Share

Pesan Mesra

"Kenalkan, saya Zaid. Suami Zee," ucap laki-laki itu sambil duduk di antara kami, padahal belum ada yang mempersilakan. Handi menyambut uluran tangannya. 

"Maaf, ralat. Mantan suami," tukasku cepat, sementara tangan mereka masih berjabat. Handi menatapku tajam. Sejurus kemudian bibirnya membentuk senyum tipis.

"Saya Handi Aditya, pacarnya Zee."

Kalimat itu spontan membuat mataku membulat. Hendak protes, tapi segera kuurungkan saat melihat Zaid yang kini terlihat bingung. Sejurus kemudian, laki-laki itu segera menguasai keadaan. Mereka saling melepas genggaman tangan.

"Sudah saya duga kamu pasti menginap di sini, Zee. Pulang jam berapa?"

"Sebentar lagi."

"Saya antar, ya?"

"Gak perlu. Saya bawa kendaraan sendiri."

Hening.

Zaid mulai menikmati makanannya. Aku sendiri sudah tak berselera. Kualihkan pandangan ke Handi. Laki-laki itu tersenyum penuh arti dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Apa maksudnya?

Tunggu. Aku jadi terpikir satu ide. Mungkinkah kedipan mata Handi tadi karena dia memikirkan hal yang sama? 

"Han ..., kamu dah selesai? Anter aku, yuk." 

Suara yang keluar kubuat sedemikian lembut agar terkesan manja dan menggoda. Sedetik kemudian aku menyesal telah mengucapkan kalimat itu, tapi sudah terlambat. Tak bisa diralat. Mata Handi membulat sempurna kini. Senyum jahil tiba-tiba terbit di wajahnya. Dia bangkit dari duduk dan mendekat ke arahku.

"Oke. Mas Zaid, kami duluan, ya," ucapnya seraya tersenyum dan merengkuh bahuku. Bahasa tubuh si mata elang demikian posesif.

Mas Zaid hanya mengangguk. Tubuhnya menegang. Aku tersenyum sambil berlalu. 

Risih juga berjalan dengan tangan Handi yang masih merangkul bahu. Bahkan belum genap dua puluh empat jam setelah pertemuan pertama di tepi kolam. Entah kenapa tiba-tiba saja tadi aku ingin bersandiwara di depan mantan suami. 

Di depan lift, saat sudah tak terlihat dari tatapan Zaid, aku melepaskan diri dari tangan kekar Handi yang banyak dipenuhi rambut. 

"Maaf," ujarnya lembut. Ada bias kecewa di matanya. 

"Nggak apa. Aku yang salah, sudah memikirkan ide yang aneh."

"Bukankah tadi itu keren? Kita bisa satu pemikiran."

Aku tergelak. 

"Kenapa tiba-tiba memperkenalkan diri sebagai pacar?"

Handi diam sejenak. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Itu membuat tubuhnya semakin terlihat kekar dan atletis. Mungkin dia sering ke tempat gym. Laki-laki  itu menarik napas. 

"Aku cuma ngeliat kamu nggak nyaman saat Zaid memperkenalkan diri sebagai suami. Padahal, kau belum lama cerita kalau baru saja bercerai. Yah, aku langsung terpikir cara untuk menegaskan pada Zaid tentang hubungan kalian berdua saat ini. Sudah bukan siapa-siapa, kan?"

Kutatap high heels dan lantai di bawahnya. Haruskah mengatakan tentang Zelda dan Ziva? Bukankah Handi bukan siapa-siapa, dan tak perlu tahu kehidupanku?

Pintu lift terbuka. Kami segera masuk. Hanya berdua. Seketika udara di ruang kecil ini terasa berbeda. Aku mencium aroma parfum Handi yang segar. Masih seperti semalam. Laksana aroma seorang laki-laki yang baru selesai mandi. Menyejukkan. 

"Ada anak di antara kami berdua."

Handi menoleh. Tatapannya sangat menunjukkan bahwa dia terkejut. Kemudian bibirnya mengulas senyum. Segera kupalingkan pandangan. Kali ini menekuri dinding lift yang dijadikan media promosi hotel. Dari fasilitas hingga menu makanannya. 

"Siapa namanya?"

Aku menoleh lagi, dan mendapati senyum itu masih di sana. Menghiasi wajah rupawan dengan rahang kokohnya. Sepertinya berlama-lama di samping Handi bisa membuatku tak waras. 

