Share

Dua Marina

"Mas, kamu menginap nanti, ya? Aku ingin melihat wajahmu saat bangun esok hari. Masa iya, kamu mau ninggalin aku gitu aja sendirian di hotel?"

Chat mesra seperti itu ditujukan untuk Mas Zaid, tapi dari seseorang bernama Roy? Apakah aku yang belum mengenal pasangan lebih dalam? Selama ini tak ada tanda-tanda orientasi yang menyimpang dari suamiku. Mas Zaid pun, kutahu adalah pribadi yang paham bagaimana bahayanya kecenderungan menyimpang itu. 

Beberapa saat berpikir keras, kuputuskan untuk menelusuri riwayat pesan-pesan sebelumnya. Mas Zaid sedang tidur ketika handphone itu terus bergetar. Selama ini aku tak pernah dengan sengaja membuka ponselnya. 

Pernikahan ini awalnya bukan karena aku cinta dia. Maka kubangun tiang-tiangnya dengan dasar percaya. Ada Allah yang Maha Tahu, dan cukuplah itu menjadi batasan kami meneguhkan kesetiaan. Tak pernah saling curiga dengan siapa masing-masing menjalin komunikasi.

Semakin jauh menelusuri pesan-pesan itu, aku yakin pengirimnya bukan Roy. Tampaknya itu adalah nomor handphone seorang  wanita yang diberi nama laki-laki di daftar kontak Mas Zaid. Mungkinkah suamiku berbuat khianat? 

Kemana cinta yang demikian sering dia sanjungkan untukku? Mungkinkah rasa itu begitu cepat pudar, saat aku bahkan sudah berhasil mencintainya? Lupakah dia dengan kalimat-kalimatnya yang sering membuatku merasa di atas awan?

"Aku tahu, kamu belum mencintaiku, Zee. Namun, melihatmu pergi adalah hal terakhir yang kuinginkan dalam hidup."

Kalimat seperti itu tidak sekali dua dia katakan padaku. Mengapa kini ada orang lain yang juga mendapat kiriman kalimat senada? Tanganku tak berhenti. Terus menelusuri hingga tanggal di mana mereka pertama kali berkomunikasi. 

Mas, ini nomorku. Save, ya ....

Wanita itu menambahkan emotikon cium di akhir pesannya. 

Siap, Sayang.

Hebat. Baru pertama berbalas pesan, Mas Zaid sudah memanggil sayang. Sementara padaku, baru di malam pertama pernikahan dia mengucapkannya.

Kulihat profil wanita itu. Foto sebuah rumah dengan desain minimalis. Tampaknya baru saja selesai dibangun. 

Beberapa chat berikutnya kulihat mereka sepakat untuk bertemu. Seringnya di sebuah resto yang tak jauh dari lokasi butik milikku. Berani sekali Mas Zaid, kencan dengan perempuan lain di tempat yang masih besar peluangnya untuk kutemukan. 

Aku masih terus membaca pesan-pesan itu. Mataku ternoda karena harus membaca barisan kalimat yang semakin lama semakin menjijikkan. Mas Zaid menyanjung wanita itu, bahkan kadang disertai dengan kata-kata vulgar.

Kamu tadi seger banget, Sayang. Mas nggak kuat. Rasanya pengen peluk.

Kenapa nggak bilang? Kalau tahu, kan kupeluk duluan.

Emang boleh?

Boleh banget. Kan semuanya milikmu, Mas.

Sungguh? Besok ketemu lagi ya? Kujemput di butik aja gimana? Kamu pegang kuncinya, kan?

Sesaat aku membeku. Butik? Jadi, wanita itu bekerja di butik. Apakah dia salah satu karyawanku? 

Tidak. Aku tak boleh gegabah. Kuputuskan untuk mengekspor seluruh percakapan mereka lewat email. Aku tak mau ambil resiko ketahuan oleh Mas Zaid saat sedang membaca seluruh chat itu. 

Dalam waktu singkat, seluruh percakapan mereka terkirim via email. Segera kubersihkan jejak. Menghapus email itu dari kolom sent dan juga trash agar Mas Zaid tak menyadari aku telah memakai email-nya.

Keesokan harinya, kuputuskan membaca semua pesan mereka. Mencari waktu luang saat di butik. Sempat kuperhatikan juga seluruh karyawan hari itu. Meneliti gerak-gerik mereka. Tak ada yang mencurigakan. 

Karyawanku ada tiga orang. Rina, perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu belum lama bekerja padaku. Wajahnya biasa saja. Tak ada hal menarik darinya yang kupikir akan membuat Mas Zaid berpaling.

Yang kedua Ana. Dia cantik, tinggi, putih dan langsing. Tak mungkin wanita itu main api dengan Mas Zaid. Suami Ana jauh lebih tampan dari suamiku. Badannya juga atletis. Jauh lebih kekar. 

Tunggu ....

