Netra Naya seakan enggan sekali memejam, dilihatnya jam di atas nangkas sudah menunjukan pukul dua malam.
Naya bangkit dari pembaringan, dilangkahkan kakinya menuju balkon. Dia duduk di kursi memandang gelapnya malam. Angin berhembus menerpa wajahnya, dingin terasa menusuk tulangnya.
Naya termenung terngiang ucapan Melisa tentang ibu mertuanya. Tidak dia sangka mertuanya tega kepadanya, kurang apa Naya sebagai menantu. Tak pernah dia melawan apapun ucapan Ratih. Jika Ratih meminta sesuatu pun Naya akan selalu mengabulkannya tanpa mengeluh sedikit pun.
Awal Naya menikah dengan Hanan, Ratih sangat baik padanya, tapi semua berubah setelah Naya tak kunjung juga hamil. Ratih berubah tidak menyukainya, bahkan Ratih sering sekali memaki ataupun menghina Naya.
Udara dingin semakin menusuk, Naya memutuskan masuk kembali ke kamar. Dia berbaring di pembaringan, mencoba memejamkan matanya walaupun sulit.
Adzan Subuh kembali membangunkan Naya, hanya satu jam dia memejamkan mata membuat kepalanya terasa berat.
Dia bangkit dari pembaringan, langkahnya berat menuju kamar mandi. Naya mengguyur badannya agar sedikit segar, setelah selesai dia bergegas melaksanakan ibadah wajib setelah mengambil wudhu.
***
Tok ... tok.
Naya mendengar suara pintu diketuk, dia beranjak membuka pintu."Assalamu'alaikum sayang, kenapa lama sekali membuka pintunya?" Hanan muncul di balik pintu dan berusaha memeluk Naya.
"Jangan sentuh aku Mas, jangan!" Naya mengangkat tangan, melangkah mundur mencoba menghindar dari pelukan Hanan.
"Kenapa sayang? Apakah kamu tidak merindukan Mas?" tanya Hanan dengan muka tanpa dosa.
Benar-benar tidak tahu malu, setelah menghianati Naya, datang dengan percaya diri, di mana pikirannya?
"Mas pura-pura lupa atau memang benar-benar lupa, Mas?" tanya Naya malas sembari memutar bola matanya.
"Akan Mas jelaskan semua sayang, biarkan Mas memelukmu, Mas rindu." Hanan beranjak mendekati Naya kembali.
Naya menepis tangan Hanan, "Jangan sentuh aku sebelum Mas jelaskan semuanya padaku!" tegasnya.
"Baiklah, kita masuk dulu sayang. Tidak enak bicara sambil berdiri seperti ini," jawab Hanan mencoba membujuk Naya.
Naya melangkah menuju ruang tamu diikuti Hanan, dia duduk berseberangan dengan Hanan. Tak dihiraukan tatapan sendu Hanan padanya.
"Bicaralah Mas, hanya satu kesempatan kuberikan padamu untuk menjelaskan, jangan menyianyiakannya." Naya pun mencoba memberi Hanan kesempatan menjelaskan.
"Satu bulan yang lalu Ibu melamar Melisa tanpa sepengetahuanku, aku tak mengetahui apapun rencana Ibu." Hanan mulai bercerita.
***
"Bu, apa maksud Ibu melamar Melisa? Aku sudah menikah Bu, aku tidak mau menghianati Naya!" Hanan geram dengan Ibunya.
"Ibu cuma mau cucu Han, Ibu ingin kamu segera memiliki keturunan, kalau Naya bisa memberikannya, Ibu tidak akan menyuruhmu menikah lagi."
"Aku mengerti Bu, tapi bagaimana bisa aku menghianati Naya Bu? Aku sangat mencintainya. Aku tidak mau menduakan Naya," tegas Hanan.
"Istri kamu mandul Han, dia tidak bisa memberikan Ibu cucu, mau tidak mau kamu harus menikahi Melisa. Ibu tidak akan mengakui kamu anak kalau kamu tidak mau menikahi Melisa!" teriak Ratih pada Hanan.
Hanan mengusap wajahnya kasar, dia bimbang antara ibunya dan istrinya mana yang dia pilih. Di antara dua wanita itu terlalu berat jika harus memilih.
"Ijinkan Hanan berfikir Bu dan aku juga harus meminta ijin Naya untuk menikah lagi," jawab Hanan frustasi, dia bingung harus bagaimana.
"Sudahlah jangan banyak berfikir, suami menikah lagi tak harus dapat ijin dari istri pertamanya. Ibu akan tentukan tanggal pernikahannya, kamu hanya perlu menuruti semua kata-kata Ibu," ucap Ratih berlalu meninggalkan Hanan dalam kebimbangan.
