Untuk beberapa saat Ayumi terkesiap dengan perilaku suaminya. Perlakuannya sangat berbeda sekali lebih ramah dan hangat. Tak seperti saat di hotel, terkesan judes dan dingin. Boro-boro merangkul, menatap wajahnya saja terasa enggan sekali.
Hingga Ayumi teringat apa kata suaminya saat masih di hotel. Dia mengangguk samar, paham dengan maksud perlakuan suaminya kini. Hanya sandiwara untuk menutupi kebusukan niatnya menikahi Ayumi.
“Ayumi ingin segera ke rumah, Yah. Katanya bosan di hotel terus. Iya kan, Sayang?”
Laki-laki bercambang tipis itu menoleh ke arah Ayumi dengan kerlingan nakal. Senyum di bibir tebalnya terlihat sangat manis. Ah, andai saja ini bukan sandiwara, pasti hati perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah sangat senang.
Sayang, semua hanya settingan.
Ayumi tersenyum kikuk. Lalu mengangguk pelan. “Iya, Ayah. Nggak ngapa-ngapain di hotel kan jenuh,” sahutnya terpaksa berbohong mengikuti alur cerita yang sudah suaminya buat. Walaupan dia sendiri tidak ingin membohongi laki-laki yang sudah sangat baik padanya.
Lebih jenuh lagi karena harus selalu bersama dengan laki-laki dingin super jutek kayak Mas Satya.
Perempuan berhijab cokelat itu hanya bisa ngedumel dalam hati.
“Owalah … kalian itu aneh. Pengantin baru itu kan biasanya lebih senang berdua-duaan terus,” goda sang Ayah mertua sambil tersenyum penuh arti.
“Ayah, di rumah juga bisa kan? Nggak harus selalu di hotel. Membosankan,” sahut laki-laki bercambang tipis itu sembari kembali mengerlingkan matanya ke arah sang Istri.
Ini orang pinter banget sandiwaranya, ya. Kalau bukan atasan dan penuh kuasa, udah aku gaplok itu mukanya. Sok genit banget, padahal aslinya super judes!
Kembali, Ayumi mengeluarkan omelannya dalam hati. Karena jika tidak, maka dirinya bisa jadi kena semprot suami sekaligus atasannya itu.
“Nah, gitu, Satya. Sayang sama istri, ya!” ujar Ayah Hadi seraya menepuk bahu anak semata wayangnya. Tatapannya penuh arti, seperti ada sedikit ancaman di dalamnya. Laki-laki paruh baya itu menarik napas dalam. “Ayah yakin, cepat atau lambat, cinta akan segera hadir di antara kalian. Ingat, jangan pernah menunda untuk memiliki momongan. Hanya kalian harapan Papa untuk bisa dapat keturunan selanjutnya. Paham, ya.”
“Iya, Yah,” jawab Satya dengan santainya.
Berbeda dengan Ayumi yang hanya menganggukkan kepalanya dengan senyum ragu. Bagaimana dia tidak ragu? Sikap suaminya saja seperti itu. Bagaimana cinta bisa tumbah di hatinya? Meski Ayumi akan berusaha untuk dua hal; melupakan Aditya seutuhnya dan berusaha mengabdikan dirinya pada Satya yang saat ini sudah sah menjadi suaminya.
“Ya sudah. Kalian masuklah ke kamar sana. Lanjutkan,” bisiknya menggoda.
“Ayah ini,” kekeh Satya. Lalu melepas rangkulannya dan menggenggam telapak tangan istrinya dengan sedikit keras. Membuat Ayumi meringis kecil karena terkejut.
“Kami permisi dulu, Ayah,” pamit Ayumi akhirnya.
“Iya, sana.”
Sepanjang perjalanan ke kamar Satya yang ada di lantai dua, laki-laki bercambang tipis it uterus menggandeng sang Istri. Namun, saat mereka sudah sampai di dalam kamar yang luasnya hampir separuh lapangan bola ini, Satya menghempaskan tangan Ayumi dengan kasar.
Membuat Ayumi tersentak dan seketika itu, hatinya terasa perih. Dia seperti dipermainkan di sini.
“Nggak usah baper! Tadi hanya pura-pura. Kamu ingat kan apa kataku semalam? Kita harus berakting sebagai pasangan suami istri yang romantic di hadapan keluarga!” ujar Satya seraya menatap wajah istrinya dengan tajam.
“Tenang, Mas. Tak perlu diingatkan pun, aku sudah paham!” jawab Ayumi dengan tegas. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan suaminya. Agar suaminya itu tidak bisa bersikap semena-semena padanya.
“Bagus!”
