Share

BAB 5

“Iya kan, Sayang?”

Laki-laki menyebalkan itu kembali melayangkan pertanyaan yang sama pada Ayumi. Namun bedanya, kali ini ada sedikit penekanan. Juga tatapannya yang sedikit mendelik dengan senyum yang terlihat sekali dipaksakan. Dan … terkesan memaksa.

“Ayumi nggak papa?” tanya Hadi menatap menantunya sedikit cemas. Karena tadi mendengar pekikannya.

“Eh, nggak papa, Ayah,” sahutnya tanpa peduli dengan pertanyaan suaminya.

“Yakin?”

“Iya, Yah. Tadi Cuma agak kegigit saja lidahnya. Nggak papa kok,” sahutnya tersenyum kikuk.

Sedangkan Satya melengos sambil memutar kedua bola matanya.

“Yah, besok aku mau pindah.” Merasa diabaikan, Satya kembali mengulangi kalimatnya.

Untung saja acara makan malam sudah selesai. Sehingga tidak merusak suasana dan selera makan. Tinggal menunggu adzan maghrib saja.

Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu. “Satya, tidak bisakah kalian tinggal di sini saja? Ayah pasti akan kesepian kalau nggak ada kalian,” sahutnya dengan berat hati.

Dalam hati, Ayumi tersenyum senang. Paling tidak, jika dia tinggal bersama dengan ayah mertuanya, dia memiliki pelindung dari suaminya yang selalu bersikap dingin semaunya itu. Selain itu, dia juga tidak akan merasa kesepian karena suaminya pasti akan bersikap manis, meski hanya di hadapan ayahnya.

“Anak kalau sudah berumah tangga itu paling bagus kan tinggal di rumah sendiri, Yah. Tidak boleh satu atap dengan mertua. Takut nanti dijulidin mertua,” kekehnya menoleh pada sang Istri yang mengulum senyum.

Akting yang diperankan oleh Satya sebagai seorang suami patut diacungi jempol. Sangat bagus dan natural. Entah untuk alasan apa dia bersikap begitu manis di hadapan ayahnya.

“Tapi Ayumi yakin kalau Ayah nggak begitu kok, Mas.” Ayumi membuka suara. Membela ayah mertuanya yang memang sudah sangat baik pada Ayumi selama ini. Berbanding terbalik dengan sikap anaknya yang terkenal angkuh dan judes.

“Ayumi sayang, suamimu ini sudah menyiapkan rumah terbaik untukmu. Meski tidak sebesar ini, tapi sudah pasti berharga dan pasti membuat kamu nyaman karena tinggal di rumah sendiri. Kita juga harus belajar mandiri, Sayang.” Laki-laki bercambang tipis itu mengusap kepala Ayumi yang masih berbalut jilbab segitiga instan berwarna abu-abu. Namun, dalam senyuman yang diberikan oleh sang Suami tersimpan sebuah penekanan kalau Ayumi harus nurut dengan suaminya.

Perempuan bermata bulat itu dengan susah payah menelan air liurnya sendiri. Perlakuan Satya padanya benar-benar manis sekali. Andai saja, andai ini semua bukan hanya pura-pura, dia pasti akan sangat bahagia dan akan semakin mengabdikan dirinya untuk suaminya. Juga lebih dengan mudah melupakan Aditya yang sudah terlalu dalam bertahta di hatinya.

“Ya sudahlah, kalau itu keputusan kalian. Bisa apa Ayah selain setuju saja,” sahut laki-laki paruh baya itu dengan pasrah.

Setelah istrinya meninggal sekian tahun yang lalu, dia memang hanya hidup berdua dengan anak semata wayangnya. Sehingga, setelah Satya menikah dengan Ayumi, dia berharap jika sepasang suami istri itu tetap tinggal bersamanya.

Namun, nyatanya pemikiran Satya tidak sama dengan pemikirannya. Anak semata wayangnya itu malah memboyong istrinya ke apartemen miliknya.

“Ayah juga pernah muda. Pernah merasakan bagaimana rasanya jadi pengantin baru,” kekehnya kemudian. “Tapi, sesekali mampir ya ke rumah. Atau Ayah yang akan main ke apartemen kalian nanti.”

“Siap, Ayah,” sahut Satya dengan senyum lebar. Dia begitu bahagia karena akhirnya bisa menikmati hidupnya tanpa harus berpura-pura lagi di rumahnya sendiri nanti.

