Pagi itu, suasana di halaman belakang yayasan sudah hidup sejak matahari baru menyentuh atap bangunan. Balon-balon warna pastel terikat di sepanjang pagar, dan meja-meja dihiasi dengan taplak cerah serta vas berisi bunga segar. Sebuah panggung kecil berdiri di tengah, dengan spanduk besar tergantung di atasnya:
“Peresmian Yayasan Miracle – Rumah Harapan untuk Anak-Anak” Natasya berdiri di sisi panggung, memantau jalannya persiapan. Ia tak terlibat dalam pidato atau seremoni, tapi matanya terus mencari, dan akhirnya menangkap sosok Dion dan Nana yang baru turun dari mobil. Dion mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan krem. Di sebelahnya, Nana tampak anggun dalam gaun putih yang tampak begitu pas di tubuhnya. Dion merangkul pinggang istrinya, membisikkan sesuatu hingga Nana tersenyum malu-malu.Meski begitu, Nana tampak kebingungan ketika mereka semakin mendekat, dan mendapati kerumunan orang terus melihat ke arah mereka.Saat itu,Pagi itu, suasana di halaman belakang yayasan sudah hidup sejak matahari baru menyentuh atap bangunan. Balon-balon warna pastel terikat di sepanjang pagar, dan meja-meja dihiasi dengan taplak cerah serta vas berisi bunga segar. Sebuah panggung kecil berdiri di tengah, dengan spanduk besar tergantung di atasnya: “Peresmian Yayasan Miracle – Rumah Harapan untuk Anak-Anak” Natasya berdiri di sisi panggung, memantau jalannya persiapan. Ia tak terlibat dalam pidato atau seremoni, tapi matanya terus mencari, dan akhirnya menangkap sosok Dion dan Nana yang baru turun dari mobil. Dion mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan krem. Di sebelahnya, Nana tampak anggun dalam gaun putih yang tampak begitu pas di tubuhnya. Dion merangkul pinggang istrinya, membisikkan sesuatu hingga Nana tersenyum malu-malu.Meski begitu, Nana tampak kebingungan ketika mereka semakin mendekat, dan mendapati kerumunan orang terus melihat ke arah mereka.Saat itu,
Kenan masih menggenggam ponsel di tangganya dengan erat. Suara dari seberang sudah terputus beberapa detik lalu, tapi telinganya masih berdengung. Sunyi. Tidak ada suara lain di ruangan kerjanya, kecuali detak jarum jam di dinding yang seperti mengejek keheningan yang mencekik. “Apa itu tadi?” gumam Kenan. Ia sama sekali tidak bergerak, ataupun beranjak. Tatapannya menembus layar ponsel yang kini gelap, seolah mencari sisa suara Natasya yang tadi menusuk dadanya, lembut, tapi kejam. Dingin, tapi membuat jantungnya memompa lebih cepat. Setiap kata yang diucapkan Natasya, masih teringat jelas di kepalanya. “Dia menciumku dengan ganas.” Kenan mengulang ucapan Natasya. “Aku dan dia tidak tidur bersama malam itu.” “Tapi tentu saja aku dan dia pernah melakukannya.” Kenan seperti mematung dalam posisi itu. Setiap kata itu terpatri seperti belati yang ditancapkan dengan s
Natasya duduk diam di balik meja kerjanya. Suasana di luar ruangan tenang, hanya terdengar suara AC yang mengalir lembut. Ia baru saja menyelesaikan laporan terakhir ketika ketukan pelan terdengar dari arah pintu. “Masuk,” ucapnya. Seorang perempuan muda muncul dengan senyum sopan. Asisten pribadi Laura. Rambutnya disanggul rapi, dan di tangannya tergenggam sebuah kotak bingkisan yang dibalut kertas pastel mengilap. “Permisi, bu. Ini ada hadiah dari Bu Laura. Katanya hadiah pernikahan,” ucapnya, menyerahkan kotak itu pada Natasya. Natasya menatap bingkisan itu curiga. “Hadiah pernikahan?” gumamnya, nyaris seperti sedang menguji pemikirannya sendiri. Setelah mengucap terima kasih dan melihat asisten itu meninggalkan ruangan, Natasya membuka kotaknya perlahan. Di dalamnya, terlipat rapi sebuah rok berwarna biru. Potongannya elegan, pas dengan seleranya. Ia menyentuh permukaannya pelan, menyadari bahwa kain itu bukan bara
Ruang meeting siang itu terasa hening ketika diskusi proyek berakhir. Natasya berdiri dari kursinya, menjabat tangan para klien satu per satu dengan senyum sopan. Presentasi berjalan mulus, laporan diterima baik. Hanya tinggal melakukan eksekusi selanjutnya.“Terima kasih atas waktunya,” ucap Natasya. Begitu pintu tertutup, dan suara langkah kaki para peserta rapat menghilang di ujung lorong, Natasya menghela napas lega. Asistennya yang ikut mendampingi sudah bersiap untuk kembali ke ruangan, tapi Natasya menahan. “Kamu duluan saja. Aku menyusul nanti,” kata Natasya.Asistennya mengangguk, dan dia berjalan keluar lebih dulu. Begitu ruangan sepi, Natasya melirik ke ponselnya. Ada satu pesan masuk. Nama pengirimnya langsung membuat dia mengangkat alis bingung. “Kak Dion?” gumam Natasya.Itu adalah pesan dari Dion.Natasya berpikir sejenak. Jika pemikirannya benar, maka itu pasti berkaitan dengan Kenan.
Hari itu seharusnya menjadi hari tenang. Hari ketika Natasya bisa sedikit menjauh dari semua urusan kantor, proyek, klien, termasuk satu nama yang tak pernah bisa benar-benar ia abaikan: Kenan. Udara siang hari itu masih begitu sejuk, meski matahari tampak bersinar dengan cerah. Natasya berdiri di halaman belakang rumah, sementara tangannya memegang selang air, menyiram pot-pot bunga yang baru ia ganti seminggu lalu. Siraman air jatuh perlahan di atas daun mawar, membentuk genangan kecil yang memantulkan cahaya matahari. Damai. “Ah, rasanya begitu menenangkan,” ucap Natasya.Menanam tanaman memang menjadi kesukaannya akhir-akhir ini, dan dia benar-benar menikmatinya. Setidaknya, dia memiliki pelarian dari semua masalah yang terus datang silih berganti.Untung saja Natasya bukanlah tipe orang yang cepat merasa bosan. Jadi meskipun dia melakukannya setiap akhir pekan, dia masih sangat menikmati kegiatann
Begitu tiba di restoran selanjutnya, mereka lantas bergegas masuk. Kenan memilih meja di dekat jendela. Bukan tempat tersembunyi, tapi cukup tenang. Natasya duduk dengan posisi berlawanan, menjaga jarak. Pelayan datang dan Kenan segera memesan makanan. Tidak bertanya apa-apa pada Natasya. Seolah sudah tahu dia hanya akan duduk diam. “Kamu mau kopi?” tanya Kenan tiba-tiba. “Aku tidak—” Belum sempat Natasya menolak, Kenan kembali mengambil alih. “Dua cappuccino,” potong Kenan, lalu menyerahkan menu kembali. Tatapannya mengarah ke Natasya. “Aku tahu kamu suka.” kata Kenan. Tentu saja pelayan itu masih mendengar ucapan Kenan, dan Natasya bisa melihatnya tersenyum dengan malu-malu. Begitu pelayan pergi, Natasya langsung melayangkan protesnya. “Aku bisa memesannya sendiri,” ucap Natasya datar. “Tapi aku