“Btw, acting Mas Satya tadi cukup bagus. Kenapa tidak mencoba untuk ikut casting saja? Sepertinya lebih berbakat untuk menjadi artis sinetron atau film dibandingkan menjadi CEO,” sindir Ayumi dengan senyum tipis.
Terlihat laki-laki bercambang tipis itu tersenyum sinis. “Selera humormu rendah juga ternyata.”
“Aku sedang tidak melucu, Mas. Serius.” Ayumi memperlihatkan wajah seriusnya. Bahkan, dia memberanikan diri menatap wajah suaminya. Meski Satya menghindar.
“Jaga perilakumu, Perempuan Kampungan! Aku ini atasanmu!” tekan Satya seraya menatap sang Istri dengan tajam.
“Ini di rumah, Mas. Bukan di kantor. Lagi pula, Mas itu suamiku, bukan atasanku sekarang,” jawabnya memberanikan diri.
“Percaya diri sekali dirmu!” laki-laki itu berdecih. “Ingat, ya. Kita ini hanya suami istri di atas kertas. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi jangan harap kamu akan mendapatkan cinta dariku."
Tanpa menunggu jawaban dari mulut sang Istri, Satya langsung melenggangkan kaki keluar kamar. Menyisakan suara pintu yang terdengar sedikit keras saat ditutup.
Selepas kepergian Satya, tubuh Ayumi luruh ke lantai. Air mata yang sudah sekian lama dia tahan akhirnya luruh juga.
Sekuat-kuatnya dia di hadapan suami, pasti akan merasa sakit juga. Karena dia juga wanita yang selalu menggunakan perasaan dalam menghadapi sesuatu.
Tak peduli dengan suaminya yang entah pergi ke mana, Ayumi lebih menyibukkan diri dengan membereskan baju-bajunya. Kemudian turun menuuju dapur. Dia memilih membantu asisten rumah tangga yang ada di rumah tersebut. Memasak untuk makan malam. Karena sampai menjelang maghrib, suaminya itu belum juga pulang.
“Non Ayumi itu nggak seharusnya di sini. Ini kan tugas saya,” ujar Mbok Yem saat Ayumi membantunya memasak.
“Nggak papa, Mbok. Saya bosan di rumah tidak ada kegiatan apa-apa. Karena saya juga masih cuti dari kantor,” sahutnya seraya memotong wortel. Dia akan memasak sup ayam.
“Nanti kalau Tuan Hadi tahu, saya takut kena marah, Non,” katanya memasang wajah cemas. Takut terkena marah oleh majikannya.
“Mbok Yem tenang saja,” sahut Ayumi seraya menyentuh bahu perempuan paruh baya itu. “Papa nggak akan marah kok. Percaya deh sama Ayumi,” imbuhnya meyakinkan.
Perempuan paruh baya itu pun mengangguk ragu. Lalu membiarkan Ayumi membantunya hingga selesai memasak. Kemudian menghidangkan makanan yang sudah matang itu di meja makan.
“Lho, Ayumi. Kamu ikut masak? Satya di mana?” tanya Hadi saat tiba di ruang makan. Dia duduk di kursinya.
“Iya, Yah. Dari pada gabut,” kekehnya. “Mas Satya … tadi katanya ada urusan sebentar, Yah.” Lagi, Ayumi terpaksa berbohong demi menutupi suaminya yang entah pergi ke mana.
“Lah … ke mana sih itu anak? Kok istrinya malah ditinggal sendirian di rumah.” Tampak laki-laki paruh baya yang kedua matanya dihias dengan kacamata mendengkus kesal.
“Ayumi nggak apa-apa kok, Yah. Sebentar lagi juga paling pulang,” sahutnya.
Bersamaan dengan itu, laki-laki yang tengah mereka bicarakan itu pun datang. Hadi langsung memanggilnya dan bertanya Satya dari mana.
“Ada urusan mendadak tadi, Yah,” jawabnya santai. Lalu duduk di sisi depan ayahnya dan menikmati makanannya.
Hadi pun tak mempermasalahkannya karena perintah dari Ayumi. Dia tidak ingin ada keributan. Ayumi sendiri sebenarnya penasaran, tapi dia memilih untuk cuek saja.
“Yah, besok aku sama Ayumi mau langsung pindah ke apartemenku saja. Biar belajar mandiri. Iya kan, Sayang?”
Satya menoleh pada Ayumi dan meminta persetujuannya.
Perempuan bermata bulat itu melebarkan kedua matanya. Dia menoleh dan menatap suaminya dengan kening berkerut. Namun, detik berikutnya dia memekik saat tiba-tiba Satya mencubit pahanya.