Bukankah selingkuh bisa saja bukan karena penampilan? Walau kalah dari sisi wajah dan tubuh, Mas Zaid punya kocek yang jauh lebih tebal. Suami Ana tidak bekerja. Bahkan perempuan itu pernah berkelakar padaku.

"Suami saya mah kerjaannya ternak teri, Bu."

"Ternak teri? Maksudnya?"

"Ya, ternak teri, Bu. Anter anak anter istri."

Aku dan beberapa karyawan tertawa.

Mungkinkah Ana menggoda Mas Zaid karena tergiur harta? Tak mungkin. Kulihat dia sangat saliha. Sering terlihat salat duha di butik. Jika tak sedang banyak pekerjaan, dia sering membaca Alquran sambil duduk lesehan di sudut yang nyaman. Perempuan itu juga ikut lembaga bimbingan tahfidz Al Qur'an di dekat rumahnya.

Karyawanku yang ketiga adalah Asih. Dia yang paling lama bekerja di butik. Lebih tua dua tahun dariku. Itu sebabnya dia lebih sering disapa Mbak Asih. Posisinya juga sangat penting. Saat ini menjadi tangan kananku untuk mengurus butik.

Wajahnya termasuk rata-rata perempuan. Kulitnya pun lebih gelap dariku. Namun, dia unggul dalam hal lainnya. Dengan bibir yang pernah disulam, Mbak Asih tampak selalu seksi menurutku. Perempuan itu juga memiliki julukan dada semangka, karena payudaranya yang berukuran  di atas rata-rata. 

Tiba-tiba aku merasa tak percaya diri. Mungkinkah Mas Zaid tergoda karena dua hal yang tak kumiliki itu? Apalagi Mbak Asih sudah bercerai dari suaminya dan belum pernah melahirkan. Tubuhnya pasti masih sangat bagus. 

Aku tak boleh berburuk sangka. Belum ada bukti yang menunjukkan Mbak Asih bersalah. Namun, ada yang aneh saat tadi kami bertemu. Dia tak seramah biasanya. Senyum perempuan itu pun tak sampai menyentuh mata. Terlihat dipaksakan. 

Segera aku mengunci pintu ruang kerja. Mengatakan pada semua karyawan agar jangan mengganggu untuk satu jam ke depan. Akan kubaca tuntas chat mereka berdua. Jika benar Mas Zaid selingkuh, biarlah dia pergi. Akan kucari bahagia bersama Ziva dan Zelda saja. 

Duduk bersandar, kubuka email di laptop. Pesan-pesan mereka sudah masuk semua. Juga media berupa stiker, foto, dan video. Tak ada yang kulewatkan. 

Kini mataku menjelajahi ribuan chat itu. Membaca dengan dada bergemuruh. Ada banyak kalimat tak senonoh yang mereka tuliskan. Mulai dari pujian atas sikap satu sama lain, sampai hal fisik yang cenderung menggoda. 

Hampir tiga puluh menit, aku masih belum menemukan identitas perempuan laknat itu. Sampai mataku tiba-tiba nanar melihat pesan berikutnya. 

Mas di mana? Aku dah capek nunggu, nih.

Balasannya dikirim lima menit kemudian oleh Mas Zaid. 

Marina sayangku ... sabar ya. Lima menit lagi Mas sampai. 

Dadaku sesak. Keringat mulai membasahi bajuku. 

Marina? Kerja di butik? Marina yang mana? Nama lengkap karyawanku memang ada yang hampir sama. Rina Marina dan Asih Marina. Entah kenapa dua orang Marina bisa kerja di tempat yang sama.

Kucoba menguatkan hati untuk membaca pesan-pesan selanjutnya. Ternyata hati ini masih sanggup menyusuri kalimat-kalimat nista itu dengan detail. Tak kulewatkan satu huruf pun. Sampai kudapati fakta bahwa mereka sudah beberapa kali check in di hotel. Anehnya, tempat yang dipilih hampir semua masih belum jauh dari butik milikku. 

Ternyata mereka sebobrok itu. Sudah tak sanggup menahan nafsunya, hingga mencari tempat terdekat untuk segera dapat menyalurkan hasrat terlarang. Aku sudah tak bisa memaafkanmu, Mas. Keputusanku untuk bercerai bulat sudah. 

Laki-laki itu telah jelas berkhianat. Siapa pun yang menggoda, tak akan membuat hubungan mereka terjalin jika Mas Zaid tak merespon. Walau perempuan itu bertubuh aduhai macam Asih sekalipun.

Ah, kenapa dugaanku terus tertuju padanya?

Kubaca chat berikutnya. Lima menit kemudian jantungku seakan berhenti berdetak. Perempuan bernama Marina itu mengirimkan video pendek dengan pesan dibawahnya. 

Untuk kenang-kenangan kita ya, Mas. 

Aku tahu kini, siapa perempuan itu. Wajahnya jelas terlihat di video berdurasi dua puluh lima detik itu. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status