"Bapak memukuli Mas Dani, sampai babak belur." jawabnya singkat, wajahnya masih nampak bete. Barangkali ia merasa terganggu karena masalah ini membuat waktu tidurnya hilang. Salsa memang hobi tidur, dan sangat sulit dibangunkan. Pasti tadi ia juga di paksa ikut oleh Bapak dan Ibu kemari.
"Baguslah, aku malah berharap aku yang akan melakukannya," timpalku kesal.*****Kini aku sudah berada di rumah. Tepat pukul lima subuh kami beranjak pulang kembali. Rasanya aku ingin sekali beristirahat. Merebahkan tubuhku sebentar saja. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak tidur dengan benar.Ayah sedang berada di luar bersama pihak RT dan RW. Entah apa yang sedang dibicarakan dan dilakukan mereka. Kuserahkan semua kasus ini pada Ayah. Karena aku sudah tak mau lagi memikirkannya.Sementara itu ibu membuatkan segelas susu dan teh hangat. Ia juga memasangkan aromaterapi di kamar agar membuatku lebih nyaman, lalu membiarkanku beristirahat tanpa membahas masalah Dani lagi. Aku memang memintanya untuk tidak membahas apa-apa dulu. Aku butuh ketenangan agar bisa tahu apa yang harus dilakukan, terutama pada janin ini ke depannya.Sementara itu Salsa memijit kakiku lembut, ia juga tak banyak bicara, hanya memandangku dengan tatapan ibanya, juga kantuk. Pastinya, masalah ini membuat semua orang menjadi tak beristirahat sama sekali.Ayah tiba-tiba datang membuka pintu kamarku. Aku yang baru saja akan terlelap seketika terbangun."Ada telepon dari Emil, suami Haya!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah telepon genggam yang entah milik siapa.Dengan enggan aku menerimanya, lalu menempelkan ponsel itu ke telinga."Ya," ucapku pada orang di seberang sana."Bu Shania, ini saya Emil. Saya hanya ingin berkata, bahwa saya menyerahkan semua kasus hukum ini pada Anda saja. Saya baru akan pulang ke Indonesia sebulan lagi. Silahkan ambil keputusan yang terbaik bagi keluarga Bu Shania, walaupun itu berarti istri saya harus dipenjara!" ucap Pak Emil dengan tegas."Baiklah kalau begitu," jawabku lemah."Bu Shania, maafkan saya karena tak bisa menjaga dan mendidik istri saya sehingga semua ini harus terjadi," lanjut Pak Emil lagi."Hmm ...," jawabku malas, tak mau lebih banyak berbincang dengannya dan membahas masalah ini.Karena tak ada lagi yang dibicarakan aku pun memberikan sambungan telepon pada Ayah kembali."Apa katanya?" tanya Ayah penasaran."Dia menyerahkan semuanya padaku, Yah!""Baiklah kalau begitu, Ayah dan pihak RW juga RT sini sepakat akan melaporkan suamimu dan wanita itu. Mereka harus mendapatkan pelajaran juga agar menjadi efek jera bagi yang lainnya," terang Ayah.Ya ... kuserahkan saja semua padanya. Memang itu juga yang kuharapkan.****Setelah terlelap beberapa saat, tiba-tiba aku terbangun karena rasa mual yang teramat sangat. Gegas aku berlari ke kamar kecil, memuntahkan semua isi dalam perutku, hingga tak ada lagi yang bisa keluar. Tapi mualku masih saja ada, dan rasanya aku seperti akan mengeluarkan organ perutku sendiri."Shania, kamu baik-baik saja?"Tiba-tiba saja Dani ada di sampingku ia seketika memijit tengkukku, lembut. Sungguh pijitannya membuatku merasa nyaman, tapi ... aku teringat dia adalah lelaki yang paling kubenci kini.Kuhempaskan tangannya lagi, tak peduli rasa mualku."Jangan sekali-sekali lagi kamu menyentuhku!" bentakku kasar.Kenapa pula dia masih ada di rumah ini? Kukira dia sudah mendekam di penjara sana. Lalu kemana orang-orang yang semalam berkumpul begitu banyak di rumahku? Kemana mereka semua dan malah membiarkan lelaki bus*k ini berkeliaran."Jangan marah-marah terus, Sayang. Tak baik untuk janinmu!" ucap Dani lembut seraya mendekatiku kembali."Persetan dengan janin ini! Aku tak inginkan benih dari lelaki sepertimu!""Shania, kamu tidak boleh bicara seperti itu! Aku tahu aku bersalah. Tapi, anak itu tidak bersalah!" tegasnya. Seakan dia benar-benar peduli saja. Memuakan.Dani masih berusaha mendekatiku. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Aku jadi takut dia akan berbuat yang tidak-tidak padaku.Kulihat diujung meja dapur tergelatak sebuah pisau. Langsung saja kuambil pisau itu dan kuarahkan kepadanya."Jangan mendekat padaku! Aku tak segan-segan menusukmu!" ancamku, bersungguh-sungguh sambil terus berusaha menggenggam pisau di tangan erat."Kak Shania, apa yang kamu lakukan?"Tiba-tiba Salsa datang, memekik kaget. Ia lalu menghampiriku dan dengan sigap mengambil pisau dalam genggamanku. "Jangan gegabah, Kak! Kakak bisa saja masuk penjara jika seperti ini!" bentaknya lagi."Mas Dani, pergi sana, jangan dekati kakakku lagi!" Salsa membentak Dani keras sambil memelototinya. Dani pun tanpa membantah sedikit pun segera berlalu meninggalkan kami.Aku seketika terduduk lemas di lantai dapur sungguh melelahkan semua ini. Fisik, hati dan pikiran terkuras habis hanya karena masalah yang suamiku buat."Kak, kamu baik-baik saja?" tanya Salsa serqya berjongkok disampingku."Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Salsa? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri suamiku bermain gila dengan wanita lain? ""Bagaimana aku bisa baik-baik saja sementara dia juga ternyata main gila dengan karyawanku sendiri?""Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja sedangkan aku sekarang hamil dari benih seorang baj*ngan seperti Dani?""Ini gila, Salsa ... i
