Share

Pesan Mesra

Penulis: NH. Soetardjo
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-11 10:33:46

"Kenalkan, saya Zaid. Suami Zee," ucap laki-laki itu sambil duduk di antara kami, padahal belum ada yang mempersilakan. Handi menyambut uluran tangannya. 

"Maaf, ralat. Mantan suami," tukasku cepat, sementara tangan mereka masih berjabat. Handi menatapku tajam. Sejurus kemudian bibirnya membentuk senyum tipis.

"Saya Handi Aditya, pacarnya Zee."

Kalimat itu spontan membuat mataku membulat. Hendak protes, tapi segera kuurungkan saat melihat Zaid yang kini terlihat bingung. Sejurus kemudian, laki-laki itu segera menguasai keadaan. Mereka saling melepas genggaman tangan.

"Sudah saya duga kamu pasti menginap di sini, Zee. Pulang jam berapa?"

"Sebentar lagi."

"Saya antar, ya?"

"Gak perlu. Saya bawa kendaraan sendiri."

Hening.

Zaid mulai menikmati makanannya. Aku sendiri sudah tak berselera. Kualihkan pandangan ke Handi. Laki-laki itu tersenyum penuh arti dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Apa maksudnya?

Tunggu. Aku jadi terpikir satu ide. Mungkinkah kedipan mata Handi tadi karena dia memikirkan hal yang sama? 

"Han ..., kamu dah selesai? Anter aku, yuk." 

Suara yang keluar kubuat sedemikian lembut agar terkesan manja dan menggoda. Sedetik kemudian aku menyesal telah mengucapkan kalimat itu, tapi sudah terlambat. Tak bisa diralat. Mata Handi membulat sempurna kini. Senyum jahil tiba-tiba terbit di wajahnya. Dia bangkit dari duduk dan mendekat ke arahku.

"Oke. Mas Zaid, kami duluan, ya," ucapnya seraya tersenyum dan merengkuh bahuku. Bahasa tubuh si mata elang demikian posesif.

Mas Zaid hanya mengangguk. Tubuhnya menegang. Aku tersenyum sambil berlalu. 

Risih juga berjalan dengan tangan Handi yang masih merangkul bahu. Bahkan belum genap dua puluh empat jam setelah pertemuan pertama di tepi kolam. Entah kenapa tiba-tiba saja tadi aku ingin bersandiwara di depan mantan suami. 

Di depan lift, saat sudah tak terlihat dari tatapan Zaid, aku melepaskan diri dari tangan kekar Handi yang banyak dipenuhi rambut. 

"Maaf," ujarnya lembut. Ada bias kecewa di matanya. 

"Nggak apa. Aku yang salah, sudah memikirkan ide yang aneh."

"Bukankah tadi itu keren? Kita bisa satu pemikiran."

Aku tergelak. 

"Kenapa tiba-tiba memperkenalkan diri sebagai pacar?"

Handi diam sejenak. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Itu membuat tubuhnya semakin terlihat kekar dan atletis. Mungkin dia sering ke tempat gym. Laki-laki  itu menarik napas. 

"Aku cuma ngeliat kamu nggak nyaman saat Zaid memperkenalkan diri sebagai suami. Padahal, kau belum lama cerita kalau baru saja bercerai. Yah, aku langsung terpikir cara untuk menegaskan pada Zaid tentang hubungan kalian berdua saat ini. Sudah bukan siapa-siapa, kan?"

Kutatap high heels dan lantai di bawahnya. Haruskah mengatakan tentang Zelda dan Ziva? Bukankah Handi bukan siapa-siapa, dan tak perlu tahu kehidupanku?

Pintu lift terbuka. Kami segera masuk. Hanya berdua. Seketika udara di ruang kecil ini terasa berbeda. Aku mencium aroma parfum Handi yang segar. Masih seperti semalam. Laksana aroma seorang laki-laki yang baru selesai mandi. Menyejukkan. 

"Ada anak di antara kami berdua."

