MasukSetengah jam.
Hanya permintaan sederhana. Namun nada tegas Alea tadi, mata yang berkilat penuh amarah bercampur ketakutan menyisakan sesuatu dalam dirinya. Ia melirik Alea sekilas. Gadis itu kini duduk dengan punggung tegak, seolah menahan napas, menunggu waktu berjalan lebih cepat. Jari-jarinya meremas ujung gaunnya, gemetar halus, tapi wajahnya dipaksa tetap datar. Keenan mendengus pelan. "aneh" gumamnya hampir tak terdengar. Alea menoleh cepat. "Apa?" Keenan menatapnya lurus. "Kau. Biasanya diam saja, tapi tiba-tiba berani melempar sepatu dan memerintahku seperti seorang majikan. Apa kau lupa siapa aku?" Alea menahan tatapannya, tak mau terlihat gentar. "Kalau aku diam terus, aku yang hancur. Jadi… untuk sekali ini saja, biarkan aku memerintah." Kalimat itu membuat Keenan terdiam sejenak. Ada kejujuran pahit di dalamnya, sesuatu yang jarang ia dengar dari orang-orang di sekelilingnya apalagi dari seorang wanita yang dipaksa menjadi tunangannya. Hening merayap di antara mereka. Jam berdentang pelan, menandai menit yang terus berjalan. Dan untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak pahami, Keenan tetap duduk di sana. "Dengar ya, aku juga tidak menginginkan pertunangan ini, kamu bukan pangeran yang harus aku perjuangkan tidak semua wanita menginginkan kamu" ucap Alea lebih berani. "Bohong, aku tahu kamu menyukaiku" Alea tertawa, memang benar Alea asli menyukai Keenan, tapi dia bukan alea. "Mungkin dulu iya tapi sekarang engga, setelah melihat kelakuanmu yang tidak bisa menghargai orang itu, maap kamu bukan. Tipe ku" ucap Alea. Keenan terdiam, matanya menyipit menatap Alea seolah mencoba membaca kebohongan di balik ucapannya. Tak biasanya ia mendengar kalimat seperti itu apalagi dari gadis yang selama ini selalu terlihat menunduk, patuh, dan diam. "Bukan tipemu?" Keenan mengulang dengan suara rendah, ada nada meremehkan di sana. "Iya tipe ku itu pria yang hangat, tampan, dewasa, pintar, sopan, dia selalu memperlakukan pasangannya dengan lembut" "Sudah cukup jangan bikin aku muntah" Alea mendengus kesal. Bibirnya melengkung sinis. "Lucu sekali. Semua wanita di sekitarku berusaha keras mendapatkan perhatian ini, bahkan rela menjatuhkan harga diri mereka. Dan kau… menolaknya begitu saja?" Alea menyilangkan tangan di depan dada, menatap Keenan tanpa gentar. "Ya. Karena perhatianmu tidak seberharga itu." Keenan terkekeh pelan, namun tawa itu tidak terdengar menyenangkan. Lebih mirip ejekan. "Keberanianmu semakin hari semakin aneh, Alea. Kau yakin bisa bertahan dengan sikap seperti ini?" Alea membalas tatapannya, kali ini dengan senyum tipis yang lebih menusuk. "Aku sudah cukup lama bertahan dengan diam. Sekarang, aku akan bertahan dengan caraku sendiri. Kalau kau tak suka, itu urusanmu." Sejenak, keheningan menguasai ruangan. Aura dingin Keenan beradu dengan keteguhan baru Alea. Keenan akhirnya menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Terserah kau. Anggap saja aku menunggu hanya untuk melihat sampai sejauh mana keberanianmu bisa berjalan." Alea menahan senyum kecil. Ia tahu Keenan tidak percaya sepenuhnya. Tapi satu hal jelas ia berhasil membuat pria itu duduk, bertahan, dan mendengarnya. Itu sudah lebih dari cukup untuk awal. Keenan menatap tajam ke arah Alea, begitupun