Rantang kuamankan terlebih dahulu. Aku mengambil gawai di kantong celana. Kutekan nomor seseorang. Tak perlu mengotori tangan jika ada yang bisa melakukannya.
"Halo … Bu, ni orangnya sedang di rumah. Kemari aja, Bu!" Aku mendengar suara dari seberang sana sebentar setelahnya gawai kumatikan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu mertua penasaran.
"Nggak lakuin apa-apa Bu, cuma niat menolong Ibu aja," jawabku senang.
Marniii ... Marniiii ....”
Tiba-tiba terdengar suara merdu nan syahdu di telinga memanggil-manggil nama Ibu mertua. Mertuaku pun panik mencari tempat bersembunyi, karena dia kenal itu suara siapa.
"Bu Kokom!" katanya panik.
Aku semakin terhibur melihat ekspresi paniknya.
“Yana, bilang Ibu nggak ada, awas kalau sampai ketahuan!”
“Bu, bukannya berbohong itu dosa, ya?” kataku berbisik.
“Diam kau, Firda! Ini pasti ulah mu kan! Awas ya, Ibu nggak akan tinggal diam.” Mertuaku cepat berlari masuk ke kamar tidur sambil mengancam.
“Assalamu’alaikum!” salam Bu Kokom terdengar sedikit ngegas dan ngos-ngosan.
“Waalaikum salam,” jawab Mbak Yana panik.
“Eh Yana, mana ibumu? Dia di rumah, kan?” tanya Bu Kokom tanpa tendeng aling-aling.
“Eh … Bu Kokom … mari sini masuk dulu. Ada apa ya, Bu? Kok kelihatannya buru-buru sekali?” sambut Mbak Yana pura-pura tak tahu maksud dan tujuan Bu Kokom.
“Saya ada urusan sama ibumu. Tadi kata Firda, dia sudah di rumah. Mana dia?” Bu Kokom terlihat marah. Napasnya naik turun tak beraturan, terlihat dari hidungnya yang kembang kempis.
“Eeng ... itu Bu, tadi emang udah pulang, tapi pergi lagi. Nggak tau kemana. Mungkin ke warung Bu Ratna,” jawabnya berbohong sambil menatap penuh kebencian kepadaku. Rasain!
"Mas, ayo pulang! Sudah selesai kan?" ajakku. Kulihat dia baru keluar dari kamar mandi. Kebiasaan buruknya. Ngisi perut pasti langsung jadi.
"Iya, Mas sudah selesai. Ayo! Eeh … ada Bu Kokom. Ada perlu, Bu?" Mas Bima menyapa Bu Kokom dengan sopan. Waduh, bisa gawat nih kalau Mas Bima tau sebentar lagi pasti ada keributan, dan keributan itu hasil dari campur tanganku. Mendingan melarikan diri deh.
"Iya, Bim. Saya ada perlu sama Ibu kamu," balas Bu Kokom tak kalah ramah.
"Aduh … Mas, ayo pulang! Perut Firda tiba-tiba nggak enak nih. Bu Kokom, saya dan Mas Bima permisi dulu ya!" Aku pura-pura memegang perut yang tak terasa apa-apa. Akting. Kirain hanya Ibu mertua saja yang bisa bermuka dua.
"Iya silahkan! Terima kasih ya, Firda," ucapnya senang.
"Iya Bu. Sama sama." Aku lekas menarik tangan Mas Bima dan buru-buru keluar. Takut perangnya dimulai sebelum kami pulang. Kulirik kakak iparku itu, aku tersenyum dan dadah babai. Wajahnya semakin memerah dan matanya menatapku bengis.
"Kenapa sih kamu, Dek? Sabaran dikit lah. Kalau emang udah kebelat, napa tadi nggak di rumah Mbak Yana aja nyetornya?"
"Nggah ah Mas, enakan di rumah sendiri walau ngontrak. He he he," kataku beralasan
Astagfirullah. Aku menepuk jidat mengingat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Mas Bima terkejut.
