azura berkata, “Sini aku pakaikan.” Meraih dasi bernuansa biru polkadot.

“Memangnya bisa?” tanya Aksha meremehkan kemampuan Azura berusaha bersikap tenang meskipun hati berselimut benci.

“Bisa kok.” Azura mendongak, berjinjit sedikit. Azura menarik ujung dasi ke belakang kemudian selipkan ujung dasi lainnya. Putar dan selipkan lagi. Lalu tarik melalui lilitan dan kencangkan ikatan.

“Selesai,” ujar Azura menghindari seketika netra mereka saling beradu.

Menyadari Azura membuang muka seolah jijik memandang dirinya. Sorot kebencian terbaca di mata Azura. Mata yang sama memandangi dalam mimpi dengan senjata api mengarahkan padanya.

“Aksha, nanti aku ijin keluar bentar ya,” pintanya pelan menunduk.

“Mau ke mana?” tanya Aksha merendahkan kepalanya. “Kalau bicara itu lihat orangnya. Jangan lihat ke bawah,” sambung Aksha mengambil tas di atas meja rias.

Napas hangat Aksha menyebarkan sensasi berbeda. Azura menggeleng, jangan tergoda. Bisa besar kepala nanti Aksha.

“Aku mau ....” Azura menggantung perkataannya.

Aksha yang mulai jemu menunggu. Memperhatikan jam di tangan yang terlihat mahal itu.

“Sudah, saya tidak peduli kamu mau pergi ke mana. Yang penting di saat saya pulang, kamu sudah di rumah.” Mengibaskan tangannya.

Melihat Aksha keluar kamar. Azura pun mengejarnya dari belakang.

“Aksha, enggak sarapan dulu. Aku sudah masak nasi goreng,” ucapnya menghentikan langkah kaki suaminya yang hendak keluar.

Aksha berbalik menghampiri Azura. Menoleh meja makan yang sudah tersaji nasi goreng yang kelihatan lezat.

“Saya tidak sudi makan masakan yang di masak sama wanita seperti kamu.” ucap Aksha dingin.

Untuk kesekian kalinya perkataan Aksha menusuk tajam ke jantungnya. Sakit yang tidak berdarah tapi bisa dirasakan.

“Apa sih salah, aku sama kamu? sampai setiap kata yang keluar dari mulut, kamu itu selalu kasar.” Azura tidak tahan lagi.

“Salah, salah kamu bilang,” tunjuknya menekan dahi Azura, “pikir sendiri salah kamu apa!” tekan Aksha melempar vas bunga yang berada di dekatnya.

Prang!

Azura tercekam, tak terhindar lagi potong vas bunga itu melanting melukai tumit kakinya. Darah pun mengalir dari luka, menodai lantai marmer yang mengkilap.

Kalau membunuh itu tidak dihukum mati. Sudah Azura lakukan sejak semalam. Ini bikin sakit kepala menghadapi sikap Aksha yang berubah-ubah.

“Sakit jiwa," batinnya mengumpat.

Azura bangkit, mengusap air matanya. Semesta akan mengejek dirinya yang cengeng. Dunia akan menertawakan Azura yang lemah.

Azura sudah rapi dengan kaos birunya dipadu jeans warna senada tak lupa sepatu hitamnya. Ia sangat nyaman dengan pakaian seperti ini.

Di depan pagar sudah di tunggu ojek Online yang tadi ia pesan. Ia pun meluncur ke tempat tujuan. Tempat di mana ia akan tumpahkan segalanya. Tentang cinta, tentang rindu yang tak bertepi ini.

“Bang, berhenti di sini saja,” pinta Azura menepuk pundak belakang tukang ojek. Lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru.

Dengan langkah berat ia melangkah kakinya memasuki jalan setapak. Setiap sisi jalan ditumbuhi pohon Kamboja yang bermekaran. Suasana lengang, tak ada suara hiruk pikuk di sini. Hanya terdengar suara burung berkicau. Orang yang berlalu lalang pun tidak ada.

