“Iya kan, Sayang?”
Laki-laki menyebalkan itu kembali melayangkan pertanyaan yang sama pada Ayumi. Namun bedanya, kali ini ada sedikit penekanan. Juga tatapannya yang sedikit mendelik dengan senyum yang terlihat sekali dipaksakan. Dan … terkesan memaksa.
“Ayumi nggak papa?” tanya Hadi menatap menantunya sedikit cemas. Karena tadi mendengar pekikannya.
“Eh, nggak papa, Ayah,” sahutnya tanpa peduli dengan pertanyaan suaminya.
“Yakin?”
“Iya, Yah. Tadi Cuma agak kegigit saja lidahnya. Nggak papa kok,” sahutnya tersenyum kikuk.
Sedangkan Satya melengos sambil memutar kedua bola matanya.
“Yah, besok aku mau pindah.” Merasa diabaikan, Satya kembali mengulangi kalimatnya.
Untung saja acara makan malam sudah selesai. Sehingga tidak merusak suasana dan selera makan. Tinggal menunggu adzan maghrib saja.
Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu. “Satya, tidak bisakah kalian tinggal di sini saja? Ayah pasti akan kesepian kalau nggak ada kalian,” sahutnya dengan berat hati.
Dalam hati, Ayumi tersenyum senang. Paling tidak, jika dia tinggal bersama dengan ayah mertuanya, dia memiliki pelindung dari suaminya yang selalu bersikap dingin semaunya itu. Selain itu, dia juga tidak akan merasa kesepian karena suaminya pasti akan bersikap manis, meski hanya di hadapan ayahnya.
“Anak kalau sudah berumah tangga itu paling bagus kan tinggal di rumah sendiri, Yah. Tidak boleh satu atap dengan mertua. Takut nanti dijulidin mertua,” kekehnya menoleh pada sang Istri yang mengulum senyum.
Akting yang diperankan oleh Satya sebagai seorang suami patut diacungi jempol. Sangat bagus dan natural. Entah untuk alasan apa dia bersikap begitu manis di hadapan ayahnya.
“Tapi Ayumi yakin kalau Ayah nggak begitu kok, Mas.” Ayumi membuka suara. Membela ayah mertuanya yang memang sudah sangat baik pada Ayumi selama ini. Berbanding terbalik dengan sikap anaknya yang terkenal angkuh dan judes.
“Ayumi sayang, suamimu ini sudah menyiapkan rumah terbaik untukmu. Meski tidak sebesar ini, tapi sudah pasti berharga dan pasti membuat kamu nyaman karena tinggal di rumah sendiri. Kita juga harus belajar mandiri, Sayang.” Laki-laki bercambang tipis itu mengusap kepala Ayumi yang masih berbalut jilbab segitiga instan berwarna abu-abu. Namun, dalam senyuman yang diberikan oleh sang Suami tersimpan sebuah penekanan kalau Ayumi harus nurut dengan suaminya.
Perempuan bermata bulat itu dengan susah payah menelan air liurnya sendiri. Perlakuan Satya padanya benar-benar manis sekali. Andai saja, andai ini semua bukan hanya pura-pura, dia pasti akan sangat bahagia dan akan semakin mengabdikan dirinya untuk suaminya. Juga lebih dengan mudah melupakan Aditya yang sudah terlalu dalam bertahta di hatinya.
“Ya sudahlah, kalau itu keputusan kalian. Bisa apa Ayah selain setuju saja,” sahut laki-laki paruh baya itu dengan pasrah.
Setelah istrinya meninggal sekian tahun yang lalu, dia memang hanya hidup berdua dengan anak semata wayangnya. Sehingga, setelah Satya menikah dengan Ayumi, dia berharap jika sepasang suami istri itu tetap tinggal bersamanya.
Namun, nyatanya pemikiran Satya tidak sama dengan pemikirannya. Anak semata wayangnya itu malah memboyong istrinya ke apartemen miliknya.
“Ayah juga pernah muda. Pernah merasakan bagaimana rasanya jadi pengantin baru,” kekehnya kemudian. “Tapi, sesekali mampir ya ke rumah. Atau Ayah yang akan main ke apartemen kalian nanti.”
“Siap, Ayah,” sahut Satya dengan senyum lebar. Dia begitu bahagia karena akhirnya bisa menikmati hidupnya tanpa harus berpura-pura lagi di rumahnya sendiri nanti.
Sedangkan Ayumi hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia sudah bisa menebak ke mana tujuan Satya nantinya saat sudah berada di rumah sendiri.
