Dia istri yang tak dianggap. Hanya karena belum bisa melahirkan keturunan, Sania dipaksa harus merelakan suaminya untuk menikah dengan perempuan lain, yang mirisnya perempuan itu adalah sepupunya sendiri. Namun Sania tak menyerah. Dia ingin membuktikan kepada semua orang jika bukan dia yang tak mampu memberikan keturunan, tapi suaminya sendiri yang mandul. Mohon dukungannya ya, pamirsa. Terima kasih.
View MoreBab 1
"Cepat tanda tangan, Sania! Kita sudah tidak punya banyak waktu. Tuh lihat, penghulu sudah datang dan menunggu tanda tangan dari kamu," desak ibu mertuanya. Mata wanita paruh baya itu melotot. Ekspresi wajahnya demikian bengis.Sania menelan ludah menatap nanar lembaran kertas itu. Benda yang seharusnya tidak perlu berada di hadapannya, karena selamanya dia tidak akan menyetujui pernikahan kedua suaminya.
Tak ada seorangpun wanita yang mau dimadu, apapun alasannya.
Namun kenyataannya ia kalah suara. Sebesar apapun penolakannya, tetap saja pernikahan Randy dan Mutia harus terjadi. Dan kini tanda tangannya sedang dibutuhkan sebagai tanda persetujuannya sebagai istri pertama.
"Ayo cepat! Akad nikah akan segera dimulai," timpal Nuri. Dia malah mengambil pulpen dan meletakkannya ke telapak tangan Sania. "Kamu harus tanda tangan. Kalau kamu nggak mau tanda tangan, maka Kakak akan minta Randy untuk menceraikanmu sekarang juga!"
"Iya nih, jadi istri kok nggak berguna banget. Sudah nggak bisa ngasih anak, malah nggak mengizinkan suaminya nikah lagi. Jangan serakah kamu, Sania. Keluarga kami butuh keturunan!" Wanita paruh baya itu beringsut, merapatkan tubuhnya pada Sania sehingga lututnya kini menyentuh lutut wanita muda itu.
"Anak itu adalah titipan Allah, Ma, bukan kita yang atur. Aku juga pengen punya anak, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin memang belum waktunya. Aku sudah melakukan segala cara supaya mendapatkan momongan."
"Justru itu, Sania. Salah satu cara mendapatkan anak adalah membiarkan suami kamu menikah lagi! Harus berapa kali Mama bilang itu kepadamu." Ibu mertuanya mendengus.
Padahal posisi tubuh mereka saling merapat tetapi tetap saja wanita paruh baya itu berbicara dengan sangat keras sehingga kalimat yang meluncur dari mulut ibu mertuanya terasa memekakkan di telinga Sania
"Nanti kalau Randy dan Mutia punya anak, artinya kamu juga akan punya anak. Kamu akan ikut merawat bayi itu. Toh kamu juga yang senang, kan? Makanya jadi perempuan itu jangan serakah. Biarkan saja suamimu nikah lagi. Lagi pula, Mutia itu saudara sepupumu, kan? Jadi kamu sudah sangat mengenalnya!" Bujukan sang ibu mertua lebih bernada memaksa.
"Please, Ma. Jangan paksa aku...."
"Stop, Sania! Jangan berdebat. Ini adalah acara akad nikah dan kamu nggak bisa menolak lagi. Tapi acara ini nggak bisa dimulai kalau kamu nggak mau tanda tangan. Tolong, jangan mengacaukan acara ini dan membuat malu seluruh keluarga. Ayo, cepat tanda tangan!"
Sania tidak punya pilihan kecuali membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Setelah itu, Asih, ibu mertuanya dan Nuri, kakak iparnya segera kembali ke ruangan depan tempat acara akad nikah itu berlangsung dengan membawa surat itu.
Sania menghembuskan nafas berat ketika kedua perempuan itu sudah menjauh darinya. Butiran bening jatuh membasahi pipinya, tak bisa ia cegah.
Tak ada seorang wanita pun rela dimadu, meski Sania tahu kekurangannya. Lima tahun pernikahannya dengan Randy, namun ia tidak kunjung hamil. Sudah berulang kali kontrol ke dokter. Dia pun melakukan semua saran dari dokter, tetapi sampai saat ini usahanya belum juga membuahkan hasil. Dia belum juga hamil.
Sania meraba perutnya yang masih rata tatkala lamat-lamat telinganya mendengar suara suaminya melafalkan akad untuk seorang perempuan bernama Mutia Artamevia.
