"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu
Aku memandang tak suka ke arah Mas Bima yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar sambil marah-marah nggak jelas. "Mengadu? Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku memastikan perkataannya. "Bukannya kamu menelepon ibumu dan mengadukan masalah kita sambil nangis-nangis? Begitu, kan?" ujar Mas Bima tak senang. "Mas… Mas … Firda ini anak perantauan, Mas. Masih punya orang tua yang kapan saja pengen ngelepas rindu. Salah orang telponan dengan Ayah ibunya sendiri? Nggak, kan? Terus, salahnya di mana kalau orang tua Firda tau masalah anaknya? Lucu!" Aku berjalan ke tempat tidur, mengambil gawai kembali dan mulai berselancar di dunia maya. "Masalah rumah tangga jangan suka diumbar umbar, Fir! Kamu itu sudah dewasa. Malu!" "Diumbar?" Aku mengenyitkan alis. "Ya, diumbar-umbar sama orang lain. Apa salahnya jika kita bicarakan baik-baik masalah rumah tangga kita ini, Deeek!" "Dengar ya Mas Bima! Pertama, yang barusan telepon Firda bukan orang lain, dia ibuku! Mertua kamu! Yang kedua, bukan level F
Aku berjalan ke kamar mandi, sambil mengangkat tangan kiriku tinggi-tinggi. Itu kulakukan sebagai tanda bahwa dia harus menutup mulutnya, karena aku tak ingin mendengarkan cerocosannya terkait hasil karya tangan dia dengan mamanya. Baguslah, setidaknya pagi ini aku tak kelelahan membuat sarapan diriku dan Mas Bima. Aku membersihkan badan jauh lebih lama dari biasanya. Lulur pagi yang tak pernah sempat, hari ini kulakukan. Keramas manja dengan memijat-mijat kulit kepala juga kulakukan. Karena biasanya sampoan langsung dibilas agar cepat selesai karena diburu waktu. Brak … brak. "Mbak, cepetan dikit dong! Ini hari pertama Viona masuk kerja. Nanti Viona telat kalau Mbak nggak siap-siap di kamar mandinya," keluh Viona. Kudengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Bodo amat. Aku masih asik menggosokkan badanku dengan lulur yang sudah sedikit mengering. Sempurna. Senang deh dengan kulitku ini. Brak … brak … Kembali suara gedoran kudengar. Ha ha ha. Panik nggak, panik nggak, panik ngg
Serasa ingin aku makan alat pel yang dipegang Pak Giman. Tak ingin berlama-lama aku berniat pamit kepadanya. "Yuk Pak, saya masuk dulu!" kataku permisi. "Nambah apa, Mbak? Cuan? Lah, kalau Mbak beneran mau ikut kerja kayak saya, nanti saya banyak saingan dong! Lebih baik mbaknya ngantor aja deh. Ha ha ha," ujarnya lagi. Setiap berbicara tak pernah lupa selalu diakhiri tawa khasnya. Bola mataku naik ke atas, ke bawah muter lagi ke samping kanan lalu ke samping kiri, lalu kembali lagi melihat Pak Giman. Aku membuang nafas berat. Huuuff"Matanya kenapa, Mbak Fir? Seram, ah, kayak gitu. Nanti matanya nggak kembali ke tempatnya lagi gimana?" katanya benar-benar polos. "Nggak papa, Paaak! Matanya cuma senam pagi. Hik hik hik." "Loh loh loh, Mbak Firda kok mewek? Saya salah ngomong. Maafin saya Mbak. Saya nggak bermaksud begitu, tapi kalau Mbak mau ikut bersih-bersih bantu saya, nanti saya usulkan sama Pak Amran. Gaji bagi dua gak papa deh. Cius!" timpalnya serius. Ealah dallaaah. Kutu
"Lu jadi ngecek gudang sekarang, Fir?" Arimbi bertanya ketika kami sedang istirahat makan siang. "Ya jadi lah, Mbi. Kalau nggak, mati gue kena maki ama itu bos," balasku sambil mengaduk aduk malas makanan di depanku. "Yoda gak papa, biar cepat kelarnya. Eh denger-denger malam minggu nanti kantor ngadain acara di aula," sambungnya lagi. "Acara buat apaan?" tanyaku penasaran. "Katanya sih acara penyambutan Pak oppa gitu. Emang kayaknya bener deh, dia akan ngantiin Pak Amran di kantor," jelas Arimbi. "Masak?" selaku. "Di dapur," sosornya. "Ck, sialan lo. Gue malas banget sendirian Mbi, seram gue kalau ke gudang nggak ada temennya," alasanku agar dia mau menemani sukarela. "Hallah, jadi cewek itu harus pemberani dan tangguh!" sarannya yang membuatku sedikit terkikik. "Sok Marcopolo banget si lu!" cetusku. "Iss, coba sini gue mo liat dompet lu," perintah Arimbi. Aku mengeluarkan dompet di dalam tasku dan menyerahkan kepadanya. "Mau apa sih?" tanyaku penasaran. "Lu apa nggak ka
"Ayo cepetan naik! Saya nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan karyawan saya selagi masih di lokasi kerja. Paham kamu? Jadi, jangan berpikiran yang macam-macam!" sindirnya sambil melipat tangan di dada. "Ya Pak, baiklah." Aku berusaha berjalan tetapi kakiku masih terasa sakit. Sepertinya keseleo akibat terjatuh tadi. "Sstt …" Erangku sedikit dan pelan. "Kamu bisa jalan nggak?" "Bisa Pak, bisa!" sambutku cepat. Pelan-pelan aku mencoba berjalan. TapAku terlonjak kaget. Pak oppa tiba-tiba merangkul pundakku dan menuntunku masuk ke dalam mobilnya. "Mari saya bantu! Kalau nungguin kamu jalan seperti itu, bisa-bisa saya nginap di gudang ini." keluhnya sepenuh hati. Pak oppa membantuku berjalan menuju mobilnya. Dia membukakan pintu dan membantuku naik hingga duduk di bangku depan mobilnya. Dia berputar dan menuju ke kursi kemudi. Melajukan mobil dengan pelan menuju gudang kembali. "Kamu tunggu di sini, saya ke dalam sebentar!" perintahnya kepadaku seperti anak kecil. Pa
Pak … Pak, kesel gua kan ... jangan sampe Hp-Bapak kubunting eh banting. Makiku dalam hati. Sabar Fir, menghadapi bos seperti ini seperti main arisan odong-odong. Awalnya memuaskan pas akhir kok mengenaskan. "Ya maaf Pak. Habis Bapak bilangnya makan, mandi, tidur, maunya sama Bapak saja, apa saya nggak mikir kalau itu Istri Bapak," selaku membela diri. "Otak kamu aja yang ngeresponnya cepat banget kesana. Dasar mesum!"Busyeeed. Otakku dibilang mesum. Minta reset akhlak ke settingan pabrik ni orang. "Sudah selesai belum? Masak saya harus nungguin kamu mata-matain orang sih?" "Eh ehm … sudah, Pak!" Aku menyerahkan gawai ke pemiliknya dengan malu-malu buaya. "Makasih banyak, Pak. Tapi … jangan dihapus dulu … bisa kan, Pak? Karena besok saya minta videonya dikirimkan ke Hp saya?" pintaku polos. Losss, lah! Terlanjur basah, sekalian menyelam dan minum airnya. "Huff!" Hanya itu yang kudengar dari mulut Pak oppa, selebihnya kami kembali terdiam dalam pikiran masing-masing. Tak menung