Satu jam kemudian setelah diperiksa oleh dokter, tubuh yang sejak tadi diam itu, mulai bergerak. Perlahan, Kenan membuka mata. Cahaya lampu mengganggu pandangannya, dan dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada.
Tangan kanannya terasa berat, dan kepalanya berdenyut pelan. Tapi yang membuatnya tercekat adalah suara lembut yang menyapa dari sisi ranjang. “Hei, kamu sudah bangun?” Itu suara Natasya. Pandangannya mengabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada wajahnya. Menyadari hal itu, Kenan menjadi tidak percaya. “Kamu di sini?” tanyanya, suaranya serak. Natasya mengangguk. Kenan berusaha duduk, tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Sebelum dia jatuh, tangan Natasya sudah lebih dulu menyangga punggungnya dan membantunya bersandar ke kepala ranjang. “Pelan-pelan saja,” ucap Natasya. Kenan terdiam sejenak. “Bagaimana bisa kamu di sini?”Brian dan Tuan Bara saling melirik. Seolah baru menyadari bahwa Dion belum tahu banyak soal gadis yang berhasil membolak-balikkan emosi adik kandungnya itu. Brian meneguk sisa tehnya, lalu duduk tegak. “Dia… putri bungsu Thomas.” jelas Brian. Dion mengerutkan alisnya. Nama itu tentu tidak asing. Dion bahkan juga mengenalinya. “Thomas Watson?” ulang Dion memastikan. Tuan Bara mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya. Dan dia juga adik Laura.” jawab kakeknya. Seketika, ekspresi Dion berubah. Ia kini mengerti. Semuanya perlahan tersambung di kepalanya. Sifat aneh Kenan akhir-akhir ini, ledakan amarah yang datang tanpa sebab, dan penolakan dari Natasya yang ternyata menyimpan lebih banyak alasan dari yang ia kira. Dia kembali bersandar di sofa, mencoba berpikir dengan lebih tenang. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku sejak awal?” ucap Dion.Jangankan memberitahu, mereka saja terkejut karena setelah berbicara panjang l
Tuan Bara mencoba menarik napas sebelum berbicara kembali. “Ada seorang wanita yang Kenan sukai. Kami memanggilnya ke sini, dan bahkan mengajaknya makan siang.” jelas Tuan Bara. Brian yang duduk di seberang, tampak setuju dengan ucapan ayahnya barusan. “Dan?” Dion menyilangkan kaki, matanya tidak lepas dari wajah ayah dan kakeknya. “Kami hanya ingin mengenalnya lebih baik. Anak itu… tampaknya punya tempat yang besar di hati adikmu,” jawab Brian pelan. Bara tertawa kecil. “Kamu harus lihat wajah Kenan waktu itu. Dia mengirimkan rekaman ciumannya dengan Natasya di lift. Seolah itu bukti tak terbantahkan bahwa mereka ditakdirkan bersama.” kata Bara. “Setidaknya itu yang Kenan pikirkan,” lanjutnya lagi, kali ini sembari tersenyum sendu, Fakta itu membuat Dion mengerutkan kening. Sepertinya, Kenan sudah banyak berubah sekarang. “Kenan… mengirimkan rekaman seperti itu?” tanya Dion memastikan. Bri
Tingkah laku Kenan yang semakin hari semakin memburuk itu, mulai disadari oleh kakak satu-satunya, Dion Leonardo. Dion memang sudah mencium sesuatu yang aneh sejak beberapa hari yang lalu, ketika ia menerima laporan dari kepala divisi keuangan tentang perilaku Kenan yang semakin sulit ditebak. Tapi pagi ini, kekacauan di kantor sudah terlalu ramai untuk diabaikan. Ruangannya hening saat seseorang mengetuk pintu. “Masuk!” ucap Dion mempersilakan. Ketika pintu itu terbuka, di sana muncul Rival. Dia adalah orang yang bisa memberikan informasi lengkap, yang ingin Dion ketahui kebenarannya. Rival melangkah masuk, ragu-ragu. Dion menatapnya tajam tapi tenang. Aura laki-laki dewasa yang terbiasa memimpin perusahaan multinasional tampak dalam setiap gesturnya. Sikapnya memang begitu mirip dengan Kenan, sebelum adiknya itu mulai kehilangan kendali seperti sekarang. Berbeda dengan Kenan yang impulsif dan berapi-api, Dion tampak begitu tenang, begitu penuh perhitungan. Dan hari ini,