Mutia itu adik sepupunya. Ayah Mutia adalah saudara ibunya. Kini adik sepupunya resmi menjadi adik madunya.
Rasanya separuh nyawanya hilang, tetapi Sania tidak bisa berbuat apa-apa.
Randy sudah berjanji untuk bersikap adil, meski sebenarnya Sania tidak yakin.
Mungkin jika wanita lain akan langsung meminta cerai saat suaminya memutuskan untuk menikah lagi, tetapi tidak bagi Sania. Dia ingin membuktikan kepada keluarga ini bahwa dia tidak mandul.
"Aku tidak mandul, Mas!" Berulang kali Sania mesugesti dirinya sendiri supaya kuat dalam menerima pernikahan kedua suaminya. Hati kecilnya mengatakan bahwa pernikahan ini akan menjadi taruhan untuk membuktikan siapa sebenarnya yang bermasalah. Sania atau Randy.
Jika akhirnya Mutia tidak kunjung hamil juga, maka bisa dipastikan Randy lah yang bermasalah.
"Kuat, Sania! Kuat! Biarlah waktu yang akan membuktikan jika aku sebenarnya tidak mandul." Wanita muda itu menggumam.
Dia sudah memeriksakan dirinya berulang kali ke dokter. Tidak ada masalah pada kandungannya. Dia wanita yang subur. Mungkin hanya waktu saja atau jangan-jangan suaminya yang justru mandul?
Sania menggigit bibirnya tatkala teringat bahwa suaminya selalu menolak untuk diajak periksa ke dokter. Suaminya selalu melimpahkan kesalahan kepadanya yang menyebabkan mereka sampai saat ini tidak juga diberi keturunan.
Randy selalu yakin bahwa dia sangat subur.
Sania sudah pernah mengucapkan kemungkinan itu kepada ibu mertuanya, tetapi hanya hinaan dan cercaan yang Sania dapatkan.
Bukankah seorang ibu akan selalu membela anaknya?
Sania menggigit bibirnya, berusaha untuk menahan tangis. Sania tidak ingin suara isakannya terdengar, apalagi di luar sana orang-orang nampak bersorak-sorai.
Memang, akad nikah ini tidak mengundang banyak orang, hanya beberapa anggota keluarga saja bahkan dari keluarga Mutia, hanya ada ibu dan pamannya. Namun kemeriahan itu tanpa begitu terasa.
Atau jangan-jangan dirinya yang terlalu sensitif, terlalu meratapi nasib?
"Sabar, Nak. Sabar. Setidaknya adik madu kamu bukan orang lain. Dia sepupumu. Jikalau mereka nanti memiliki anak, maka itu akan menjadi anakmu juga, sekaligus keponakanmu." Sebuah tepukan lembut dan terasa hangat mampir di pundak Sania yang membuat seketika wanita muda itu menoleh.
"Paman...."
Sania mengambil tisu dan menghapus sisa air matanya.
"Paman mengerti perasaan kamu, tapi Paman tidak punya pilihan, kecuali menikahkan Mutia dengan suamimu. Apalagi selama ini mereka sudah begitu dekat. Mutia tinggal dalam satu rumah dengan kalian dan bekerja dalam satu perusahaan pula dengan Randy. Paman sangat khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Saudara ibunya yang bernama Dimas itu nampak menelan ludah sebelum memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya.
"Lagi pula suamimu sangat menginginkan keturunan. Jadi apa salahnya jika kita coba saja? Kamu akan tetap menjadi istri pertama Randy. Selamanya istri pertama itu lebih unggul," bujuk pria setengah baya itu yang kini duduk di hadapan Sania.
Namun hanya senyum getir yang Sania tunjukkan.
"Aku tidak yakin, Paman. Mutia itu lebih cantik dan muda dariku. Pasti ujung-ujungnya Mas Randy akan lebih cenderung kepada Mutia. Tapi ya, kita lihat saja bagaimana nanti."
***
Hari sudah berangsur siang. Keriuhan yang terjadi di ruang depan tampaknya sudah mulai surut. Tamu-tamu sudah meninggalkan rumah itu dan kini hanya menyisakan keluarga inti saja.
Sania akhirnya memasuki ruang depan. Matanya nanar memindai sekeliling ruangan, ruangan yang di hias indah untuk keperluan acara yang barusan selesai itu. Meski masih terbilang sederhana, tetapi tetap saja hatinya tersayat.
Dia sudah dimadu!
