"Lu jadi ngecek gudang sekarang, Fir?" Arimbi bertanya ketika kami sedang istirahat makan siang. "Ya jadi lah, Mbi. Kalau nggak, mati gue kena maki ama itu bos," balasku sambil mengaduk aduk malas makanan di depanku. "Yoda gak papa, biar cepat kelarnya. Eh denger-denger malam minggu nanti kantor ngadain acara di aula," sambungnya lagi. "Acara buat apaan?" tanyaku penasaran. "Katanya sih acara penyambutan Pak oppa gitu. Emang kayaknya bener deh, dia akan ngantiin Pak Amran di kantor," jelas Arimbi. "Masak?" selaku. "Di dapur," sosornya. "Ck, sialan lo. Gue malas banget sendirian Mbi, seram gue kalau ke gudang nggak ada temennya," alasanku agar dia mau menemani sukarela. "Hallah, jadi cewek itu harus pemberani dan tangguh!" sarannya yang membuatku sedikit terkikik. "Sok Marcopolo banget si lu!" cetusku. "Iss, coba sini gue mo liat dompet lu," perintah Arimbi. Aku mengeluarkan dompet di dalam tasku dan menyerahkan kepadanya. "Mau apa sih?" tanyaku penasaran. "Lu apa nggak ka
"Ayo cepetan naik! Saya nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan karyawan saya selagi masih di lokasi kerja. Paham kamu? Jadi, jangan berpikiran yang macam-macam!" sindirnya sambil melipat tangan di dada. "Ya Pak, baiklah." Aku berusaha berjalan tetapi kakiku masih terasa sakit. Sepertinya keseleo akibat terjatuh tadi. "Sstt …" Erangku sedikit dan pelan. "Kamu bisa jalan nggak?" "Bisa Pak, bisa!" sambutku cepat. Pelan-pelan aku mencoba berjalan. TapAku terlonjak kaget. Pak oppa tiba-tiba merangkul pundakku dan menuntunku masuk ke dalam mobilnya. "Mari saya bantu! Kalau nungguin kamu jalan seperti itu, bisa-bisa saya nginap di gudang ini." keluhnya sepenuh hati. Pak oppa membantuku berjalan menuju mobilnya. Dia membukakan pintu dan membantuku naik hingga duduk di bangku depan mobilnya. Dia berputar dan menuju ke kursi kemudi. Melajukan mobil dengan pelan menuju gudang kembali. "Kamu tunggu di sini, saya ke dalam sebentar!" perintahnya kepadaku seperti anak kecil. Pa
Pak … Pak, kesel gua kan ... jangan sampe Hp-Bapak kubunting eh banting. Makiku dalam hati. Sabar Fir, menghadapi bos seperti ini seperti main arisan odong-odong. Awalnya memuaskan pas akhir kok mengenaskan. "Ya maaf Pak. Habis Bapak bilangnya makan, mandi, tidur, maunya sama Bapak saja, apa saya nggak mikir kalau itu Istri Bapak," selaku membela diri. "Otak kamu aja yang ngeresponnya cepat banget kesana. Dasar mesum!"Busyeeed. Otakku dibilang mesum. Minta reset akhlak ke settingan pabrik ni orang. "Sudah selesai belum? Masak saya harus nungguin kamu mata-matain orang sih?" "Eh ehm … sudah, Pak!" Aku menyerahkan gawai ke pemiliknya dengan malu-malu buaya. "Makasih banyak, Pak. Tapi … jangan dihapus dulu … bisa kan, Pak? Karena besok saya minta videonya dikirimkan ke Hp saya?" pintaku polos. Losss, lah! Terlanjur basah, sekalian menyelam dan minum airnya. "Huff!" Hanya itu yang kudengar dari mulut Pak oppa, selebihnya kami kembali terdiam dalam pikiran masing-masing. Tak menung
"Aauuu … hiks hiks hiks …." jeritku keras. "Kenapa lagi Mbak, Fir?" tanya Bu RT panik. "Saya masih nggak bisa jalan, Bu RT. Kaki saya bener-bener nggak bisa digerakkan. Hiks hiks hiks. "Ya ampuuun, kalau begitu digendong saja, Jeng. Nggak jauh-jauh amat kok lagi rumahnya." Bu Fatma ikutan panik. Kena kau parasit! Ini yang aku inginkan. "Digendong, Bu?" tanya Viona kaget. "Iya. Gendong belakang saja," lanjut Bu Fatma lagi. "Iya bener. Gendong belakang saja. Lebih enak dari gendong di depan gitu." Bu RT menimpali. "Saya mana kuat ibu-ibu. Saya kan sudah tua. Lihat saja badannya Firda, semok gitu, yang ada urat-urat saya putus semua." protes Tante Tika menolak. "Iya juga sih ya," kata Bu RT mulai terprovokasi. Wah jangan sampai deh, bisa-bisa gagal rencana aku buat ngerjain kedua parasit ini. "Kalau begitu, Viona saja yang gendong deh, dia kan muda, pasti tenaganya juga masih kuat!" Tiba-tiba Bu Kokom nyeletuk sehabis kembali dari warung Bu Ratna untuk mengantarkan belanjaan p
"Darimana saja kamu?" bentak Mas Bima begitu ia masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. "Kerja!" sahutku lalu meliriknya sekilas. "Kerja sampai jam segini?" cecarnya lagi. "Iya!" "Kerja apaan?" ucapnya sedikit ada penekanan. "Mas tau Firda kerjanya apa. Kenapa hari ini pake nanya segala? Apa Mas tiba-tiba amnesia?" pungkasku. "Nggak biasanya kamu lembur pulangnya sampai jam segini, Fir!" cetusnya lagi seperti ada nada menyelidik. "Emang nggak biasanya Mas, karena Firda tadi lemburnya di gudang produksi," jawabku apa adanya. "Terus kamu pulang dengan siapa?" tambahnya lagi. "Dengan orang baik yang mau nganterin Firda sampai ke rumah!" celetukku sambil nyindir tipis-tipis. "Kamu selingkuh ya Fir!" tukasnya langsung to the point. "Nggak!" Masih jawaban santai yang kuberikan atas pertanyaan-pertanyaannya. "Terus siapa tadi yang nganterin kamu naik mobil?" jeritnya setengah tertahan. "Ooh … sudah ada yang ngadu ke kamu ya Mas, kalau tadi Firda ada yang nganterin pakai m
Pagi-pagi kok udah pada ribut aja, sih!?" Tante Tika nimbrung begitu keluar dari kamarnya. Awal-awalnya saja mereka begitu rajin cari muka di depan suami dan mertuaku, tapi lama kelamaan inilah wujud asli mereka. "Bukan ribut, Ma. cuma nasehatin Mbak Firda agar jangan keterlaluan banget sama suami dan keluarganya. Eeeh … Mbak Firdanya nggak terima." Viona menjelaskan kepada mamanya yang semakin membuatku muak. "Benar apa kata Viona, Fir! Mertua itu bukan musuh, hormati dan sayangi dia sebagaimana kamu menyayangi Ibu kandungmu sendiri. Karena bagaimanapun dia yang telah mengandung dan membesarkan suamimu." Pintarnya Tante Tika menasehatiku. "Tante sayaang, orang bijak itu pasti akan merasa malu jika kata-katanya lebih baik daripada tindakannya. Tapi ya … tidak apa-apa juga sih jika kalian tidak menyukaiku, karena tidak semua orang memiliki selera yang bagus," balasku cuek. Brem … suara sepeda motor Mas Bima kedengaran. Dia sudah pulang dari membeli sarapan. "Assalamu'alaikum," "
Kudengar suara ribut ribut. Tak perlu dilihat, dengungannya sudah terlintas di dalam kepala. Aku sudah duduk manis di kamar. Entah mengapa mataku mau diajak bermain drama. Dia beneran mau mengeluarkan kristal-kristal beningnya. "Dek …." Mas Bima menjerit memanggilku. Aku diam saja. Biarkan dia yang menemuiku disini. "Dek … dimana sih?" gerutunya kesal. Aku masih diam saja dan masih mengeksperikan kesedihan, agar kristal bening nggak mogok buat keluar. Kreet"Dek … loh, kamu kenapa?" tanyanya, begitu diri ini tampak di matanya. Aku pun pura-pura sedang mengurut kaki yang bengkak sambil mengeluarkan tangisan memilukan. Sebenarnya sakitnya emang beneran, tapi air mata ini bohong-bohongan. Mas Bima melihatku iba, lalu mendatangiku dan mengecup kening ini. Ooh … serasa kembali kedua tahun yang lalu ketika kami baru menikah. "Kamu kenapa? Sakit sekali ya?" tanyanya terdengar sangat khawatir. Mungkin! "Iya Mas, hiks. Tiba-tiba ngilu dan berdenyut gitu, hiks. Firda nggak kuat, hiks.
Pukul sepuluh lebih sepuluh menit tukang urut datang ke rumahku. Dia seorang wanita paruh baya, persis seperti ibuku. Namanya Bu Lilis. Wajahnya teduh dan selalu dihiasi senyuman. Dia datang dengan diantar seorang remaja pria yang wajahnya juga hampir mirip dengan ibu tersebut. Raka namanya, dia cucunya Bu Lilis. "Ini Bu, Istri saya yang mau di urut. Kakinya keseleo hingga bengkak begini." Mas Bima mengenalkan aku pada Bu Lilis. "Oh ini ya istrinya Mas Bima. Cantik dan manis ya, semua di borong," pujinya ramah. "Ha ha Ibu ini bisa aja," balasku malu-malu keong. "Iya beneran loh Mbak. He he. Oia, dimana mbaknya mau diurut?" tanya Bu Lilis. Suaranya benar-benar buat candu, seperti suara putri keraton. Lemah lembut ngangenin. "Disini saja Bu. Ibu bisa ngurut seluruh badan juga?" tanyaku penasaran. Karena sepertinya badanku protes minta diolah juga. "InshaAllah, bisa Mbak. Apa mau badannya diurut juga?""Iya Bu, boleh. Saya sudah lama nggak urut badan. Pegal pegal nih." "Boleh, tap