Handi menoleh. Tatapannya sangat menunjukkan bahwa dia terkejut. Kemudian bibirnya mengulas senyum. Segera kupalingkan pandangan. Kali ini menekuri dinding lift yang dijadikan media promosi hotel. Dari fasilitas hingga menu makanannya. 

"Siapa namanya?"

Aku menoleh lagi, dan mendapati senyum itu masih di sana. Menghiasi wajah rupawan dengan rahang kokohnya. Sepertinya berlama-lama di samping Handi bisa membuatku tak waras. 

"Maksudmu?"

Handi mengernyitkan dahi, lalu memperlebar senyumnya. Bisa dipastikan aku akan tenggelam di lautan yang dalam jika terus menatap wajah laki-laki itu. 

"Nama anakmu."

"Oh ..., itu. Kupikir ...."

"Apa?"

"Tidak. Bukan apa-apa. Anakku bernama Ziva, yang kedua Zelda."

"Zelda pasti cantik sekali seperti mamanya."

Aku sudah tak sanggup berkata. Terlalu lamakah aku tak mendapat pujian, hingga rasanya seperti melayang di atas awan?

Lift terbuka. Menyelamatkanku dari berlama-lama memandang makhluk Tuhan, yang bisa membuat akal tak sehat lagi. Baru kusadari, ternyata kami menuju lantai yang sama. 

Handi menatapku lekat. Kedua tangannya meraih seluruh jemariku. Meremasnya lembut.

"Hati-hati. Kabari aku kalau sudah sampai," ucapnya lembut. Tuhan, kenapa Kau hadirkan orang ini dalam masa penyembuhanku? Masa pengobatan dari luka tersebab pengkhianatan. 

***

Hening yang menemaniku dalam perjalanan pulang, membuat pikiran kembali mengembara. Teringat saat-saat awal pertemuan dengan Zaid Hanafi. Seorang laki-laki yang gigih mendapatkan cintaku. Bahkan saat lima kali penolakan kulancarkan, tekadnya tak pernah surut. 

"Aku mencintaimu, Zee. Sejak pertama kali bertemu. Menualah bersamaku ...."

Hatiku hampir luluh kala itu. Namun, belum ada desir di hati ini. Cinta belum tumbuh. Hingga dia membuat sebuah keputusan sendiri. Anak gadis boleh menolak, tapi proposal bisa langsung ditembuskan ke orang tuanya, kan?

Tak kusangka, Zaid nekad mendatangi ayah dan ibu. Meminta restu mereka untuk melamar anak gadisnya. Hingga segala penjuru menghembuskan bujukan, agar aku menerima laki-laki yang terlihat salih itu.

"Zaid itu kurang apa, Nduk? Ganteng, baik, sukses, dan salih," ibu berkata lembut di sampingku. Tangannya mengelus bahu. 

"Mungkin karena dia terlihat sempurna, hingga aku merasa tak pantas dipersunting, Bu."

"Mengayuh biduk bersama orang yang sempurna, akan membuatmu belajar menjadi sempurna, Nduk."

Aku bisa apa? Kala ayah, ibu, bahkan seluruh keluarga besar mendukung keinginan Zaid untuk melamar. Kuniatkan menerima Zaid sebagai bentuk baktiku pada orang tua. 

Pernikahan dilangsungkan dengan mewah. Saat itu usiaku baru dua puluh empat. Baru saja lulus kuliah. Bahkan belum sempat menikmati dunia kerja. 

Setahun pertama aku belajar mencinta. Berusaha membuka hati untuk laki-laki yang begitu mempesona di mata keluargaku. Meyakinkan diri, dialah jodohku. Yang akan sehidup dan sesurga nanti.

Dengan bantuan Zaid yang sabar, hati ini akhirnya benar-benar terbuka. Mampu mencintainya sepenuh hati. Rela menghabiskan usia hanya bersamanya. Mendoakan saat dia pergi. Setia berada di istana yang dibuatnya khusus untukku. Menyerahkan diri dalam pelukan hangatnya. Hingga lahirlah buah hati yang tampan dan jelita. 

Hidupku sempurna. Berkecukupan, bahkan lebih. Dicintai dan mencinta dengan bahagia. Dikaruniai Ziva dan Zelda yang amat memesona. 