Azura terus berjalan melewati setiap gundukan tanah yang sudah di tutupi rerumputan hijau. Ia berhenti di tepat di sebuah batu nisan yang bertuliskan ‘Hanan Prasetyo bin Herlambang’

Azura membuka kantong plastik hitam yang ia bawa berisi kelopak bunga. Ia menaburkan kelopak bunga itu ke permukaan pemakanan suaminya.

“Mas, apa kabarnya?” ucapnya mencium batu nisan, mengelus penuh kerinduan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Rela Jadi Pengganti   23. Bangkit

    Azura mengangkat kakinya dari dada pria itu dengan gerakan cepat dan berbalik. Berjalan mondar-mandir di hadapan pria yang masih terikat di kursi. Wajahnya penuh kemarahan, matanya menyala-nyala seperti bara api. Pria itu, dengan wajah yang semakin memerah dan kulit yang mengelupas, hanya bisa meringis kesakitan.“Kau pikir kau bisa bermain-main dengan aku, ya?” suara Azura bergetar dengan kemarahan. “Aku bertanya lagi, mengapa kau menghabisi bawahanku?”Pria itu menelan ludah, berusaha mengumpulkan kekuatannya. “Aku tidak tahu siapa bawahan yang nyonya maksud,” katanya dengan suara serak.Azura berhenti di depan pria itu, menatapnya tajam. “Jangan bohongi aku! Kau kenal Albert ?” teriaknya. Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah pria itu. “Aku tahu kau terlibat. Katakan kebenarannya, atau aku pastikan rasa sakit ini hanyalah permulaan.”Pria itu terdiam, menatap Azura dengan tatapan campur aduk antara ketakutan dan kebencian. “Baiklah,” katanya akhirnya menyerah, suaranya nyaris

  • Aku Rela Jadi Pengganti   22. Dendam Azura

    Kematian Albert pukulan terbesar untuk Azura. Albert sendiri telah dianggap orang tuanya, Azura tidak dapat menerima kenyataan. Bahwa sekali lagi hidupnya diporak-porandakan oleh sosok keji itu yang tak dikenalnya.“Siapapun dia, aku akan membalas kematianmu,” batin Azura bertekad mengepal keras tangannya.Masih di posisi sama, Aksha bergeming. Ia bingung menghadapi situasi yang ia sendiri tidak mengerti. “Zura, tenangkan dirimu. Kasihan beliau bila terlalu lama dibiarkan. Kita harus menguburkan secepatnya,” saran Aksha saat ini.Azura bangkit, menghapus bulir hangat di pipinya.“Bi Asih tolong persiapan pemakaman Pak tua. Aku akan mengurus yang lainnya,” perintah Azura kemudian berjalan naik ke lantai atas.Tatapan iba Aksha berikan kala Azura naik ke atas. Entah apa yang dipikirkan Azura yang jelas ia sejenak lupa kehadiran Aksha. Pria itu berusaha mengerti perasaan Azura yang sedang berkabung. Aksha membantu Asih mengurus segalanya.“Kenalkan saya , Aksha suami Azura.”“Sa

  • Aku Rela Jadi Pengganti   21. Kematian Albert

    Albert di bawa ke sebuah rumah kosong yang dulunya rumah orang tua Azura. Bangunan yang kokoh dahulu itu kini terbengkalai. Puing-puing dari sisa kebakaran masih melekat jelas. Kemegahan yang dulu jadi sorotan publik tinggal kenangan.“Ikat dia!” perintah Andre mengamati Albert yang pingsan.Anak buah Andre mengikat Albert di tiang beton sisa dari pilar rumah. Atap rumah sebagian hancur dan dibiarkan menganga. Angin dan hujan bisa masuk kapan saja.“Bangunkan dia!” Andre menyeret kursi kayu, ia duduk di depan Albert. Salah seorang anak buah Andre membawa ember berisi air lalu disiram ke wajah Albert. Sontak pria tua itu terbangun. Kacamata yang bertengger di hidung Albert jatuh.“Siapa kalian?” tanya Albert samar penglihatannya.Andre tersenyum sinis, bergerak mengambil kacamata milik Albert di bawah kakinya.“Kau cukup berani juga ya.” Andre memakaikan kacamata untuk Albert.Andre kembali duduk di kursi menyilang kaki dengan angkuh.“Katakan di mana Avantika Hadinata?”Sek

