Natasya bangkit dari kursinya. Kali ini, tidak ada lagi alasan untuk menghindar. Dia bahkan mulai lelah sendiri, karena terus menghindari ayahnya.
“Tentu saja aku terpaksa,” gumam Natasya yang hendak mengambil ponselnya, namun berubah pikiran.Dia sengaja meninggalkan ponselnya di atas meja, dan lantas bergegas pergi. Dia tahu, jika dia menolak untuk datang kali ini, maka ayahnya sendiri yang akan datang menjemput. Dan itu lebih buruk.Meski Natasya masih bisa berdebat dengan ayahnya, tetapi bertengkar di ruangannya adalah hal terburuk yang akan dia lakukan. Dia sama sekali tidak berniat untuk melakukan itu.“Kenapa dia yang membuat masalah, tapi aku yang ikut terseret?” ujar Natasya penasaran, sembari melirik ke arah ruangan Laura.Sepertinya, dia sengaja mengatakan itu, agar asisten ayahnya juga mendengar ucapannya. Bahkan hingga kini, Natasya tidak mengerti alasan mengapa ayahnya mengganggu dengan panggilan telepon, dan panggilan melaUdara siang itu menyelinap masuk lewat balkon besar. Tirai dibiarkan terbuka, dan matahari menyorot ke meja makan kecil yang kini dipenuhi hidangan sarapan. Dari balkon itu, hamparan halaman luas mansion Kenan terlihat jelas. Burung-burung beterbangan, sementara semilir angin membuat dedaunan bergoyang perlahan. Namun semua itu tidak berarti banyak bagi Natasya. Ia sibuk menahan kesal, menunduk pada piringnya, menghindari tatapan pria di depannya. Kenan, sebaliknya, tampak sangat menikmati momen itu. Dia duduk santai, sikutnya bertumpu di meja, dan matanya tidak lepas dari leher Natasya. Setiap kali perempuan itu bergerak, bekas merah di kulitnya semakin terlihat jelas. Kenan tersenyum miring, puas. “Babe, kamu sadar tidak? Kemeja putih itu sama sekali tidak menolongmu menyembunyikan tanda-tanda manis semalam.” ucap Kenan.Nadanya begitu santai, tapi tentu saja membuat Natasya kehilangan kesabaran. Natasya yang saat itu sed
Kenan masih tersenyum, namun akhirnya berjalan ke walk-in closet untuk mencari pakaian. Ia sudah melihat pakaian yang dikenakan Natasya, dan berniat mencari warna yang sama.Dia mencari kemeja putih dengan celana pendek senada. Meski sebenarnya dia tidak yakin apakah Natasya mengenakan celana pendek atau tidak.Kancing kemeja itu ia pasang rapi, namun sengaja membiarkan dua bagian atas terbuka, memperlihatkan sebagian kulit dadanya.“Memikirkannya saja membuatku gila sendiri,” ucap Kenan sembari tersenyum. Begitu dia selesai dengan pakaiannya, dia keluar dan kembali melirik ke arah Natasya, matanya langsung menyipit kecil. Kemeja putih longgar yang dikenakan istrinya itu jatuh indah di tubuhnya, meski dia masih belum bisa melihat celana yang Natasya kenakan. “Pasangan yang serasi,” gumam Kenan sambil tersenyum, tatapan matanya penuh arti. Natasya tidak menanggapi. Ia masih duduk di depan meja rias, sibuk merapikan r
Begitu pintu kamar mandi terbuka, Natasya langsung tertegun melihat Kenan berdiri tepat di depannya. Tubuh tinggi itu bersandar santai di dinding, dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. Rambutnya masih berantakan, namun tatapannya begitu lekat seolah menunggu sejak tadi.“Akhirnya,” ucap Kenan dengan nada ringan, tetapi mata itu jelas menyimpan sesuatu yang berbeda. Pandangannya menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki Natasya, yang kini hanya mengenakan handuk melilit tubuhnya. Kenan menelan ludah, nyaris terdengar jelas bagi Natasya.Natasya langsung mengangkat tangan, menahan tubuh Kenan agar tidak semakin mendekat. “Berhenti di sana,” ucap Natasya.Kenan mengerjap, seolah tidak percaya dengan penolakan terang-terangan itu. “Kamu mandi dulu sana.” kata Natasya lagi.Tapi tetap saja, Kenan masih tampak enggan pergi dari sana.“Babe, aku sudah menunggumu lama. Harusnya kamu mengajakku mandi bersama tadi. Jadi kita bisa menghemat waktu,” kata Kenan panjang.Kalimat itu a