Pikiran Hanan benar-benar buntu, dia tidak bisa melawan ibunya. Di satu sisi dia sangat menghormati ibunya, di sisi lain dia juga sangat mencintai Naya, dia tidak bisa kehilangan Naya.
"Aku tak bisa Bu, aku tak bisa kehilangan Naya, dia hidupku, nyawaku. Aku tak bisa hidup tanpanya," lirih Hanan mengusap air matanya bercucuran.
***
Naya mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah mendengarkan cerita Hanan. Tega sekali mertuanya padanya. Kebaikannya selama ini tak pernah dianggap oleh mertuanya itu.
"Maafkan Mas yang tidak bisa melawan Ibu," lirih Hanan, netranya mulai berkaca-kaca.
"Jadi Mas menerima begitu saja perintah Ibu?" tanya Naya tak habis pikir dengan sang suami.
"Maaf sayang, Ibu hanya ingin cucu, mengertilah keinginan Ibu, sayang," jawab Hanan menunduk menatap lantai.
"Bagian mana lagi yang harus kumengerti, Mas? Aku juga ingin memiliki anak, aku juga ingin dipanggil ibu, istri mana yang tak ingin memberikan keturunan untuk suaminya, Mas? Jika kita belum diberi keturunan apakah itu salahku, Mas? Apa semua aku yang salah?" Air mata Naya seketika luruh tak mampu menahan sesak di dadanya.
Hanan berdiri mendekati Naya mencoba memeluknya kembali. "Berhenti di situ Mas, jangan menyentuhku!" pekik Naya.
"Kenapa sayang? Kenapa Mas tidak boleh memelukmu?" tanya Hanan dengan suara pilu.
"Aku tanya Mas, apakah kamu sudah menyentuh wanita itu?" tanya Naya dingin.
Hanan tersentak dengan pertanyaan Naya, dia diam mematung, tak bisa menjawab pertanyaan Naya. Dalam hati dia takut untuk berkata jujur pada Naya.
"Diammu menunjukkan kamu sudah menyentuhnya, Mas," lirih Naya, lukanya semakin menganga. Air matanya bahkan tak berhenti mengalir.
"Hanya kamu yang Mas cintai sayang, di hati Mas cuma ada kamu, percayalah." Hanan tergugu, melangkah mencoba kembali memeluk istrinya itu.
Naya semakin benci dengan Hanan, dia jijik dengan Hanan. Dia jijik jika membayangkan suaminya menyentuh wanita lain.
"Jangan sentuh aku, Mas! Aku tidak sudi disentuh olehmu, bekas wanita lain, sungguh menjijikkan!" teriak Naya mencoba menepis kasar pelukan Hanan.
Air mata Hanan semakin deras karena penolakan dari istri yang sangat dicintainya, bahunya merosot merasakan kesedihan.
"Jangan seperti ini sayang, Mas minta maaf menyakitimu." Hanan memohon pada Naya, dia berlutut di depan Naya, mencoba meraih jemarinya. Tapi Naya menepis tangan Hanan kasar.
"Pergilah Mas, biarkan aku sendiri." Air mata Naya tak bisa dibendung lagi, sakit di dadanya, sesak, perih hatinya tak terkira.
"Mas ingin sama kamu sayang, jangan menyuruh Mas untuk pergi dan menjauh darimu."
"Aku bilang pergi Mas!" Naya mengusir Hanan, dia sudah muak melihat Hanan.
"Pergi ...!" Naya berteriak, meninggikan suaranya.
Hanan nampak terkejut dengan teriakan sang istri Karena selama mereka menikah Naya tidak pernah berbicara keras padanya sekalipun.
Akhirnya Hanan pun berjalan gontai menuju pintu, dia menoleh menatap sang istri dengan pandangan sedih. Sedang Naya enggan sekali menatap kepergian Hanan.
Selang beberapa menit deru mobil terdengar, Hanan pergi meninggalkan Naya seorang diri. Air mata Naya pun luruh, dia menangis lagi, meratapi nasib rumah tangganya yang akan hancur.
