Share

8 malam panjang

Malam yang biasanya kulalui dengan panjang kini terasa begitu singkat, begitu Mas Revan merangkul dan membenamkan wajahnya di belakang tengkukku. Entah kenapa aku sangat bahagia, terharu dan berharap pada Tuhan agar ini selalu terjadi, agar Allah memperbaiki semuanya dan membukakan pintu hati suamiku untuk sadar dan menyayangi kami.

*

Kicau burung dari pohon di samping rumah menyambut pagi, sinar mentari menembus gorden dan menerangi ranjang kami. Kubuka mata, sementara suamiku masih erat memeluk diri ini.

"Mas, aku mau bangun," ucapku pelan.

"Ah, i-iya, bangunlah."

Perlahan dia mengerjap dan membuka mata menyadari bahwa semalam kami sudah begitu mesra, dalam satu selimut tanpa berjarak sehelai benang pun, dia menjadi kaget sendiri dan gugup. Suatu pemandangan yang cukup membuatku tersinggung dan tak nyaman. Di mana-mana, tidak ada suami yang kaget sudah meniduri istrinya. Sikapnya seakan kami baru sekali memadu asmara.

"Mandilah Mas, kamu harus ke kantor."

"Jam berapa sekarang?"

"Jam setengah tujuh."

"Baiklah," jawabnya sambil bangkit dan meraih handuk, sementara aku yang sudah menggunakan home dress segera ke kamar anak anak untuk membangunkan mereka lalu menyiapkan sarapan.

Setengah jam kemudian suamiku datang, dia terlihat tampan dengan kemeja biru dan jas abu abu. Tatanan rambutnya rapi ditambah wajah cerah yang sudah dicukur, wangi tubuhnya tercium dari jauh membuat dada ini berdebar. Untuk beberapa menit kami bersitatap, andai dia tak sering menyakitiku, aku pasti akan jatuh cinta tiap kali menatapnya, tapi sayang semuanya berbeda. Dia berpaling dan menuju ke arah meja makan, sementara aku yang tadinya bahagia melihatnya, hanya bisa kembali pada perasaan tak nyaman dan malu sendiri.

"Kopinya Mas," ucapku sambil menyerahkan cangkir.

"Terima kasih."

"Aku masih berharap bahwa kita bisa memperbaiki hubungan dan bahagia, meski aku tahu hatimu lebih condong pada wanita itu. Aku tak menyalahkan cintamu, aku hanya ingin kau sadar bahwa kau punya istri dan anak dan kami menunggu terbukanya hati Dan cintamu," ucapku saat duduk di sisinya.

Dia terdiam mendengarku, hanya melihat pada mataku sekilas lalu tersenyum tipis dan melanjutkan kegiatannya makan.

"Apa ... kau akan pergi menemui wanita itu hari ini?"

"Tidak."

"Aku bahagia saat kau bilang tidak, meski aku tahu kau tetap pergi," jawab lirih pelan sekali karena tak ingin menyingung perasaannya.

"Aku sedang belajar untuk perlahan melepaskan, aku juga belajar membahagiakan hati dengan kalian."

"Kita sudah lama bersama Mas, kita sudah punya dua anak yang insya Allah menjadi biji mata dan kebahagiaan kita, bolehkah aku berharap sekali saja."

"Kupikir hatimu sudah beku setelah kau merebut aset dan mobil dariku, kupikir semua itu akan membahagiakanmu dan memuaskan hatimu, sehingga aku bisa ...."

"Tolong jangan katakan hal menyakitkan Mas, baik aku ataupun kamu, tidak ingin merusak hari-hari kita dengan pertengkaran kecil dan kalimat yang menyinggung. Aku ingin bahagia dan menikmati waktuku sebagai istrimu, kau pun juga harus bahagia sebagai suamiku karena jika kau tidak bahagia, percuma kita bersama."

"Aku ingin membahagiakan keluargaku dan keluargamu, mereka bangga ketika kita bersama," jawab Mas Revan.

