Malam yang biasanya kulalui dengan panjang kini terasa begitu singkat, begitu Mas Revan merangkul dan membenamkan wajahnya di belakang tengkukku. Entah kenapa aku sangat bahagia, terharu dan berharap pada Tuhan agar ini selalu terjadi, agar Allah memperbaiki semuanya dan membukakan pintu hati suamiku untuk sadar dan menyayangi kami.
*Kicau burung dari pohon di samping rumah menyambut pagi, sinar mentari menembus gorden dan menerangi ranjang kami. Kubuka mata, sementara suamiku masih erat memeluk diri ini."Mas, aku mau bangun," ucapku pelan."Ah, i-iya, bangunlah."Perlahan dia mengerjap dan membuka mata menyadari bahwa semalam kami sudah begitu mesra, dalam satu selimut tanpa berjarak sehelai benang pun, dia menjadi kaget sendiri dan gugup. Suatu pemandangan yang cukup membuatku tersinggung dan tak nyaman. Di mana-mana, tidak ada suami yang kaget sudah meniduri istrinya. Sikapnya seakan kami baru sekali memadu asmara."Mandilah Mas, kamu harus ke kantor.""Jam berapa sekarang?""Jam setengah tujuh.""Baiklah," jawabnya sambil bangkit dan meraih handuk, sementara aku yang sudah menggunakan home dress segera ke kamar anak anak untuk membangunkan mereka lalu menyiapkan sarapan.Setengah jam kemudian suamiku datang, dia terlihat tampan dengan kemeja biru dan jas abu abu. Tatanan rambutnya rapi ditambah wajah cerah yang sudah dicukur, wangi tubuhnya tercium dari jauh membuat dada ini berdebar. Untuk beberapa menit kami bersitatap, andai dia tak sering menyakitiku, aku pasti akan jatuh cinta tiap kali menatapnya, tapi sayang semuanya berbeda. Dia berpaling dan menuju ke arah meja makan, sementara aku yang tadinya bahagia melihatnya, hanya bisa kembali pada perasaan tak nyaman dan malu sendiri."Kopinya Mas," ucapku sambil menyerahkan cangkir."Terima kasih.""Aku masih berharap bahwa kita bisa memperbaiki hubungan dan bahagia, meski aku tahu hatimu lebih condong pada wanita itu. Aku tak menyalahkan cintamu, aku hanya ingin kau sadar bahwa kau punya istri dan anak dan kami menunggu terbukanya hati Dan cintamu," ucapku saat duduk di sisinya.Dia terdiam mendengarku, hanya melihat pada mataku sekilas lalu tersenyum tipis dan melanjutkan kegiatannya makan."Apa ... kau akan pergi menemui wanita itu hari ini?""Tidak.""Aku bahagia saat kau bilang tidak, meski aku tahu kau tetap pergi," jawab lirih pelan sekali karena tak ingin menyingung perasaannya."Aku sedang belajar untuk perlahan melepaskan, aku juga belajar membahagiakan hati dengan kalian.""Kita sudah lama bersama Mas, kita sudah punya dua anak yang insya Allah menjadi biji mata dan kebahagiaan kita, bolehkah aku berharap sekali saja.""Kupikir hatimu sudah beku setelah kau merebut aset dan mobil dariku, kupikir semua itu akan membahagiakanmu dan memuaskan hatimu, sehingga aku bisa ....""Tolong jangan katakan hal menyakitkan Mas, baik aku ataupun kamu, tidak ingin merusak hari-hari kita dengan pertengkaran kecil dan kalimat yang menyinggung. Aku ingin bahagia dan menikmati waktuku sebagai istrimu, kau pun juga harus bahagia sebagai suamiku karena jika kau tidak bahagia, percuma kita bersama.""Aku ingin membahagiakan keluargaku dan keluargamu, mereka bangga ketika kita bersama," jawab Mas Revan."Tolong temani aku dalam hidup ini karena kau mau, bukan karena disuruh atau terpaksa melakukan itu," balasku sambil menahan perasaan dan air mata."Terima kasih karena kau tak menyulut pertengkaran itu." Usai menghabiskan rotinya suamiku bangkit dari meja makan, dia menepuk bahuku pelan sambil berpamitan."Pulanglah lebih cepat Mas.""Ya, kalau tidak ada rapat dadakan.""Aku tetap berharap