Usai salat isya, Satya dan Ayumi membereskan barang-barang yang akan dibawa pindahan besok agar tidak ada yang tertinggal. Satya pun membereskan barang-barangnya sendiri, begitu juga dengan Ayumi.
Usai membereskan semuanya. Satya memilih sibuk dengan ponselnya. Sesekali Ayumi yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur menatapnya dari kejauhan. Diam-diam, dia mengagumi ketampanan suaminya. Bibirnya yang tebal dan merah, garis wajahnya yan terlihat tegas, matanya yang tajam, juga cambang yang tumbuh di sekitar pipi, bawah hidung hingga dagunya. Apalagi tampang judesnya yang semakin membuat CEO PT.Megabuana itu semakin mempesona di hadapan para karyawan perempuan di perusahaannya.
Jujur, awal mula bertemu dengan sosok Satya, Ayumi juga sempat mengagumi. Namun, saat tahu bagaimana sikap laki-laki itu, dia pun merasa malas dan lebih memilih pada Aditya yang tentunya tak kalah tampan dari Satya.
Terlebih, Aditya lebih menghargai perempuan dan sikapnya selalu lembut. Tidak seperti Satya yang sering kali kasar.
“Astaghfirullah … aku kenapa malah jadi mikirin dia lagi,” gumamnya sangat pelan seraya memejamkan kedua matanya. “Aku harus bisa melupakan Mas Aditya. Biar bagaimana pun, dia pasti juga sudah bahagia dengan perempuan pilihan kedua orang tuanya.”
Tak ingin memperbanyak pikiran dan tak ingin tahu lebih dalam apa yang membuat suaminya itu senyum-senyum sendiri saat menatap ponsel, Ayumi memilih untuk merebahkan diri dan memejamkan kedua matanya.
Saat Ayumi sudah menyelami mimpinya, Satya yang sejak tadi memilih berkirim pesan dengan pujaan hatinya di balkon kamarnya masuk ke dalam kamar. Seperti biasa, dia memilih tidur di sofa panjang dan empuk yang ada di dalam kamarnya. Tidak sudi baginya tidur satu ranjang dengan perempuan yang dibencinya dan dia anggap sebagai perempuan kampungan yang memanfaatkan situasi.
Ya, Satya mengira jika persetujuan Ayumi menerima tawaran ayahnya hanya karena jabatan juga tentu saja harta kekayaan sang ayah mertua yang nantinya juga akan menjadi miliknya.
Tanpa sengaja, kedua matanya tertuju pada wajah polos sang Istri. Dia pandangi sejenak wajah teduh itu, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidungnya yang kecil dan mancung, juga satu yang unik dan jarang dimiliki banyak orang, yaitu dagunya yang terbelah.
Kedua sudut bibir Satya terangkat tanpa sadar. Lalu dia mengerjap setelah menyadari apa yang dipikirkannya.
“Ish, Satya. Mikir apa sih kamu!” omelnya pada diri sendiri.
Hingga akhirnya, dia juga memilih untuk memejamkan kedua matanya. Menyiapkan tenaga untuk esok hari.
Pagi harinya, usai sarapan, Satya langsung mengajak Ayumi ke apartemannya yang ada di letaknya ada di pusat Kota Surabaya.
“Hati-hati kalian, ya. Kalau sudah sampai jangan lupa kasih kabar. Besok-besok Ayah main ke sana deh,” ujar Hadi seraya menepuk bahu anak semata wayangnya.
“Siap, Yah. Tapi, jangan lupa kasih kabar dulu kalau mau main. Takutnya kita pas lagi nggak ada di apartemen,” sahut sang Anak.
“Oke. Itu hal gampang.” Laki-laki paruh baya itu menatap lekat anak semata wayangnya. “Tapi ingat, Satya, ingat janji kamu untuk selalu memperlakukan Ayumi dengan baik dan penuh kasih sayang. Jika tidak, maka kamu akan tahu sendiri akibatnya. Paham?” Hadi kembali memperingatkan anaknya mumpung Ayumi tengah menata barang pindahannya di bagasi mobil.
“Ayah tenang saja, tidak perlu khawatir. Serahkan semua pada Satya,” katanya sambil menunjuk dadanya sendiri dengan bangga.
Lalu menoleh pada sang Istri dengan senyum sinis.
Tak akan aku biarkan kamu menikmati hidupmu sebagai orang kaya, Perempuan Kampungan.
Sepanjang perjalanan ke apartemen, Ayumi dan Satya masih saling diam. Ayumi lebih menyibukkan diri dengan memandangi apapun yang dia lewati selama perjalanan. Sedangkan Satya lebih fokus pada kendali mobilnya. Benar-benar perjalanan yang membosankan. Hingga mobil sport hitam milik Satya berhenti di depan sebuah gedung lima lantai yang terletak di tengah-tengah kota Surabaya. “Turun!” titah laki-laki bercambang tipis itu tanpa menoleh pada sang Istri. “Di sini?” tanya Ayumi tampak menatap sekitar sembari mengerutkan keningnya. Pasalnya, mobil yang dia naiki berhenti tepat di pintu lobby apartemen. “Iya lah. Memang mau turun di mana?” Satya bertanya balik sembari menatap istrinya dengan memutar bola matanya. Ayumi hanya mengembuskan napas panjang sedikit kasar. Lalu turun dari mobil tanpa banyak protes lagi. “Jangan lupa turunkan barang-barang di bagasi. Aku mau parkir mobil!” teriaknya dari dalam mobil. “Iya,” sahutnya setengah kesal. Lalu membuka bagasi mobil yang sudah dibuka k
Usai membereskan semua baju Satya juga baju-bajunya ke dalam lemari dan membereskan barang-barangnya di kamar, Ayumi pun beranjak ke dapur berniat untuk menyiapkan makan siang. Namun saat dia membuka lemari pendingin, tak ada isinya sama sekali.“Kosong?” gumamnya memperhatikan isi kulkas. Lalu menutupnya lagi.Namun tubuhnya sedikit terlonjak saat mendapati sang suami sudah berada di balik pintu kulkas yang terbuka tadi.“Kulkas memang kosong karena aku jarang tinggal di sini. Jadi … belanjalah sana buat makan siang. Aku lapar!” ujar Satya yang hanya melirik ke arah Ayumi sekilas.“Ya sudah. Ayo antar,” pintanya menatap sang Suami yang masih berdiri di posisinya.Seketika itu Satya menoleh dan menatap Ayumi dengan kening berkerut. “Antar katamu?”Ayumi mengangguk cepat. “Saya kan tidak tahu letak warung di sini. Atau pasar, supermarket,” sahutnya polos.Seketika itu S
Tubuh Ayumi sampai terlonjak dengan kedua mata yang terbuka lebar saat menatap deretan angka yang tertera di layar ponselnya saat dia baru saja mengecek notifikasi ada yang mentransfer sejumlah uang ke nomor rekeningnya.“Ini nggak salah lima puluh juta?” tanyanya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dapatkan.Gajinya sebagai designer di kantor milik Hadi Wijaya tidak sampai menyentuh angka sepuluh juta. Ini malah lima kali lipat dari gajinya.Ayumi mengerjapkan kedua matanya saat ponselnya kembali berdering. Kali ini notifikasi pesan WA dari Satya. Penasaran, Ayumi pun segera membukanya. Isinya berupa foto bukti transfer yang sudah Satya kirim pada Ayumi.Satya: Aku sudah transfer uang sejumlah lima puluh juta untuk keperluan belanja selama satu bulan. Besok, belanjalah dan masak. Aku tidak terbiasa memakan makanan beli dari luar. Apalagi restoran yang kebersihannya tidak dijaga.Meski isinya tak ada sedikit pun kata romantis, tapi berhasil membuat kedua sudut bibir Ayumi
Satya memang tidak pernah menunjukkan wajah kekasihnya itu. Karena hubungannya memang tidak pernah direstui oleh Hadi Wijaya. Laki-laki itu menganggap status keluarga Clara yang kurang jelas. Bahkan Hadi Wijaya sampai menyuruh Satya untuk memutuskan hubungannya dengan Clara sebelum menikah dengan Ayumi.Satya pun menyanggupi dan selama beberapa minggu sebelum menikah, mereka tak pernah terlibat dalam percakapan chat atau teleponan. Tapi apa yang Ayumi lihat saat ini?Hatinya mencelos melihat pemandangan tak menyenangkan itu. Namun dia bisa apa? Tidak mungkin juga melaporkan apa yang dilihatnya saat ini pada Hadi Wijaya. Dia tidak ingin ayah dan anak itu ribut hanya karena hal seperti ini.Biarlah saja. Ini urusan antara dirinya dan Satya.“Ay, kok bengong sih? Katanya mau pulang? Ada apa sih?”Pertanyaan yang dilontarkan Sita membuat kedua mata bulat Ayumi mengerjap beberapa saat. Membuyarkan semua yang ada di pikirannya.“Ah, nggak ada kok, Ta. Aku hanya teringat sesuatu,” sahut Ayum