Alea yang sudah tidak berpura pura dan menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap Keenan. "Matamu mau keluar tuh jelek" ucap Keenan. "Biarin aja, biar keluar sekalian" ucap alea Keenan tertegun sepersekian detik, tidak menyangka Alea membalas dengan enteng begitu saja. Biasanya gadis itu akan terdiam, menunduk, atau paling jauh hanya menggigit bibirnya. Tapi sekarang? Ia bahkan berani menantangnya dengan wajah santai. Keenan menyandarkan punggungnya, bibirnya melengkung tipis membentuk senyum dingin. "Kau benar-benar sudah gila, Alea." Alea mengangkat dagunya sedikit, matanya tidak berkedip menatap pria itu. "Kalau itu membuatmu tidak nyaman, anggap saja iya. Aku gila. Gila karena harus terus berurusan denganmu." Keenan mendecak pelan. "Mulutmu semakin tajam. Hati-hati, Alea. Aku bisa membuatmu menyesali setiap kata yang keluar darinya." Alea justru tertawa pendek, getir tapi penuh tantangan. "Silakan coba. Aku sudah terlalu sering menyesal, satu lagi tidak akan membuatku mati." Keheningan kembali memenuhi ruangan, namun kali ini bukan lagi hening yang canggung. Ada percikan tegang yang menggantung di udara, seperti dua bilah pedang yang baru saja beradu. Untuk pertama kalinya, Keenan menyadari sesuatu, Alea yang duduk di hadapannya bukanlah gadis pendiam yang bisa dengan mudah diinjak. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bisa menimbulkan masalah… atau justru menariknya lebih jauh tanpa ia sadari. setelah sekian lama akhirnya Keenan bangkit di susul dengan Alea, mereka keluar ruangan di awali Keenan dan di ikuti Alea di belakang, ibu dari Alea menyambut mereka berdua. "ya ampun sayang bangaimana ngobrol ngobrolnya? "menyenangkan, terimakasih atas waktunya Alea" Alea sempat terdiam mendengar jawaban Keenan yang jelas-jelas penuh sindiran, tapi ia bisa melihat sekilas perubahan samar di wajah pria itu. Bukan wajah yang benar-benar menikmati pertemuan ini, melainkan sesuatu yang nyaris… menahan diri. Ibunya tersenyum lebar, tidak menyadari ketegangan yang masih menggantung. "Syukurlah kalau begitu. Aku benar-benar berharap kalian bisa saling mengenal lebih dekat." Keenan menoleh sekilas ke arah Alea, lalu kembali pada sang ibu sambil menampilkan senyum tipis yang begitu formal, seolah sedang berhadapan dengan tamu bisnis. "Tenang saja, tante. Saya sudah mengenal Alea lebih baik dari yang saya kira." Alea menelan ludah, hampir saja menyahut, tapi ia memilih untuk diam. Kalimat itu terdengar sederhana, namun caranya mengucapkan membuat jantungnya berdebar. Ibunya tertawa kecil, puas, lalu menepuk punggung tangan Alea. "Nah, Nak. Kau dengar sendiri kan? Pelan-pelan juga tidak masalah. Yang penting ada awalnya." ucapnya sepertinya seorang ibu yang penuh kasih sayang. Alea tersenyum kecil. Keenan melirik lagi, kali ini tatapan dinginnya menyapu wajah Alea sekilas. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan di sana, bukan sekadar ejekan, melainkan ketertarikan samar yang bahkan ia sendiri tampaknya enggan akui. "Permisi, saya pamit dulu. Ada urusan yang harus saya selesaikan." Keenan membungkuk singkat penuh sopan, berbeda sekali dengan sikapnya di dalam ruangan tadi. Ibunya Alea mengangguk cepat. "Tentu saja, hati-hati di jalan." Keenan melangkah pergi tanpa menunggu lebih lama. Alea mengikutinya dengan pandangan, perasaan campur aduk bergemuruh dalam dadanya. Antara lega, bingung, dan sedikit kesal karena pria itu selalu meninggalkan sesuatu yang tak terselesaikan. Saat pintu depan tertutup di belakangnya, ibunya mendesah pelan. "bagus pertahankan, seperti itu terus." ucap ibunya menatap tajam ke arah Alea. Alea hanya mengangguk. Tak lama senyum samarpun terlintas di wajah ibunya. "yang lain sudah menunggu di meja makan, ayo" ajak ibunya yang lebih seperti perintah. tanpa banyak bicara Alea melangkah mengikuti ibunya di belakang.*** Alea menunduk sedikit, berusaha mengabaikan tatapan tatapan tajam yang mengikuti setiap langkahnya. Bisik bisik muncul begitu ia lewat berhenti sesaat ketika ia menoleh, lalu kembali muncul lebih pelan namun semakin menusuk. Rasanya seperti semua orang di sekolah tiba tiba berubah menjadi hakim yang siap menjatuhkan vonis. Alea tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan dada yang mulai sesak, ia mempercepat langkah dan segera masuk ke kelas. Begitu melihat kedua sahabatnya, ia langsung menghampiri. "Kenapa sih? Kok semua orang ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Alea, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Salah satu sahabatnya saling melirik dengan wajah tidak enak. "kamu… beneran gak liat grup sekolah?" Alea mengerutkan kening. "Emang kenapa? Ada apa?" "coba kamu baca sendiri aja" Alea membuka ponselnya. Notifikasi grup sekolah memenuhi layar. Begitu ia membuka pesan paling atas, dunia rasanya berhenti sejenak. Sebuah postingan menyebar cepat, Keenan dan
Begitu sarapan selesai, para pelayan mulai membereskan meja. Nenek masih duduk di kursinya sambil memperhatikan Alea dan Keenan yang sejak tadi terlihat salting satu sama lain tapi sama sama pura pura tenang. "Alea, kamu sama Keenan berangkat bareng ya" ucap nenek tiba tiba. Alea tersentak. "sama Luna juga kan nek" "gak usah aku bisa naik bis kok" ucap Luna dengan senyum di bibirnya. "nanti Luna supir yang antar" ucap nenek. Keenan bangkit sambil meraih tasnya. "Ayo" Nada suaranya datar, tapi kedua telinganya masih merah. *** Di halaman depan, motor Keenan sudah terparkir rapi. Motor hitam itu mengkilap, model sport tapi tidak terlalu besar pas dengan gaya Keenan yang stylish. Alea berhenti di samping motor itu. "Naik motor…?" tanyanya ragu. Keenan memasang helm cadangan pada kepala Alea tanpa menjawab, benar benar tanpa meminta izin dulu. Gerakannya hati hati, seolah takut menyakiti. Tangan Keenan sempat bersentuhan dengan pipi Alea. Alea langsung menahan na
Di sisi kamar yang remang, Nyonya alfarez melangkah masuk ke kamar nenek. Wajahnya tegang, suaranya penuh emosi yang ditahan. "Maksud Ibu apa sih, bawa Alea ke sini?" tanyanya ketus. Nenek menatapnya tanpa bergeming. “Kamu tanya saja pada anakmu" Nyonya alfarez menghela napas keras, matanya memerah oleh kekesalan. "Bu, sepertinya di rumah ini tidak ada yang menghargai perasaan aku, Lama lama Ibu juga mau bawa perempuan itu ke sini… dan anak haramnya, ya kan?" Nenek menatapnya tajam, suaranya rendah tapi tegas. "Diana, jangan samakan Alea dengan perempuan itu. Mereka berbeda. Hanya karena kamu tidak suka seseorang, bukan berarti orang itu buruk" "tuh ibu juga tahu aku tidak suka dia…" "Ibu tahu," potong nenek lembut. "Tapi Ibu juga tahu siapa kamu sebenarnya, Coba buka sedikit saja hatimu untuk Alea, Ibu yakin… dia bisa menjadi teman di kala sepimu" "Alea sama aja sama keluarganya, tamak" "soal itu kamu bisa menilainya sendiri... nyonya alfarez pun tak bicara