Cahaya pagi menembus tirai, membentuk guratan keemasan di lantai marmer kamar itu. Udara di ruangan terasa hangat, namun seprai itu sudah tampak begitu kusut. Natasya membuka mata perlahan, menatap langit-langit yang asing, bukan langit-langit rumah yang biasa ia tempati, melainkan milik mansion mewah Kenan. Dia menatap ke arah jam yang terletak di atas nakas, dan mendapati sekarang sudah pukul sembilan pagi. “Berapa lama dia melakukannya semalam?” pikir Natasya. Dia terdiam beberapa saat, hingga menyadari bahwa mereka melakukannya selama tujuh jam tanpa henti. “Arggh, dia benar-benar buas,” batin Natasya. Dia menghela napas berat. Tubuhnya masih terasa lelah, sebagian karena malam yang panjang. Ia menoleh sedikit, dan di sebelahnya, Kenan masih terlelap. Rambutnya berantakan, napasnya teratur, dan satu tangannya memeluk Natasya dengan erat, seolah ingin memastikan ia tetap ada di sana. Natasya mengamati wajah itu beberapa detik. Ada ketenangan yang jarang ia lihat ketika Ken
Uap hangat memenuhi kamar mandi, tapi pikiran Natasya tetap jernih. Ia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Rambutnya mulai lepas dari sanggul, dan gaunnya sudah longgar di bagian atas.“Dia pasti berharap malam ini jadi awal segalanya,” gumam Natasya pelan, kali ini dengan nada dingin, bukan cemas. Tentu saja dia sudah bisa menebak isi pikiran Kenan.“Tapi kalau dia mengira aku akan langsung menuruti kemauannya, dia salah besar.” sambungnya lagi.Dia menatap ke belakang, ke arah pintu dengan sinis, seolah itu bisa langsung menembus ke arah Kenan.Natasya menarik napas panjang, lalu merapikan gaunnya agar tidak jatuh. Tatapannya tidak goyah sedikit pun.“Aku tidak menolak dia sebagai suami. Aku hanya tidak suka caranya. Selalu ingin buru-buru, selalu merasa bisa memutuskan segalanya sendiri. Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia harus belajar menghargai waktuku.” ucap Natasya panjang.Ia meraih handuk, lalu menekannya perlahan ke wajah. Uap air dan rasa lelah d
Beberapa menit berlalu dalam hening yang terasa panjang. Kenan akhirnya hanya bisa pasrah, sembari menggenggam tangan Natasya. “Babe, kita tidak pulang ke rumah yang biasa,” ucap Kenan tenang. “Aku ingin kita memulainya di tempat baru yang lebih baik,” jelas Kenan lagi. Kenan terus berbicara, karena dia tahu Natasya masih mendengarkan. Istrinya itu hanya tidak ingin berbicara banyak dengannya sekarang. Sama sekali tidak ada respons, selain suara napas teratur yang terdengar di pangkuan Kenan. Mobil itu terus melaju keluar dari pusat kota. Jalan mulai sepi, berganti deretan pepohonan tinggi. Hingga akhirnya, pagar besi hitam setinggi hampir tiga meter terbuka otomatis. Mereka memasuki halaman luas yang diterangi lampu taman. Di tengahnya berdiri sebuah mansion megah, bangunan bergaya klasik dengan pilar-pilar putih, lampu-lampu yang berpijar dengan mewah di malam hari, dan dinding kaca yang memantulkan cahaya hangat dari dalam. Karena mereka sudah tiba, Kenan akhirnya membangun