"Tidak, masalah ini harus selesai dengan hukum. Anak kalian harus menerima akibatnya hukuman yang setimpal karena perbuatannya!" tegas Bapak."Shania, kudengar kamu hamil, kamu harus memikirkan anakmu. Jika Dani dipenjara kasian anakmu nanti," lontar Mama, seraya mendekatiku, memegang tangaku keras."Cih ..., persetan dengan Dani. Aku lebih kasihan jika anak ini lahir dan mengetahui ayahnya adalah lelaki bajing4n!" bentakku, sambil menghempaskan tangan mama mertua dari tanganku."Shania, jaga ucapanmu. Dani hanya khilaf, semua manusia punya kesalahan!" elak Mama, membela anaknya."Apa aku harus memaafkan kesalahannya setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia berbuat mesum? Apa Mama akan memaafkan jika itu terjadi pada diri mama sendiri? Harus Mama dan Papa tahu, Dani tak hanya berselingkuh dengan satu wanita. Tapi dua. Dan entah ada berapa lagi yang tidak aku ketahui!" Kukeluarkan semua emosiku pada mereka."Tapi penjara bukan solusi, Shania! Kita cari solusi lainnya bersam
"Dasar ed*n lo berbuat bej*t di lingkungan sini, gak tahu apa kalau kita semua kena dosanya karena lo zina?""Rajam aja sampai mati, itu hukuman paling pantas untuk pezina!""Ayo telanjangi, gunduli, lalu arak keliling kampung para pezina itu!"Begitulah kiranya suara-suara yang kudengar dari para warga yang kini mulai ramai memenuhi pelataran kantor RW.Tadi selepas aku menemui Shania dan membujuknya lagi agar tak melaporkanku pada polisi, aku kembali dibawa ke kantor RW, karena suasana di rumah mulai tidak kondusif. Warga sekitar mulai berdatangan mengerumuni rumahku dan juga rumah Haya. Nampaknya berita semalam sudah menyebar dan mereka ingin tahu tentang apa yang semalam terjadi.Bersama Haya, kini aku hanya terdiam menunggu instruksi atas apa yang akan mereka lakukan pada kami. Di dalam kantor RW ini aku hanha mendengarkan amukkan emosi warga pada perbuatan yang telah aku dan Haya lakukan. Sumpah serapah, dan juga nama-nama hewan terus terdengar bersahut-sahutan disebutkan untuk
"Hei ..., syukur-syukur aku hanya meludahimu! Seharusnya kamu kuhajar juga seperti aku melakukannya pada anakku!" jawab Papa tak kalah murka.Suara pintu diketuk tiba-tiba terdengar. Pak Dadang security yang menggerebekku semalam pun masuk."Lapor Pak, warga di luar tak terkendali. Mereka menuntut agar bisa mengarak Pak Dani dan Bu Haya keliling komplek perumahan terlebih dulu!" ucapnya lantang.Apa lagi ini? Mengarakku? Apa yang mereka inginkan sebenarnya? Tidakkah cukup bagi mereka telah menghinaku seperti binatang."Bagaimana, Pak? Mereka tidak akan membuka jalan sebelum permintaannya dituruti," lanjut Pak Dadang lagi.Pak RW dan Pak RT menatapku, seperti berpikir keras. Aku berharap dia bijak, dan tidak akan meluluskan permintaan tidak masuk akal para warga tersebut."Kita coba saja terobos. Semoga mereka mau memberi jalan. Kita harus segera berangkat ke kantor polisi saat ini juga."Segera setelah itu aku diapit oleh beberapa bapak-bapak, begitu juga dengan Haya. Mereka pun memba
Saking fokusnya dengan masalahku, aku dan Salsa melupakan tentang bisnis online kami 'Shasa Dress'. Karyawanku berdatangan dengan wajah bingung karena tak biasanya di rumahku banyak orang.Mereka semua bertanya apakah hari ini mereka bekerja seperti biasa atau tidak. Aku menyerahkan semua keputusan pada Salsa. Biar ia yang handle dulu.Salsa pun memutuskan untuk tetap bekerja seperti biasa saja. Karena deadline untuk launching produk baru semakin dekat. Semua karyawanku yang kini tinggal berjumlah empat orang pun memasuki ruangan untuk bekerja. Sementara itu aku kembali ke kamarku. Belum sempurna kulangkahkan kaki keluar dari ruang kerja, kudengar bisik-bisik dari karyawanku yang membicarakan perihal Risa."Pantas saja Risa akhir-akhir ini gaya hidupnya semakin tinggi. Ternyata karena dia jadi simpanan istri bos kita sendiri." Kuhentikan langkahku untuk mendengar semuanya. "Iya, masa tiba-tiba saja Risa bisa membeli sepeda motor dan semua pakaiannya berubah menjadi pakaian bermerk.