Hingga petaka itu muncul di tengah-tengah kami. Dua insan yang saling mencinta dengan penuh warna, tiba-tiba saling meluapkan amarah. Bermula dari aplikasi hijau di ponsel milik Zaid. Saat sebuah pesan terbaca oleh netraku. Dari sebuah nomor kontak yang diberi nama Roy.

"Mas, kamu menginap nanti, ya? Aku ingin melihat wajahmu saat bangun esok hari. Masa iya kamu mau ninggalin aku gitu aja sendirian di hotel?"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Tanpa Cintamu   Batal Nikah

    Setelah tubuh Handi hilang di balik pintu, aku mempersilakan Mas Zaid duduk. Lelaki di depanku ini, ia yang dulu dengan sepenuh hati aku cintai. Ayah dari Ziva dan Zelda. Darinya aku berharap surga setelah kehidupan yang fana ini berakhir. Namun, semua harus kulepaskan dengan kerelaan hati. Tak mungkin bertahan kalau masing-masing tak lagi merasa nyaman. Pastinya yang didapat hanya kesia-siaan. Kini, ketika telah telah resmi bercerai, kami hanyalah kawan yang sepakat sama-sama memberikan yang terbaik untuk Ziva dan Zelda. Tak lagi bersama membangun asa. Melupakan semua rasa yang pernah ada.Sakit? Tentu saja. Bahkan hatiku sempat hancur berkeping-keping. Ia yang pernah menghapus setiap butiran dari mataku, justru berakhir menjadi penyebab semua tangis. "Zee ...."Suaranya terdengar parau, membuatku tersadar dari lamunan. Ia tak pernah tampak selemah sekarang. Mata yang sekarang sayu itu, Deli senantiasa berbinar penuh semangat. Ia membuka tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop besa

  • Aku Tanpa Cintamu   Yah, Ketahuan

    Aku memotret barang-barang pemberian Handi itu. Sengaja kufoto secara terpisah. Pertama kukirim foto buah-buahan itu padanya ditambah sebaris kalimat. Thanks kirimannya. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot.Tak lama tanda centang di samping pesan itu sudah berubah menjadi biru. Namun, sampai beberapa menit tak juga ada balasan yang masuk. Dengan kesal, kuletakkan ponsel itu dan beralih pada pekerjaan. Aku memeriksa beberapa berkas yang sudah disiapkan Murni. Ternyata ada undangan untuk mengisi sebuah acara enterpreneur di Bandung akhir pekan ini. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentangku. Setelah memberi tanda pada kalender, aku beralih pada rencana pemesanan bahan untuk produk baru. Karena kemarin batal ke Bandung, hari ini aku memilih menelepon bagian pemasaran pabrik tekstil yang menjadi rekananku.Tak terasa, pembicaraan tentang bahan, kesiapan produksi, dan proses pengirimannya telah memakan waktu lebih dari lima belas menit. Aku menarik napas panjang setelah sa

  • Aku Tanpa Cintamu   Calon Suami Pilihan

    "Kamu pulang sama siapa, Nduk.""Eh, i-itu ... Handi yang antar, Bu.""Sekarang, mana dia?""Udah pulang.""Kenapa nggak disuruh masuk dulu. Kamu harusnya buatin teh dulu.""Wes, tho, Bu. Biarin aja. Udah malem juga. Ora penak karo tonggo.""Huss, nggak boleh gitu sama calon suami.""Hah? Calon suami? Maksudnya gimana, Bu?""Lho, Nak Handi belum ngomong sama kamu?""Ngomong apa, Bu?""Yo, wes. Kamu istirahat aja dulu. Sudah malam. Besok aja kita obrolin lagi."Sebenarnya aku masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari ibu. Siapa yang dimaksud calon suami oleh ibu? Tak mungkin itu Handi, 'kan? Ibu menguap panjang. Pasti tidurnya terganggu dengan kehadiranku di malam selarut ini. Akhirnya kuputuskan untuk besok saja meminta penjelasan dari ibu tentang ucapannya tadi. Aku masuk ke kamar dan melihat Ziva tertidur pulas. Sementara Zelda tidur di kamar ibu. Selama aku pergi ke Jakarta, gadis kecil itu hanya mau tidur bersama nenek dan kakeknya.Aku tersenyum menatap wajah Ziva yang

