MasukFhi terbangun dengan tubuh yang seakan diremukkan. Setiap sendi berdenyut, setiap helaan napas terasa berat. Samar-samar, telinganya menangkap suara lembut seorang wanita.
“Nona… nona, apakah sudah bangun?” suara itu bergetar, penuh kekhawatiran. Kelopak matanya bergerak, menyesuaikan cahaya redup dari lampu meja di kamar. Perlahan, pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang duduk di sisi ranjangnya. Wajah penuh garis halus, mata teduh namun resah. “Siapa… Anda?” suara Fhi lemah, hampir tak terdengar. Wanita itu tersenyum tipis, menyembunyikan kegugupannya. “Saya Bi Inah, asisten baru di rumah ini, nona.” Fhi mencoba mengangkat tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menyerang. Bi Inah cepat-cepat menopangnya. “Jangan dipaksakan. Nona perlu istirahat. Perlu saya panggilkan dokter, atau keluarga nona? Siapa yang bisa saya hubungi?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur begitu cepat, nyaris seperti rentetan peluru. Fhi menggeleng pelan. “Tidak… tidak usah, Bi. Saya hanya butuh istirahat.” Bi Inah menghela napas lega. “Baiklah kalau begitu.” “Bi…” Fhi menelan ludah, tenggorokannya kering, “boleh minta segelas air?” “Ya, tentu saja.” Tanpa ragu, Bi Inah berdiri, mengambil gelas di meja, lalu membantu Fhi minum. Ada sentuhan keibuan di setiap gerakannya, membuat hati Fhi yang remuk seakan disentuh hangatnya kasih sayang. … Dua hari berlalu, tubuh Fhi perlahan pulih meski luka-luka yang ia sembunyikan masih jelas di balik pakaian. Pagi itu ia duduk di depan meja rias, mengenakan seragam kerjanya, riasan tipis menutupi memar yang masih samar. Saat melewati dapur, ia melihat Bi Inah sibuk menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang memenuhi udara. “Nona, bagaimana kondisi anda hari ini? Sudah membaik?” tanya Bi Inah sambil menoleh. Fhi mengangguk, tersenyum. “Sudah, Bi. Hari ini saya kembali bekerja.” “Kalau begitu, tunggu sebentar. Saya buatkan sarapan agar tenaga nona tidak habis di kantor.” Wajah Bi Inah memancarkan kekhawatiran tulus. Fhi hanya bisa membalas dengan senyum kecil. Dua hari bersama Bi Inah membuatnya merasakan perhatian seorang ibu. Di kantor, suasana riuh rendah terdengar sejak ia melangkah masuk. Beberapa rekan kerja menyapanya, tapi Fhi hanya mengangguk seadanya. Tubuhnya masih lemah, namun ia paksakan tersenyum. “Fhiii!” suara nyaring memecah udara. Lysaa, sahabat sekaligus koleganya, berlari kecil mendekat lalu memeluknya erat. “Aku kangen banget sama kamu!” Fhi mengernyit, mendorong pelan. “Jangan berlebihan. Nanti mereka gosip kita punya hubungan terlarang.” Lysaa tergelak keras. “Hahaha, mereka gila kalau mikir begitu.” Fhi akhirnya ikut tertawa kecil. Kehadiran Lysaa selalu menjadi oase di tengah padang gurun kehidupannya. “Oh iya, Fhi,” Lysaa mendekat, menurunkan suaranya, “kamu tahu nggak? Kita punya bos baru.” Fhi berhenti melangkah. “Bos baru? Bukannya Pak Andrew masih menjabat?” “Pak Andrew pensiun mendadak, dua hari lalu digantikan seseorang. Katanya lebih muda, tegas, dan… agak misterius.” Lysaa mengedip nakal. Fhi mengerutkan kening. “Misterius? Siapa namanya?” “Kamu kan sekretaris bos, jadi nanti bakal ketemu langsung. Aku cuma dengar namanya, tapi biar jadi kejutan.” Fhi hanya bisa menahan rasa ingin tahunya. Kemudian Fhi dan Lysaa menuju cafe yang ada