Home / Romansa / Aku Tidak Bisa Membencimu / CHAPTER 6 : WAJAH YANG TAK TERDUGA

Share

CHAPTER 6 : WAJAH YANG TAK TERDUGA

Author: Nay
last update Last Updated: 2025-07-07 23:42:01

Fhi terbangun dengan tubuh yang seakan diremukkan. Setiap sendi berdenyut, setiap helaan napas terasa berat. Samar-samar, telinganya menangkap suara lembut seorang wanita.

“Nona… nona, apakah sudah bangun?” suara itu bergetar, penuh kekhawatiran.

Kelopak matanya bergerak, menyesuaikan cahaya redup dari lampu meja di kamar. Perlahan, pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang duduk di sisi ranjangnya. Wajah penuh garis halus, mata teduh namun resah.

“Siapa… Anda?” suara Fhi lemah, hampir tak terdengar.

Wanita itu tersenyum tipis, menyembunyikan kegugupannya. “Saya Bi Inah, asisten baru di rumah ini, nona.”

Fhi mencoba mengangkat tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menyerang. Bi Inah cepat-cepat menopangnya.

“Jangan dipaksakan. Nona perlu istirahat. Perlu saya panggilkan dokter, atau keluarga nona? Siapa yang bisa saya hubungi?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur begitu cepat, nyaris seperti rentetan peluru.

Fhi menggeleng pelan. “Tidak… tidak usah, Bi. Saya hanya butuh istirahat.”

Bi Inah menghela napas lega. “Baiklah kalau begitu.”

“Bi…” Fhi menelan ludah, tenggorokannya kering, “boleh minta segelas air?”

“Ya, tentu saja.” Tanpa ragu, Bi Inah berdiri, mengambil gelas di meja, lalu membantu Fhi minum. Ada sentuhan keibuan di setiap gerakannya, membuat hati Fhi yang remuk seakan disentuh hangatnya kasih sayang.

Dua hari berlalu, tubuh Fhi perlahan pulih meski luka-luka yang ia sembunyikan masih jelas di balik pakaian. Pagi itu ia duduk di depan meja rias, mengenakan seragam kerjanya, riasan tipis menutupi memar yang masih samar.

Saat melewati dapur, ia melihat Bi Inah sibuk menyiapkan sarapan. Aroma tumisan bawang memenuhi udara.

“Nona, bagaimana kondisi anda hari ini? Sudah membaik?” tanya Bi Inah sambil menoleh.

Fhi mengangguk, tersenyum. “Sudah, Bi. Hari ini saya kembali bekerja.”

“Kalau begitu, tunggu sebentar. Saya buatkan sarapan agar tenaga nona tidak habis di kantor.” Wajah Bi Inah memancarkan kekhawatiran tulus.

Fhi hanya bisa membalas dengan senyum kecil. Dua hari bersama Bi Inah membuatnya merasakan perhatian seorang ibu.

Di kantor, suasana riuh rendah terdengar sejak ia melangkah masuk. Beberapa rekan kerja menyapanya, tapi Fhi hanya mengangguk seadanya. Tubuhnya masih lemah, namun ia paksakan tersenyum.

“Fhiii!” suara nyaring memecah udara. Lysaa, sahabat sekaligus koleganya, berlari kecil mendekat lalu memeluknya erat.

“Aku kangen banget sama kamu!”

Fhi mengernyit, mendorong pelan. “Jangan berlebihan. Nanti mereka gosip kita punya hubungan terlarang.”

Lysaa tergelak keras. “Hahaha, mereka gila kalau mikir begitu.”

Fhi akhirnya ikut tertawa kecil. Kehadiran Lysaa selalu menjadi oase di tengah padang gurun kehidupannya.

“Oh iya, Fhi,” Lysaa mendekat, menurunkan suaranya, “kamu tahu nggak? Kita punya bos baru.”

Fhi berhenti melangkah. “Bos baru? Bukannya Pak Andrew masih menjabat?”

“Pak Andrew pensiun mendadak, dua hari lalu digantikan seseorang. Katanya lebih muda, tegas, dan… agak misterius.” Lysaa mengedip nakal.

Fhi mengerutkan kening. “Misterius? Siapa namanya?”

“Kamu kan sekretaris bos, jadi nanti bakal ketemu langsung. Aku cuma dengar namanya, tapi biar jadi kejutan.”

Fhi hanya bisa menahan rasa ingin tahunya.