  • Aku Tanpa Cintamu   Dilamar

    Pagi setelah sarapan, aku sudah langsung check out dari hotel. Bandung sudah tak menjadi tujuan berikutnya. Pikiran dan hati saat ini sudah bukan tertuju pada pakerjaan, jadi aku memilih untuk pulang ke Temanggung. Biarlah lain kali saja ke sana. Saat aku baru saja masuk ke dalam mobil, seseorang mengetuk kaca jendela. Mas Zaid? Kenapa dia sampai ke parkiran di basemen ini?Kubuka jendela mobil, dan mengamati mantan suamiku itu dari atas ke bawah. Ia membawa sebuah kantong besar bertuliskan brand terkenal sebuah produk mainan. Ah, iya. Aku baru ingat kalau Mas Zaid ingin menitipkan sesuatu untuk Ziva dan Zelda."Kok, Mas tahu aku ada di sini?" "Aku tadi ke resepsionis, tapi katanya kamu udah check out. Untung belum terlambat.""Iya. Aku ada urusan yang harus diselesaikan.""Jadi ke Bandung?""Nggak kayaknya. Aku harus segera pulang ke Temanggung.""Zee, sebenarnya ....""Kenapa, Mas?""Sebenarnya aku khawatir kamu nyetir sendirian sejauh ini. Kalau kamu nggak keberatan, biar aku tem

  • Aku Tanpa Cintamu   Penjelasan

    Ternyata saat aku tidur tadi, di luar turun hujan. Kini jalanan basah. Sebasah luka yang baru saja Handi goreskan. Ah, kenapa aku kembali mengingat sosoknya?Aku fokus di balik kemudi, tapi ingatan justru berputar pada pertemuan-pertemuan dengan Handi. Kenapa selama ini aku tak bisa menangkap fakta bahwa ia punya maksud jahat? Sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa Handi bersepakat dengan Asih. Seketika aku kembali merasa muak.Kecewa, marah, sedih, dan merasa dikhianati. Semua perasaan itu terus terbawa hingga aku masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku mencoba membebaskan dada ini dari rasa yang menyiksa. Mungkin aku harus menjauh dari Handi karena kehadirannya setelah ini pasti akan membuat sayatan luka itu semakin dalam. Suasana resto cukup lengang malam ini. Mungkin karena baru saja hujan di luar sana. Aku makan dengan perasaan hampa, sambil sesekali memperhatikan jalan di luar sana. Detik berikutnya beralih pada antrian pengunjung yang entah kenapa didominasi driver

  • Aku Tanpa Cintamu   Pengejaran

    Ingin rasanya aku masuk kedalam ruangan itu dan meminta penjelasan pada keduanya. Namun, ingatan pada Asih yang sudah memporak-porandakan rumah tanggaku, membuat niat itu batal. Sebaiknya aku pergi saja dari rumah ini. Saat memutar badan hendak keluar, entah bagaimana kakiku terantuk dahan pintu. Rasa sakitnya membuat aku meringis, tapi tak seperih hati yang merasa dikhianati. Dengan menahan pedih, aku bergegas hendak keluar. Saat itulah Handi muncul di pintu. Ia pasti mendengar suara benturan di pintu. "Zee? Ka-kamu ...."Aku menatapnya dengan pandangan yang mulai buram. Sebisa mungkin kutahan agar tak luruh agar tak menjadi derai yang menganak sungai. Aku harus kuat di mata dua orang yang bersekongkol ini. "Ya. Aku sudah mendengar semuanya, Han. Nggak nyangka ternyata kamu sejahat itu. Kenapa? Ada salah apa aku ke kamu?"Ternyata aku sulit menahan jatuhnya kristal dari mata. Sebisa mungkin berusaha untuk tak terisak. Lalu saat sosok perempuan itu muncul di belakang Handi, aku sud