“Iya kan, Sayang?”Laki-laki menyebalkan itu kembali melayangkan pertanyaan yang sama pada Ayumi. Namun bedanya, kali ini ada sedikit penekanan. Juga tatapannya yang sedikit mendelik dengan senyum yang terlihat sekali dipaksakan. Dan … terkesan memaksa.“Ayumi nggak papa?” tanya Hadi menatap menantunya sedikit cemas. Karena tadi mendengar pekikannya.“Eh, nggak papa, Ayah,” sahutnya tanpa peduli dengan pertanyaan suaminya.“Yakin?”“Iya, Yah. Tadi Cuma agak kegigit saja lidahnya. Nggak papa kok,” sahutnya tersenyum kikuk.Sedangkan Satya melengos sambil memutar kedua bola matanya.“Yah, besok aku mau pindah.” Merasa diabaikan, Satya kembali mengulangi kalimatnya.Untung saja acara makan malam sudah selesai. Sehingga tidak merusak suasana dan selera makan. Tinggal menunggu adzan maghrib saja.Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu. “Satya, tidak bisakah kalian tinggal di sini saja? Ayah pasti akan kesepian kalau nggak ada kalian,” sahutnya dengan
Sepanjang perjalanan ke apartemen, Ayumi dan Satya masih saling diam. Ayumi lebih menyibukkan diri dengan memandangi apapun yang dia lewati selama perjalanan. Sedangkan Satya lebih fokus pada kendali mobilnya. Benar-benar perjalanan yang membosankan. Hingga mobil sport hitam milik Satya berhenti di depan sebuah gedung lima lantai yang terletak di tengah-tengah kota Surabaya. “Turun!” titah laki-laki bercambang tipis itu tanpa menoleh pada sang Istri. “Di sini?” tanya Ayumi tampak menatap sekitar sembari mengerutkan keningnya. Pasalnya, mobil yang dia naiki berhenti tepat di pintu lobby apartemen. “Iya lah. Memang mau turun di mana?” Satya bertanya balik sembari menatap istrinya dengan memutar bola matanya. Ayumi hanya mengembuskan napas panjang sedikit kasar. Lalu turun dari mobil tanpa banyak protes lagi. “Jangan lupa turunkan barang-barang di bagasi. Aku mau parkir mobil!” teriaknya dari dalam mobil. “Iya,” sahutnya setengah kesal. Lalu membuka bagasi mobil yang sudah dibuka k
Usai membereskan semua baju Satya juga baju-bajunya ke dalam lemari dan membereskan barang-barangnya di kamar, Ayumi pun beranjak ke dapur berniat untuk menyiapkan makan siang. Namun saat dia membuka lemari pendingin, tak ada isinya sama sekali.“Kosong?” gumamnya memperhatikan isi kulkas. Lalu menutupnya lagi.Namun tubuhnya sedikit terlonjak saat mendapati sang suami sudah berada di balik pintu kulkas yang terbuka tadi.“Kulkas memang kosong karena aku jarang tinggal di sini. Jadi … belanjalah sana buat makan siang. Aku lapar!” ujar Satya yang hanya melirik ke arah Ayumi sekilas.“Ya sudah. Ayo antar,” pintanya menatap sang Suami yang masih berdiri di posisinya.Seketika itu Satya menoleh dan menatap Ayumi dengan kening berkerut. “Antar katamu?”Ayumi mengangguk cepat. “Saya kan tidak tahu letak warung di sini. Atau pasar, supermarket,” sahutnya polos.Seketika itu S
Tubuh Ayumi sampai terlonjak dengan kedua mata yang terbuka lebar saat menatap deretan angka yang tertera di layar ponselnya saat dia baru saja mengecek notifikasi ada yang mentransfer sejumlah uang ke nomor rekeningnya.“Ini nggak salah lima puluh juta?” tanyanya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dapatkan.Gajinya sebagai designer di kantor milik Hadi Wijaya tidak sampai menyentuh angka sepuluh juta. Ini malah lima kali lipat dari gajinya.Ayumi mengerjapkan kedua matanya saat ponselnya kembali berdering. Kali ini notifikasi pesan WA dari Satya. Penasaran, Ayumi pun segera membukanya. Isinya berupa foto bukti transfer yang sudah Satya kirim pada Ayumi.Satya: Aku sudah transfer uang sejumlah lima puluh juta untuk keperluan belanja selama satu bulan. Besok, belanjalah dan masak. Aku tidak terbiasa memakan makanan beli dari luar. Apalagi restoran yang kebersihannya tidak dijaga.Meski isinya tak ada sedikit pun kata romantis, tapi berhasil membuat kedua sudut bibir Ayumi