Kemudian Fhi dan Lysaa menuju cafe yang ada di dalam kantor.

“Ayo cerita dong, gimana pengantin barunya?” goda Lysaa sambil menyeruput kopi.

Fhi hanya tersenyum pahit, menutupi luka di hatinya dengan tawa tipis. “Biasa saja.”

“Biasa saja? Ayolah, Fhi. Kamu ini terlalu jaga rahasia.”

Fhi memilih diam. Tidak ada yang bisa ia ceritakan. Tentang pernikahan tanpa cinta. Tentang malam-malam penuh air mata. Tentang luka di balik lengan bajunya. Semua itu hanya akan membuatnya tampak lebih rapuh.

Fhi kembali ke ruang kerjanya. Ia menatap cermin kecil di mejanya, merapikan rambut dan meratakan bedak yang menutupi lebam di pipinya. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.

Lalu, suara langkah terdengar. Tegas. Mantap.

Perlahan, ia mengangkat kepala. Pandangan matanya membeku, di hadapannya berdiri seorang pria yang cukup familiar dimatanya.

“Selamat siang, Nona Fhilia,” ucap pria itu dengan suara rendah yang nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tidak Bisa Membencimu   CHAPTER 8 : JEJAK YANG TAK PERNAH HILANG

    Pagi itu, Fhilia menatap pantulan wajahnya di cermin. Makeup tipis menutupi lelah di wajahnya, tapi tidak mampu meredam keruwetan dalam pikirannya, yang terus berputar dengan memikirkan sifat dingin Reiga. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Bi Inah muncul dengan senyum hangat, membawa segelas susu hangat.“Nona, jangan berangkat kerja dengan perut kosong. Minumlah dulu.”Fhilia tersenyum kecil. “Terima kasih, Bi. Rasanya seperti punya ibu lain di rumah asing ini.”Bi Inah menepuk bahunya lembut. “Kalau begitu, anggap saja saya memang ibumu. Dan ibu selalu ingin anaknya kuat.”Hati Fhilia menghangat, tapi sekaligus pedih. Ia butuh pelukan seperti itu, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Reiga....Kantor terasa sedikit berbeda pagi ini. Beberapa karyawan masih membicarakan bos baru yang penuh wibawa, sementara Fhilia sibuk menata berkas di meja kerjanya.“Selamat pagi, Fhi.”Suara itu kembali membuatnya terhenti. Louis berdiri di depan pintu dengan senyum khasnya senyum yang

  • Aku Tidak Bisa Membencimu   CHAPTER 7 : PERTEMUAN YANG MENGGUNCANG

    “Louis.” Nama itu lolos begitu saja dari bibir Fhi, seolah waktu berhenti sesaat. Pria di hadapannya tersenyum tipis, tatapannya hangat seperti dulu. “Halo, Fhilia. Aku bos barumu mulai hari ini.” Jantung Fhi berdebar kencang. Dunia benar-benar berputar aneh, mempertemukannya kembali dengan seseorang di masa lalu nya yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Sepersekian detik kemudian, bibir Fhi melengkung, menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum hangatnya, ia mengulurkan tangan. “Lama tidak berjumpa, Tuan Louis.” Louis menyambut uluran tangan itu dengan hangat. “Lama tidak berjumpa, Fhilia.” Suaranya sama seperti dulu tenang, penuh keakraban yang menenangkan. … Jam dinding berdetak. Hari bergulir pelan, namun ruang kerja mereka penuh dengan kesibukan. “Jadi sekarang kau sekretarisku,” ujar Louis di sela-sela menandatangani berkas. “Tentu saja. Karena bosku sebelumnya, Pak Andrew, sudah kamu gantikan,” jawab Fhi sambil menahan nada suaranya tetap profesional.

  • Aku Tidak Bisa Membencimu   CHAPTER 6 : WAJAH YANG TAK TERDUGA

    Fhi terbangun dengan tubuh yang seakan diremukkan. Setiap sendi berdenyut, setiap helaan napas terasa berat. Samar-samar, telinganya menangkap suara lembut seorang wanita. “Nona… nona, apakah sudah bangun?” suara itu bergetar, penuh kekhawatiran. Kelopak matanya bergerak, menyesuaikan cahaya redup dari lampu meja di kamar. Perlahan, pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang duduk di sisi ranjangnya. Wajah penuh garis halus, mata teduh namun resah. “Siapa… Anda?” suara Fhi lemah, hampir tak terdengar. Wanita itu tersenyum tipis, menyembunyikan kegugupannya. “Saya Bi Inah, asisten baru di rumah ini, nona.” Fhi mencoba mengangkat tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menyerang. Bi Inah cepat-cepat menopangnya. “Jangan dipaksakan. Nona perlu istirahat. Perlu saya panggilkan dokter, atau keluarga nona? Siapa yang bisa saya hubungi?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur begitu cepat, nyaris seperti rentetan peluru. Fhi menggeleng pelan. “Tidak… tidak usah, Bi. Saya hanya

