Ma, Apa tidak ada wanita lain? Sampai menjodohkan saya dengan seorang janda!” hinanya. Menunjuk tajam ke arah Azura. Tiba-tiba di minta pulang hanya untuk di nikahkan dengan seorang janda. Tentu ia tidak terima begitu saja. Apa dirinya tidak laku. Hingga tidak bisa menemukan seorang gadis perawan. Memalukan sekali!
“Aksha, jaga mulut mu,” bentak Dahlia menahan Aksha untuk duduk kembali.
“Memang benar kan,” Sindirnya menatap tajam Azura yang tidak peduli dengan ucapannya.
Azura yang sejak tadi menundukkan kepala. Sudah mulai geram. Rasanya ingin melumat mulut yang tidak pernah disekolahkan. Percuma sekolah tinggi tapi mulutnya kayak kompor meleduk. Kalau bukan mau bersembunyi dari orang yang ingin menghabisi nyawanya. Azura tak akan pernah sudi.
“Maaf Tante. Lebih baik batalkan saja perjodohan ini. Benar kata Aksha, Saya seorang janda tidak pantas bersanding dengan dia,” tekannya membenarkan semua ucapan Aksha pada dirinya.
“Zura, kamu tenang ya nak. Aksha Cuma kaget saja. Nanti pelan-pelan dia akan mengerti,” bujuk Dahlia. Mengajak Azura untuk duduk lagi.
“Pakai pelet apa kamu? Hingga orang tua saya jadi baik ke kamu,” tuduh Aksha dengan sorot mata jijik.
Tampaknya Aksha terus memancing emosi Azura. Dari tadi Aksha terus melontarkan kata-kata kasar pada Azura. Sikap tenang Azura membuat Aksha semakin muak.
“Lebih baik saya pulang dulu Tante,“ pamitnya mencium punggung tangan Dahlia. “Asal kamu tau ya. Aku juga terpaksa. Kalau bukan karena ... Sudahlah percuma jelaskan ke kamu tidak akan mengerti.” Azura membenarkan tali tasnya.
“Aksha, antar Zura pulang. Tidak baik membiarkan seorang wanita pulang sendirian,” titah dahlia menepuk pundak Aksha.
Dengan berat hati ia berjalan ke depan. Mengejar Azura yang sudah tak terlihat lagi.
“Ayo, saya antar.” Napas terputus-putus setelah berlari beberapa meter mengejar Azura. Dengan setengah badan membungkuk, tangan memegang ke dua lutut.
Azura memicingkan matanya melihat peluh bercucuran di dahi lebar Aksha. Ada senyum mengejek terukir di sudu bibir Azura.
“Aku bisa pulang sendiri kok,” tolaknya meninggalkan Aksha yang masih mengatur napas. Belum sempat ia berjalan Aksha sudah mencekal lengannya.
“Sudahlah Jangan sok jual mahal. Saya begini juga di suruh Mama. Apa kamu senang kalau saya dimarahi Mama lagi,” Ucap arogannya. Menarik paksa Azura untuk mengikuti dirinya naik ke mobil.
Azura pun menyetujui ajakan Aksha. Azura hanya menghormati Dahlia saja. Azura tidak ingin mengecewakan wanita paru baya itu. Sudah terlalu banyak yang dilakukan Dahlia untuk Azura.
“Zura, kamu mau ya menikah dengan anak Tante?” mohon Dahlia menggengam erat tangan Azura.
“Apa ini tidak berlebihan Tante? Mengingat status Azura sekarang.” tolak Azura. Perlahan melepaskan genggamannya Dahlia.
“Anggap saja ini sebagai bentuk balas budi kamu sama Tante. Mau ya?” bujuk Dahlia meraih kembali tangan Azura.
Kalau bukan karena permintaan Dahlia Azura tidak mau menerima perjodohan ini. Azura mengenal Dahlia di rumah sakit tempat ia dirawat. Dahlia merupakan dokter di rumah sakit ‘Kasih Bunda’. Azura salah satu pasiennya. Antara balas budi atau sebuah konspirasi Dahlia semata.
“Badan kamu saja yang kecil. Jalan kamu cepat juga ya,” ungkap Aksha membuyarkan lamunan Azura.
“Jangan pernah menilai orang dari fisiknya saja,” jawab singkat Azura yang membuat Aksha tersinggung.