  • Aku Rela Jadi Pengganti   20. Malaikat Maut

    Soraya berjalan santai ke salah satu kamar yang tak di rawat. Dua tangan membawa nampan yang berisi makan siang. Setiba di kamar yang dituju, seorang pria berbaju hitam membukanya pintu untuk Soraya.“Kau selalu kaget melihat aku datang,” ucap Soraya menaruh nampan di atas nakas lalu duduk di pinggir kasur.Ruslan melebarkan bola matanya melihat Soraya duduk bersebelahan dengannya. Rasanya ingin ia cekik Soraya hingga kehabisan napas.“Aku ingin membunuhnya,” batin Ruslan menyimpan banyak kemarahan.Soraya menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. “Makian apalagi yang kau lontarkan untukku di dalam hatimu, Ruslan?” Seolah-olah Soraya tahu apa yang diucapkan Ruslan dalam hatinya.“Kau membuatku muak Soraya, enyahlah kau dari hadapanku.” Hanya bisa membatin, ia tidak bisa berbicara.Ruslan mengalami stroke akibatnya lumpuh total pada bagian vitalnya. Kelumpuhan tak ada yang mengetahui ke kecuali Soraya, Andre dan beberapa anak buah Soraya. Sengaja dirahasiakan takut harga s

  • Aku Rela Jadi Pengganti   19. Infomasi Dari Barak

    Pukul satu siang, Aksha keluar dari kamarnya. Penampilannya terlihat segar sudah rapi dengan pakaian santainya. Pekerjaan dipindahkan di rumah sehingga rekannya terpaksa datang ke rumah. “Susah ya kalau lagi cinta bersemi sampai lupa keriaan,” ledek barak memeriksa apa yang harus diberikannya kepada Aksha. “Makanya nikah biar lu tau rasa enaknya,” balas Aksha mengambil file dari tangan Barak. Yang diajak bicara malah fokus arah lain. Kemunculan Azura membuat Barak terkesima pasalnya pertama kali melihat kakak ipar dengan saksama. Pria tengil itu langsung memepet ke Azura. Akibatnya, Aksha memasang mata tajam kepada temannya itu dan menyeret Barak kembali untuk duduk. “Lihati apa?” Aksha memukul kepala Barak menggunakan tumpukan file. “Hahaha, tenanglah. Aku lagi terpesona sama kecantikan kakak ipar. Gak usah cemburu gitu,” celetuk Barak mengusap kepalanya. “Cari mati nih, anak!” gumam Aksha diindahkan oleh Barak yang asyik menggoda Azura. “Silakan diminum dan dicicip camilannya,

  • Aku Rela Jadi Pengganti   18. Morning Kiss

    Paginya, Aksha berharap kalimat cerai tak pernah dilontarkan lagi oleh Azura. Sejatinya ia mulai menginginkan wanita itu hidup dengannya seumur hidupnya. Rasa memiliki berkecamuk di dada tak mau berpisah sedetik pun sampai Aksha memilih bolos dari kantor. “Pergilah kerja, aku tidak akan kemana-mana,” ucap Azura meyakinkan suaminya supaya beranjak dari ranjang. Kepercayaan diri Aksha setipis tisu. Kecemasan tidak melepaskan dirinya dari belenggu rasa takut ditinggalkan. “Tidak, Zura. Bila aku pergi kamu bisa saja meninggalkanku tanpa pamit.” Aksha menatap Azura penuh kekhawatiran kemudian memeluk Azura terlalu erat hingga istrinya merasakan sesak. “Aksha, aku kesulitan bernapas!” Aksha mendongak menyadari istri tak bisa bernapas baru lah mengurai pelukannya. “Maaf, aku kekencangan peluknya ya?” tanya Aksha polos sedangkan Azura mencebik bibirnya. “Hampir saja nyawaku melayang.” Azura mengambil napas sebanyak yang ia bisa. Aksha melintir bibir Azura yang maju lantas ditepis si p