Rival menyiapkan mental terlebih dulu, sembari menyiapkan kata-kata yang akan dia ucapkan untuk Kenan. Di sana, Tio masih berdiri, kaku, sementara wajahnya memerah. Bukan hanya malu, tapi juga takut. “Aku akan memastikan tidak ada kesalahan lagi kali ini,” ucap Rival pelan, mencoba menyela. Tidak ada balasan dari Kenan. Yang ada, hanya helaan napas kasar, seolah dia marah pada semua hal. Kenan duduk kembali di kursinya, mencoba menenangkan diri. Melihat itu, Rival beralih menatap ke arah Tio. “Tio, kamu bisa kembali bekerja sekarang. Tolong lakukan seperti yang dikatakan Tuan Kenan,” kata Rival. Tio menatap Kenan sebentar, lalu pada Rival, lalu mengangguk pelan sebagai jawaban. Setelahnya, dia buru-buru keluar tanpa suara. Begitu pintu tertutup, Kenan memijit pelipisnya kasar. “Orang-orang itu… apa mereka semua idiot? Setiap hari selalu saja ada kesalahan. Setiap dokumen, setiap angka, bahkan cara mereka bicara saja membuatku emosi.” ucap Kenan, mengeluarkan semua kekesalann
Sudah tiga hari berlalu, sejak pertemuan itu. Sejak Natasya duduk di hadapan ayah dan kakeknya, lalu dengan tenang mengatakan bahwa dia tidak berniat menikah dengan Kenan. Bahwa kedekatan mereka hanyalah karena Laura, bukan karena perasaan, apalagi karena cinta. Dan sejak hari itu pula, Kenan berusaha mengabaikan semuanya. Mengabaikan rasa sakit di dadanya, mengabaikan ingatan tentang malam ketika dia dan Natasya tidur di ranjang yang sama meski dipisahkan guling. Mengabaikan bagaimana tubuhnya masih mengingat aroma wangi dari rambut panjang Natasya, atau dinginnya suara perempuan itu ketika mengatakan, "Aku tidak mengatakan akan merawatmu sampai sembuh."“Mungkin, aku perlu waktu untuk berpikir rasional,” gumam Kenan.Hanya saja ketika Kenan mencoba untuk mengabaikan semuanya, ternyata, hal itu jauh lebih menyiksa daripada mengingatnya. Pagi ini, kantor terasa seperti ladang perang. Karyawan tidak berani menatap mata Kenan terlalu la
Begitu mobilnya berhenti di depan rumah, Natasya belum langsung turun. Jari-jarinya menggenggam kemudi, kaku. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya berada di tempat yang jauh, masih tertinggal di rumah keluarga Leonardo. Udara dalam mobil terasa sesak, padahal AC menyala. Bukan karena panas, tapi karena dadanya terasa penuh.Kenan. Namanya terus berputar di kepala.“Ahh, ternyata dia berasal dari keluarga lengkap, yang begitu ramah,” gumam Natasya.Setidaknya jika dia tidak bersama Natasya, masih ada keluarga yang akan terus berada di sisinya. Dia terus memikirkannya, bukan karena Natasya menyukainya, bukan karena ia memikirkan pria itu dengan perasaan yang sama. Tapi karena segalanya tentang Kenan begitu memaksa. Pria itu hadir seperti badai, mendesak masuk bahkan sebelum ia sempat menutup pintu. Tapi keluarganya… Keluarganya begitu hangat. Tuan Bara dan Tuan Brian tidak seperti yang ia bayangkan. Tida