“Baru juga di puji sudah tinggi hati,” desisnya. Mengalihkan pandang ke depan, fokus mengemudi.
Sebenarnya Azura dan Aksha saling mengenal satu sama lain. Entah mengapa sudah lama tidak bertemu. Sifat Aksha jauh berubah menjadi kasar. Azura tidak menyangka bahwa Aksha adalah anak dari Dokter Dahlia. Begitu banyak teka teki yang mengantung di hidup Azura.
“Stop! Di sini. Itu di depan rumahku,” tunjuk Azura melepas seltbel.
Matanya membelalak tak percaya. Cat yang mulai mengelupas, plafon yang sebagian sudah lepas dan menggantung. Lampu teras yang lupa dihidupkan pemiliknya. Aksha bergidik ngeri, terlihat menyeramkan bagi Aksha.
“Kenapa? biar jelek nyaman di tinggali. Daripada rumah yang besar tapi penghuni tidak punya otak buat apa?” sindir Azura turun dari mobil. Meninggalkan Aksha seorang diri.
Tidak terima disindir, Aksha menekan clakson mobil berulang kali. Sehingga menciptakan kegaduhan.
Azura menutup telinga dengan kedua tangannya. Mengejek Aksha dari luar dengan menjulurkan lidahnya. Lalu Azura berjalan santai seolah-olah ia tak mendengar apapun.
Suasana hening tercipta, semilir angin menyapu wajah Aksha. Membuat buluk kuduk Aksha meremang. Melihat sekitar yang sepi tak berpenghuni ia langsung tancap gas.
Azura tertawa geli melihat Aksha ketakutan. Mulut dia begitu kasar jika bicara tapi lucu juga kalau lihat dia ketakutan. Dirinya terhibur jadinya. Tetapi, itu hanya sesaat saja. Setelah masuk ke dalam rumahnya. Rasa sepi itu mulai terasa lagi. Hampa di sini sendirian berteman sepi.
Azura memasuki rumah yang penuh debu. Sarang laba-laba di setiap sudut. Bau apek bercampur debu menyebar ke hidung Azura hingga Azura terbatuk-batuk. Rumah ini sudah lama tidak di tempati sejak Neneknya meninggal. Lampu teras yang mati bukan karena lupa dihidupkan tapi sudah tidak berfungsi lagi.
Kring
Ponsel Azura berdering dari dalam tas. Dengan cepat ia mengambilnya.
“Nyonya, pengemudi mobil truk hanya korban yang dijadikan umpan oleh mereka,” ujar Albert dari seberang sana.
“Sial! Akan aku tuntut balasan kematian orang yang tak bersalah,” tekan Azura mengepal erat kedua tangannya. “ Mas, tenang saja. Mereka akan ku kejar sampai ke liang lahad.” Azura mengeluarkan senjata apinya. Ingin cepat menarik pelatuk itu ke kepala mereka.
Azura tidak tahu siapa dalang dibalik semua ini. Bisa dipastikan mereka adalah orang-orang besar yang memiliki jabatan tinggi di negara ini.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Azura Angraeni binti Ruslan Adinata dengan mas kawin cincin mas dibayar tunai.” Aksha melafazkan dengan lancar. Para saksi pun berseru, “Sah!” Dahlia dan Bakhtiar tersenyum bahagia. Air mata Dahlia tak luput dari perhatian Aksha. Sedangkan Azura gamang menghadapi inipernikahan keduanya. Rela jadi pengganti atas balas budinya. Menjalani pernikahan keduanya sungguh membuatnya tersiksa. Karena hatinya tidak bisa berpaling dari mantan suaminya. Namun, di sisi lain Azura terjepit. Kebaikan Dahlia menjadikan Azura mengiyakan permintaannya. Meski begitu, dibalik semuanya. Azura bisa dekat dengan orang yang mengenal masa lalunya. Dari pengamatannya Dahlia perhatian padanya, tentu ada alasannya. Itu yang harus Azura cari tahu. Lebih ia harus membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Demi hal itu , ia rela melakukan apa pun asal dendamnya terwujud. Bersembunyi saat ini cara yang bagus sebelum ia melangkah maju. “Zura.” Tepukan lembut Dahlia membuya