Satya memang tidak pernah menunjukkan wajah kekasihnya itu. Karena hubungannya memang tidak pernah direstui oleh Hadi Wijaya. Laki-laki itu menganggap status keluarga Clara yang kurang jelas. Bahkan Hadi Wijaya sampai menyuruh Satya untuk memutuskan hubungannya dengan Clara sebelum menikah dengan Ayumi.Satya pun menyanggupi dan selama beberapa minggu sebelum menikah, mereka tak pernah terlibat dalam percakapan chat atau teleponan. Tapi apa yang Ayumi lihat saat ini?Hatinya mencelos melihat pemandangan tak menyenangkan itu. Namun dia bisa apa? Tidak mungkin juga melaporkan apa yang dilihatnya saat ini pada Hadi Wijaya. Dia tidak ingin ayah dan anak itu ribut hanya karena hal seperti ini.Biarlah saja. Ini urusan antara dirinya dan Satya.“Ay, kok bengong sih? Katanya mau pulang? Ada apa sih?”Pertanyaan yang dilontarkan Sita membuat kedua mata bulat Ayumi mengerjap beberapa saat. Membuyarkan semua yang ada di pikirannya.“Ah, nggak ada kok, Ta. Aku hanya teringat sesuatu,” sahut Ayum
“Ay, kalian nggak tidur satu kamar?” Sita mempertegas pertanyaannya.Membuat Ayumi mengerjapkan kedua matanya sesaat. Lalu tersenyum dan menyuruh sahabatnya itu duduk di kursi ruang tamu.“Maksudnya nggak gitu. Aku kan lagi haid, Jadi … untuk sementara waktu kita tidur terpisah kamar dulu. Takutnya Mas Satya nggak bisa tahan kalau tidur satu kamar denganku,” terangnya malu-malu.“Ya ampun, Ay. Jadi kamu belum melakukan itu?” tanyanya pelan. Tatapannya mengarah pada sahabatnya penuh selidik.“Apaan sih itu, itu.” Ayumi mengibaskan telapak tangan kanannya di depan wajah Sita sambil terkekeh. Pura-pura malu. “Sudahlah … sudah beres kok. Aku mau masak. sebentar lagi Mas Satya pulang nih,” imbuhnya menoleh pada jam yang sudah menunjukkan pukul setengah lima.“Sabtuan juga. Harusnya suami kamu itu pulang lebih awal, kerja mulu,” omel Sita sambil berdiri. “Ngedate
Satya dan Clara pun menghabiskan waktu mereka dengan menonton bioskop hingga pukul sebelas malam. Kemudian dilanjut dengan makan lagi karena Satya kembali lapar, pasalnya tadi dia hanya menikmati makanan sedikit saja.Mereka pun kembali makan malam dengan memesan makanan di restoran cepat saji yang masih buka selama dua puluh empat jam. Tentunya dengan kebersihan yang selalu terjaga juga kualitas makanannya yang sudah pasti terjamin.“Sayang, aku boleh nggak minta uangnya untuk keperluan perawatan kuku. Sebulan nggak ketemu kamu, kuku aku juga belum dirawat nih,” pintanya dengan manja seraya memperlihatkan kuku-kukunya yang belum sempat perawatan.“Aduh … kasihan sekali, Sayang. Sekali lagi maaf, ya. Aku janji deh, setelah ini kamu nggak akan pernah lagi sampai tak terurus seperti ini,” sahut Satya yang merasa bersalah karena telah mengabaikan kebutuhan Clara. Padahal dia hanya kekasih dan justru malah istrinya yang kini Satya abai
Keesokan harinya, Satya sudah bersiap dengan baju cassualnya. Parfum di tubuhnya menguar hingga menusuk indera penciuman Ayumi yang tengah memasak untuk sarapan. Karena masakan semalam sudah basi dan akhirnya terbuang dengan percuma. Bahkan Satya tak menyentuhnya sama sekali. Dia pulang langsung masuk kamar dan tidur.Padahal Ayumi memasak makanan kesukaan suaminya.“Mas semalam ke mana? Kenapa pulang larut malam sekali? Ini juga masih pagi-pagi sudah beres saja? Ada acara apa memang? Libur kan?” Ayumi terus memberondong Satya yang tengah meneguk segelas air itu dengan berbagai pertanyaan.Satya melepas gelasnya dari bibir tipisnya. Kedua mata elangnya menatap Ayumi dengan sengit. “Bukan urusanmu!”Jawaban yang cukup singkat. Namun mewakili semua pertanyaan yang Ayumi lontarkan. Bahkan suara gelas yang diletakkan dengan kasar itu mampu menggores luka di hati Ayumi.“Tapi aku istrimu, Mas. Aku berhak tahu ke mana kamu pergi dan urusan apa saja,” sahut Ayumi yang masih penasaran. Dia in