Share

BAB 4

Untuk beberapa saat Ayumi terkesiap dengan perilaku suaminya. Perlakuannya sangat berbeda sekali lebih ramah dan hangat. Tak seperti saat di hotel, terkesan judes dan dingin. Boro-boro merangkul, menatap wajahnya saja terasa enggan sekali.

Hingga Ayumi teringat apa kata suaminya saat masih di hotel. Dia mengangguk samar, paham dengan maksud perlakuan suaminya kini. Hanya sandiwara untuk menutupi kebusukan niatnya menikahi Ayumi.

“Ayumi ingin segera ke rumah, Yah. Katanya bosan di hotel terus. Iya kan, Sayang?”

Laki-laki bercambang tipis itu menoleh ke arah Ayumi dengan kerlingan nakal. Senyum di bibir tebalnya terlihat sangat manis. Ah, andai saja ini bukan sandiwara, pasti hati perempuan berusia dua puluh lima tahun itu sudah sangat senang.

Sayang, semua hanya settingan.

Ayumi tersenyum kikuk. Lalu mengangguk pelan. “Iya, Ayah. Nggak ngapa-ngapain di hotel kan jenuh,” sahutnya terpaksa berbohong mengikuti alur cerita yang sudah suaminya buat. Walaupan dia sendiri tidak ingin membohongi laki-laki yang sudah sangat baik padanya.

Lebih jenuh lagi karena harus selalu bersama dengan laki-laki dingin super jutek kayak Mas Satya.

Perempuan berhijab cokelat itu hanya bisa ngedumel dalam hati.

“Owalah … kalian itu aneh. Pengantin baru itu kan biasanya lebih senang berdua-duaan terus,” goda sang Ayah mertua sambil tersenyum penuh arti.

“Ayah, di rumah juga bisa kan? Nggak harus selalu di hotel. Membosankan,” sahut laki-laki bercambang tipis itu sembari kembali mengerlingkan matanya ke arah sang Istri.

Ini orang pinter banget sandiwaranya, ya. Kalau bukan atasan dan penuh kuasa, udah aku gaplok itu mukanya. Sok genit banget, padahal aslinya super judes!

Kembali, Ayumi mengeluarkan omelannya dalam hati. Karena jika tidak, maka dirinya bisa jadi kena semprot suami sekaligus atasannya itu.

“Nah, gitu, Satya. Sayang sama istri, ya!” ujar Ayah Hadi seraya menepuk bahu anak semata wayangnya. Tatapannya penuh arti, seperti ada sedikit ancaman di dalamnya. Laki-laki paruh baya itu menarik napas dalam. “Ayah yakin, cepat atau lambat, cinta akan segera hadir di antara kalian. Ingat, jangan pernah menunda untuk memiliki momongan. Hanya kalian harapan Papa untuk bisa dapat keturunan selanjutnya. Paham, ya.”

“Iya, Yah,” jawab Satya dengan santainya.

Berbeda dengan Ayumi yang hanya menganggukkan kepalanya dengan senyum ragu. Bagaimana dia tidak ragu? Sikap suaminya saja seperti itu. Bagaimana cinta bisa tumbah di hatinya? Meski Ayumi akan berusaha untuk dua hal; melupakan Aditya seutuhnya dan berusaha mengabdikan dirinya pada Satya yang saat ini sudah sah menjadi suaminya.

“Ya sudah. Kalian masuklah ke kamar sana. Lanjutkan,” bisiknya menggoda.

“Ayah ini,” kekeh Satya. Lalu melepas rangkulannya dan menggenggam telapak tangan istrinya dengan sedikit keras. Membuat Ayumi meringis kecil karena terkejut.

“Kami permisi dulu, Ayah,” pamit Ayumi akhirnya.

“Iya, sana.”

Sepanjang perjalanan ke kamar Satya yang ada di lantai dua, laki-laki bercambang tipis it uterus menggandeng sang Istri. Namun, saat mereka sudah sampai di dalam kamar yang luasnya hampir separuh lapangan bola ini, Satya menghempaskan tangan Ayumi dengan kasar.

Membuat Ayumi tersentak dan seketika itu, hatinya terasa perih. Dia seperti dipermainkan di sini.

“Nggak usah baper! Tadi hanya pura-pura. Kamu ingat kan apa kataku semalam? Kita harus berakting sebagai pasangan suami istri yang romantic di hadapan keluarga!” ujar Satya seraya menatap wajah istrinya dengan tajam.

“Tenang, Mas. Tak perlu diingatkan pun, aku sudah paham!” jawab Ayumi dengan tegas. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan suaminya. Agar suaminya itu tidak bisa bersikap semena-semena padanya.