kau pulang cepat," jawabku dengan penuh harapan agar dia mempertimbangkan keinginanku. Sebabnya, aku tahu dia pasti akan menemui kekasihnya dalam keadaan sibuk atau santai. Mereka tak akan melewatkan sedikit waktu pun untuk tidak saling berjumpa.Ingin rasanya diriku mencicipi perasaan cinta yang menggebu, bergairah, berdebar bahagia saat bertemu dengan sosok yang kita cintai. Entah mengapa selama menikah, perasaan dan getaran hati ini berjalan biasa saja, tanpa sesuatu yang istimewa, entah bagaimana malam pertama antara aku dan mas Revan terjadi, padahal kami tak memiliki hubungan romantis.Singkatnya, dia hanya bersikap baik saat ingin memadu kasih, lalu sisanya, ia biasa saja. Tidak pernah ada sikap mesra, jangankan bawa buket bunga, mengucapkan ulang tahun atau terima kasih karena aku sudah melayani dia saja tidak pernah. Bahkan saat aku melahirkan anaknya, reaksinya dirinya terlihat datar dan biasa saja.*Pukul setengah dua siang, kukendarai mobil, menuju sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan bulanan. Kuparkirkan mobil di basemen lalu melangkah masuk ke dalam mall yang cukup terkenal di kotaku itu. Sewaktu diri ini menyusuri selasar lantai mall untuk menuju Carrefour, tiba tiba tangkapan mataku tertuju pada sebuah food court mewah.Ada suamiku di dalam sana. Untuk beberapa detik hati ini berdesir mengingat betapa indahnya percintaan malam dan betapa tampannya ia pagi tadi."Siapa orang yang sedang ditemui suamiku Apakah dia sedang rapat dengan klien?" Perlahan aku menyeret langkah untuk lebih dekat. Sambil menahan napas dan berdoa agar orang yang kutemui bukan Ailen, tiba tiba semua perasaanku musnah.Di depan sana suamiku sedang bercanda dengan kekasihnya. Wanita itu menggenggam tangan suamiku dan sesekali bergelayut di lengannya. Suamiku juga tersenyum sangat lebar saat bersama wanita itu, senyumnya begitu indah bahkan dia tidak pernah menyunggingkan senyum yang sama untukku. Dia juga menyuapi wanita itu dan minum dari gelas yang sama tanpa sungkan atau malu pada orang-orang sekitar.Mengapa dia begitu santai? minimal dia mempertimbangkan bahwa statusnya sudah punya istri dan anak. Bagaimana kalau kebetulan ada orang yang sedang lewat dan mengenalnya?Ya Allah mengapa dia tidak punya pikiran?Untuk beberapa saat lututku sangat gemetar, Aku ingin marah dan meluapkan perasaan tidak terimaku atas permainan cintanya, tapi aku juga malu pada orang-orang yang ada di restoran mewah, ia sedang duduk dan bercanda di atas sofa empuk dan meja yang berkelas, sementara aku masih berdiri di belakang dinding kaca di luar tempat itu sambil menahan sakit hati dan air mata.Tiba-tiba Mas Revan menatap ke arah luar restoran dan pandangan kami bertemu. Seketika saja suamiku langsung kaget dan gugup.Rupanya, dia di sini di sela kesibukan kantornya, di sela pekerjaan yang menumpuk dan hectik, bisa bisanya dia menemui kekasihnya, makan siang bersama di dalam restoran mewah sambil bercanda dan saling menatap mata.Kini, melihatku berdiri dari jarak yang hanya beberapa meter pria itu terbelalak dan gugup. Dia terlihat minta izin dan segera ke luar menyusulku."Amaira? Kau di sini?""Iya, di sini, kebetulan belanja dan menemukanmu," jawabku dengan senyum tipis. Aku ingin sedih dan marah tapi aku tak tahu harus melepaskan emosi yang mana lebih dahulu.Kalau menuruti nafsu saja, sebenarnya tadi aku ingin masuk dan menyiram wajah Ailen dengan kopi panas, tapi jika kulakukan hal itu maka sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Suamiku akan semakin malu pada pengunjung yang ada, lalu pelakor itu aka pura pura lemah, menangis sehingga Mas Revan akan membelanya, aku akan semakin tersisihkan di Mata Mas Revan."Ayo pulang, aku akan mengantarmu," ucapnya sambil menarik bagian siku leng