  • Aku Rela Jadi Pengganti   17. Rencana Andre

    "Apa!" Aksha terlonjak kaget mendengar perkataan Azura. "Kenapa begitu kaget? bukankah bagus kita bercerai?" Azura bersikap tenang tentu hal itu mencuri perhatian Aksha yang syok. Mereka berdua bersemuka yang satu tegang, satunya berusaha tenang, tapi hati sama-sama berkecamuk. “Kamu tiba-tiba minta cerai, jelas aku kaget! Sebenarnya ada apa sampai kamu berkeinginan bercerai?" tanya Aksha tidak menerima permintaan istrinya. "Toh, kita tidak saling mencintai, kenapa harus dipertahankan? Bagiku itu alasan yang cukup buat kita bercerai," kukuh Azura bercerai. “Pernikahan kita baik-baik saja, aku bukan pria berselingkuh. Bahkan saat kamu di rumah sakit aku selalu menjagamu. Alasan tidak ada cinta diantara kita itu wajar karena pernikahan kita bukan murni dari keinginan kita. Melainkan hasil perjodohan, kamu sendiri menyetujuinya. Lalu kenapa sekarang kamu permasalahan kan?” Ia pikir akan sangat mudah minta cerai dari Aksha. Mengingat awal perjodohan, Aksha menentang keras malah mengh

  • Aku Rela Jadi Pengganti   16. Ingin Bercerai

    Azura bangkit dari ranjangnya, menghubungi Albert melalui telepon selulernya. “Pak Tua, kerahkan pelayan rumah untuk menyambut kepulangan ku.” Albert terkejut mendengar perintah Azura. Sejak kematian Hanan suami pertama Azura, gadis itu tak pernah menginjak kakinya di rumah itu. Lantas apa yang memicu Azura kembali ke rumah yang penuh kenangan indah itu? pernah sekali Albert mengajak Azura pulang, penolakan keras yang Albert terima. “Apa Nyonya serius?” Albert memastikan telinganya tak salah mendengar atau ia sedang bermimpi. “Apa aku tengah bercanda?” jawab Azura mempertegas ucapannya. Kesal mendengar pertanyaan Albert seakan dirinya sedang bercanda. “Bagaimana dengan Aksha? Dia tau nyonya pulang?" tanya Albert ingin tahu jawab apa yang akan di ucapkan oleh Azura. Albert mencemaskan pria itu, iba bila mendadak ditinggal Azura. “Aku akan menggugat cerai.” Azura yakin itu keputusan terbaiknya. Dia tak mau lagi bersembunyi hasilnya dia tetap jadi buruan mereka. Kali ini Azura su

  • Aku Rela Jadi Pengganti   15. Perubahan Sikap Azura

    Kepulangan Azura disambut oleh Dahlia dan Bibi Ninik. Azura melempar senyuman kecil atas perhatian kepedulian mereka.“Ak, ini siapa?” tanya Azura mengarah ke seorang wanita yang usianya sama dengan Dahlia. Terlebih wanita itu membawa tas berisi pakaiannya selama di rumah sakit.“Permisi, Nyonya. Saya Ninik pembantu baru,” ucap Ninik memperkenalkan dirinya.Azura menoleh ke belakang, di mana Aksha berdiri di belakang seraya mendorong kursi rodanya. “Aku sengaja cari pembantu biar aku bisa fokus jagai kamu. Lagian Bibi Ninik orangnya gesit dan dapat dipercaya,” ujar Aksha jawab keraguan istrinya.“Selama aku tidak ada, banyak yang berubah ya,” kata Azura pelan.Azura memerhatikan sekeliling ruangan yang bersih dan wangi.“Apa aku sebegitu penyakitan hingga tugasku diambil orang lain,” lontarnya. Perasaan apa ini? ada rasa tidak suka bila apa yang selama ini ia kerjakan kini diambil alih orang lain.“Tidak baik berprasangka buruk, aku tidak bermaksud berbuat seperti itu. Mengi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status