Naya terbangun dan berlari menuju kamar mandi, dia merasakan perutnya bergejolak, mual ingin mengeluarkan isi di dalam perutnya, akan tetapi tak ada yang keluar saat dimuntahkan.Badannya terasa lemas tak bertenaga, dia mengingat kemarin hanya sempat sarapan sebelum Hanan datang, setelahnya tak dapat dia menelan apapun.Naya melangkah dengan lemas ke dapur dan membuat teh untuk menghangatkan perutnya. Setelah selesai dia menyesap teh hangat tersebut, dia sedikit lega mualnya berangsur berkurang.Malam semakin larut, ternyata dia tertidur setelah menangis sejak mengusir Hanan siang tadi. Matanya masih berat, ingin kembali memejam.Setelah mualnya mereda, Naya kembali ke kamar. Direbahkan kembali tubuhnya di ranjang, mungkin dengan beristirahat kembali mual yang dirasakannya akan menghilang dengan sendirinya.Namun menjelang Subuh mual yang dirasakannya semakin menjadi, bertambah lemas pula tubuhnya dan tak bertenaga. Naya pun memutuskan untuk
Hanan pulang dengan langkah gontai, setelah diusir oleh Naya. Hanan tahu kesalahannya tak bisa dimaafkan, tapi Hanan masih sangat mencintai Naya. Dia tidak mau kehilangan Naya apapun yang terjadi.Baktinya kepada Ratih sang Ibu membawa luka mendalam pada Naya, Hanan bingung harus bagaimana meminta maaf pada Naya.Hanan pun tahu semenjak dahulu Ibunya tak begitu suka pada istrinya itu, tapi Hanan tidak bisa meninggalkan Naya. Nayalah wanita pilihan Hanan, dia tidak ingin rumah tangganya dengan Naya berakhir.Dering ponsel Hanan menyadarkannya dari lamunan, dilihatnya ponsel tersebut. Lidahnya berdecak kala melihat siapa yang telah menelfonnya. Ternyata panggilan telfon tersebut dari Melisa. Hanan pun menjawab panggilan tersebut dengan malas."Assalamu'alaikum Melisa, ada apa?""Wa'alaikum salam Mas, kapan Mas pulang?" tanya Melisa dari ujung telfon."Aku belum tahu, aku sedang ingin sendiri," jawab Hanan sedikit jengah dengan pertanyaan Melis
Hanan terbangun setelah mendengar panggilan Ratih, dia beranjak turun dari pembaringan menuju pintu, dilihatnya sang ibu sedang resah di samping pintu."Ada apa, Bu?" tanya Hanan."Apakah Melisa ada di dalam kamar, Han?" Ratih balik bertanya tak menjawab pertanyaan Hanan."Tidak, Bu." Hanan mengernyitkan kening. Dia langsung tertidur begitu Melisa meninggalkannya. Tubuhnya yang lelah tidak memikirkan kepergian Melisa dari kamarnya."Kamu tahu Melisa pergi ke mana? Sudah larut malam dia belum juga pulang," tanya Ratih dengan gelisah."Aku tidak tahu, Bu. Aku baru saja tertidur tadi. Apakah Melisa tidak memberitahu Ibu dia pergi kemana?" jawab Hanan."Melisa tidak memberitahu Ibu akan pergi kemana, Ibu pikir dia hanya pergi ke supermarket sebentar, tapi hingga sekarang dia belum kembali. Cepat hubungi dia, Ibu takut Melisa kenapa-napa," desak Ratih mulai khawatir dengan Melisa."Baiklah, Bu." Hanan kembali masuk ke kamar mengambil ponselnya. Dicarinya nomer kontak Melisa, dan ditekannya
Semenjak mengetahui kehamilannya, Naya berusaha melupakan pengkhianatan Hanan padanya. Dia memutuskan harus kuat menghadapi masalah apapun demi calon bayinya.Naya kembali memulai aktivitasnya. Dia mencoba keluar dari keterpurukannya, bangkit dari rasa sakitnya, karena sekarang dia tidak hidup untuk dirinya sendiri ada calon bayi yang dikandungnya.Untungnya kehamilan Naya tidak banyak merepotkan, setelah pulang dari rumah sakit Naya tidak pernah mual lagi. Hanya porsi makannya saja yang semakin bertambah. Badannya pun menjadi semakin berisi sekarang.Naya selalu rutin cek kandungan untuk melihat perkembangan janinnya. Terkadang ada rasa sedih di hatinya saat melihat pasangan yang sedang mengantri memeriksakan kandungan istrinya. Ada sedikit rasa iri dihatinya melihat itu, dia juga sangat ingin memberitahu Hanan tentang kehamilannya.Dulu terbayang bagaimana bahagia harinya jika di kehamilannya yang pertama Naya akan selalu dimanja oleh Hanan. Dan setiap pergi untuk memeriksakan kandu
