Aku tahu kini, siapa perempuan simpanan Mas Zaid. Wajahnya jelas terlihat di video berdurasi dua puluh lima detik itu. Video laknat penghancur rumah tanggaku. Pantas saja belakangan Mas Zaid sering pulang malam. Aku percaya saja saat dia mengatakan banyak pekerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan. Ternyata tugas dari perempuan jalang untuk memuaskan hasratnya.Hingga malam itu aku terbangun di tengah malam. Kudengar suara Mas Zaid sedang mandi. Kebiasaan baru yang dulu tak pernah dilakukannya. Aku segera pura-pura memejamkan mata saat dia masuk ke kamar kami. Kemudian kudengar suara lemari dibuka, juga langkah kakinya yang seperti ditahan. Sepertinya dia takut aku terbangun.Beberapa menit kemudian hening. Hanya terdengar bunyi napasnya yang teratur tanda Mas Zaid sudah terlelap. Perlahan aku bangkit dan menoleh ke arah punggungnya. Dia membelakangiku. Tampak rambutnya basah. Suamiku baru saja berbuat apa hingga harus keramas tengah malam? Sekelebat pikiran buruk menghantuik
"Siapa laki-laki itu? Ada hubungan apa kalian sampai mobilnya pun kau bawa ke rumah ini? Oh, atau dia selingkuhanmu juga saat kita belum bercerai?""Itu bukan urusanmu."Laki-laki itu tersenyum sinis."Lho, bisa jadi kan? Sebenarnya kamu juga selingkuh dariku? Apalagi awal kita menikah, bahkan kau tak mencintaiku, bukan?" Ia melangkah masuk, lalu duduk tanpa kupersilakan. Aku sudah malas menanggapi kata-katanya. Cukuplah setahun kemarin ia meyiramkan garam di atas lukaku. "Sudah ... berapa lama, Mas? tanyaku dengan mata yang memanas. Hari itu, saat kuputuskan untuk membuat dia tahu bahwa aku sudah mengetahui perbuatannya. Mas Zaid menunduk. Ia membisu."Jawab, Mas! Aku sudah tahu semuanya, dan kau tidak bisa mengelak!"Sebenarnya dadaku sesak melihatnya saat itu. Namun, aku tak mau terlihat lemah di depannya. "Belum ... lama ...," lirihnya, hampir tak terdengar. Bahkan ia tak berani menatapku.Aku semakin jijik melihatnya. Masih terbayang bagaimana Mas Zaid bercumbu dengan Asih dal
Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman. Itu mobilku. Cepat sekali Handi mengurusnya. Aku baru hendak bangkit dari duduk saat melihat wajah Mas Zaid menegang. Rahangnya mengeras. Ia menatap ke arah mobil yang pintunya kini terbuka. Mungkinkah ia cemburu?Dulu, aku senang saat Mas Zaid cemburu. Bukankah cemburu itu tanda cinta? Hah? Cinta, ya? Cinta seorang laki-laki yang menorehkan luka teramat dalam.Entah apakah luka itu bisa sembuh atau tidak. Kalau memang bisa, pastinya akan meninggalkan bekas, hingga aku akan kembali teringat apa yang menyebabkan luka itu ada.Aku menghela napas, ingin membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Andai bisa, aku tak ingin menjalin interaksi lagi sedikit pun dengan laki-laki ini, karena kehadirannya hanya membuat hati kembali tersiksa. Bahkan ingin kuhapus namanya, bukan hanya dari daftar kontak di ponsel, tapi juga dari memori di otak. Namun, aku tak bisa disebabkan Ziva dan Zelda berada di tengah-tengah kami. Ikatan suci pernikahan me
"Jangan lupa, aku ayah mereka! Itu nggak bisa diubah sampai kapan pun.""Bukan berarti Mas bisa mengatur mereka dengan cara memaksakan keinginan pribadi," geramku. Mas Zaid sudah hendak membalas kembali, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nada deringnya suara bayi yang tertawa riang. Wajah laki-laki itu mendadak pasi, lalu menghindari tatapanku.Perlahan ia melangkah agak menjauh. Mungkin enggan percakapannya di telepon terdengar olehku. Sepertinya Asih yang menelepon."Iya. Udah selesai, kok," ucapnya terdengar samar olehku. Matanya sekilas melirik ke arah Ziva dan Zelda yang kuajak masuk ke dalam rumah. Aku tak ingin Mas Zaid merasa ada yang menguping pembicaraannya."Ayah mau nginep di sini ya, Bun?" Ziva menatapku yang memangku Zelda. Kubelai pipi tembamnya. "Ayah harus kembali ke Jakarta, Nak. Ada banyak pekerjaan yang belum diselesaikan."Wajah Ziva langsung berubah masam. Maafkan Bunda, Nak. Kalian harus menanggung duka karena kesalahan orang tua. Tak lagi memiliki kasih sayan