Pukul 09.00 malam Mas Revan kembali ke rumah. Seperti biasa, dia selalu melewatkan interaksi dengan anak-anak, melewatkan masa emas untuk bertumbuh dan berbagi kasih sayang kepada kedua putra dan putrinya.Akhir-akhir ini dia memang lebih banyak waktu dengan Ailen selingkuhannya. Ya, wanita itu cinta pertamanya cinta yang mungkin sudah mengakar dan menjerat hatinya. Cinta yang tidak mampu ia tepis sampai penglihatannya kabur untuk menilai begitu besar pengorbanan dan cinta yang kuberikan.Bagaimanapun, sejak aku menerima perjodohan dan dia diikrarkan sebagai suamiku, aku telah mencintainya dan menerima dia sepenuh hatiku. Aku bertekad untuk melayaninya dan memberikan yang terbaik untuk keluarga. Aku benar-benar totalitas ingin menjaga dia dan anak-anak kami.Sering kudengar beberapa pertanyaan dari teman dekat dan keluargaku, kenapa aku terus saja bertahan. Kadang ada komentar miring yang mengatakan kalau aku tidak perlu susah payah mempertahankan rumah tangga demi kekayaan dengan
Satu jam kemudian lelaki itu tiba di rumah orang tuanya. Tampilannya yang rapi dan aroma tubuhnya yang wangi sudah tercium bahkan sebelum lelaki itu masuk ke pintu utama.Ketika tiba-tiba ia masuk dan mendekat ayah mertua langsung menyambutnya dengan amarah yang menggelegar."Apa yang kau lakukan! Sudah kubilang untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan keluargamu.""Apa yang papa bicarakan? Aku tak mngerti?""Sudah kubilang aku tidak setuju kau dekat-dekat dengan ailin, tapi sampai saat ini kamu masih saja berhubungan dengannya tanpa memperdulikan martabat dan perasaan istrimu."Mas Revan terhenyak dimarahi oleh ayahnya. Dia nampak malu pada ibunya tapi sekaligus kesal padaku karena aku sudah mengadu. Wajah lelaki itu merah padam menahan emosi tapi dia tetap berusaha diam di depan kedua orang tua yang dia hormati."Apa kurang baik kami mendidikmu, kurang baguskah kami menyekolahkanmu dan kurang puaskah kamu dengan harta yang sudah kau miliki?! Istrimu juga tidak kalah cantik deng
Karena tempo hari dia sudah menandatangani persetujuan untuk membagi dua saham miliknya di perusahaan maka otomatis aku jadi punya hak untuk datang ke tempat itu dan melakukan apapun yang kuinginkan.Kemarin aku adalah istri direktur pelaksana tapi hari ini, ketika aku jadi pemegang saham maka itu seperti menegaskan kau aku juga punya hak di tempat itu. Ya ketika kamu membeli saham itu artinya kau mau membeli kepemilikan di Perusahaan itu.*Aku bersemangat dengan hariku yang terasa lebih cerah, matahari bersinar lebih hangat dan memancarkan energi positif yang membuat diri ini semakin antusias untuk segera pergi ke kantor. Ya, Herdian Steel Holding adalah perusahan keluarga besar mertua, ayah mertua adalah komisaris utama, sementara anaknya, yang merupakan suamiku adalah Direktur pelaksana. Banyak cucu-cucu dari keluarga Herdian yang turut ambil-ambil andil dalam mengelola perusahaan tapi itu tidak lebih penting dari peran Mas Revan.Usai mengemasi bekal anak-anak dan mengantarkan