Tak terasa sudah hampir dua minggu sejak Naya mengusir Hanan, akan tapi Hanan tidak berusaha menemui Naya kembali. Naya berpikir mungkin Hanan sudah tidak ingin mempertahankannya lagi sekarang.Bukan Naya merindukan Hanan, tapi terkadang ada rasa ingin melihat sang suami, mungkin itu juga pengaruh dari kehamilannya. Naya tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak merindukan Hanan.Pesan masih sering dikirimkan oleh Hanan, tapi tak satu pun Naya membalasnya. Dia tak terlalu memikirkan kenapa sang suami tak kunjung menemuinya, dalam pikirannya entah hati Hanan sudah sepenuhnya dimiliki oleh Melisa atau belum.Cinta bisa datang karena terbiasa bersama, Naya tak mau menyalahkan Hanan jika memang dia sudah mencintai Melisa. Mungkin memang sudah takdir pernikahannya seperti ini.Naya mencoba ikhlas melepaskan beban di hatinya, dia cukup fokus pada kehamilannya saja sekarang.Hari cukup cerah saat Naya menunggu Dinda menjemputnya, karena sekarang Dinda yang selalu menjemput dan mengantarnya p
"Bu, ada yang ingin bertemu dengan Ibu." Dinda memasuki ruang kerja Naya setelah mengetuk pintu."Siapa, Din?" Naya mengernyitkan kening heran, siapa yang ingin bertemu dengannya."Seorang wanita yang tadi duduk di belakang Ibu," jawab Dinda."Melisa?" gumam Naya heran kenapa Melisa ingin bertemu dengannya. Apa lagi yang Melisa inginkan darinya, Naya benar-benar malas bertemu dengan Melisa lagi. Dari tadi Naya sudah menahan diri mendengar obrolan Melisa dan temannya. Kini Naya tak yakin bisa menahan dirinya jika bertemu dengan Melisa lagi."Bu, bagaimana? Apa Ibu ingin menemuinya atau tidak?" Pertanyaan Dinda menyadarkan Naya dari lamunannya."Bilang saja aku sedang sibuk dan tidak bisa digangu ya, Din. Aku capek ingin istirahat sebentar." Naya pun memutuskan untuk tidak menemui Melisa untuk sekarang."Baik, Bu." Dinda beranjak menuju pintu."Tunggu, Din! Kalau dia tetap ingin bertemu, sampaikan padanya jangan menggangguku." "Baik Bu, saya permisi." Dinda pun berlalu menemui Melisa.
Mentari pagi telah menampakkan diri. Naya pun beranjak bangun dari tempat tidur. Setelah sholat Subuh tadi Naya kembali tertidur, dia sedikit merasa malas untuk bangun karena cuaca sedang dingin sekali.Jika tidak ingat dengan janjinya pada Melisa, tentu Naya lebih memilih bermalas-malasan di rumah. Sebelum memulai aktivitas Naya pun mandi terlebih dahulu. Selesai mandi dia bergegas untuk membuat sarapan, tenaganya harus terisi penuh jika harus bertemu dengan Hanan.Naya juga harus kuat untuk menghadapi Hanan, belum nanti jika ada ibu mertuanya di sana. Dia harus menyiapkan hati dengan ucapan Ratih yang menusuk hati.Selesai sarapan Naya mengambil ponsel, dicarinya kontak Dinda dan menelfonnya. Naya lupa belum memberitahu Dinda jika dia akan pergi untuk menjenguk Hanan."Assalamu'alaikum Bu," sapa Dinda begitu panggilan telfon tersambung."Wa'alaikum salam, Din. Maaf ganggu kamu pagi-pagi begini.""Tidak apa-apa, Bu. Kalau boleh tahu, ada apa Ibu menelfon saya pagi-pagi?" tanya Dind
Setelah membantu Hanan kembali berbaring di ranjang Naya berniat untuk pergi. Naya takut jika terlalu lama di dekat Hanan, dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi."Istirahatlah, Mas," ucap Naya pada Hanan yang sedang berbaring."Mas tidak mau, Mas masih ingin melihatmu, sayang. Nanti jika Mas tidur kamu akan pergi dari sisi Mas lagi," rengek Hanan."Jika Mas tidak istirahat bagaimana bisa sembuh?""Apakah jika Mas sudah sembuh, Mas boleh pulang ke rumah kita?" tanya Hanan berharap.Naya terdiam mendengar permintaan Hanan. Berat untuknya mengabulkan permohonan Hanan, luka hatinya masih menganga belum mengering sama sekali."Boleh, Mas," ucap Naya tidak tega melihat kondisi Hanan. Untuk sementara Naya pun mengikuti apa yang Hanan mau agar dia bisa cepat pergi."Terima kasih, sayang. Mas akan segera sembuh agar kita bisa cepat berkumpul kembali," ucap Hanan mulai memejamkan mata.Setelah Hanan tertidur Naya pun beranjak pergi. Dia melangkah menuju pintu, tapi betapa terkejutnya dia