“Dia adalah cinta pertamaku. Tapi baginya aku hanya beban perjodohan.” Fhilia menikahi pria yang diam-diam selalu ia rindukan. Reiga, cinta pertamanya. Namun, pernikahan impian itu segera berubah jadi neraka. Reiga menolak kehadirannya sejak awal. Di antara dinginnya perlakuan, ancaman, dan luka batin yang terus menggores, Fhi hanya berpegang pada harapan bahwa cinta bisa tumbuh, luka bisa sembuh, dan suatu hari Reiga akan menoleh padanya. Sebuah kisah tentang cinta, luka, dan keberanian seorang perempuan untuk bertahan di tengah badai hati.
View MoreFhilia berdiri di depan restoran, menatap ibunya yang sudah menunggu dengan wajah cemas.
“Sayang, kenapa kamu terlambat?” tegur ibunya, meski nada khawatir lebih dominan dari pada marah. Fhi tersenyum, menggenggam lengan ibunya dengan manja. “Maaf, Mah. Aku terjebak meeting mendadak. Aku sudah lari sekuat tenaga ke sini.” Mama hanya menghela napas, lalu mengajaknya masuk. “Sudah, ayo cepat. Sahabat Mama dan Reiga sudah menunggu dari tadi.” Langkah Fhi melambat, jantungnya berdebar tak karuan. Hari ini bukan hari biasa. Hari ini bisa jadi awal dari kehidupannya yang baru atau awal dari kehancurannya. Begitu pintu ruang VIP dibuka, matanya langsung menangkap sosok itu. Seorang pria dengan setelan jas hitam, duduk tegak, rahangnya tegas, sorot matanya tajam sekaligus tenang. Reiga. Cinta pertamanya. Dada Fhi seketika hangat. Ia tak pernah menyangka takdir akan mempertemukan mereka lagi. “Cantik sekali kamu sekarang,” sapa Mama Naya hangat, sahabat lama ibunya, sambil merangkul Fhi. Papa Alex menyambut ramah, percakapan pun mengalir tentang masa lalu, kecelakaan yang pernah menimpa Fhi, dan syukur karena ia bisa sehat kembali. Semua orang tampak hangat kecuali Reiga. Pria itu hanya duduk diam, tatapannya dingin, wajahnya tanpa ekspresi. “Kenapa dia tidak berkata apa-apa? Apa dia keberatan dengan semua ini?” batin Fhi resah. Makan malam berlangsung penuh tawa. Fhi ikut tersenyum, meski pikirannya terus melayang pada Reiga. Hingga akhirnya, Mama Naya menegakkan tubuhnya dan membuka percakapan inti. “Baiklah, mari kita bicarakan hal penting. Tentang pernikahan yang sudah lama kita nantikan.” Papa Alex menambahkan, “Sebaiknya kita laksanakan dalam satu bulan.” Glek. Fhi tersedak air minum. Gelas bergetar di tangannya, air terciprat ke gaun satin biru laut yang ia kenakan. Ia buru-buru pamit ke toilet. Di depan cermin, ia menunduk, menatap noda di gaunnya. “Dasar ceroboh,” desisnya, berusaha menghapusnya dengan tisu. Tapi bukan noda itu yang membuat dadanya sesak melainkan tatapan dingin Reiga yang terus terbayang. Tatapan pria yang selama ini ia cintai, tapi seolah tak pernah benar-benar melihatnya. Saat keluar, langkahnya terhenti. Di lorong, bersandar santai dengan jas hitam yang rapi, berdiri Reiga. Sorot matanya menusuk, dingin, seolah sedang menghakimi. “R Re Reiga,” suara Fhi terbata. Pria itu tidak menunggu. “Batalkan pernikahan ini.” Dunia Fhi serasa berhenti. “Apa?” suaranya nyaris tak keluar. “Aku tidak ingin menikah denganmu. ” Kata-kata itu meremukkan seluruh harapan yang ia peluk bertahun-tahun. Fhi ingin menyangkal, tapi suara Reiga menekan lebih keras, penuh amarah. Ia menahan bahunya di dinding, mendekat begitu dekat hingga napas mereka hampir bersentuhan. “Kalau kau tidak membatalkannya, aku akan membuat hidupmu sengsara. Sampai kau sendiri tidak ingin hidup lagi.” Fhi membeku. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar. Tapi di balik rasa takut, ada keberanian kecil yang tumbuh. Ia menatap balik, air matanya berkilat tapi suaranya stabil. “Kalau kau ingin membuatku sengsara silakan! Aku ingin lihat sejauh mana kau mampu.” Untuk sesaat, sorot mata Reiga berubah, seperti ada kilatan emosi lain di balik amarahnya. Tapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Malam itu, di meja makan, semua orang kembali berbincang soal tanggal pernikahan, seolah tak ada yang terjadi. Hanya Fhi yang tahu kebenarannya, ia baru saja menerima ancaman dari pria yang paling dicintainya. Seperti bermain perjudian dunia, pernikahan tersebut apakah akan seperti yang Fhi harapkan, penuh bahagia atau akhir dari kehidupan Fhi?Pagi itu, Fhilia menatap pantulan wajahnya di cermin. Makeup tipis menutupi lelah di wajahnya, tapi tidak mampu meredam keruwetan dalam pikirannya, yang terus berputar dengan memikirkan sifat dingin Reiga. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Bi Inah muncul dengan senyum hangat, membawa segelas susu hangat.“Nona, jangan berangkat kerja dengan perut kosong. Minumlah dulu.”Fhilia tersenyum kecil. “Terima kasih, Bi. Rasanya seperti punya ibu lain di rumah asing ini.”Bi Inah menepuk bahunya lembut. “Kalau begitu, anggap saja saya memang ibumu. Dan ibu selalu ingin anaknya kuat.”Hati Fhilia menghangat, tapi sekaligus pedih. Ia butuh pelukan seperti itu, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Reiga....Kantor terasa sedikit berbeda pagi ini. Beberapa karyawan masih membicarakan bos baru yang penuh wibawa, sementara Fhilia sibuk menata berkas di meja kerjanya.“Selamat pagi, Fhi.”Suara itu kembali membuatnya terhenti. Louis berdiri di depan pintu dengan senyum khasnya senyum yang
“Louis.” Nama itu lolos begitu saja dari bibir Fhi, seolah waktu berhenti sesaat. Pria di hadapannya tersenyum tipis, tatapannya hangat seperti dulu. “Halo, Fhilia. Aku bos barumu mulai hari ini.” Jantung Fhi berdebar kencang. Dunia benar-benar berputar aneh, mempertemukannya kembali dengan seseorang di masa lalu nya yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Sepersekian detik kemudian, bibir Fhi melengkung, menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum hangatnya, ia mengulurkan tangan. “Lama tidak berjumpa, Tuan Louis.” Louis menyambut uluran tangan itu dengan hangat. “Lama tidak berjumpa, Fhilia.” Suaranya sama seperti dulu tenang, penuh keakraban yang menenangkan. … Jam dinding berdetak. Hari bergulir pelan, namun ruang kerja mereka penuh dengan kesibukan. “Jadi sekarang kau sekretarisku,” ujar Louis di sela-sela menandatangani berkas. “Tentu saja. Karena bosku sebelumnya, Pak Andrew, sudah kamu gantikan,” jawab Fhi sambil menahan nada suaranya tetap profesional.