  • Aku Tidak Bisa Membencimu   CHAPTER 5 : KEKEJAMAN REIGA

    Rumah itu tak lagi terasa seperti rumah. Bagi Fhilia, setiap dinding kini menjelma penjara, setiap jendela hanya menghadirkan bayangan luka. Sejak pengakuan pahit itu, Reiga tidak ragu mengajak wanita itu tinggal bersama. Mereka menempati kamar utama, berbagi ruang dan rahasia, sementara Fhi terasing di kamar sebelah sendiri, terjaga tiap malam oleh tawa lembut dari seberang dinding. Di meja makan, usaha Fhi menata piring dan menyajikan masakan selalu kandas. “Reiga, aku sudah masak setidaknya coba sedikit,” ucapnya suatu malam, suaranya pelan penuh harap. Pria itu bahkan tidak menoleh. “Aku sudah makan di luar,” dan piring yang ia siapkan tetap utuh, dingin, tak tersentuh. Setiap rutinitas yang Fhi jalani menyapu, menyiram tanaman, menata buku tak lebih dari upaya sia-sia untuk merawat hatinya yang retak. Komentar dingin Reiga dan jarak yang disengaja membuat kesabarannya tergerus. Perlahan, bara kecil berubah menjadi api yang sulit dikendalikan. Suatu sore, langkah mere

  • Aku Tidak Bisa Membencimu   CHAPTER 4 : WANITA YANG DICINTAI REIGA

    Fhilia berdiri kaku di ruang tamu, tubuhnya bergetar seperti daun diterpa angin. Matanya membeku pada pemandangan di depannya. Reiga, suaminya, berdiri begitu dekat dengan seorang wanita asing yang kecantikannya nyaris tak masuk akal. Gaun sederhana yang ia kenakan justru menonjolkan keanggunannya, rambut hitam panjangnya jatuh sempurna, dan matanya berkilat seperti menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca Reiga. “Dia wanita yang aku cintai,” suara Reiga terdengar dingin, jelas, menusuk telinga Fhilia hingga membuat lututnya nyaris lemas. Wanita itu terkejut, matanya melebar, menatap Reiga dengan ekspresi campuran antara terkejut dan ngeri. Ia tak menyangka pria itu akan mengucapkan kalimat setegas itu di hadapan seorang istri yang sah. Fhilia mengepalkan tangan hingga jemarinya memutih. Ia mencoba keras menahan air mata agar tidak jatuh.“Kau tidak pernah bilang kalau sudah memiliki wanita yang kau cintai,” ucapnya lirih, suaranya bergetar, nyaris pecah. Reiga menatapnya d

  • Aku Tidak Bisa Membencimu   CHAPTER 3 : SIAPA WANITA ITU?

    Reiga Calister duduk dalam diam. Wajahnya menegang, tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Ia menolak perjalanan bulan madu ini sejak awal, tapi tekanan dari Mama Naya membuatnya tak punya pilihan. Ia tahu benar harapan di balik hadiah kelas bisnis super. Sejak tadi Reiga hanya menunduk menatap ponselnya, raut wajahnya terlihat cemas. “Reiga, kamu baik-baik saja?” tanyanya hati-hati. “...Hm.” Jawaban singkat itu bahkan tanpa menoleh.Hati Fhi mencubit pelan. Ia menghela napas, lalu menenangkan dirinya sendiri. Daripada tenggelam dalam sepi yang mencekik, ia berusaha menikmati hidangan mewah di hadapannya. “Wah, ini enak sekali,” gumamnya pelan sambil tersenyum, meski tahu senyum itu hanya untuk dirinya sendiri. Makanan memang selalu menjadi pelipur lara terbaik baginya. Setelah mendarat di pulau tropis yang romantis, Reiga langsung memesan taksi menuju hotel. Tanpa basa-basi ia duduk di kursi depan, meninggalkan Fhi sendiri di kursi belakang. Sopir hanya melirik sekila

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status