Sedangkan Ayumi hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia sudah bisa menebak ke mana tujuan Satya nantinya saat sudah berada di rumah sendiri.

Usai salat isya, Satya dan Ayumi membereskan barang-barang yang akan dibawa pindahan besok agar tidak ada yang tertinggal. Satya pun membereskan barang-barangnya sendiri, begitu juga dengan Ayumi.

Usai membereskan semuanya. Satya memilih sibuk dengan ponselnya. Sesekali Ayumi yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur menatapnya dari kejauhan. Diam-diam, dia mengagumi ketampanan suaminya. Bibirnya yang tebal dan merah, garis wajahnya yan terlihat tegas, matanya yang tajam, juga cambang yang tumbuh di sekitar pipi, bawah hidung hingga dagunya. Apalagi tampang judesnya yang semakin membuat CEO PT.Megabuana itu semakin mempesona di hadapan para karyawan perempuan di perusahaannya.

Jujur, awal mula bertemu dengan sosok Satya, Ayumi juga sempat mengagumi. Namun, saat tahu bagaimana sikap laki-laki itu, dia pun merasa malas dan lebih memilih pada Aditya yang tentunya tak kalah tampan dari Satya.

Terlebih, Aditya lebih menghargai perempuan dan sikapnya selalu lembut. Tidak seperti Satya yang sering kali kasar.

“Astaghfirullah … aku kenapa malah jadi mikirin dia lagi,” gumamnya sangat pelan seraya memejamkan kedua matanya. “Aku harus bisa melupakan Mas Aditya. Biar bagaimana pun, dia pasti juga sudah bahagia dengan perempuan pilihan kedua orang tuanya.”

Tak ingin memperbanyak pikiran dan tak ingin tahu lebih dalam apa yang membuat suaminya itu senyum-senyum sendiri saat menatap ponsel, Ayumi memilih untuk merebahkan diri dan memejamkan kedua matanya.

Saat Ayumi sudah menyelami mimpinya, Satya yang sejak tadi memilih berkirim pesan dengan pujaan hatinya di balkon kamarnya masuk ke dalam kamar. Seperti biasa, dia memilih tidur di sofa panjang dan empuk yang ada di dalam kamarnya. Tidak sudi baginya tidur satu ranjang dengan perempuan yang dibencinya dan dia anggap sebagai perempuan kampungan yang memanfaatkan situasi.

Ya, Satya mengira jika persetujuan Ayumi menerima tawaran ayahnya hanya karena jabatan juga tentu saja harta kekayaan sang ayah mertua yang nantinya juga akan menjadi miliknya.

Tanpa sengaja, kedua matanya tertuju pada wajah polos sang Istri. Dia pandangi sejenak wajah teduh itu, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidungnya yang kecil dan mancung, juga satu yang unik dan jarang dimiliki banyak orang, yaitu dagunya yang terbelah.

Kedua sudut bibir Satya terangkat tanpa sadar. Lalu dia mengerjap setelah menyadari apa yang dipikirkannya.

“Ish, Satya. Mikir apa sih kamu!” omelnya pada diri sendiri.

Hingga akhirnya, dia juga memilih untuk memejamkan kedua matanya. Menyiapkan tenaga untuk esok hari.

Pagi harinya, usai sarapan, Satya langsung mengajak Ayumi ke apartemannya yang ada di letaknya ada di pusat Kota Surabaya.

“Hati-hati kalian, ya. Kalau sudah sampai jangan lupa kasih kabar. Besok-besok Ayah main ke sana deh,” ujar Hadi seraya menepuk bahu anak semata wayangnya.

“Siap, Yah. Tapi, jangan lupa kasih kabar dulu kalau mau main. Takutnya kita pas lagi nggak ada di apartemen,” sahut sang Anak.

“Oke. Itu hal gampang.” Laki-laki paruh baya itu menatap lekat anak semata wayangnya. “Tapi ingat, Satya, ingat janji kamu untuk selalu memperlakukan Ayumi dengan baik dan penuh kasih sayang. Jika tidak, maka kamu akan tahu sendiri akibatnya. Paham?” Hadi kembali memperingatkan anaknya mumpung Ayumi tengah menata barang pindahannya di bagasi mobil.

“Ayah tenang saja, tidak perlu khawatir. Serahkan semua pada Satya,” katanya sambil menunjuk dadanya sendiri dengan bangga.

Lalu menoleh pada sang Istri dengan senyum sinis.

Tak akan aku biarkan kamu menikmati hidupmu sebagai orang kaya, Perempuan Kampungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status