Tak pernah terbayang dibenaknya jika rumah tangganya akan dicederai oleh kehadiran perempuan lain sebagai adik madu.
Sania mengusap wajahnya dengan kasar, lantaran merasakan basah di telapak tangannya.
Ya Tuhan, dia menangis lagi.
Tak ingin larut dalam kesedihannya, dia mulai mengumpulkan piring-piring kotor dan perangkat makan yang lainnya, kemudian membawanya ke tempat pencucian piring di belakang rumah. Tidak ada yang membantunya, padahal ia harus bolak-balik dari ruang makan ke belakang rumah untuk membawa perangkat makan yang sudah digunakan itu.
Hanya Sania sendiri yang menyelesaikan pekerjaan ini. Dia memang terbiasa mengerjakan segala sesuatunya di rumah ini.
"Sania," panggil ibu mertuanya
Wanita itu menoleh. Dia menghentikan sejenak kegiatannya menyabuni tumpukan piring kotor di hadapannya.
"Ya, Ma. Ada apa?"
"Tinggalkan saja dulu pekerjaanmu. Kembalilah ke kamar dan segera kemasi barang-barangmu...."
"Barang-barangku?" sela Sania. Dadanya seketika berdegup dengan tubuh yang mulai terasa lemas. Pikiran buruk mulai berseliweran dibenaknya. Sania menatap Ibu mertuanya dengan intens, berusaha mengalami isi otak wanita baya itu.
Apakah ibu mertuanya akan mengusirnya, setelah semua pengorbanan yang ia lakukan untuk keluarga ini?
Bab 39"Mau ke toko kosmetik, Tante. Barusan kan aku beres-beres kamar. Nah, ternyata skincare ku nggak ada, hilang gitu. Nggak tahu tuh siapa yang ngambil." Sania menyebut tanpa tedeng aling-aling.Percuma juga beralasan ini itu, toh pada kenyataannya beberapa produk perawatan wajahnya hilang dan kemungkinan diambil oleh tante Wina."Kamu nuduh Tante yang udah ngambil skincare kamu?! Sok kegayaan pakai skincare segala. Percuma, Sania. Kamu pikir skincare murahan kamu itu bisa membuat kamu lebih cantik daripada Mutia?! Nggak ngaruh sama perhatian Randy sekarang pada Mutia, apalagi mereka akan segera punya anak!" balas perempuan paruh baya itu. Bicaranya sedikit ngegas, meski bagi perempuan paruh baya itu biasa saja.Namun Sania melihat gerak-gerik perempuan itu, yang refleks memegang tas tangannya lebih erat.Tak salah lagi, pasti Tante Wina pelakunya. Hanya saja dia malas untuk membuktikan dengan cara menggeledah tas milik perempuan itu.Lebih baik beli yang baru, habis perkara."Aku
Bab 38"Kalau mau kalung juga, minta aja sama Mas Randy! Bilang sama dia, Tante! Aku nggak ikut-ikutan ya, karena bukan urusanku. Jadi jangan dilibatin aku. Apalagi sampai menyuruh aku untuk meminta kepada Mas Randy supaya membelikan kalung untuk Tante!" Perempuan itu menatap dua perempuan paruh baya itu bergantian."Ingat, yang menjadi istri kesayangan Mas Randy itu sekarang adalah Mutia. Kehadiranku udah nggak berarti bagi Mas Randy. Asal Tante tahu, sekarang aku bahkan sedang menimbang-nimbang untuk mengajukan perceraian!""Percaya diri sekali kamu, Sania. Mentang-mentang sekarang sudah punya tabungan sendiri, jadi berani minta cerai sama anakku begitu?!" dengus mama Asih. Dia masih memegang buku tabungan milik Sania. Sebenarnya dia iri karena Sania bisa mengumpulkan uang, bisa menabung, sementara dia tidak bisa. Memang, lebih dari separuh gaji Randy diberikan kepadanya, tetapi itu dialokasikan untuk memenuhi semua keperluan seisi rumah ini. "Ya jelas dong! Tapi sayangnya Mas Rand
