Sepanjang perjalanan ke apartemen, Ayumi dan Satya masih saling diam. Ayumi lebih menyibukkan diri dengan memandangi apapun yang dia lewati selama perjalanan. Sedangkan Satya lebih fokus pada kendali mobilnya. Benar-benar perjalanan yang membosankan.
Hingga mobil sport hitam milik Satya berhenti di depan sebuah gedung lima lantai yang terletak di tengah-tengah kota Surabaya.
“Turun!” titah laki-laki bercambang tipis itu tanpa menoleh pada sang Istri.
“Di sini?” tanya Ayumi tampak menatap sekitar sembari mengerutkan keningnya. Pasalnya, mobil yang dia naiki berhenti tepat di pintu lobby apartemen.
“Iya lah. Memang mau turun di mana?” Satya bertanya balik sembari menatap istrinya dengan memutar bola matanya.
Ayumi hanya mengembuskan napas panjang sedikit kasar. Lalu turun dari mobil tanpa banyak protes lagi.
“Jangan lupa turunkan barang-barang di bagasi. Aku mau parkir mobil!” teriaknya dari dalam mobil.
“Iya,” sahutnya setengah kesal. Lalu membuka bagasi mobil yang sudah dibuka kuncinya oleh sang Suami.
Satya menatap sang Istri dengan senyum penuh kemenangan. “Nggak usah sok jadi tuan putri, Ayumi. Perempuan kampung sepertimu memang paling cocok sebagai kacung!”
Setelah memastikan barang bawaan turun semua dari mobil dan Ayumi menutup pintu bagasi mobil, Satya langsung melajukan mobilnya menuju basement untuk memarkirkan mobilnya. Kemudian menemui istrinya.
“Ayo jalan! Jangan lupa kopernya dibawa,” titahnya sambil menunjuk koper miliknya. Membuat Ayumi melebarkan kedua matanya. Tak menyangka jika Satya menyuruhnya membawa kopernya juga.
Namun, detik berikutnya dia ingat dengan semua kebaikan yang telah Hadi Wijaya berikan padanya. Jika bukan karena ayah mertuanya, dia pasti sudah menendang laki-laki judes bin sombong yang ada di hadapannya itu.
“Sabar, Ayumi. Sabar …,” gumamnya berusaha menghibur dirinya agar hatinya lapang. Meski dia sedikit kerepotan karena dia membawa dua koper. Satu koper miliknya dan satu lagi koper berisi barang-barang suaminya.
“Cepat! Tidak usah banyak ngedumel. Anggap saja kamu ini sekarang asisten pribadi aku. Paham?” titahnya seraya menyugar rambutnya yang hitam legam.
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suaminya, Ayumi menyipitkan kedua matanya. Lalu mendengus dengan kesal. Dia lantas mengikuti langkah suaminya menaiki lift hingga berhenti di lantai lima.
Keduanya menyusuri koridor apartemen yang didominasi warna kuning keemasan. Ayumi terlalu antusias menatap sekitar. Ini pertama kalinya menginjakkan kaki di apartemen mewah yang harganya pasti sangatlah mahal. Saking asiknya, hingga dia memekik saat tubuhnya tak sengaja menabrak tubuh Satya yang tiba-tiba berhenti di hadapannya.
“Aduh!”
Ayumi hampir saja jatuh jika saja tangan Satya tidak reflek menahannya dalam pelukan. Untuk pertama kali, mereka tak berjarak. Bahkan saling mendekap dan saling melempar pandangan satu-sama lain untuk beberapa detik.
Membuat jantung keduanya berpacu dengan cepat. Ayumi bahkan bisa mendengar degup jantung Satya yang tepat di samping telinganya.
Cantik juga perempuan ini ….
Satya sampai tidak sadar telah memuji kecantikan sang Istri meski hanya dalam hati. Membuat sisi laki-lakinya bangkit begitu saja. Saat menyadari itu, Satya segera menarik diri dan membuat dekapan keduanya terlepas. Mereka kembali berjarak dengan suasana yang canggung.
“Kamu itu, ya. Bisa lebih hati-hati nggak sih? Dasar kampungan!” omelnya seraya mendelik pada Ayumi. Namun sedikit salah tingkah.
Berbeda dengan sang Istri hanya terdiam saja dengan kepala tertunduk. Dia masih berusaha menormalkan degup jantungnya yang tadi berpacu lebih cepat dari biasanya.
Ya Allah … itu tadi apa?
Pikiran Ayumi menjadi kacau saat merasakan sesuatu yang aneh saat tubuhnya dipeluk oleh suaminya sendiri. Suami yang tidak mencintainya dan hanya menganggapnya sebagai asisten pribadi.
“Ayo masuk dan tata dengan rapi barang-barang aku!”
Instruksi dari Satya membuat Ayumi tersadar dari lamunannya. Lantas, dia pun langsung masuk ke sebuah apartemen yang pintunya sudah terbuka sembari menyeret dua kopernya dengan susah payah.
“Bantuin kek, Mas,” pintanya dengan wajah memelas.
Namun, Satya hanya menoleh dan melirik sekilas. Kemudian berlalu ke kamar mandi. Tak peduli dengan Ayumi yang tampak kelelahan karena membawa dua koper besar sekaligus.
“Ish, dasar laki-laki nggak punya hati!” umpatnya tertahan.
Ayumi langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa empuk yang ada di dalam apartemen mewah milik suaminya itu. Pandangannya menyapu sekitar, mengamati setiap sudut dari apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya dengan sang Suami yang judes bin sombong itu.
Apartemen bernuansa biru langit itu memiliki lima ruangan. Ada ruang tamu yang memiliki akuarium besar yang menempel di dinding, membuat suasana sekitar tampak menyegarkan mata. Juga dua kamar dengan kamar mandi masing-masing ada di dalamnya. Dapur juga ruang makan. Dan satu lagi ruang kerja Satya.
“Ngapain kamu duduk santai di situ? Aku suruh kamu masukkan baju-baju ke dalam lemari kan?”
Lagi, suara instruksi dari Satya membuat Ayumi yang tengah mengamati sekitar terkejut bukan main. Hingga tubuhnya sedikit terlonjak.
“Astaghfirullah, Mas. Bisa nggak sih kalau ngomong itu biasa saja nggak usah ngegas. Aku ini masih dengar lho,” protesnya menatap suaminya sedikit kesal.
“Dengar kok malah nggak dikerjain. Aku suruh apa kamu tadi, hah?” sahutnya tak kalah sengit. “Perempuan kampungan, kamu aku bawa ke sini bukan untuk senang-senang. Jadi bekerjalah di sini!” imbuhnya penuh penekanan.
“Iya-iya. Aku kerjakan sekarang, Pak Satya!” tukasnya lalu bangkit dan menyeret koper yang berisi barang-barang suaminya.
Sesaat langkahnya terhenti. “Kamar Anda di mana, Pak Satya?” tanyanya menoleh pada suaminya yang malah tersenyum sinis.
“Makanya, apa-apa itu tanya dulu. Sok tahu banget sih,” omelnya.
Lalu melangkah ke sebelah kiri dan membuka pintu kamar yang akan dia tempati.
“Nah, simpan dan tata dengan rapi semua barang-barangku. Lalu kamarmu ada sebelah. Aku tidak ingin satu kamar denganmu, Perempuan Kampungan!” katanya dengan tatapan sengit.
“Oke. Aku juga tidak mau satu kamar dengan tuan judes bin sombong seperti Anda,” balasnya tak kalah sengit.
“Berani kamu melawan, ya!” Satya mendekat dan mencengkeram lengan Ayumi dengan kuat. Membuat perempuan itu meringis kesakitan.
“Lepas, Mas!” pintanya seraya melepaskan diri. Tapi tak mampu karena Satya mencengkeramnya dengan kuat. Tak peduli dia perempuan dan bahkan istrinya. Hatinya sudah terlanjur dongkol dengan apa yang ucapkan Ayumi tadi.
“Berani kamu melawan aku atau mengata-ngataiku dengan julukan-julukan tadi, aku akan pastikan jika panti asuhan tempat tinggalmu itu tidak akan mendapat pasokan makanan dan semua penghuninya akan mati kelaparan. Juga pengasuh panti mati perlahan karena tidak mendapat sumbangan dariku untuk biaya pengobatannya. Paham?”
Laki-laki itu mengancam Ayumi. Menjadikan anak-anak di panti asuhan tempat dia dibesarkan juga pengasuh panti yang tengah berjuang melawan penyakitnya itu sebagai senjata untuk melemahkan Ayumi.
Perempuan berhijab ungu muda itu melebarkan kedua matanya. Menatap Satya seolah tak percaya.
“Kejam kamu, Mas,” geramnya seraya menyentak tangan sang Suami.
Lalu meninggalkan laki-laki itu setelah membereskan semua pakaian sang Suami ke dalam kamar yang sudah ditunjuk oleh Satya. Kini, tak ada alasan lagi bagi Ayumi untuk melawan Satya jika ingin orang-orang panti mendapatkan haknya.
Dia tahu jika Satya sudah mengancam, maka dia benar-benar akan melakukannya.
“Memang aku peduli!” sahutnya setengah berteriak. Lalu tersenyum penuh kemenangan karena akhirnya dia menemukan kelemahan Ayumi yang akan dijadikan senjata saat perempuan itu melawan.
