Share

Masuk kandang macan

"Kamu memang sangat cantik Jingga. Tidak sia-sia Bos besar saya menunggumu sampai dewasa," ucap Juragan.

Di dalam mobil, lelaki itu terus berbicara panjang lebar. Sedangkan aku hanya diam, yang kupikirkan sekarang hanya adikku Leo. Aku tidak tau bagaimana keadaannya sekarang, aku takut kebiasaan ibu yang selalu memukulku ia impaskan pada Leo. Dan Bapak, lelaki kejam itu entah pulang atau tidak saat mendapat banyak uang.

"Jingga!"

Aku membuyarkan lamunanku saat Juragan memanggil namaku. "Iya Juragan?"

"Sebentar lagi kita sampai."

"Hm." Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, aku sudah tidak peduli bagaimana nasibku nanti di sana.

"Sebelum kita sampai apa ada yang ingin kau tanyakan?" tanyanya membuatku menoleh ke arahnya.

Aku berpikir sejenak lalu menganggukan kepala. "Ada, saya ingin tau bagaimana ibu dulu? Maksudku, apa Ibu semenjak menikah dengan Bapak kandungku sudah tempramental?" tanyaku.

"Saya kira kamu akan bertanya soal keluarga Bos saya," kekehnya.

"Tidak Juragan," jawabku pelan. Sekarang yang terpenting hanya tentang Ibu, tentang masa lalu yang dialami malaikatku.

Juragan tampak terdiam sejenak hingga akhirnya berbicara. "Ibumu itu dulu orang yang sopan dan lemah lembut, dia juga sangat cantik. Saat itu saya hanya punya satu istri yaitu, Nita. Melihat kecantikan ibumu saya jadi ingin menikahinya untuk menjadikan yang kedua, tapi Ibumu malah memilih Joko. Seorang pedagang sayur yang miskin." ucapnya sembari tersenyum tipis akan tetapi terlihat tangan Juragan mengepal memegang kemudi.

"Walau keluarga Ibumu tidak setuju, dia tetap menikah dengan joko, hingga akhirnya Ibumu tidak dianggap lagi oleh keluargamu. Apalagi semenjak Joko ketauan mencuri, dan dibunuh warga, semua orang semakin memojokan Ibumu. Fatimah yang malang."

Aku tersenyum miris mendengar kenyataan ini, pantas saja selama ini semua orang di kampungku terlihat tidak peduli dengan kami. Tidak ada tetangga yang menolong saat aku atau ibu menjerit kesakitan, terkadang mereka hanya diam seperti menonton pertunjukan, sekarang aku tau penyebabnya.

Aku sering mendengar sebutan "anak pencuri" terlontar, awalnya aku mengira mereka hanya bercanda, tapi sekarang aku menyadari bahwa semuanya nyata. Aku menghela nafas pelan, mencoba menahan rasa sesak di dada ini.

"Sudah ceritanya, sekarang kau harus turun, kita sudah sampai."

Aku melirik ke arah depan, mataku membola melihat rumah yang begitu megah. Apakah ini milik Bos besarnya Juragan?

"Ayok, kenapa masih disitu?" tegur Juragan saat melihatku hanya diam di mobil.

"Ii--iya, Juragan." Buru-buru aku mengikuti Juragan keluar.

"Dimana Bos besar?" tanya Juragan ke arah dua orang yang sedang menjaga rumah.

"Silahkan masuk, Tuan sudah menunggu kalian di dalam!"

"Ayo Jingga!"

Detak jantungku terasa berpacu dengan cepat saat aku memasuki rumah megah ini.

"Maaf Bos, saya membuat anda menunggu lama." Juragan tampak membungkuk hormat ke arah lelaki yang terlihat lebih tua darinya.

Lelaki itu terkekeh pelan, walapun ia sudah tua akan tetapi penampilannya begitu berkarisma. Sepertinya dia adalah Bos besar Juragan.

Mata lelaki itu memandang ke arahku, senyumnya yang tipis ia perlihatkan padaku. "Kamu Jingga?" tanyanya, membuatku refleks langsung mengangguk.

"Saya masih mengingat wajahmu, walau sudah tiga tahun tidak bertemu," kekehnya.

"Apakah kita sudah bertemu sebelumnya?" Akhirnya pertanyaan itu lolos dari bibirku, sejujurnya aku sudah sangat penasaran.

"Kita memang tidak pernah bertemu, tapi saya selalu memantaumu dari dulu," jawab Lelaki itu membuatku benar-benar merasa bingung.

"Tono, sekarang kamu boleh pergi. Nanti saya akan mengabari kamu untuk pekerjaan selanjutnya," ucapnya yang langsung diangguki Juragan. Tanpa mengatakan sepatah katapun padaku, ia berlalu begitu saja.