"Tolong temani aku dalam hidup ini karena kau mau, bukan karena disuruh atau terpaksa melakukan itu," balasku sambil menahan perasaan dan air mata.

"Terima kasih karena kau tak menyulut pertengkaran itu." Usai menghabiskan rotinya suamiku bangkit dari meja makan, dia menepuk bahuku pelan sambil berpamitan.

"Pulanglah lebih cepat Mas."

"Ya, kalau tidak ada rapat dadakan."

"Aku tetap berharap kau pulang cepat," jawabku dengan penuh harapan agar dia mempertimbangkan keinginanku. Sebabnya, aku tahu dia pasti akan menemui kekasihnya dalam keadaan sibuk atau santai. Mereka tak akan melewatkan sedikit waktu pun untuk tidak saling berjumpa.

Ingin rasanya diriku mencicipi perasaan cinta yang menggebu, bergairah, berdebar bahagia saat bertemu dengan sosok yang kita cintai. Entah mengapa selama menikah, perasaan dan getaran hati ini berjalan biasa saja, tanpa sesuatu yang istimewa, entah bagaimana malam pertama antara aku dan mas Revan terjadi, padahal kami tak memiliki hubungan romantis.

Singkatnya, dia hanya bersikap baik saat ingin memadu kasih, lalu sisanya, ia biasa saja. Tidak pernah ada sikap mesra, jangankan bawa buket bunga, mengucapkan ulang tahun atau terima kasih karena aku sudah melayani dia saja tidak pernah. Bahkan saat aku melahirkan anaknya, reaksinya dirinya terlihat datar dan biasa saja.

*

Pukul setengah dua siang, kukendarai mobil, menuju sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan bulanan. Kuparkirkan mobil di basemen lalu melangkah masuk ke dalam mall yang cukup terkenal di kotaku itu. Sewaktu diri ini menyusuri selasar lantai mall untuk menuju Carrefour, tiba tiba tangkapan mataku tertuju pada sebuah food court mewah.

Ada suamiku di dalam sana. Untuk beberapa detik hati ini berdesir mengingat betapa indahnya percintaan malam dan betapa tampannya ia pagi tadi.

"Siapa orang yang sedang ditemui suamiku Apakah dia sedang rapat dengan klien?" Perlahan aku menyeret langkah untuk lebih dekat. Sambil menahan napas dan berdoa agar orang yang kutemui bukan Ailen, tiba tiba semua perasaanku musnah.

Di depan sana suamiku sedang bercanda dengan kekasihnya. Wanita itu menggenggam tangan suamiku dan sesekali bergelayut di lengannya. Suamiku juga tersenyum sangat lebar saat bersama wanita itu, senyumnya begitu indah bahkan dia tidak pernah menyunggingkan senyum yang sama untukku. Dia juga menyuapi wanita itu dan minum dari gelas yang sama tanpa sungkan atau malu pada orang-orang sekitar.

Mengapa dia begitu santai? minimal dia mempertimbangkan bahwa statusnya sudah punya istri dan anak. Bagaimana kalau kebetulan ada orang yang sedang lewat dan mengenalnya?

Ya Allah mengapa dia tidak punya pikiran?

Untuk beberapa saat lututku sangat gemetar, Aku ingin marah dan meluapkan perasaan tidak terimaku atas permainan cintanya, tapi aku juga malu pada orang-orang yang ada di restoran mewah, ia sedang duduk dan bercanda di atas sofa empuk dan meja yang berkelas, sementara aku masih berdiri di belakang dinding kaca di luar tempat itu sambil menahan sakit hati dan air mata.

Tiba-tiba Mas Revan menatap ke arah luar restoran dan pandangan kami bertemu. Seketika saja suamiku langsung kaget dan gugup.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tth Im
udah tau suami kamu gak cinta knp masih ngarep? gak jijik kamu ditisuri suami bekas pake dg selingkuhannya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status