Aku hanya tersenyum licik mendengar ancamannya barusan. Sungguh sama sekali aku tak gentar. Ia tak tahu saja apa yang sudah kumiliki. Aku pun yakin bisa menghidupi anak yang tengah kukandung ini sendiri walau tanpa mengandalkan uang sepeser pun dari mereka."Yang seharusnya pergi dari rumah ini justru adalah Mas Dani. Karena sertifikat rumah ini sudah resmi atas namaku. Lagi pula aku juga ikut andil dalam membayar cicilan serta membangun rumah ini sehingga bisa menjadi sebesar ini," tandasku dengan penuh percaya diri.Mama membelalak kaget atas fakta yang aku ucapkan barusan. Wajahnya seketika berubah kesal. Ia pun hanya memalingkan wajahnya kesal, tak dapat berkata-kata lagi."Kuharap Mama tidak gegabah mengusir diriku dari rumahku sendiri. Karena justru aku yang akan mengusir Mas Dani dari rumah ini sekarang juga!""Salsa, tolong kemasi semua barang-barang Mas Dani dan berikan pada ibunya!" titahku pada Salsa. Kulihat Salsa nampak ragu-ragu bergerak. Ia bergantian melihatku dan Mama
Sesaat sebelum jam kerja berakhir aku teringat ada yang harus aku cari tahu. Gegas aku kembali ke ruang kerja, untuk menemui Mira. Namun di waktu yang sama kulihat Mira juga tengah menghampiriku."Bu, ada yang mau saya bicarakan," ujarnya seketika. Kebetulan sekali, sepertinya niat kami sama."Ya, ayo kita bicara di belakang saja, Mira!" Kami pun bersama-sama menuju taman belakang rumahku. Aku mengambil posisi dengan duduk di salah satu kursi santai, Mira menyusul duduk di sebrangku. Wajahnya begitu tegang."Apa yang mau kamu bicarakan, Mira?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi."Soal Risa, Bu." Tepat dugaanku, ia mengetahui sesuatu tentang wanita itu."Maafkan aku, Bu, karena aku sudah mengetahui perihal hubungan Risa dan suami Bu Shania sejak dua bulan lalu, saya harap Bu Shania tidak marah pada saya dan tidak akan memecat saya," ucap Mira bergetar, sambil menundukkan kepalanya, tak mau melihatku.Oke, jadi sudah sejak dua bulan lalu Dani bermain di belakangku. Benar-benar keterlalua
Setelah kejadian pelemparan batu, kembali rumahku di datangi banyak orang, aku menghubungi pihak keamanan dan juga RT, RW. Sempat terlintas untuk menghubungi pihak kepolisian juga. Tapi Pak RW menyarankan untuk menunggu kelanjutan kedepannya. Akankah ada lagi kejadian serupa atau tidak."Kita lihat saja dulu kedepannya apabila ada kejadian serupa baru kita minta polisi untuk menyelidikinya!" usul Pak RW. "Sementara itu akan saya pastikan untuk meningkatkan keamanan komplek agar tidak terjadi lagi hal serupa!" lanjutnya lagi, agar kami bisa lebih tenang.Untuk sementara, kami pun menuruti instruksi yang diberikan saja. Pak RW pun menjamin akan menjaga pintu keluar masuk komplek agar lebih terkontrol siapa yang datang dan pergi dari komplek.Setelah kejadian pelemparan batu itu, kami semua penghuni rumah berusaha semakin waspada atas setiap pergerakan di luar. Bapak mengingatkanku untuk menjaga diri dan tidak pergi kemana pun seorang diri.Sebenarnya Bapak dan Ibu mencurigai ini adala