Hai, aku udah mulai update lagi nih. jangan lupa subscribe dan komen ya ... thank's ... :)
Usai membereskan semua baju Satya juga baju-bajunya ke dalam lemari dan membereskan barang-barangnya di kamar, Ayumi pun beranjak ke dapur berniat untuk menyiapkan makan siang. Namun saat dia membuka lemari pendingin, tak ada isinya sama sekali.“Kosong?” gumamnya memperhatikan isi kulkas. Lalu menutupnya lagi.Namun tubuhnya sedikit terlonjak saat mendapati sang suami sudah berada di balik pintu kulkas yang terbuka tadi.“Kulkas memang kosong karena aku jarang tinggal di sini. Jadi … belanjalah sana buat makan siang. Aku lapar!” ujar Satya yang hanya melirik ke arah Ayumi sekilas.“Ya sudah. Ayo antar,” pintanya menatap sang Suami yang masih berdiri di posisinya.Seketika itu Satya menoleh dan menatap Ayumi dengan kening berkerut. “Antar katamu?”Ayumi mengangguk cepat. “Saya kan tidak tahu letak warung di sini. Atau pasar, supermarket,” sahutnya polos.Seketika itu S
Tubuh Ayumi sampai terlonjak dengan kedua mata yang terbuka lebar saat menatap deretan angka yang tertera di layar ponselnya saat dia baru saja mengecek notifikasi ada yang mentransfer sejumlah uang ke nomor rekeningnya.“Ini nggak salah lima puluh juta?” tanyanya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dapatkan.Gajinya sebagai designer di kantor milik Hadi Wijaya tidak sampai menyentuh angka sepuluh juta. Ini malah lima kali lipat dari gajinya.Ayumi mengerjapkan kedua matanya saat ponselnya kembali berdering. Kali ini notifikasi pesan WA dari Satya. Penasaran, Ayumi pun segera membukanya. Isinya berupa foto bukti transfer yang sudah Satya kirim pada Ayumi.Satya: Aku sudah transfer uang sejumlah lima puluh juta untuk keperluan belanja selama satu bulan. Besok, belanjalah dan masak. Aku tidak terbiasa memakan makanan beli dari luar. Apalagi restoran yang kebersihannya tidak dijaga.Meski isinya tak ada sedikit pun kata romantis, tapi berhasil membuat kedua sudut bibir Ayumi
Satya memang tidak pernah menunjukkan wajah kekasihnya itu. Karena hubungannya memang tidak pernah direstui oleh Hadi Wijaya. Laki-laki itu menganggap status keluarga Clara yang kurang jelas. Bahkan Hadi Wijaya sampai menyuruh Satya untuk memutuskan hubungannya dengan Clara sebelum menikah dengan Ayumi.Satya pun menyanggupi dan selama beberapa minggu sebelum menikah, mereka tak pernah terlibat dalam percakapan chat atau teleponan. Tapi apa yang Ayumi lihat saat ini?Hatinya mencelos melihat pemandangan tak menyenangkan itu. Namun dia bisa apa? Tidak mungkin juga melaporkan apa yang dilihatnya saat ini pada Hadi Wijaya. Dia tidak ingin ayah dan anak itu ribut hanya karena hal seperti ini.Biarlah saja. Ini urusan antara dirinya dan Satya.“Ay, kok bengong sih? Katanya mau pulang? Ada apa sih?”Pertanyaan yang dilontarkan Sita membuat kedua mata bulat Ayumi mengerjap beberapa saat. Membuyarkan semua yang ada di pikirannya.“Ah, nggak ada kok, Ta. Aku hanya teringat sesuatu,” sahut Ayum
“Ay, kalian nggak tidur satu kamar?” Sita mempertegas pertanyaannya.Membuat Ayumi mengerjapkan kedua matanya sesaat. Lalu tersenyum dan menyuruh sahabatnya itu duduk di kursi ruang tamu.“Maksudnya nggak gitu. Aku kan lagi haid, Jadi … untuk sementara waktu kita tidur terpisah kamar dulu. Takutnya Mas Satya nggak bisa tahan kalau tidur satu kamar denganku,” terangnya malu-malu.“Ya ampun, Ay. Jadi kamu belum melakukan itu?” tanyanya pelan. Tatapannya mengarah pada sahabatnya penuh selidik.“Apaan sih itu, itu.” Ayumi mengibaskan telapak tangan kanannya di depan wajah Sita sambil terkekeh. Pura-pura malu. “Sudahlah … sudah beres kok. Aku mau masak. sebentar lagi Mas Satya pulang nih,” imbuhnya menoleh pada jam yang sudah menunjukkan pukul setengah lima.“Sabtuan juga. Harusnya suami kamu itu pulang lebih awal, kerja mulu,” omel Sita sambil berdiri. “Ngedate