di dalam kantor. “Ayo cerita dong, gimana pengantin barunya?” goda Lysaa sambil menyeruput kopi. Fhi hanya tersenyum pahit, menutupi luka di hatinya dengan tawa tipis. “Biasa saja.” “Biasa saja? Ayolah, Fhi. Kamu ini terlalu jaga rahasia.” Fhi memilih diam. Tidak ada yang bisa ia ceritakan. Tentang pernikahan tanpa cinta. Tentang malam-malam penuh air mata. Tentang luka di balik lengan bajunya. Semua itu hanya akan membuatnya tampak lebih rapuh. … Fhi kembali ke ruang kerjanya. Ia menatap cermin kecil di mejanya, merapikan rambut dan meratakan bedak yang menutupi lebam di pipinya. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Lalu, suara langkah terdengar. Tegas. Mantap. Perlahan, ia mengangkat kepala. Pandangan matanya membeku, di hadapannya berdiri seorang pria yang cukup familiar dimatanya. “Selamat siang, Nona Fhilia,” ucap pria itu dengan suara rendah yang nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.Pagi ini, Fhi bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya mengintip dari balik jendela. Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambut, mencuci muka, dan memakai parfum lembut beraroma bunga apel. Ada sesuatu yang berbeda di hatinya seperti ada harapan kecil yang ia takutkan akan patah, tapi tetap ia genggam erat.Saat berjalan melewati pintu kamar Reiga, langkahnya tertahan.“Fhilia.”Suara itu. Dalam, tenang, dan… dekat.Fhi menoleh cepat. Pintu kamar Reiga terbuka sedikit, dan lelaki itu berdiri di sana dengan kemeja kerja tetapi dasi masih terurai.“Ya, ada apa?”Reiga mendekat, menyodorkan dasinya. “Bantu pasangkan.”Hati Fhi mencelos. “A aku? Tapi...”“Cepat, aku terlambat.” Nada suaranya tenang, namun ada kehangatan samar yang tak pernah Fhi dengar sebelumnya.Dengan tangan sedikit gemetar, Fhi mendekat. Jarak mereka hanya sejengkal. Ia bisa merasakan hangat napas Reiga, sementara jemarinya perlahan melingkarkan dasi di bawah kerah kemeja. Detak jantungnya
CHAPTER 20 – Tiba-Tiba BerubahYang menakutkan bukan ketika seseorang membencimu… tapi ketika seseorang yang semula acuh tiba-tiba berubah, seolah-olah tengah menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih gelap.....Sudah satu minggu. Satu minggu Reiga menghilang dari rumah, tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa penjelasan setelah malam yang menyedihkan itu. Fhi mulai belajar menerima sunyi, bahkan hampir percaya bahwa Reiga tak akan kembali.Namun pagi ini, langkahnya terhenti begitu ia melihat sosok itu.Reiga.Ia duduk santai di meja makan, bersandar tenang di kursi, membaca sesuatu di dalam tabletnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Tidak ada raut canggung. Tidak ada pembicaraan soal malam itu. Tidak ada penjelasan atas kepergiannya.Hanya… Reiga. Dingin, tenang, dan tiba-tiba ada.“Selamat pagi, Tuan…” Bi Inah berkata pelan, mencoba mencairkan suasana.Reiga tidak menatap siapa pun saat berbicara. “Buatkan aku sarapan.”“Baik, Tuan,” jawab Bi Inah cepat.Reiga menutup t