"Ayok Jingga ikut saya!"

"Baik Bos juragan," jawabku membuat lelaki itu menoleh ke arahku dengan kening berkerut.

"Panggil saya Tuan besar atau Papah mertua," jawabnya.

Bak anak kecil aku hanya bisa mengangguk, sembari mengekornya dari belakang.

Terlihat dua orang lelaki dan perempuan memandang ke arahku dengan tatapan yang, mungkin menjijikan.

"Pah, dia siapa? Apa dia ART baru. Tumben Papah mau mengurusi seorang ART?" tanya wanita muda yang terlihat sangat cantik dan modis.

"Jaga bicara kamu Tania, dia adalah calon istri Dafa yang baru." Perkataan lelaki itu membuat aku mendelikan mata, ternyata benar apa kata Juragan. Tapi siapa Dafa?

Bukan hanya Aku, mereka 'pun langsung melotot seketika. Tapi sekian detik, tawanya pecah membuatku merasa heran.

"Papah-Papah, ternyata gadis kampung ini adalah korban Mas Dafa selanjutnya," ucap Wanita sembari tersenyum sinis.

"Saya kasih tau padamu yah, daripada jadi istri lelaki lumpuh dan gila. Lebih baik kamu pulang saja atau jadi ART." Lelaki di samping wanita bernama Tania itu ikut berbicara.

"Satya, Tania ... Apakah kalian tidak bisa menjaga ucapan kalian?"

"Maaf Pah, tapi yang kami bicarakan itu benarkan. Apa Papah lupa sama beberapa istri Mas Dafa yang selalu pergi setelah malam pernikahan mereka?" tanya Tania membuat mataku membola.

Terlihat Tuan besar menghela nafas pelan, wajahnya yang tadi ceria berubah kusut seketika. "Jingga itu beda, dia tidak seperti kebanyakan wanita lain," jawab Tuan besar sembari menatap ke arahku.

"Pah, mana ada orang yang sanggup tinggal bersama lelaki yang tega menyiksanya," terang Lelaki bernama Satria. Perkataan mereka mampu membuat nyaliku seketika menciut, mendengarnya saja sudah membuatku yakin seperti apa calon suamiku.

"Yasudah Pah ... Kami harap, gadis kampung ini tidak memiliki nasib yang sama seperti istri Mas Dafa sebelumnya."

"Kami pamit pergi dulu yah, Pah," pamit Satria. Lelaki itu pergi sembari memegang pinggang Tania dengan mesra.

"Jingga ... Apa kamu takut mendengar ucapan mereka?" tanya Tuan besar. Mungkin karena melihat pelipisku yang sudah banjir keringat.

"Apa yang mereka katakan benar, Tuan?"

"Benar, tapi tidak sepenuhnya benar," jawabnya. "Ayo ikut saya, akan saya temui kamu dengan anak saya, Dafa!"

***

Aku melihat seorang lelaki yang sedang duduk di kursi roda. Kamarnya begitu berantakan, wajahnya terlihat sangat tampan walau rambutnya seperti tidak terurus.

"Dia Dafa, anak saya yang pertama, saat ini berusia 28 tahun. Ia mengalami kecelakaan empat tahun yang lalu bersama ibunya dan sejak itu mengalami kecacatan," ucap Tuan besar dengan wajahnya yang sendu, sambil menatap putranya.

"Dia lelaki yang tegas juga sangat pintar, tapi itu semua langsung sirna setelah kecelakaan itu terjadi. Kelumpuhan dan kepergian ibunya membuat Dafa terpuruk dan tak berdaya, apalagi Tania membatalkan tunangannya dan menikahi adiknya, Satria."

"Apa?" Mataku melebar tak percaya, jadi Tania adalah tunangannya, dan Satria adiknya.

"Seharusnya keluarga dan kekasih menyemangatinya untuk sembuh, tapi mereka malah semakin membuatnya jatuh ke jurang keterpurukan. Itulah yang membuat kondisi Dafa Semakin lama malah semakin buruk, dia sudah tidak ingin diobati lagi, kesehatan fisik dan mentalnya sudah parah.

Saya sudah berkali-kali mencarikannya calon istri agar dia kembali semangat hidup, akan tetapi semuanya tetap sama ...." Tuan Besar membuka kecamatanya, lalu mengusap matanya yang berembun.

"Mereka selalu kabur di malam pertama, karna tidak kuat melihat Dafa yang mengamuk dan hampir menyelakai mereka."

Deg!

Tiba-tiba sorot mata lelaki yang duduk di kursi roda itu menatap ke arahku dengan tatapan tajamnya seperti penuh kebencian.

Pasrah, Aku telah keluar dari kandang harimau dan sekarang malah memasuki kandang macan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status