Satya dan Clara pun menghabiskan waktu mereka dengan menonton bioskop hingga pukul sebelas malam. Kemudian dilanjut dengan makan lagi karena Satya kembali lapar, pasalnya tadi dia hanya menikmati makanan sedikit saja.Mereka pun kembali makan malam dengan memesan makanan di restoran cepat saji yang masih buka selama dua puluh empat jam. Tentunya dengan kebersihan yang selalu terjaga juga kualitas makanannya yang sudah pasti terjamin.“Sayang, aku boleh nggak minta uangnya untuk keperluan perawatan kuku. Sebulan nggak ketemu kamu, kuku aku juga belum dirawat nih,” pintanya dengan manja seraya memperlihatkan kuku-kukunya yang belum sempat perawatan.“Aduh … kasihan sekali, Sayang. Sekali lagi maaf, ya. Aku janji deh, setelah ini kamu nggak akan pernah lagi sampai tak terurus seperti ini,” sahut Satya yang merasa bersalah karena telah mengabaikan kebutuhan Clara. Padahal dia hanya kekasih dan justru malah istrinya yang kini Satya abai
Keesokan harinya, Satya sudah bersiap dengan baju cassualnya. Parfum di tubuhnya menguar hingga menusuk indera penciuman Ayumi yang tengah memasak untuk sarapan. Karena masakan semalam sudah basi dan akhirnya terbuang dengan percuma. Bahkan Satya tak menyentuhnya sama sekali. Dia pulang langsung masuk kamar dan tidur.Padahal Ayumi memasak makanan kesukaan suaminya.“Mas semalam ke mana? Kenapa pulang larut malam sekali? Ini juga masih pagi-pagi sudah beres saja? Ada acara apa memang? Libur kan?” Ayumi terus memberondong Satya yang tengah meneguk segelas air itu dengan berbagai pertanyaan.Satya melepas gelasnya dari bibir tipisnya. Kedua mata elangnya menatap Ayumi dengan sengit. “Bukan urusanmu!”Jawaban yang cukup singkat. Namun mewakili semua pertanyaan yang Ayumi lontarkan. Bahkan suara gelas yang diletakkan dengan kasar itu mampu menggores luka di hati Ayumi.“Tapi aku istrimu, Mas. Aku berhak tahu ke mana kamu pergi dan urusan apa saja,” sahut Ayumi yang masih penasaran. Dia in
Sepanjang jalan, mereka pun saling diam. Hanya sesekali berbicara, itu pun jika Satya yang bertanya terlebih dahulu. Ayumi tak banyak bercerita, takut salah ucap dan mendapat bentakan dari Satya yang akan semakin membuat hatinya tak suka. Lebih baik dia diam meski tak nyaman.“Minggu depan aku ada urusan ke luar kota selama tiga hari,” ujar Satya tanpa menoleh ke arah Ayumi yang duduk di sebelahnya.“Iya,” sahutnya singkat dengan tatapan terus mengarah pada layar ponselnya yang tengah menampilkan pesan dari Sita.“Kalau diajak ngobrol sama suami itu yang fokus!” bentak Satya dengan kesal.Membuat Ayumi langsung mematikan layar ponsel dan mengembuskan napas panjang. Ada sedikit rasa jengkel di hatinya. Namun lagi-lagi dia memilih diam dan beristighfar.“Aku dengar kok, Mas. Nggak perlu kamu teriak-teriak,” sahutnya setenang mungkin agar Satya tak semakin marah padaya.“Dibilangin nggak usa
“Satya, nggak sopan kamu, Nak!” Hadi Wijaya menatap anaknya sedikit tidak suka karena menyemburkan minuman di hadapan ayahnya sendiri.“Emm ... maaf, Ayah. Nggak sengaja,” sahutnya dengan kepala tertunduk. Merasa bersalah atas tindakannya tadi.“Lain kali jangan diulangi.”“Iya, Ayah. Maaf ....”“Lagian kenapa sih? Kalian kok kayak orang kaget gitu Ayah tanyakan tentang anak? Kalian nggak menunda kan?” Hadi Wijaya menatap keduanya penuh selidik.Keduanya saling melempar pandang sesaat. Lalu Ayumi menatap ayah mertuanya dan menggeleng.“Nggak kok, Ayah. Terserah Allah saja mau kasihnya cepat atau nanti,” jawab Ayumi berusaha tenang dengan senyuman. Sedikit kikuk karena mendadak suasana menegang.“Betul apa kata Ayumi, Ayah. Kita sebagai manusia kan hanya bisa berusaha. Untuk hasil akhirnya tetap Allah yang menentukan kan?”Mendengar setiap kalima