Alea mengikuti nenek Keenan menuju mobil keluarga itu. Udara malam terasa menekan, angin dingin membuat kulitnya merinding, tapi bukan karena cuaca melainkan karena apa yang baru saja terjadi. Perjanjian itu, keputusan itu semuanya berlangsung terlalu cepat. Begitu pintu mobil terbuka, Alea sempat menoleh. Di depan pintu rumah, tuan dan nyonya Marvelle berdiri terpaku. Wajah mereka campuran antara keterkejutan, ketamakan, dan ketakutan. Tapi tidak ada sedikit pun belas kasihan yang tersisa dalam diri Alea untuk mereka. Tidak setelah semua yang mereka lakukan. dia masuk ke mobil, dan perjalanan menuju rumah keluarga Keenan dimulai. *** mobil berhenti, pintu depan terbuka otomatis. Lampu lampu taman menyala lembut memandikan halaman luas itu dengan cahaya putih pucat. Alea turun, mengikuti nenek Keenan masuk. Sang nenek berjalan anggun, seolah seluruh tempat ini berputar mengikuti langkahnya. Begitu pintu utama terbuka, sosok seorang wanita muncul di ambang pintu.
*** Alea turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah megah itu. Begitu melewati pintu utama, langkahnya terhenti. Di ruang tamu, nenek Keenan sedang duduk sambil mengobrol dengan kedua orangtua angkatnya. "Alea, sini nak…" panggil sang nenek sambil tersenyum. Alea mendekat pelan. Tatapannya berpindah ke kedua orangtuanya yang terlihat gelisah dan tidak nyaman. "Nenek sudah berbicara dengan orangtuamu" ucap sang nenek lembut. "Keluarga kami bukan keluarga biasa, jadi calon anggota keluarga harus dibimbing sejak awal. Akan lebih baik jika kamu tinggal bersama kami, di bawah pengawasan keluarga" Senyumnya begitu tenang, seolah keputusan itu sudah final. "Alea, bisa kita bicara sebentar?" suara nyonya Marvelle memecah udara. Alea menoleh. Tatapannya sempat menangkap senyum kecil di ujung bibir nenek itu senyum yang membuatnya curiga. Apakah ini rencana Keenan? Apa dia bekerja sama dengan neneknya? "Boleh saya bicara sebentar dengan anak saya?" pinta nyonya Marvelle.
Di masa sekarang, ingatan itu menghantam Keenan seperti gelombang dingin yang menampar kesadarannya. Ia menutup mata, mencoba mengusir sakit di dadanya, sakit yang sebenarnya sudah ia kenal sejak kecil namun tidak pernah ia akui. Karena untuk pertama kalinya… ia mulai curiga. Bagaimana kalau Alea tidak pernah membencinya? Bagaimana kalau semua waktu itu… Alea hanya ketakutan? Dan bagaimana kalau ketakutan yang sama masih menghantui Alea sampai hari ini? Keenan meremas ponselnya. Kecurigaan yang tadinya samar kini berubah menjadi rasa tidak tenang yang menikam. Dava. Setiap kali Alea terlihat ketakutan… Setiap kali Alea menutup diri… Setiap kali Alea bersikap aneh, seolah menyembunyikan sesuatu… Dava selalu ada di sekitarnya. Kenapa aku baru sadar sekarang…? pikir Keenan, rahangnya mengeras. Ia membuka mata, menatap pantulan dirinya di layar ponsel. Wajahnya datar, tapi tatapannya gelap. Ada naluri protektif yang selama ini ia tekan, kini mulai merangkak nai