"Maksudmu?"

Handi mengernyitkan dahi, lalu memperlebar senyumnya. Bisa dipastikan aku akan tenggelam di lautan yang dalam jika terus menatap wajah laki-laki itu. 

"Nama anakmu."

"Oh ..., itu. Kupikir ...."

"Apa?"

"Tidak. Bukan apa-apa. Anakku bernama Ziva, yang kedua Zelda."

"Zelda pasti cantik sekali seperti mamanya."

Aku sudah tak sanggup berkata. Terlalu lamakah aku tak mendapat pujian, hingga rasanya seperti melayang di atas awan?

Lift terbuka. Menyelamatkanku dari berlama-lama memandang makhluk Tuhan, yang bisa membuat akal tak sehat lagi. Baru kusadari, ternyata kami menuju lantai yang sama. 

Handi menatapku lekat. Kedua tangannya meraih seluruh jemariku. Meremasnya lembut.

"Hati-hati. Kabari aku kalau sudah sampai," ucapnya lembut. Tuhan, kenapa Kau hadirkan orang ini dalam masa penyembuhanku? Masa pengobatan dari luka tersebab pengkhianatan. 

***

Hening yang menemaniku dalam perjalanan pulang, membuat pikiran kembali mengembara. Teringat saat-saat awal pertemuan dengan Zaid Hanafi. Seorang laki-laki yang gigih mendapatkan cintaku. Bahkan saat lima kali penolakan kulancarkan, tekadnya tak pernah surut. 

"Aku mencintaimu, Zee. Sejak pertama kali bertemu. Menualah bersamaku ...."

Hatiku hampir luluh kala itu. Namun, belum ada desir di hati ini. Cinta belum tumbuh. Hingga dia membuat sebuah keputusan sendiri. Anak gadis boleh menolak, tapi proposal bisa langsung ditembuskan ke orang tuanya, kan?

Tak kusangka, Zaid nekad mendatangi ayah dan ibu. Meminta restu mereka untuk melamar anak gadisnya. Hingga segala penjuru menghembuskan bujukan, agar aku menerima laki-laki yang terlihat salih itu.

"Zaid itu kurang apa, Nduk? Ganteng, baik, sukses, dan salih," ibu berkata lembut di sampingku. Tangannya mengelus bahu. 

"Mungkin karena dia terlihat sempurna, hingga aku merasa tak pantas dipersunting, Bu."

"Mengayuh biduk bersama orang yang sempurna, akan membuatmu belajar menjadi sempurna, Nduk."

Aku bisa apa? Kala ayah, ibu, bahkan seluruh keluarga besar mendukung keinginan Zaid untuk melamar. Kuniatkan menerima Zaid sebagai bentuk baktiku pada orang tua. 

Pernikahan dilangsungkan dengan mewah. Saat itu usiaku baru dua puluh empat. Baru saja lulus kuliah. Bahkan belum sempat menikmati dunia kerja. 

Setahun pertama aku belajar mencinta. Berusaha membuka hati untuk laki-laki yang begitu mempesona di mata keluargaku. Meyakinkan diri, dialah jodohku. Yang akan sehidup dan sesurga nanti.

Dengan bantuan Zaid yang sabar, hati ini akhirnya benar-benar terbuka. Mampu mencintainya sepenuh hati. Rela menghabiskan usia hanya bersamanya. Mendoakan saat dia pergi. Setia berada di istana yang dibuatnya khusus untukku. Menyerahkan diri dalam pelukan hangatnya. Hingga lahirlah buah hati yang tampan dan jelita. 

Hidupku sempurna. Berkecukupan, bahkan lebih. Dicintai dan mencinta dengan bahagia. Dikaruniai Ziva dan Zelda yang amat memesona. 

Hingga petaka itu muncul di tengah-tengah kami. Dua insan yang saling mencinta dengan penuh warna, tiba-tiba saling meluapkan amarah. Bermula dari aplikasi hijau di ponsel milik Zaid. Saat sebuah pesan terbaca oleh netraku. Dari sebuah nomor kontak yang diberi nama Roy.

"Mas, kamu menginap nanti, ya? Aku ingin melihat wajahmu saat bangun esok hari. Masa iya kamu mau ninggalin aku gitu aja sendirian di hotel?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status