Share

3. Kukejar Sampai Liang Lahad

Ma, Apa tidak ada wanita lain? Sampai menjodohkan saya dengan seorang janda!” hinanya. Menunjuk tajam ke arah Azura. Tiba-tiba di minta pulang hanya untuk di nikahkan dengan seorang janda. Tentu ia tidak terima begitu saja. Apa dirinya tidak laku. Hingga tidak bisa menemukan seorang gadis perawan. Memalukan sekali!

“Aksha, jaga mulut mu,” bentak Dahlia menahan Aksha untuk duduk kembali.

“Memang benar kan,” Sindirnya menatap tajam Azura yang tidak peduli dengan ucapannya.

Azura yang sejak tadi menundukkan kepala. Sudah mulai geram. Rasanya ingin melumat mulut yang tidak pernah disekolahkan. Percuma sekolah tinggi tapi mulutnya kayak kompor meleduk. Kalau bukan mau bersembunyi dari orang yang ingin menghabisi nyawanya. Azura tak akan pernah sudi.

“Maaf Tante. Lebih baik batalkan saja perjodohan ini. Benar kata Aksha, Saya seorang janda tidak pantas bersanding dengan dia,” tekannya membenarkan semua ucapan Aksha pada dirinya.

“Zura, kamu tenang ya nak. Aksha Cuma kaget saja. Nanti pelan-pelan dia akan mengerti,” bujuk Dahlia. Mengajak Azura untuk duduk lagi.

“Pakai pelet apa kamu? Hingga orang tua saya jadi baik ke kamu,” tuduh Aksha dengan sorot mata jijik.

Tampaknya Aksha terus memancing emosi Azura. Dari tadi Aksha terus melontarkan kata-kata kasar pada Azura. Sikap tenang Azura membuat Aksha semakin muak.

“Lebih baik saya pulang dulu Tante,“ pamitnya mencium punggung tangan Dahlia. “Asal kamu tau ya. Aku juga terpaksa. Kalau bukan karena ... Sudahlah percuma jelaskan ke kamu tidak akan mengerti.” Azura membenarkan tali tasnya.

“Aksha, antar Zura pulang. Tidak baik membiarkan seorang wanita pulang sendirian,” titah dahlia menepuk pundak Aksha.

Dengan berat hati ia berjalan ke depan. Mengejar Azura yang sudah tak terlihat lagi.

“Ayo, saya antar.” Napas terputus-putus setelah berlari beberapa meter mengejar Azura. Dengan setengah badan membungkuk, tangan memegang ke dua lutut.

Azura memicingkan matanya melihat peluh bercucuran di dahi lebar Aksha. Ada senyum mengejek terukir di sudu bibir Azura.

“Aku bisa pulang sendiri kok,” tolaknya meninggalkan Aksha yang masih mengatur napas. Belum sempat ia berjalan Aksha sudah mencekal lengannya.

 “Sudahlah Jangan sok jual mahal. Saya begini juga di suruh Mama. Apa kamu senang kalau saya dimarahi Mama lagi,” Ucap arogannya. Menarik paksa Azura untuk mengikuti dirinya naik ke mobil.

Azura pun menyetujui ajakan Aksha. Azura hanya menghormati Dahlia saja. Azura tidak ingin mengecewakan wanita paru baya itu. Sudah terlalu banyak yang dilakukan Dahlia untuk Azura.

“Zura, kamu mau ya menikah dengan anak Tante?” mohon Dahlia menggengam erat tangan Azura.

“Apa ini tidak berlebihan Tante? Mengingat status Azura sekarang.” tolak Azura. Perlahan melepaskan genggamannya Dahlia.

“Anggap saja ini sebagai bentuk balas budi kamu sama Tante. Mau ya?” bujuk Dahlia meraih kembali tangan Azura.

Kalau bukan karena permintaan Dahlia Azura tidak mau menerima perjodohan ini. Azura mengenal Dahlia di rumah sakit tempat ia dirawat. Dahlia merupakan dokter di rumah sakit ‘Kasih Bunda’. Azura salah satu pasiennya. Antara balas budi atau sebuah konspirasi Dahlia semata.

“Badan kamu saja yang kecil. Jalan kamu cepat juga ya,” ungkap Aksha membuyarkan lamunan Azura.

“Jangan pernah menilai orang dari fisiknya saja,” jawab singkat Azura yang membuat Aksha tersinggung.

“Baru juga di puji sudah tinggi hati,” desisnya. Mengalihkan pandang ke depan, fokus mengemudi.

Sebenarnya Azura dan Aksha saling mengenal satu sama lain. Entah mengapa sudah lama tidak bertemu. Sifat Aksha jauh berubah menjadi kasar. Azura tidak menyangka bahwa Aksha adalah anak dari Dokter Dahlia. Begitu banyak teka teki yang mengantung di hidup Azura.

“Stop! Di sini. Itu di depan rumahku,” tunjuk Azura melepas seltbel.

Matanya membelalak tak percaya. Cat yang mulai mengelupas, plafon yang sebagian sudah lepas dan menggantung. Lampu teras yang lupa dihidupkan pemiliknya. Aksha bergidik ngeri, terlihat menyeramkan bagi Aksha.

“Kenapa? biar jelek nyaman di tinggali. Daripada rumah yang besar tapi penghuni tidak punya otak buat apa?” sindir Azura turun dari mobil. Meninggalkan Aksha seorang diri.

Tidak terima disindir, Aksha menekan clakson mobil berulang kali. Sehingga menciptakan kegaduhan.

Azura menutup telinga dengan kedua tangannya. Mengejek Aksha dari luar dengan menjulurkan lidahnya. Lalu Azura berjalan santai seolah-olah ia tak mendengar apapun.

Suasana hening tercipta, semilir angin menyapu wajah Aksha. Membuat buluk kuduk Aksha meremang. Melihat sekitar yang sepi tak berpenghuni ia langsung tancap gas.

Azura tertawa geli melihat Aksha ketakutan. Mulut dia begitu kasar jika bicara tapi lucu juga kalau lihat dia ketakutan. Dirinya terhibur jadinya. Tetapi, itu hanya sesaat saja. Setelah masuk ke dalam rumahnya. Rasa sepi itu mulai terasa lagi. Hampa di sini sendirian berteman sepi.

Azura memasuki rumah yang penuh debu. Sarang laba-laba di setiap sudut. Bau apek bercampur debu menyebar ke hidung Azura hingga Azura terbatuk-batuk. Rumah ini sudah lama tidak di tempati sejak Neneknya meninggal. Lampu teras yang mati bukan karena lupa dihidupkan tapi sudah tidak berfungsi lagi.

Kring

Ponsel Azura berdering dari dalam tas. Dengan cepat ia mengambilnya.

“Nyonya, pengemudi mobil truk hanya korban yang dijadikan umpan oleh mereka,” ujar Albert dari seberang sana.

“Sial! Akan aku tuntut balasan kematian orang yang tak bersalah,” tekan Azura mengepal erat kedua tangannya. “ Mas, tenang saja. Mereka akan ku kejar sampai ke liang lahad.” Azura mengeluarkan senjata apinya. Ingin cepat menarik pelatuk itu ke kepala mereka.

Azura tidak tahu siapa dalang dibalik semua ini. Bisa dipastikan mereka adalah orang-orang besar yang memiliki jabatan tinggi di negara ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status