Kadang, luka paling dalam bukan berasal dari kata-kata kasar atau perlakuan menyakitkan… tetapi dari orang yang memilih untuk lupa saat kita mengingat segalanya...Pintu kamar terbanting keras.“Masuk,” suara Reiga dingin, tapi tergesa. Ia menggenggam pergelangan tangan Fhi, menyeretnya masuk seolah takut ada yang melihat percakapan mereka.Fhi terkejut, namun tidak melawan. Di balik matanya yang sembab, hanya ada satu tanya,apa dia benar-benar tidak mengingat apa pun?“Jelaskan,” suara Reiga bergetar, menahan marah atau takut? “Apa yang… terjadi kemarin malam?”Fhi menatapnya, sayu. “Kau benar-benar tidak ingat apapun?.”Reiga mengernyit. “Aku… aku hanya ingat kita bicara sebentar. Kau menangis. Setelah itu ...”“Setelah itu kau memperkosaku Reiga.” Fhi menarik napas berat. “Lalu kau ...”Wajah Reiga mengeras. Ia menggeleng pelan ingatan samarnya apakah benar terjadi. “Aku? tidak mungkin.”“Kau menyakitiku Reiga,” Fhi memotong, suaranya bergetar. Keheningan turun seketika.Reiga te
Fhilia terbangun dengan napas berat. Cahaya matahari yang menembus tirai jendela terasa terlalu terang untuk matanya yang bengkak. Tenggorokannya kering, seolah semalaman ia menangis tanpa suara. Untuk sesaat, ia berharap kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk. Tapi nyeri yang merambat dari tubuh hingga dadanya membuyarkan harapan itu."Kenapa aku masih di sini? Kenapa aku masih hidup setelah semalam?"Fhi mengusap wajahnya, merasakan gurat perih di pipi bekas tamparan yang ia tutupi dengan bedak tipis. Sakitnya bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati, yang kini sepi, dingin, dan hancur.Namun waktu tidak menunggu luka untuk sembuh.Hari ini ia harus bekerja bersama Louis di perusahaan, berdiri seolah hidupnya baik-baik saja.Pelan, ia bangkit, meraih kemeja kerja, dan menata rambut panjangnya dengan tangan gemetar.Tangga rumah terasa lebih panjang dari biasanya. Aroma wangi masakan pagi menyambutnya padahal ini masih terlalu pagi.“Bi Inah… saya yang masak saja,” ucap Fhi pelan, meng
Hingar-bingar lampu klub malam menari liar di dinding, seakan ikut menertawakan kebodohan Reiga malam itu. Musik berdentum keras, memenuhi setiap rongga kepalanya yang sudah terlalu lama bergema oleh nama yang sama, Fhilia.Di kanan-kirinya, dua wanita berpakaian minim tertawa genit, menggoda dengan tawa palsu yang membuatnya muak.Ia meneguk alkohol lagi dan lagi, berharap rasa panas di tenggorokan bisa membakar habis bara yang menyiksa dadanya.“Sialan kau, Fhilia,” gumamnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar di tengah bising musik.“Bahkan wanita yang aku cintai… pergi juga karena kau.”Ia menghantam meja, membu
Entah harus berapa lama lagi Fhi menahan perasaan tidak nyaman ini.Setiap pagi terasa sama duduk di meja kerja yang dingin, menyapa rekan-rekan dengan senyum tipis yang hambar, karena perusahanan tempat kerjanya kali ini harus bekerja sama dengan perusahaan suaminya. Suami yang hanya sebuah status di atas kertas, Reiga.Hanya mendengar namanya saja sudah cukup membuatnya tidak bersemangat.“Hari ini kita akan lihat lokasi proyek kerja sama dengan Angkasa Group,” ucap Fhi pelan, nada suaranya datar. Ia mencoba terdengar profesional, meski hatinya terasa seperti diikat simpul yang kencang.Louis yang duduk di seberangnya menatap wajah Fhi yang tampak pucat.“Kalau kamu tidak nyaman, aku bisa lihat sendiri saja Fhi,” ujarnya lembut. “Aku tahu… ada sesuatu tidak nyaman diantara kalian.”Fhi menatap layar laptop-nya, pura-pura sibuk membaca data.“Tidak apa-apa. Aku akan ikut. Aku ingin tetap profesional.”Walaupun kata “profesional” itu terasa getir di lidahnya, ia menelannya tanpa banya