DOR! Aksha terbangun keringat membasahi Dahi. Suara tembakan bergema di telinga. Kala Azura mengarahkan senjata api ke padanya. Tatap kebencian tergambar jelas di wajah Azura. “Syukurlah hanya mimpi.” Mengelus dadanya. Bayangan Azura terasa nyata seperti benar terjadi. Mana mungkin Azura seberani itu, ia terbawa mimpi saja. Pikir Aksha menepis bayangan itu. Azura sibuk memasak di dapur. Menyiapkan sarapan pagi buat Aksha. Setelah selesai ia bergegas ke kamar untuk membangunkan Aksha. Rupanya Aksha sudah bangun dan kini sedang di kamar mandi. Ia segera menyiapkan segala keperluan Aksha baik itu pakaian dan perlengkapan lainnya. "Aku tidak kuat jika harus seperti ini setiap hari," batin Azura. Tiga puluh menit suaminya keluar dari kamar mandi. Dengan handuk yang masih menempel di pinggangnya. Bagian atas yang tampak polos tanpa penutupnya. Rambut yang sedikit pendek terlihat masih basah. Bahkan sisa air mandi menetes ke bahu lebar Aksha. Ia tertunduk bukan malu, tapi muak melihat
Andaikan Azura bisa ikut berbaring di dalam sana. Menyatu dengan tanah bersama jasad suaminya mungkin ada baiknya. Dulu Hanan pernah berjanji berbagi napas seumur hidup. Kenyataannya Tuhan lebih menyayangi Hanan. Memilih dia untuk pergi dari sisi Azura. Lebih baik bercerai, namun masih dapat melihat Hanan seutuhnya. Daripada berpisah dari jiwa raga Hanan untuk selamanya. Sangat menyakitkan tak dapat lagi mendengar, serta menyentuh suaminya lagi seperti dulu . “Tuhan aku mencintai dia. Tak bisakah aku ikut bersamanya? Maaf bila aku menyalahi takdir yang Engkau berikan. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa dia,” ucap lirih Azura memeluk nisan suaminya. Cairan hangat membasahi kedua pipinya hingga lembab. Azura merogoh saku celana bagian belakang. Mengambil ponsel pintar untuk menghubungi Albert. “Pak Tua, bisa jemput aku di pemakaman Jeruk Purut?” tanya Azura lemah sembari mengelap air matanya. “Baik, Nyonya.” Albert segera turun ke parkiran menuju area pemakaman dengan mobil. Suara sera
Mobil sport berwarna putih terparkir di teras rumah. Benar, Aksha sudah pulang. Azura tergesa-gesa membuka pintu tanpa tahu dari dalam Aksha akan keluar. Sehingga ia menabrak Aksha. Bugh! “Kalau jalan mata dipakai bukan dengkul,” bentak Aksha memegang bibir yang terluka beradu dengan kening Azura. “Maaf, aku enggak tau kalau kamu mau keluar. Siapa suruh keluar nggak kasih aba-aba," jawab Azura mencibik lalu mengelus kening yang memerah. “Sakit enggak?” tanya Azura menjijit untuk menyentuh bibir bawah Aksha dengan telunjuknya. Padahal kening Azura juga sakit, tapi tidak mengaduh seperti yang Aksha lakukan. “Ya, iyalah sakit masak enggak,” kesal Aksha meringis. “Duh, kasihan. Sini nunduk dikit,” pinta Azura melihat bagian tengah bawah yang terluka, ada bercak darah yang menempel. “Mau ngapain, ah?” tanya Aksha heran disuruh menunduk. “Mau diobati enggak? Kalau gak mau ya sudah tahan sendiri sakitnya. Lagian cuma luka kecil sewotnya sudah seRT." Ia memutar bola mata malas. Azura
Azura menahan jari Aksha ketika mencekik lehernya dengan kencang. Sisa tenaga milik Azura di gunakan menendang lutut Aksha yang membungkuk setengah badan. Terus mencengkam lehernya dengan tatapan kebencian. Apa ini akhir dari hidup Azura? Apa doa Azura di pemakaman dikabulkan Tuhan? Jika iya, Azura berharap ini tidak menyakitkan. Terdengar suara samar bernada kuatir memanggil nama Azura terus menerus. “Hei, Zura bangun!” Seseorang menepuk-nepuk kedua pipi Azura. Aksha kebingungan membangunkan Azura, air mata mengalir di pipi Azura. Gadis itu terus saja mengingau tidak jelas. Tangan Azura mengepal meremas sprei seakan menahan sakit. Entah apa yang diucapkan Azura yang tersedan-sedan. "Maaf,” batin Aksha untuk kekasarannya tadi di meja makan. Tidak ada cara lain, Aksha terpaksa melakukan ini. Aksha melayang satu tamparan mendarat di pipi Azura. Efek tamparan itu menyadarkan Azura dari mimpi buruknya. “Tidak, jangan!” pekik Azura tersadar dari mimpi buruknya. Jantung Azura saling b