Fhi terbangun dengan tubuh yang seakan diremukkan. Setiap sendi berdenyut, setiap helaan napas terasa berat. Samar-samar, telinganya menangkap suara lembut seorang wanita. “Nona… nona, apakah sudah bangun?” suara itu bergetar, penuh kekhawatiran. Kelopak matanya bergerak, menyesuaikan cahaya redup dari lampu meja di kamar. Perlahan, pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang duduk di sisi ranjangnya. Wajah penuh garis halus, mata teduh namun resah. “Siapa… Anda?” suara Fhi lemah, hampir tak terdengar. Wanita itu tersenyum tipis, menyembunyikan kegugupannya. “Saya Bi Inah, asisten baru di rumah ini, nona.” Fhi mencoba mengangkat tubuhnya, tapi rasa sakit langsung menyerang. Bi Inah cepat-cepat menopangnya. “Jangan dipaksakan. Nona perlu istirahat. Perlu saya panggilkan dokter, atau keluarga nona? Siapa yang bisa saya hubungi?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur begitu cepat, nyaris seperti rentetan peluru. Fhi menggeleng pelan. “Tidak… tidak usah, Bi. Saya hanya
Rumah itu tak lagi terasa seperti rumah. Bagi Fhilia, setiap dinding kini menjelma penjara, setiap jendela hanya menghadirkan bayangan luka. Sejak pengakuan pahit itu, Reiga tidak ragu mengajak wanita itu tinggal bersama. Mereka menempati kamar utama, berbagi ruang dan rahasia, sementara Fhi terasing di kamar sebelah sendiri, terjaga tiap malam oleh tawa lembut dari seberang dinding. Di meja makan, usaha Fhi menata piring dan menyajikan masakan selalu kandas. “Reiga, aku sudah masak setidaknya coba sedikit,” ucapnya suatu malam, suaranya pelan penuh harap. Pria itu bahkan tidak menoleh. “Aku sudah makan di luar,” dan piring yang ia siapkan tetap utuh, dingin, tak tersentuh. Setiap rutinitas yang Fhi jalani menyapu, menyiram tanaman, menata buku tak lebih dari upaya sia-sia untuk merawat hatinya yang retak. Komentar dingin Reiga dan jarak yang disengaja membuat kesabarannya tergerus. Perlahan, bara kecil berubah menjadi api yang sulit dikendalikan. Suatu sore, langkah mere
Fhilia berdiri kaku di ruang tamu, tubuhnya bergetar seperti daun diterpa angin. Matanya membeku pada pemandangan di depannya. Reiga, suaminya, berdiri begitu dekat dengan seorang wanita asing yang kecantikannya nyaris tak masuk akal. Gaun sederhana yang ia kenakan justru menonjolkan keanggunannya, rambut hitam panjangnya jatuh sempurna, dan matanya berkilat seperti menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca Reiga. “Dia wanita yang aku cintai,” suara Reiga terdengar dingin, jelas, menusuk telinga Fhilia hingga membuat lututnya nyaris lemas. Wanita itu terkejut, matanya melebar, menatap Reiga dengan ekspresi campuran antara terkejut dan ngeri. Ia tak menyangka pria itu akan mengucapkan kalimat setegas itu di hadapan seorang istri yang sah. Fhilia mengepalkan tangan hingga jemarinya memutih. Ia mencoba keras menahan air mata agar tidak jatuh.“Kau tidak pernah bilang kalau sudah memiliki wanita yang kau cintai,” ucapnya lirih, suaranya bergetar, nyaris pecah. Reiga menatapnya d
Reiga Calister duduk dalam diam. Wajahnya menegang, tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Ia menolak perjalanan bulan madu ini sejak awal, tapi tekanan dari Mama Naya membuatnya tak punya pilihan. Ia tahu benar harapan di balik hadiah kelas bisnis super. Sejak tadi Reiga hanya menunduk menatap ponselnya, raut wajahnya terlihat cemas. “Reiga, kamu baik-baik saja?” tanyanya hati-hati. “...Hm.” Jawaban singkat itu bahkan tanpa menoleh.Hati Fhi mencubit pelan. Ia menghela napas, lalu menenangkan dirinya sendiri. Daripada tenggelam dalam sepi yang mencekik, ia berusaha menikmati hidangan mewah di hadapannya. “Wah, ini enak sekali,” gumamnya pelan sambil tersenyum, meski tahu senyum itu hanya untuk dirinya sendiri. Makanan memang selalu menjadi pelipur lara terbaik baginya. Setelah mendarat di pulau tropis yang romantis, Reiga langsung memesan taksi menuju hotel. Tanpa basa-basi ia duduk di kursi depan, meninggalkan Fhi sendiri di kursi belakang. Sopir hanya melirik sekila
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments