Share

3. Alasan Bekerja

"Noda lipstik di baju Mas Danil itu milik siapa ya? " Rheta tak kuasa menahan gejolak hatinya. Tadi pagi, ia menemukan keganjilan saat mencuci baju-baju Mas Danil.

Beberapa hari yang lalu juga, ia sempat menemukan struk pembayaran hotel. Awalnya ia merasa, mungkin saja itu merupakan fasilitas kantor. Namun, lipstik wanita di bajunya? Rheta hanya bisa memendam pertanyaannya dengan perasaan tak menentu.

"ibu, kita mau kemana?" tanya Vano yang melilhat ibunya berjalan terus melewati rumah mereka.

"Oh, kita akan ke rumah ibu Dian, Nak? Yang kemarin sore kita kesana?"

"Oh, Vano pikir ibu lupa jalan pulang, karena ibu terus saja berjalan." Vano terkekeh.

Rheta tersenyum mendengarkan anaknya berceloteh. Sekarang hanya Vano harapan Rheta, karena hanya dia yang Rheta miliki saat ini. Rheta hanya akan bertahan untuk anak semata wayangnya ini.

Setelah berjalan cukup lama Rheta dan Vano akhirnya sampai di rumah bu Dian. Kedatangan mereka di sambut ibu Dian dengan ramah. Walau tergolong orang kaya, namun bu Dian sama sekali tidak memiliki sifat sombong.

"Ada apa Ret?" tanya bu Dian saat mereka sudah berada di dalam rumah.

"Mengenai kemarin bu, sepertinya mulai besok saya sudah bisa kerja. Tidak hanya paruh waktu, tapi saya mau bekerja dari pagi sampai sore, bu." kata Rheta menyampaikan maksud kedatangannya.

"Benarkah? Lalu bagaimana dengan suami dan ibu mertuamu? Apa kau sudah meminta ijin kepada mereka?"

“Saya sudah bilang kepada ibu mertua kalau saya akan kerja seperti permintaannya. Kalau sama suami saya belum bilang bu, karena dia masih berada di luar kota. Tapi saya rasa suami saya akan mengijinkan saya bekerja bu, karena dia juga meminta saya untuk bekerja kemarin."

Bu Dian sudah mengetahui apa yang selama ini menjadi keluh kesah Rheta. Karena itu pula, ia akhirnya menerima Rheta sebagai karyawannya.

"Oh, begitu...Ya sudah, kamu besok bisa masuk kerja." ujar ibu Dian.

"Tapi bu, saya ada permohonan."

"Apa katakanlah.'

"Setiap jam pulang sekolah saya minta ijin menjemput Vano, lalu bolehkah Vano ikut saya bekerja? Karena di rumah tidak ada siapa-siapa, dan saya tidak berani meninggalkan Vano dirumah sendiri."

"Ya sudah ga apa-apa. Asalkan anakmu tidak mengganggu pekerjaanmu. Dan pekerjaanmu berjalan baik,bagi saya tidak masalah."

"Alhamdulillah, terimaksih bu. Saya janji akan bekerja dengan baik, dan Vano juga janji ga akan nakal kan nak?" tanya Rheta kepada anaknya.

"Iya bu, Vano ga akan nakal, Vano juga akan bantu ibu jika ibu butuh bantuan Vano."

"Anak pintar." kaa bu Dian mengusap kepala Vano.

"Ya sudah besok kamu bisa datang ke toko jam setengah delapan. Karena toko akan buka jam delapan. Nanti saya akan ke sana untuk mengenalkanmu kepada pegawai di sana. Di sana hanya ada dua pegawai, karena pegawai ketiga kemarin mengundurkan diri karena mau menikah, maka dari itu saya menerimamu ,Rheta. Mungkin sudah rejekimu."

"Aamiin, mungkin memang benar sudah rrejeki saya bu. Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu. Terimakasih bantuannya, bu. Assalamu'alaikum."

'Iya sama-sama, wa'alailkum salam."

Akhirnya Rheta pulang dengan perasaan lega, karena akhirnya dia bisa bekerja untuk menutupi kekurangan hidupnya.

***************

Malam harinya, saat Rheta sedang menemani Vano belajar, tiba-tiba ada panggilan masuk dari suaminya.

"Tumben." batin Rheta.

Rheta pergi menjauh dari Vano, karena dia tidak mau Vano mendengar orang tuanya bertengkar lagi.

'Hallo, Assalamu'alaikum."

"Rheta tadi kamu ngomong apa sama ibu."

"Apa? Memang apa yang di katakan ibu padamu mas?" Rheta sudah menduga, ibu mertuanya itu pasti sudah mengadu kepada suaminya.

"Kau bilang kalau kau akan bekerja dan tidak akan datang kerumah ibu untuk membantunya.'

"Oh, itu. Memang benar aku akan bekerja. Memang kenapa? Bukankah kau yang menginginkan aku bekerja ? Sekarang aku akan bekerja sesuai keinginan kalian."

"Ya, kamu kan bisa kerumah ibu dulu bantu-bantu mereka, Rheta. Setelah itu kau bisa bekerja."

"Oh , jadi kau menelponkku hanya untuk menyuruhku tetap bekerja jadi pembantu keluargamu, begitu. Eh, mas dengerin ya. Orang kerja itu ada jamnya, masuk jam berapa pulang jam berapa. Kamu tadi bangun kesiangan aja marah-marah. Karena kami punya jam masuk kerja. Begitu juga dengan aku, Aku juga harus maduk kerja sesuai permintaan orang yang memeperkerjakan aku. Jika aku harus kerja dirumah ibumu dulu,maka aku ga kan oernah dapat pekerjaan. "

"Lagi pu di sana ada mbak Maya sama Dila yang bisa membantu ibu. Kenapa hanya aku yang kalian jaDaniln pembantu. "

"Apa maksudmu Rheta?" Nada suara Danil mulai meninggi, di pastikan dia sedang marah saat ini mendengar kalimat yang di lontarkan Rheta.

"Iya, selama ini bukankah aku hanya dijadikan  pembantu di rumah mertuaku sendiri, padahal di sana juga ada mbak Maya yang bisa membantu, tapi apa kenapa hanya aku yang dijadikan  pembantu oleh mereka. Tidak, aku tidak mau lagi. Aku akan bekerja mulai besok, sesuai keinginan kalian aku akan bekerja dan bermalas-malasan."

Danil langsung terdiam mendengar  ucapan Rheta, mungkin dia berfikir dari mana Rheta mendapat keberanian membantah ucapannya, bahkan ucapan ibunya tadi.

"Hallo, kau masih ada di sana mas, kalau sudah ga ada yang mau di omongin aku matikan telponmu, dan selamat bersenang- senang." Rheta akan mematikan telponnya namun teriakan Danil menghentikan jari tangannya.

"Apa maksudmu Rheta, bersenang-senang apa? Aku ini kerja."

"Oh, kerja ya, ya udah kalau begitu selamat bekerja suamiku.' Kata Rheta mengejek.

"Rheta, katakan padaku, kamu kerja apa sebenarnya. Bukankah kau harus meminta ijin dariku." kata Danil sedikit lembut.

"Apapun pekerjaanku, bukan urusanmu mas. Bukankah selama ini kau tak pernah peduli padaku. Mau aku jadi pembantu atau kuli bangunan apa itu penting bagimu, mas. Yang penting aku mendapat gaji yang halal, tanpa harus mendengar hinaan dari mulut keluargamu. Dan untuk ijin, untuk apa aku meminta ijinmu. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk bekerja, jadi itu artinya aku sudah mendapatkan ijin darimu secara tidak langsung."

Danil terdiam,entah apa yang di pikirkannya saat ini. Rheta sudah berubah. Istrinya yang biasanya penurut sudah berubah. Padahal tadi pagi dia masih terlihat seperti biasanya.

" Kalu sudah tidak ada yang mau kau katakan aku matikan telponnya. Assalamu'alaikum" Rheta ,mematikan panggilan telponnya sepihak tanpa mendengar balasan salam dari Danil.

Entah apa yang dipikirkan Rheta saat ini, dia merasa lega karena bisa menyampaikan semua beban yang selama ini mengganjal dihatinya. Dia sudah merasa sangat lelah mengahadapi semua ini. Hanya Vano yang membuatnya bertahan sampai saat ini,tapi sampai kapan?

" Bu..." panggil Vano yang dari tadi mendengarkan ibunya yang sedang berbicara dengan ayahnya.

Rheta menoleh ke arah pintu, dilihatnya Vano sedang bersandar di pintu.

"Ada apa nak?" tanya Rheta lembut.

" Apa ibu bertengkar lagi dengan ayah?"

Deg. Apa Vano mendengar dia bertengkar lagi?

"Tidak, tadi ayah hanya menayakan besok ibu kerja di mana."

"Apa ayah memarahi ibu lagi?"

"Tidak nak, kenapa?"

"Kalau ayah terus memarahi ibu, sebaiknya kita pergi jauh dari ayah, bu. Vano ga mau lihat ibu bersedih tiap hari. Vano sayang ibu, Vano ga mau lihat ibu nangis terus."

"Ibu ga pernah nangis kok, ibu kan kuat."

"Tadi pagi Vano lihat ibu menangis saat nyuci baju, sebenarnya Vano mau pipis,tapi saat Vano lihat ibu menangis, Vano balik lagi ke kamar. Vano sering lihat ibu menangis kalau ayah pulang. " ucap Vano jujur

"Deg... ternyata Vano sering melihatnya menangis selama ini. Ya Allah berdosanya akuu.... "

"Ga apa-apa sayang, kalau Vano sayang sama ibu. Ayo kita berjuang sama-sama Oke. "

"Iya, bu. Tapi kalau ibu sudah merasa capek berjuang, ibu bisa berhenti. Vano ga mau lihat ibu kelelahan. "

"Baiklah nak, asalkan Vano terus sama ibu Vano ga akan lelah. Sekarang ayo kita tidur. Besok Vano harus sekolah, dan ibu harus bekerja. "

Vano mengangguk dan membaringkan tubuhnya di sisi ibunya. Sungguh Rheta tidak menyangka jika Vano memitkiki pemikiran sedewasa ini.

"Apakah karena keadaan yang membuatnya dewasa lebih cepat? "

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status