Bab 32Benar, Randy memang memeluknya sepanjang malam, tapi besok pagi dia harus mendapat omelan dari Mutia. Janjinya tanggung jawab, tapi ternyata Randy tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela dirinya.Sania benar-benar geram. Dia memutuskan untuk tidak membuat sarapan pagi ini. Biarkan saja seisi rumah kelaparan. Dia langsung mandi dan bersiap untuk menuju rumah kontrakannya, karena tentu masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan."Biar aku sarapan di rumah kontrakan saja bersama dengan Aya dan Lia," gumam Sania setelah ia mengunci kamar dan melangkah keluar."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" tegur mama Asih. Wanita itu tengah duduk menghadap meja makan yang kosong."Aku mau pergi, Ma. Mama bikin sarapan sendiri ya," ujar Sania ringan seolah tanpa beban dan terus melangkah melewati ruang makan menuju ruang tamu."Bikin sarapan dulu, Sania. Jangan main pergi aja! Urus dulu suamimu!" teriak mama Asih yang kaget dengan respon Sania yang membangkang perintahnya. Wanita it
Bab 31Makan malam kali ini sangat tenang, tanpa drama seperti biasanya. Malam ini Mutia tidak protes, meski hanya ada ikan gurame goreng, sayur labu kuning dan tempe goreng Mereka nampak makan sangat lahap, meskipun hanya ada Sania, Randy, Mutia dan mama Asih. Malam ini Raka kembali absen. Pria itu memang datang dan pergi sesukanya. Akhir-akhir ini dia lebih sering menginap di apartemen ketimbang di rumah. Terkadang Sania berpikir, Raka tersinggung lantaran kini ia tidak lagi bergantung kepada Raka.Sania sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan, keuntungan dari rumah cateringnya. Rekening pribadinya kini mulai terisi dan terus menggendut saldonya."Sania," panggil Randy ketika Sania baru saja selesai mengemas meja makan."Akhir-akhir ini kamu selalu pulang sore, bahkan hampir malam. Sebenarnya kamu sibuk apa sih di luar sana?""Itu bukan urusanmu, Mas," sahut Sania datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya."Tapi Mas harus tahu, karena kesibukan kamu itu membuat ru
Bab 30Glek.Ucapan Sania langsung menohok. Dia memang tidak perlu berbasa-basi, mengatakan apa adanya. Bukankah seharusnya setiap tetes keringat yang sudah dikeluarkannya harus ada imbalannya? Bukan sekedar materi, tapi setidaknya mereka bisa memperlakukannya lebih manusiawi, bukan dianggap sebagai robot pekerja rumah tangga. Jujur dia sudah muak dengan semua ini. Tapi saat yang ia nantikan itu belum tiba. Dia hanya ingin bermain cantik.Mungkin beberapa bulan lagi dan itu tidak lama. Saatnya akan segera tiba."Sudah berani itung-itungan kamu ya?" Wanita paruh baya itu mendengus kasar."Mama aja itung-itungan denganku. Masa aku nggak boleh itung-itungan dengan Mama?" cetus Sania."Memangnya Mama pernah memberi uang lebih setiap kali menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan rumah? Padahal Mama sendiri tahu jika aku hampir nggak pernah dikasih uang jajan sama Mas Randy," sambungnya lagi."Sudah berani protes kamu ya? Sudah nggak betah lagi jadi istri anakku?!" Ancaman itu melunc
Bab 29"Shilla itu bukan anak kandung Azka. Azka belum menikah," beritahu Bu Rina seolah paham kegelisahan Sania."Maksudnya? Saya tidak mengerti." Otaknya langsung mencerna ucapan ibu Rina."Azka menemukan Shilla berada di dalam kardus tepat di depan pintu rumahnya. Kondisinya waktu itu sangat mengenaskan. Dia menangis lantaran kehausan dan kelaparan, dengan tali pusat yang belum terpotong. Azka memutuskan membawa Shilla ke rumah sakit, kemudian memilih mengadopsinya."Mulia sekali," komentar Sania seraya menatap kagum pria yang sejak tadi tetap saja memasang wajah datar.Tapi kenapa orang tua bayi itu malah meletakkan bayinya di depan rumah Azka? Pertanyaan itu hanya bisa Sania simpan dalam hati, karena ia tidak mau mencampuri urusan keluarga bu Rina. Sania membayangkan seperti novel-novel, jika bayi itu sebenarnya adalah anak kandung Azka dari seorang wanita yang tidak sengaja digaulinya. Namun Sania menepis pikiran itu. Dia melihat sosok yang meski selalu memasang wajah dingin d
Bab 28"Sania," panggil Raka setelah ia kembali menutup pintu kamar dan menguncinya. Raka tidak ingin jika ada orang yang memergoki dirinya ada di kamar ini. Untuk saat ini, terlalu berbahaya jika ada orang di rumah ini yang mengendus kedekatannya dengan Sania. Raka tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.Mata yang tengah terpejam itu kembali terbuka. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekat, meski dadanya bergetar hebat. Tubuh itu hanya di tutupi oleh selimut yang pasti di dalamnya Sania tidak mengenakan apapun. Raka menarik nafas, menekan keinginannya sebagai lelaki yang ingin menerkam Sania saat itu juga.Dia pria normal. Mendapati pemandangan seperti itu, rasanya akan sulit melewatkan begitu saja."Apakah rasanya sakit?" tanya Raka dengan lembut. Dia menempelkan telapak tangannya di dahi Sania. Dahi itu terasa agak panas. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Wajah cantik, tapi sedikit pucat."Dia memaksaku, tapi akhirnya aku menikmati juga." Bibirnya bergetar hebat.Nye
Bab 27"Please Mas, jangan mempersulitku seperti ini. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Mutia. Kamu sudah tahu resikonya, kan, jika kamu tetap berada di kamar ini?" ucap Sania dengan suaranya yang teramat lirih bernada membujuk.Dia sudah teramat lelah bertengkar dengan Mutia. Setiap kali Randy bermalam di kamarnya, pasti sepupu sekaligus adik madunya itu akan mengomel panjang pendek. Dan yang lebih mengesalkan, ibu mertuanya malah lebih membela Mutia.Sania tak mau rebutan giliran, hal yang akan membuat Randy besar kepala. Dia akan tetap jual mahal sembari menunggu saat itu tiba."Aku tidak peduli. Yang aku mau sekarang adalah kamu." Randy mengeratkan pelukannya, dia bahkan mencium secara brutal. Sania berontak. Dia tidak sudi disentuh oleh pria itu, meski ia sepenuhnya sadar jika Randy itu suaminya.Salah satu pengalaman terburuknya saat disentuh oleh Randy adalah mendapati dirinya dimaki-maki dan ditendang oleh Mutia lantaran dianggap sebagai perebut jadwal gilirannya, padahal Mu