Siang ini dengan cuaca panas di kota Jakarta. Teriknya matahari yang seakan sejengkal kepala manusia itu bikin gerah setiap orang. Untung saja pria bermata biru itu memiliki penyejuk udara di ruangan. Setidaknya Aksha tidak akan merasa kepanasan. Terdengar suara bunyi ketukan dari luar pintu. Mengalihkan sorot mata Aksha ke arah pintu. “Masuk.” Perintahnya dengan suara bariton terdengar tegas. Pintu ruangan itu pun terbuka setelah mendapat izin dari pemiliknya. Rupanya seorang wanita cantik dengan pakaian serba minim. Berlenggok-lenggok mendekati Aksha. Memberikan senyuman yang menggoda. Aksha tidak merespon senyuman wanita itu. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sekedar menyapa saja tidak Aksha lakukan. Wanita itu berjalan mendekati Aksha. Dia langsung merangkul Aksha dengan manja dari belakang. Melepaskan rasa rindu yang berkecamuk di dadanya. Dengan agresif, Ivana tanpa segan tangannya masuk dari cela kerah kemeja berwarna Grey itu. Menelusuri dada atletis Aksha yang sedikit terbuk
Barak terdiam memikirkan perkataan Aksha barusan. Memang benar Barak menyukai Ivana namun, hanya sebatas mengagumi kecantikan yang dimiliki Ivana Mengingat wanita itu lebih tertarik pada Aksha. Barak pikir lebih baik mengalah dan tidak ingin bersaing dengan teman sendiri. Bertengkar karena memperebutkan seorang wanita bukanlah gaya Barak. “Bukankah dia lebih menyukai kamu, Aksha?” tanya Barak memperbaiki duduknya. Ia penasaran apakah Aksha juga sama menyukai Ivana. Aksha terkekeh mendengar itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan Ivana. Ia tau Barak sedang mengali informasi tentang perasaannya. Pertama kali bertemu Ivana gara-gara tersandung kasus penipuan. Aksha yang menjadi pengacara buat Ivana dalam menindak lanjuti kasus itu. Aksha selalu bersikap profesional pada setiap kliennya. Tidak melibatkan emosional di sana. Ivana saja yang menganggap berlebihan atas sikap perhatian yang diberikan Aksha. Ia tidak membedakan setiap kliennya selalu diperlakukan sama tanpa memandang status
Ketika Hanan, tak ada lagi di sisi Azura terkadang air matanya jatuh begitu saja tanpa permisi. Teringat akan canda tawa yang pernah dilaluinya, memupuk semangat hari Azura. Asanya pernah terbang tinggi ke awan sampai ia sulit meraihnya kembali. Pernikahan yang diimpikan Azura sampai kematian menjemput, kini sebatas angan-angan. Pria yang paling dicintai pergi untuk selamanya, ia masih terkungkung di masa lalu. Satu masa di mana saat ini Azura tidak menginginkan ada pria lain menggantikan posisi Hanan. Azura kembali mengetuk pintu setelah tak mendapat sahutan dari dalam. Malam semakin dingin, angin kencang menerpa tiap helai rambut sebahu Azura. Tangannya melipat, memeluk, mencari kehangatan di dalam dirinya. Cukup lama menunggu barulah pintu dibuka. Wajah pucat Azura memandang kesal Aksha. “Ingat pulang,” sindir Aksha menatap tajam. Azura diam seribu bahasa ia malas berdebat dengan Aksha. Perdebatan panjang tak ada habisnya jika dilawan. Ia selalu ingat perkataan Albert, ‘Keras hat