Musik sudah berhenti sejak tadi, ketika Natasya melangkah pelan menuju pintu keluar. Dia sudah berpamitan pada Ayah dan Ibunya, tetapi mereka menyuruh untuk berpamitan pada Laura juga.
Itu sebabnya Natasya tidak langsung pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Natasya menghampiri pasangan pengantin yang bahkan sudah berdiri menjauh satu sama lain. “Dia pasti akan mulai mengomel lagi,” batin Natasya. Ia menunggu sejenak hingga Laura menoleh ke arahnya. Begitu tatapan mereka bertemu, Natasya langsung berbicara. Dia tidak ingin berlama-lama lagi di sana. “Aku pamit pulang, Laura,” ucap Natasya, suaranya tenang. Laura melirik cepat dari atas ke bawah, seolah menilai setiap detail penampilan Natasya. Senyumnya tidak benar-benar hangat, tetapi ia masih fokus pada Natasya. Dia merasa seperti pilihannya sudah tepat. Gaun itu tidak kurang bahan, atau begitu terbuka. Tapi entah kenapa“Beib!” Suara itu terdengar jelas, terlalu familiar, dan langsung memecah suasana hangat yang tadi menyelimuti percakapan Natasya dan Yulia. Tubuh Natasya kaku seketika. Ia nyaris membelalakkan matanya kalau saja dia tidak lebih dulu mengenali suara itu. Kenan. Dia benar-benar muncul di saat yang sama sekali tidak tepat. Langkah kaki pria itu cepat dan yakin. Sebelum Natasya sempat berbuat apa-apa, tangannya sudah diraih oleh Kenan. Erat, seperti menandai sosok yang sudah ia kuasai. Dia bahkan tidak peduli pada orang lain di sekeliling mereka. “Beib, apa kamu menunggu lama?” tanya Kenan. Kenan menatap Natasya dengan lekat, sebelum menyadari keberadaan Yulia. Lantas, Kenan menatap Yulia, sembari menunjukkan genggaman tangannya dan Natasya. “Kamu sedang bertemu dengan klien?” tanya Kenan memastikan. Belum sempat Natasya menjawab, Kenan sudah kemba
Restoran kecil di sudut kota itu tidak terlalu ramai. Musik klasik mengalun pelan, sementara aroma kopi dan pastry memenuhi udara. Natasya duduk sendirian di dekat jendela, dengan buku catatan kecil di hadapannya. Jari-jarinya menggenggam pensil, namun pikirannya tidak benar-benar berada di halaman yang terbuka. Sudah tiga hari sejak malam itu. Sejak ciuman Kenan. Sejak ucapannya yang tidak ingin dia pergi ke mana pun tanpa sepengetahuannya. Dan sejak saat itu, tidak ada satu pun pesan atau panggilan darinya. Natasya tidak tahu apakah harus merasa lega atau kecewa. Ketika ia sedang menyeruput minumannya, seseorang mendekat. Kali ini, bukan Kenan, namun seorang wanita. Langkahnya tenang, tapi terukur. Natasya mengangkat kepala. “Permisi,” sapa wanita paruh baya tersebut. Rambutnya ditata dengan rapi, wajahnya penuh percaya diri. Menyadari bahwa dirinya yang disapa, Natasya lantas memperbaiki posisi duduknya.
Di dalam mobil, hanya suara musik instrumental pelan yang mengisi keheningan. Kenan menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi di pangkuannya. Sesekali ia melirik ke arah Natasya, yang duduk diam memandangi jalan melalui jendela. “Apa kamu tidak lelah?” Kenan akhirnya membuka suara, suaranya tenang. Natasya menoleh sebentar. Meski kelelahan, dia tidak seharusnya diam, bahkan ketika Kenan sudah mengajaknya pulang. “Sedikit. Tapi tidak terlalu.” balas Natasya singkat. Kali ini, Natasya meluruskan pandangannya ke depan. Meski Natasya hanya menjawab dengan singkat, Kenan masih tidak menyerah. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bersama Natasya, hanya dengan diam sepanjang perjalanan. Kenan berdeham sebentar. “Gaun itu pasti membuatmu sulit bergerak,” ucap Kenan. Tepat ketika Kenan mengatakan itu
Musik sudah berhenti sejak tadi, ketika Natasya melangkah pelan menuju pintu keluar. Dia sudah berpamitan pada Ayah dan Ibunya, tetapi mereka menyuruh untuk berpamitan pada Laura juga. Itu sebabnya Natasya tidak langsung pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Natasya menghampiri pasangan pengantin yang bahkan sudah berdiri menjauh satu sama lain. “Dia pasti akan mulai mengomel lagi,” batin Natasya. Ia menunggu sejenak hingga Laura menoleh ke arahnya. Begitu tatapan mereka bertemu, Natasya langsung berbicara. Dia tidak ingin berlama-lama lagi di sana. “Aku pamit pulang, Laura,” ucap Natasya, suaranya tenang. Laura melirik cepat dari atas ke bawah, seolah menilai setiap detail penampilan Natasya. Senyumnya tidak benar-benar hangat, tetapi ia masih fokus pada Natasya. Dia merasa seperti pilihannya sudah tepat. Gaun itu tidak kurang bahan, atau begitu terbuka. Tapi entah kenapa
Ketika Natasya masih berbincang dengan Kian, pandangan matanya menyapu ruangan, lalu terhenti saat melihat sosok yang tak asing sekarang. Natasya tersenyum senang, lalu berbisik pada Kian. “Tunggu sebentar, aku harus menyapa seseorang,” ucap Natasya. Dia beranjak dan langsung mendekati sosok yang dia maksud. “Kak Nana?” Natasya menyapa, sembari menepuk bahu Nana dengan lembut. Nana berbalik, dan mendapati Natasya di sana. “Nat,” panggil Nana. Mereka berpelukan sejenak, dan Nana tampak begitu lega. “Senang kamu di sini.” kata Nana. “Aku bahkan sudah akan pergi jika tidak bertemu denganmu,” sambungnya lagi. Natasya mengangguk setuju. “Aku juga senang bisa bertemu lagi. Terima kasih sudah datang,” kata Natasya. Nana tersenyum sembari melihat penampilan Natasya. “Kamu cantik sekali malam ini,” puji Nana, yang terus menatap penampilan Natasya dari atas hingga bawah. “Ka
Cahaya lampu gantung kristal menyinari aula dengan lembut. Musik klasik mengalun pelan, mengiringi suara riuh tamu undangan yang terus berbincang dengan bersemangat. Acara resepsi itu baru saja selesai, dan Natasya bisa bernapas lega. “Seperti harapan. Akhirnya semua berjalan baik-baik saja,” gumam Natasya. Natasya berdiri santai sembari meminum minumannya. Dia sudah mengenakan gaun yang berbeda. Meski tidak semewah gaun sebelumnya, gaun yang dia kenakan sekarang memiliki lengan sebahu, dengan dada berbentuk v. Hanya saja, itu tidak begitu terbuka. Bahkan tidak ada belahan tinggi di bagian paha. Sepertinya Laura memang sengaja melakukannya. Sorot matanya tenang, namun bibirnya melengkung sedikit ketika seseorang menepuk lengannya perlahan. “Hei, kak. Kamu masih ingat aku?” Pemuda itu tersenyum lebar. Natasya menoleh, mengernyit sebentar l