"Oh jadi selain kau bertugas sebagai pengawas di lapangan kau juga jadi asisten pribadi?""Tidak Bu, saya adalah asisten pribadi Pak Revan,".ucap seorang gadis yang berpakaian kemeja pink dengan sopan."Lalu kenapa ibu pengawas ini selalu ikut dengan Pak Revan.""Kenapa direktur menginginkannya dan ibu Ailin cukup kompeten dengan tugasnya.""Baiklah aku paham sekarang ... Dan demi meringankan tugas-tugas Ibu Ailin, mulai sekarang, aku sendiri yang akan mendampingi suamiku kemanapun ia pergi.""Apa?""Kenapa kau terkejut dan terbelalak seperti itu. Jangan lupa, aku punya posisi, aku adalah pemegang saham di mana aku juga berhak mengambil keputusan, dan sebagai anak menantu dari komisaris perusahaan tentu saja aku bisa meminta posisi yang kuinginkan.""Semua posisi ditempati oleh orang-orang yang tepat dan kompeten, Apa tugas anda sebagai ibu rumah tangga tidak cukup di rumah saja tanyanya sembari mengejek diriku dan tertawa sinis."Sebagai orang yang terdidik... Anda tentu dituntut
Mendengar jawaban bahwa aku sangat bosan lelaki itu hanya memutar bola matanya sambil mengacak rambutnya dengan geram. Sekuat apapun dia berdebat denganku lelaki itu tidak akan pernah memenangkannya. Satu-satunya yang akan membuat dia lega adalah kemarahan lalu pergi begitu saja."Apa kau datang ke kantor ini untuk membuat Ailin jadi tidak nyaman lalu perlahan-lahan mengundurkan diri!""Wow, anggapan dan pemikiranmu jauh sekali bahkan aku tidak terbesit sedikitpun untuk hal itu. Yang ada dalam benakku adalah bekerja lalu menghasilkan uang untuk diri sendiri agar aku tidak selalu jadi benalu dalam hidupmu. Apa kau paham."Lelaki itu memicingkan mata yang artinya dia tidak percaya dengan ucapanku. "Karena kau memberiku ide, maka aku setuju dengan pendapatmu. Aku akan lebih sering mengawasi kalian dan melihat kinerjanya jangan sampai kau memberikan jabatan pada orang yang tidak kompeten hanya karena kau menyukainya.""Tahu apa kau tentang bisnis?"Aku langsung tertawa sambil melipat ta
"Hubungan apa!" Dia mendengkus lalu melewatiku. Dia memberiku isyarat agar aku mengikutinya untuk pergi ke divisi manajemen di mana aku akan bekerja sebagai auditor atau pengelola keuangan.Bekerja Di departemen itu tidak terlalu buruk untukku Karena dengan demikian aku bisa memeriksa regulasi keuangan serta mengetahui uang yang keluar dan masuk dari rekening para karyawan. Juga tahu dengan detail transaksi apa saja yang akan ditujukan untuk dikelola si jalang itu. Aku yakin suamiku banyak menggunakan uang perusahaan untuk perjalanan bisnis dan detail-detail tersembunyi padahal dia memperuntukkan semuanya untuk memanjakan pacarnya. Aku akan dapatkan semua jawaban itu jika aku melakukan audit keuangan, aku pasti akan menemukan sesuatu.*"Selamat pagi semuanya!" Suamiku menyapa puluhan orang staff yang berada dalam satu ruangan yang kebetulan itu adalah divisi manajemen perusahaan. "Pagi Pak!""Ini istriku, Nyonya Amaira Haryadi. Mulai hari ini dia akan bekerja di ruangan ini. Aku m
Satu jam?Itu tidak akan cukup untuk menghitung plat baja yang diturunkan dari dua kontainer besar ditambah dia juga harus melaporkan kegiatannya secara online. Dia juga harus memastikan anak-anak bagian konsumsi untuk menghitung jumlah logistik, apakah sudah sesuai dengan anggaran belanja atau malah lebih. Kurasa, di manapun proyeknya, anggaran dan belanja tidak pernah sesuai, pasti ada lebihnya yang bisa mereka gunakan untuk kebutuhan tidak terduga."Ini laporan dari Nona Ailen Bu," ucap sari yang kemudian datang dan menyerahkan dua lembar kertas yang baru saja dia. Lembar laporan pelaksanaan proyek."Ini adalah jumlah barang yang dikirim, Ibu bisa mencocokkannya dengan arsip yang ada di file komputer, juga kertas arsip bulan ini.""Terima kasih."Tanpa membuang waktu aku langsung memeriksa laporan Ailin yang ia tulis di kolom-kolom yang tersedia.Kolom pertama di jam 07.00 pagi, dia tulis kegiatannya adalah mengisi absen kemudian melakukan apel pagi. Lalu dilanjutkan dengan bree