  • Aku Tanpa Cintamu   Handi dan Asih

    "Minum Zee," suara Handi membuatku tersentak."Eh, maaf. Sampai kaget gitu. Ngelamun, ya?" tanya Handi lagi."Ng-nggak, kok," jawabku sambil terus melirik ke arah mobil Mas Zaid. Mantan suamiku itu menurunkan beberapa kardus dari dalam mobil, dibantu oleh si tukang kebun. Menit berikutnya mereka sudah menghilang ke dalam rumah besar itu.Handi mengulurkan gelas berisi orange juice dingin padaku. Ada getar halus ketika tangan kami tak sengaja bersentuhan. Sepertinya ia merasakan hal yang sama. Sejenak Handi menatapku intens."Di ujung ada kamar kecil," ujarnya tiba-tiba seperti ingin memecah kebisuan kami. "Kamu bisa ganti pakaian di sana. Setelah siap, kita bisa ambil beberapa gambar di sini."Aku mengangguk. Meminum jus yang diberikan Handi, kemudian aku meninggalkannya untuk berganti pakaian. Ada lima produk baru yang aku bawa kali ini. Handi sempat menyarankan untuk menambah hingga delapan atau sepuluh, tapi aku menolak. "Udah dikasih gratis, masa ngelunjak," kilahku saat kami ma

  • Aku Tanpa Cintamu   Saling Mengenal

    Handi berjalan ke sisi samping meja. "Aku tahu, ini terlalu cepat, Zee," ujarnya seperti mendengar apa yang aku pikirkan. "Nggak usah dijawab sekarang. Aku akan menunggu sampai kapanpun kamu siap.""Kenapa harus aku, Han?""Karena kamu orang yang tepat buatku, Zee.""Tahu dari mana?"Lelaki muda itu menarik kursi di dekatnya. "Apa kamu akan percaya kalau itu hasil istikharah?"Aku menatapnya dengan menyipitkan kedua mata. Seorang Handi salat istikharah? Apakah ini sisi lain yang aku belum tahu dari lelaki itu?"Tuh, kamu nggak percaya, kan?""Eh, a-aku percaya, kok. Cuma heran aja kamu sampai istikharah buat menjatuhkan pilihan.""Lho, bukannya memang harus gitu? Guru agamaku di SMA dulu pernah bilang, bahkan saat hendak membeli pakaian pun harusnya kita minta bimbingan Allah. Bukan hanya soal jodoh.""Iya, ngerti, tapi kamu tahu kalau aku pernah gagal 'kan?""Aku tahu dan paham, Zee. Pastinya nggak mudah buat kamu membuka hati kembali. Izinkan aku untuk membantu membukanya perlahan.

  • Aku Tanpa Cintamu   Rujuk, Yuk

    "Nanti aku jelasin. Kita udah sampai."Aku langsung turun tanpa menunggu Mas Zaid membukakan pintu mobil. Kami bukan lagi pasangan suami istri seperti dulu. Tak perlu berharap ia bersikap romantis.Di dalam resto, kami duduk berhadapan. Lelaki di depanku ini mulai berbicara setelah memesan makanan. "Aku curiga, Raka bukan anakku, Zee. Dia sama sekali nggak punya kemiripan denganku.""Jangan gampang ambil kesimpulan, Mas. Betapa banyak anak di dunia ini yang nggak mirip sama ayah ibunya. Padahal mereka anak kandung.""Nggak gitu, Zee. Kamu lihat anak kita."Dadaku perih mendengar ia menyebut frase anak kita. "Ziva mirip banget sama kamu, Zee. Sementara Zelda, walaupun nggak terlalu mirip aku, tapi ada garis-garis di wajahnya yang dia dapat dari genku. Sementara Raka jauh banget, Zee.""Jauh gimana?"Mas Zaid mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menunjukkan sebuah foto. Tampak seorang bayi laki-laki yang sehat dan menggemaskan sedang tersenyum. Hanya saja, ada yang aneh dengan bocah luc

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status