“Ay, kalian nggak tidur satu kamar?” Sita mempertegas pertanyaannya.Membuat Ayumi mengerjapkan kedua matanya sesaat. Lalu tersenyum dan menyuruh sahabatnya itu duduk di kursi ruang tamu.“Maksudnya nggak gitu. Aku kan lagi haid, Jadi … untuk sementara waktu kita tidur terpisah kamar dulu. Takutnya Mas Satya nggak bisa tahan kalau tidur satu kamar denganku,” terangnya malu-malu.“Ya ampun, Ay. Jadi kamu belum melakukan itu?” tanyanya pelan. Tatapannya mengarah pada sahabatnya penuh selidik.“Apaan sih itu, itu.” Ayumi mengibaskan telapak tangan kanannya di depan wajah Sita sambil terkekeh. Pura-pura malu. “Sudahlah … sudah beres kok. Aku mau masak. sebentar lagi Mas Satya pulang nih,” imbuhnya menoleh pada jam yang sudah menunjukkan pukul setengah lima.“Sabtuan juga. Harusnya suami kamu itu pulang lebih awal, kerja mulu,” omel Sita sambil berdiri. “Ngedate
Satya dan Clara pun menghabiskan waktu mereka dengan menonton bioskop hingga pukul sebelas malam. Kemudian dilanjut dengan makan lagi karena Satya kembali lapar, pasalnya tadi dia hanya menikmati makanan sedikit saja.Mereka pun kembali makan malam dengan memesan makanan di restoran cepat saji yang masih buka selama dua puluh empat jam. Tentunya dengan kebersihan yang selalu terjaga juga kualitas makanannya yang sudah pasti terjamin.“Sayang, aku boleh nggak minta uangnya untuk keperluan perawatan kuku. Sebulan nggak ketemu kamu, kuku aku juga belum dirawat nih,” pintanya dengan manja seraya memperlihatkan kuku-kukunya yang belum sempat perawatan.“Aduh … kasihan sekali, Sayang. Sekali lagi maaf, ya. Aku janji deh, setelah ini kamu nggak akan pernah lagi sampai tak terurus seperti ini,” sahut Satya yang merasa bersalah karena telah mengabaikan kebutuhan Clara. Padahal dia hanya kekasih dan justru malah istrinya yang kini Satya abai
Keesokan harinya, Satya sudah bersiap dengan baju cassualnya. Parfum di tubuhnya menguar hingga menusuk indera penciuman Ayumi yang tengah memasak untuk sarapan. Karena masakan semalam sudah basi dan akhirnya terbuang dengan percuma. Bahkan Satya tak menyentuhnya sama sekali. Dia pulang langsung masuk kamar dan tidur.Padahal Ayumi memasak makanan kesukaan suaminya.“Mas semalam ke mana? Kenapa pulang larut malam sekali? Ini juga masih pagi-pagi sudah beres saja? Ada acara apa memang? Libur kan?” Ayumi terus memberondong Satya yang tengah meneguk segelas air itu dengan berbagai pertanyaan.Satya melepas gelasnya dari bibir tipisnya. Kedua mata elangnya menatap Ayumi dengan sengit. “Bukan urusanmu!”Jawaban yang cukup singkat. Namun mewakili semua pertanyaan yang Ayumi lontarkan. Bahkan suara gelas yang diletakkan dengan kasar itu mampu menggores luka di hati Ayumi.“Tapi aku istrimu, Mas. Aku berhak tahu ke mana kamu pergi dan urusan apa saja,” sahut Ayumi yang masih penasaran. Dia in
Sepanjang jalan, mereka pun saling diam. Hanya sesekali berbicara, itu pun jika Satya yang bertanya terlebih dahulu. Ayumi tak banyak bercerita, takut salah ucap dan mendapat bentakan dari Satya yang akan semakin membuat hatinya tak suka. Lebih baik dia diam meski tak nyaman.“Minggu depan aku ada urusan ke luar kota selama tiga hari,” ujar Satya tanpa menoleh ke arah Ayumi yang duduk di sebelahnya.“Iya,” sahutnya singkat dengan tatapan terus mengarah pada layar ponselnya yang tengah menampilkan pesan dari Sita.“Kalau diajak ngobrol sama suami itu yang fokus!” bentak Satya dengan kesal.Membuat Ayumi langsung mematikan layar ponsel dan mengembuskan napas panjang. Ada sedikit rasa jengkel di hatinya. Namun lagi-lagi dia memilih diam dan beristighfar.“Aku dengar kok, Mas. Nggak perlu kamu teriak-teriak,” sahutnya setenang mungkin agar Satya tak semakin marah padaya.“Dibilangin nggak usa