"Rantang Firda ketinggalan!"
"Udah ah, buat malu aja. Ngapain sih makanan Mbak Yana dibawain pulang semua?"
"Biarin. Mas pulang aja duluan. Firda nanti nyusul belakangan."
Aku kembali berlari kecil menuju rumah Mbak Yana. Terdengar adu mulut telah dimulai. Lihat ah. Pasti seru.
"Bohong gimana sih, Bu Kokom. Ya nggak lah. Buat apa sih bohong-bohong sama orang tua. Dosa!” Suara Mbak Yana terdengar meninggi.
“Apa!? Kamu bilang saya tua? Nggak sopan banget kamu kalau ngomong!”
“Lah, salah lagi. Bukan tua Bu Kokom, tapi orang yang lebih tua dari saya. Itu maksudnya,” timpal Mbak Yana kembali
“Ngeles aja kamu. Udah ah, saya tetap nggak percaya. Ngumpet di mana ibumu? Minggir! Saya mau periksa!"
Tanpa salam aku masuk kembali ke dalam rumah. Rantang tadi kuletakkan di samping sofa baru milik Mbak Yana. Heran. Gampang sekali mengganti prabotan rumah. Padahal suaminya kerja sebagai sales. Apa mungkin itu hasil dari merongrong uang Mas Bima ya? Pikiranku mulai traveling.
Rantang kuambil. Mbak Yana dan Bu Kokom tak lagi nampak di ruang tamu. Mungkin Bu Kokom sedang melakukan penggrebekan manja. Ha ha ha … ketawa jahat, boleh dong!
Rantang sudah di tangan, selanjutnya kaboooooor.
***
Bila isroil datang memanggil, jasad terbujur di pembaringan … tret … tet … tet.
Suara alaram dari gawai, mampu membangunkan tidur nyenyakku. Pukul 03.30. Aku segera beranjak untuk mematikannya. Itu alaram waktu tahajjudku. Tapi berhubung aku libur salat, aku ingin melanjutkan tidur sebentar lagi. Kulihat Mas Bima di sebelah tidur nyenyak sekali. Mulutnya terbuka lebar. Jika ada cicak jatuh dari atas, kuyakin kan bisa langsung tembus ke usus dua belas jarinya. Hiii … walaupun begitu sampai detik ini aku masih cinta padanya. Ck. Apaan sih. Mau tidur kembali masih juga sempat-sempat nya memandangi ciptaan Allah, yang kadang-kadang suka kelewatan ini.
Kusatukan bibir atas dan bawah Mas Bima. Agar sedikit indah penampakannya sewaktu tidur. Kubetulkan letak selimut, dia bergerak sebentar. Aku pun memeluk tubuhnya dan mencoba tertidur kembali.
Setengah enam aku terbangun. Hari ini aku berniat masuk kerja, karena badanku dirasa sudah agak enakan. Kubangunkan Mas Bima agar menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim walau sudah agak terlambat.
"Mas bangun salat subuh dulu. Sudah telat ini subuhnya," rayuku.
"Hmmm." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Mas bangun dong. Hari ini Firda mau kerja juga. Cepetan, nanti kita telat!" rayuku kembali.
Mas Bima hanya membuka matanya sedikit lalu mengulet-nguletkan badan, setelahnya diam lagi. Iss … membangunkan suamiku untuk menunaikan kewajiban ini, butuh tenaga dan mulut lebih.
Aku beranjak dan segera menuju dapur. Minum air hangat campur madu menjadi rutinitas pertamaku setelah bangun dari tidur malam. Itu dipercaya membuat badan fit dan bisa buat awet muda. Nggak percaya? Cobain! Selanjutnya aku menuju kamar mandi. Cuci muka dan kumur-kumur pakai obat kumur menjadi pilihanku. Kan, nggak enak aja tiba-tiba suami minta kecup, bukan nafas basi yang kita beri. Eak.
Hari ini aku tak berniat masak. Sudah ada lauk pauk hasil rampasan perang di rumah Mbak Yana. Ikan dan ayam goreng sudah ada. Paling buat sambal kecap doang. Sayur gulai kuambil dari kulkas dan berniat memanaskannya. Sambal udang asam manis menjadi menu sarapan kami pagi ini. Nasi hasil rampasan juga sudah kumasukkan kemarin malam ke magicom. Setidaknya beras buat hari ini aman, tak perlu di cuke dari dispenser beras. Pagi yang dingin gini enakan buat teh susu.
"Mas … bangun doooong!" jeritan pertamaku di pagi ini. Aku sudah wangi, dandan cantik. Tinggal ganti baju kantor saja yang belum.
"Apaan sih jerit-jerit. Mas udah bangun juga." jawab suamiku yang tiba-tiba sudah berjalan sempoyongan ke arahku.
"Lihat. Lewat lagi kan subuhnya! Iss kebiasaan deh, Mas Bima. Salat aja pake di suruh-suruh."
Untuk masalah yang satu ini aku memang agak cerewet kepadanya.
"Mas ngantuk banget, Dek! He he he." kekehnya kecil.
"Mandi gih sana. Firda udah siapan. Tinggal ganti baju aja. Biar nggak buru- buru di jalan." suruhku pelan.
"Iya, sepuluh menit juga selesai, Dek." Dia berjalan sambil menoel dagu belahku. Ck, genit amat.
Pukul enam empat lima menit kami berangkat bareng, karena kantorku dilewati kantor Mas Bima, jadi bisa sekalian bareng.
Mas Bima sudah nangkring di atas sepeda motor yang sudah menyala, mengenakan helem menutup seluruh wajahnya. Gayanya yang seperti itu saja bisa membuatku bucin. Lebay kata Arimbi, teman sekantorku.
Aku sudah selesai mengunci pintu hendak naik ke atas sepeda motor, ketika kulihat dari jauh Ibu mertua dan Mbak Yana datang tergesa gesa menuju ke arah kami.
Aku gegas mengajak Mas Bima jalan sebelum mereka nyamperin.
"Firdaaaaaa tunggu!" panggil Ibu mertua.
Kurasakan Mas Bima tak mendengar karena terlalu asik dengan suara sepeda motornya. Sedangkan aku gegas naik ke atas jok motor.
"Ayo, Mas. Cepetan jalan!" perintahku buru buru.
"Oke, pegangan erat!" balas Mas Bima.
Brem … kami melaju meninggalkan dua makhluk astral di belakangku. Sebelum pasukan negara api menyerang, lebih baik aku lari deluan. Bukannya aku takut menghadapi mereka, cuma kalau diladeni bakalan panjang. Lebih baik kerja daripada adu urat.
Aku melambaikan tangan. Siyubaibai …"Firdaaaaaa!"
"Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku."Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor."Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin."Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua."Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah
Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu
Aku memandang tak suka ke arah Mas Bima yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar sambil marah-marah nggak jelas. "Mengadu? Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku memastikan perkataannya. "Bukannya kamu menelepon ibumu dan mengadukan masalah kita sambil nangis-nangis? Begitu, kan?" ujar Mas Bima tak senang. "Mas… Mas … Firda ini anak perantauan, Mas. Masih punya orang tua yang kapan saja pengen ngelepas rindu. Salah orang telponan dengan Ayah ibunya sendiri? Nggak, kan? Terus, salahnya di mana kalau orang tua Firda tau masalah anaknya? Lucu!" Aku berjalan ke tempat tidur, mengambil gawai kembali dan mulai berselancar di dunia maya. "Masalah rumah tangga jangan suka diumbar umbar, Fir! Kamu itu sudah dewasa. Malu!" "Diumbar?" Aku mengenyitkan alis. "Ya, diumbar-umbar sama orang lain. Apa salahnya jika kita bicarakan baik-baik masalah rumah tangga kita ini, Deeek!" "Dengar ya Mas Bima! Pertama, yang barusan telepon Firda bukan orang lain, dia ibuku! Mertua kamu! Yang kedua, bukan level F