Bab 37Perempuan itu hanya mengangguk. Tak ada tanggapan. Dia memilih cepat-cepat masuk ke dalam rumah.Tidak mungkin ia meladeni perempuan tetangga sebelah rumahnya. Dia tak bisa berbohong lagi. Kebohongan satu akan berujung pada kebohongan yang lain.Terlalu banyak dosanya. Pekerjaan pagi ini bisa di handle Aya dan Lia. Dia hanya kebagian membuat bumbu. Membuat bumbu memang pekerjaan yang harus ditangani sendiri, karena menyangkut rahasia dapurnya. Tidak ada orang yang bisa di percayai seratus persen, bukan?Setelah selesai membuat bumbu, Sania kembali ke kamarnya. Dia mulai menyusun bantal, melipat selimut, dan ya... Aroma Raka tertinggal di pembaringan ini. Dia mencium selimut itu, mencoba menghadirkan sosok Raka disini."Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada adik iparku sendiri?" Sania mengerang lirih. "Kenapa aku bisa luluh padanya? Bagaimana kalau orang-orang tahu hubungan kami?" Sania mengenang sapaaan tetangganya barusan. Mungkin hari ini masih aman, tapi entahlah kal
Bab 36"Aya!" pekik Sania. Matanya seketika melotot.Ingin rasanya memarahi dua gadis itu, tapi dia tidak sanggup. Aya dan Lia, dua kakak beradik itu benar-benar menggemaskan dan sangat disayanginya, namun sekaligus menyebalkan jika sudah seperti ini."Tenang, Kak. Ayo tarik nafas dulu." Lia memeluk Sania dari belakang. Dia baru saja selesai mencuci piring. Tangannya yang basah ikut membuat lengan Sania juga basah."Kami sayang Kakak. Kami hanya punya Kakak, dan kami ingin Kakak bahagia bagaimanapun caranya. Jangan marahin Aya ya, Kak," lirih Lia. Sementara saudaranya hanya menunduk takut."Tapi akibatnya itu membuat Raka bisa bebas keluar masuk rumah ini. Itu kesalahanmu, Aya!""Memangnya kenapa kalau Kak Raka bebas keluar masuk ke rumah ini? Dia bukan pencuri loh.""Siapa bilang dia bukan pencuri? Dia itu mencuri sesuatu yang ada di sini, Aya." Sania menunjuk dadanya. Suaranya serak. "Kamu paham maksud Kakak?""Itu hal yang wajar, Kak. Aku melihat Kak Raka itu orangnya baik. Dia say
Bab 35"Raka... kenapa nekat datang malam-malam begini?!"Sania sangat terkejut. Dia baru saja keluar dari kamar, tetapi Raka sudah muncul di ruang tamu. Artinya, pria itu sudah membuka pintu rumah lebih dulu, padahal Sania memastikan pintu rumah sudah terkunci dengan benar. Pria itu melepaskan helm dan jaketnya, sehingga yang tersisa kini hanya kaus ketat yang mencetak tubuh kekarnya serta celana panjang yang pas membalut bagian bawah tubuh Raka."Memang sudah niat, karena aku tahu kamu pasti akan menginap di rumah ini. Aku bahkan meminta Aya agar meletakkan kunci di luar rumah, di tempat yang sudah aku tentukan," ujarnya tanpa beban."Aya?" Sania langsung ternganga. Sampai sejauh itu dua asisten rumah catering-annya ini mendukung hubungannya dengan Raka. Ya Tuhan, ini sudah tidak benar. Dia sudah menasehati dua gadis itu, bahwa perbuatannya dengan Raka bukan hal baik untuk di tiru.Memberikan kunci cadangan untuk Raka sama artinya dengan mengundang harimau masuk ke dalam rumah in
Bab 34"Cie cie... romantis amat. Seperti dunia milik berdua, yang lainnya pada ngontrak, seperti kami ini," celetukan Lia disertai tawa kecil Aya."Kalian...." Mata Sania seketika melotot. Refleks dia memukul lengan pria itu, lalu beberapa detik kemudian dia menunduk. Malu sekali rasanya. Seharusnya mata dua gadis itu tak perlu ternoda oleh adegan tak pantas.Menyesal sekali. Dia merasa sudah mencontohkan hal yang terbaik pada dua gadis itu."Tidak apa-apa. Aya dan Lia bisa dipercaya, kan?" ujar pria itu terdengar sangat santai sembari menunjuk dua gadis yang masih tetap asyik dengan pekerjaannya."Aman, Kak. Kita semua bisa dipercaya, asalkan bayarannya cocok....""Dasar mata duitan!" sembur Sania. Wanita itu merasa semakin malu, malu tak terkira. Dan sekali lagi dia mencubit lengan Raka yang tetap dengan ekspresinya seolah tanpa dosa.Kenapa pria itu sangat percaya diri?Sania benar-benar tidak habis pikir."Setiap orang butuh duit. Itu pengalaman kami saat masih di jalanan." Tawa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments