DOR!
Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura.
“Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya.
Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu.
Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya.
"Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura.
Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha.
Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat kulit yang menempel padanya semalam. Alhasil Azura menggosok semua tempat yang di sentuh Aksha dengan rakus. Susah payah Azura menata hatinya antara kewajiban dan benci.
“Apa ini?” Melempar semua pakaian ke Azura, “kamu kira, saya mau berkabung?” ucapnya seolah marah dengan tangan di pinggang. Akal-akalan Aksha mencari ribut Azura. Hidup terlalu tenang itu tidak mengasyikkan.
“Maaf, aku tidak tahu kamu suka yang mana. Jadi, aku ambil yang, aku lihat saja,” jawab Azura malas berdebat.
Alih-alih melawan malah meminta maaf. Menjadikan Aksha jengkel bukan kepalang. Lawannya tidak mau membalas serangnya.
“Lain kali kalau tidak bisa jangan sok. Saya bisa sendiri tidak butuh bantuan dari kamu.” Berdiri di depan cermin.
Kalau tidak suka berkatalah dengan baik. Ia hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Wanita itu suka kelembutan. Hatinya akan terluka mendengar suara yang meninggi.
Azura terkekeh geli melihat Aksha kesulitan memasang dasinya.
Si Kompor meleduk besar berkoar. Mulut banyak bicara nyatanya butuh bantuan orang juga.
Azura berkata, “Sini aku pakaikan.” Meraih dasi bernuansa biru polkadot.
“Memangnya bisa?” tanya Aksha meremehkan kemampuan Azura berusaha bersikap tenang meskipun hati berselimut benci.
“Bisa kok.” Azura mendongak, berjinjit sedikit. Azura menarik ujung dasi ke belakang kemudian selipkan ujung dasi lainnya. Putar dan selipkan lagi. Lalu tarik melalui lilitan dan kencangkan ikatan.
“Selesai,” ujar Azura menghindari seketika netra mereka saling beradu.
Menyadari Azura membuang muka seolah jijik memandang dirinya. Sorot kebencian terbaca di mata Azura. Mata yang sama memandangi dalam mimpi dengan senjata api mengarahkan padanya.
“Aksha, nanti aku ijin keluar bentar ya,” pintanya pelan menunduk.
“Mau ke mana?” tanya Aksha merendahkan kepalanya. “Kalau bicara itu lihat orangnya. Jangan lihat ke bawah,” sambung Aksha mengambil tas di atas meja rias.
Napas hangat Aksha menyebarkan sensasi berbeda. Azura menggeleng, jangan tergoda. Bisa besar kepala nanti Aksha.
“Aku mau ....” Azura menggantung perkataannya.
Aksha yang mulai jemu menunggu. Memperhatikan jam di tangan yang terlihat mahal itu.
“Sudah, saya tidak peduli kamu mau pergi ke mana. Yang penting di saat saya pulang, kamu sudah di rumah.” Mengibaskan tangannya.
Melihat Aksha keluar kamar. Azura pun mengejarnya dari belakang.
“Aksha, enggak sarapan dulu. Aku sudah masak nasi goreng,” ucapnya menghentikan langkah kaki suaminya yang hendak keluar.
Aksha berbalik menghampiri Azura. Menoleh meja makan yang sudah tersaji nasi goreng yang kelihatan lezat.
“Saya tidak sudi makan masakan yang di masak sama wanita seperti kamu.” ucap Aksha dingin.
Untuk kesekian kalinya perkataan Aksha menusuk tajam ke jantungnya. Sakit yang tidak berdarah tapi bisa dirasakan.
“Apa sih salah, aku sama kamu? sampai setiap kata yang keluar dari mulut, kamu itu selalu kasar.” Azura tidak tahan lagi.
“Salah, salah kamu bilang,” tunjuknya menekan dahi Azura, “pikir sendiri salah kamu apa!” tekan Aksha melempar vas bunga yang berada di dekatnya.
Prang!
Azura tercekam, tak terhindar lagi potong vas bunga itu melanting melukai tumit kakinya. Darah pun mengalir dari luka, menodai lantai marmer yang mengkilap.
Kalau membunuh itu tidak dihukum mati. Sudah Azura lakukan sejak semalam. Ini bikin sakit kepala menghadapi sikap Aksha yang berubah-ubah.
“Sakit jiwa," batinnya mengumpat.
Azura bangkit, mengusap air matanya. Semesta akan mengejek dirinya yang cengeng. Dunia akan menertawakan Azura yang lemah.
Azura sudah rapi dengan kaos birunya dipadu jeans warna senada tak lupa sepatu hitamnya. Ia sangat nyaman dengan pakaian seperti ini.
Di depan pagar sudah di tunggu ojek Online yang tadi ia pesan. Ia pun meluncur ke tempat tujuan. Tempat di mana ia akan tumpahkan segalanya. Tentang cinta, tentang rindu yang tak bertepi ini.
“Bang, berhenti di sini saja,” pinta Azura menepuk pundak belakang tukang ojek. Lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru.
Dengan langkah berat ia melangkah kakinya memasuki jalan setapak. Setiap sisi jalan ditumbuhi pohon Kamboja yang bermekaran. Suasana lengang, tak ada suara hiruk pikuk di sini. Hanya terdengar suara burung berkicau. Orang yang berlalu lalang pun tidak ada.
Azura terus berjalan melewati setiap gundukan tanah yang sudah di tutupi rerumputan hijau. Ia berhenti di tepat di sebuah batu nisan yang bertuliskan ‘Hanan Prasetyo bin Herlambang’
Azura membuka kantong plastik hitam yang ia bawa berisi kelopak bunga. Ia menaburkan kelopak bunga itu ke permukaan pemakanan suaminya.
“Mas, apa kabarnya?” ucapnya mencium batu nisan, mengelus penuh kerinduan.
Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu . “Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya. Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert. “Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya. “Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil. Suara sera
Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha. Bugh! “Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura. “Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah. “Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya. Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan. “Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis. “Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel. “Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk. “Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas. Azura
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk
Barak terdiam memikirkan perkataan Aksha barusan. Memang benar Barak menyukai Ivana namun, hanya sebatas mengagumi kecantikan yang dimiliki Ivana Mengingat wanita itu lebih tertarik pada Aksha. Barak pikir lebih baik mengalah dan tidak ingin bersaing dengan teman sendiri. Bertengkar karena memperebutkan seorang wanita bukanlah gaya Barak. “Bukankah dia lebih menyukai kamu, Aksha?” tanya Barak memperbaiki duduknya. Ia penasaran apakah Aksha juga sama menyukai Ivana. Aksha terkekeh mendengar itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Ivana. Ia tau Barak sedang mengali informasi tentang perasaannya. Pertama kali bertemu Ivana gara-gara tersandung kasus penipuan. Aksha yang menjadi pengacara buat Ivana dalam menindak lanjuti kasus itu. Aksha selalu bersikap profesional pada setiap kliennya. Tidak melibatkan emosional di sana. Ivana saja yang menganggap berlebihan atas sikap perhatian yang diberikan Aksha. Ia tidak membedakan setiap kliennya selalu diperlakukan sama tanpa memandang status
Ketika Hanan, tak ada lagi di sisi Azura terkadang air matanya jatuh begitu saja tanpa permisi. Teringat akan canda tawa yang pernah dilaluinya, memupuk semangat hari Azura. Asanya pernah terbang tinggi ke awan sampai ia sulit meraihnya kembali. Pernikahan yang diimpikan Azura sampai kematian menjemput, kini sebatas angan-angan. Pria yang paling dicintai pergi untuk selamanya, ia masih terkungkung di masa lalu. Satu masa di mana saat ini Azura tidak menginginkan ada pria lain menggantikan posisi Hanan. Azura kembali mengetuk pintu setelah tak mendapat sahutan dari dalam. Malam semakin dingin, angin kencang menerpa tiap helai rambut sebahu Azura. Tangannya melipat, memeluk, mencari kehangatan di dalam dirinya. Cukup lama menunggu barulah pintu dibuka. Wajah pucat Azura memandang kesal Aksha. “Ingat pulang,” sindir Aksha menatap tajam. Azura diam seribu bahasa ia malas berdebat dengan Aksha. Perdebatan panjang tak ada habisnya jika dilawan. Ia selalu ingat perkataan Albert, ‘Keras hat
Azura Angraeni memiliki nama asli yaitu Avantika Hadinata lahir dari pasangan Ruslan Hadinata dan Arumi Hadinata. Ruslan Hadinata adalah seorang pengusaha batu permata yang sukses di Jakarta. Kesuksesan tidak membuat Ruslan dan Arumi bahagia. Memilik rumah mewah dan aset triliunan tiada guna bila tak memiliki seorang anak. Pernikahan yang sudah hampir menginjak lima tahun belum ada pertanda kehamilan pada Arumi. Soraya merupakan sahabat karib dari Arumi. Melihat Arumi bergelimang harta dan memiliki suami yang tampan membuat Soraya iri hati. Soraya hanya seorang gadis biasa mempunyai kekasih yang selalu menyiksanya. Bahkan kerap kali memukul Soraya bila tak mendapatkan apa yang ia mau. Terkadang Soraya dijual oleh kekasihnya pada lelaki hidung belang untuk mendapatkan uang. Kekasih Soraya hobi berjudi hingga Soraya terpaksa menjual diri untuk membayar hutang sang kekasih. Hidup penuh tekanan merayu Soraya untuk merebut suami sahabat sendiri. Kala itu Soraya tanpa sengaja bertemu Rusla
“Zuraaa,” teriak histeris Aksha berlarian mendekati Azura. Walau sempat terjatuh, lutut yang berdarah tak dipedulikan Aksha. Ia terus berlari hingga berhenti melihat Azura yang sudah bersimbah darah.Azura pingsan, dia tak sadarkan diri dengan keadaan kepala berdarah. Luka-luka di berapa bagian tubuh lain. Akibat gesekan aspal.Aksha duduk dan memeluk tubuh Azura yang lemah tak berdaya. Mata yang tertutup, darah yang mengalir dari kepala istrinya. Berkali-kali Aksha menciumi kening Azura. Berdoa agar Azura baik-baik saja.“Apa yang terjadi?” tanya sayup Aksha pada tukang sayur yang mematung menatap Azura.“Neng, Azura tadi menyeberangi jalan. Mendadak mobil box putih dari arah kanan menabraknya,” tutur tukang sayur yang sudah gemetaran melihat darah.“Lalu ke mana perginya mobil itu? apa bapak mencatat nomor plat mobilnya?” tanya Aksha lagi.“Kabur ke arah jalan raya. Maaf saya tak sempat melihat plat mobilnya,” jawabnya tukang sayur menyesali kelalaiannya.Aksha tak henti memanggil A