“Bagus!”

“Btw, acting Mas Satya tadi cukup bagus. Kenapa tidak mencoba untuk ikut casting saja? Sepertinya lebih berbakat untuk menjadi artis sinetron atau film dibandingkan menjadi CEO,” sindir Ayumi dengan senyum tipis.

Terlihat laki-laki bercambang tipis itu tersenyum sinis. “Selera humormu rendah juga ternyata.”

“Aku sedang tidak melucu, Mas. Serius.” Ayumi memperlihatkan wajah seriusnya. Bahkan, dia memberanikan diri menatap wajah suaminya. Meski Satya menghindar.

“Jaga perilakumu, Perempuan Kampungan! Aku ini atasanmu!” tekan Satya seraya menatap sang Istri dengan tajam.

“Ini di rumah, Mas. Bukan di kantor. Lagi pula, Mas itu suamiku, bukan atasanku sekarang,” jawabnya memberanikan diri.

“Percaya diri sekali dirmu!” laki-laki itu berdecih. “Ingat, ya. Kita ini hanya suami istri di atas kertas. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mencintaimu. Jadi jangan harap kamu akan mendapatkan cinta dariku."

Tanpa menunggu jawaban dari mulut sang Istri, Satya langsung melenggangkan kaki keluar kamar. Menyisakan suara pintu yang terdengar sedikit keras saat ditutup.

Selepas kepergian Satya, tubuh Ayumi luruh ke lantai. Air mata yang sudah sekian lama dia tahan akhirnya luruh juga.

Sekuat-kuatnya dia di hadapan suami, pasti akan merasa sakit juga. Karena dia juga wanita yang selalu menggunakan perasaan dalam menghadapi sesuatu.

Tak peduli dengan suaminya yang entah pergi ke mana, Ayumi lebih menyibukkan diri dengan membereskan baju-bajunya. Kemudian turun menuuju dapur. Dia memilih membantu asisten rumah tangga yang ada di rumah tersebut. Memasak untuk makan malam. Karena sampai menjelang maghrib, suaminya itu belum juga pulang.

“Non Ayumi itu nggak seharusnya di sini. Ini kan tugas saya,” ujar Mbok Yem saat Ayumi membantunya memasak.

“Nggak papa, Mbok. Saya bosan di rumah tidak ada kegiatan apa-apa. Karena saya juga masih cuti dari kantor,” sahutnya seraya memotong wortel. Dia akan memasak sup ayam.

“Nanti kalau Tuan Hadi tahu, saya takut kena marah, Non,” katanya memasang wajah cemas. Takut terkena marah oleh majikannya.

“Mbok Yem tenang saja,” sahut Ayumi seraya menyentuh bahu perempuan paruh baya itu. “Papa nggak akan marah kok. Percaya deh sama Ayumi,” imbuhnya meyakinkan.

Perempuan paruh baya itu pun mengangguk ragu. Lalu membiarkan Ayumi membantunya hingga selesai memasak. Kemudian menghidangkan makanan yang sudah matang itu di meja makan.

“Lho, Ayumi. Kamu ikut masak? Satya di mana?” tanya Hadi saat tiba di ruang makan. Dia duduk di kursinya.

“Iya, Yah. Dari pada gabut,” kekehnya. “Mas Satya … tadi katanya ada urusan sebentar, Yah.” Lagi, Ayumi terpaksa berbohong demi menutupi suaminya yang entah pergi ke mana.

“Lah … ke mana sih itu anak? Kok istrinya malah ditinggal sendirian di rumah.” Tampak laki-laki paruh baya yang kedua matanya dihias dengan kacamata mendengkus kesal.

“Ayumi nggak apa-apa kok, Yah. Sebentar lagi juga paling pulang,” sahutnya.

Bersamaan dengan itu, laki-laki yang tengah mereka bicarakan itu pun datang. Hadi langsung memanggilnya dan bertanya Satya dari mana.

“Ada urusan mendadak tadi, Yah,” jawabnya santai. Lalu duduk di sisi depan ayahnya dan menikmati makanannya.

Hadi pun tak mempermasalahkannya karena perintah dari Ayumi. Dia tidak ingin ada keributan. Ayumi sendiri sebenarnya penasaran, tapi dia memilih untuk cuek saja.

“Yah, besok aku sama Ayumi mau langsung pindah ke apartemenku saja. Biar belajar mandiri. Iya kan, Sayang?”

Satya menoleh pada Ayumi dan meminta persetujuannya.

Perempuan bermata bulat itu melebarkan kedua matanya. Dia menoleh dan menatap suaminya dengan kening berkerut. Namun, detik berikutnya dia memekik saat tiba-tiba Satya mencubit pahanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status