Tiba-tiba ponsel Handi bergetar. Tanpa nada dering. Tampak sebuah nama tertera di layarnya. Asih. Laki-laki itu mengambil gawainya, lalu berdiri. "Permisi, saya angkat telepon dulu," ucapnya sambil melirikku sekilas. Kami bertiga mengangguk bersamaan.Handi berjalan beberapa langkah menjauhi meja, tapi suaranya saat menjawab telepon masih bisa kudengar. "Ya, aku tahu," jawabnya pada seseorang di ujung telepon. Beberapa saat lamanya ia diam. Mungkin sedang mendengarkan suara lawan bicaranya. Aku melirik sosok Handi dari belakang, diiringi tatapan Windi dan Hani. Perhatian kami dialihkan oleh seorang pelayan yang mengantar pesanan Handi."Kalau gitu, aku nggak mau lanjutin. Kamu udah keterlaluan. Silakan lakukan semuanya sendiri!"Handi menyudahi percakapan itu. Diam sejenak, lalu mengantongi ponselnya. Saat ia berbalik menuju meja, aku pura-pura kembali sibuk dengan makanan di piring. Demikian pula Windi dan Hani. "Wah, ternyata pesananku udah siap. Selamat makan," ujar Handi sambil
"Mas Zaid?""Bisa kita bicara sebentar, Zee?Aku beralih pada Handi. Lelaki itu hanya mengangkat bahu. "Ke ruanganku saja."Berjalan naik ke lantai dua, kami menuju kantor pribadiku. Ruangan berukuran empat kali tiga meter itu baru selesai dirapikan oleh anak buah Paklik Yusuf. Aroma cat masih terasa saat kami berdua masuk. "Silakan duduk, Mas.""Kantormu bagus, Zee.""Makasih. Langsung aja, Mas. Ada apa sebenarnya?"Mas Zaid berdeham beberapa saat. Ia duduk lalu menatap ke arahku. Masih ada sedikit debar itu saat pandangan kami beradu. "Tentang rumah yang di Jakarta. Aku berniat menjualnya."Sedikit terkejut, aku mendongak. "Oh, ya. Silakan. Kamu memang berhak menjual rumah itu.""Maksudku, ingin mengajakmu untuk ke Jakarta dan mengurus semuanya.""Kenapa harus? Itu rumahmu, Mas. Aku nggak punya hak apa-apa, jadi kamu aja yang urus.""Nggak, Zee. Kamu punya hak atas rumah itu. Anak-anak juga. Lalu, aku ingin kamu dan anak-anak melihat rumah itu untuk terakhir kali sambil serah ter
Handi? Bagaimana bisa ia sudah sampai di kota ini juga? Mungkinkah ini memang suatu kebetulan yang lain? Tak bolehkah aku menaruh kecurigaan padanya?Seorang pelayan datang dan membuatku mengalihkan perhatian. Satu porsi salad kini terhidang di meja. Tentu saja dengan sebotol air mineral. "Zee? Kamu di sini?"Tiba-tiba Handi sudah berdiri di depanku, dan tanpa menunggu dipersilakan, lelaki itu duduk. "Ya. Kamu sendiri, ngapain di sini?""Aku ada janji ketemu sama klien untuk pemotretan. Kamu, nginap di sini?""Iya. Tadi cari yang dekat aja karena udah malam.""Ada acara?"Aku pun menceritakan rencana Mas Zaid menjual rumah kami dan juga keinginannya agar aku datang. "Sekalian nengok butik juga, sih."Handi mengangguk dan tersenyum, tapi senyum itu tak menyentuh matanya. Seorang pelayan mengantarkan pesananku. "Mbak, pesanan saya yang tadi di meja nomor dua, tolong bawa ke sini, ya."Pelayan perempuan itu mengangguk pada Handi, kemudian berlalu. "Boleh aku temani makannya?""Kamuny
"Nanti aku jelasin. Kita udah sampai."Aku langsung turun tanpa menunggu Mas Zaid membukakan pintu mobil. Kami bukan lagi pasangan suami istri seperti dulu. Tak perlu berharap ia bersikap romantis.Di dalam resto, kami duduk berhadapan. Lelaki di depanku ini mulai berbicara setelah memesan makanan. "Aku curiga, Raka bukan anakku, Zee. Dia sama sekali nggak punya kemiripan denganku.""Jangan gampang ambil kesimpulan, Mas. Betapa banyak anak di dunia ini yang nggak mirip sama ayah ibunya. Padahal mereka anak kandung.""Nggak gitu, Zee. Kamu lihat anak kita."Dadaku perih mendengar ia menyebut frase anak kita. "Ziva mirip banget sama kamu, Zee. Sementara Zelda, walaupun nggak terlalu mirip aku, tapi ada garis-garis di wajahnya yang dia dapat dari genku. Sementara Raka jauh banget, Zee.""Jauh gimana?"Mas Zaid mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menunjukkan sebuah foto. Tampak seorang bayi laki-laki yang sehat dan menggemaskan sedang tersenyum. Hanya saja, ada yang aneh dengan bocah luc