Share

bab 3

Author: Rvn
last update Last Updated: 2025-09-18 21:16:33

***

Saat makan malam, suasana terasa sunyi. Keluarga angkatku terdiri dari empat orang: ayah, ibu, dan dua kakak laki-laki angkat.

Kakak pertamaku sangat dingin, meskipun masih memperlakukanku dengan baik. Tapi entah kenapa, walau ia tak pernah menyakitiku secara langsung, aku selalu merasa takut saat berada di dekatnya. Ada aura berbeda darinya seperti iblis yang menyamar dalam wujud manusia yang rapi. Kehadirannya membuatku tidak nyaman, seolah ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan dinginnya.

Berbeda dengan kakak keduaku. Dia sangat nakal dan cerewet, suka menjahiliku hampir setiap hari. Tapi anehnya, aku justru merasa lebih tenang bersamanya. Aku tidak setakut itu padanya. Bahkan, di antara semua anggota keluarga ini, aku justru lebih mempercayai dia.

Saat makan malam masih berlanjut dalam keheningan yang canggung, suara sendok beradu pelan dengan piring porselen menjadi satu-satunya yang terdengar. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang saling menatap. Hanya kesunyian yang menggantung berat di udara, membuat napasku sendiri terasa terlalu keras.

Sampai akhirnya, kakak keduaku Reyha menghela napas panjang, lalu meletakkan garpunya dengan suara yang cukup keras untuk memecah keheningan.

"Serius deh, makan malam di rumah ini selalu kayak pemakaman" gumamnya sambil menyandarkan punggung ke kursi.

"Nggak ada yang mau cerita kek, nanya kabar kek, ketawa dikit kek… apa susahnya sih jadi manusia normal?"

Ibu menatapnya tajam. "Reyhan, sikapmu"

"Apa? Aku cuma bilang kenyataan," jawabnya santai.

"Lihat deh, Ayah sibuk dengan pikirannya sendiri, Kak Dava kayak patung es, Ibu diem-diem ngebatin, dan Alea…" pandangannya menoleh padaku, "seolah-olah takut semua orang mau nelen dia hidup-hidup"

Aku tersentak kecil. Tidak tahu harus membela diri atau justru menghindari perhatian. Tapi sebelum aku bisa menjawab, Dava kakak pertamaku meletakkan sendoknya dengan gerakan pelan tapi tegas.

"Kalau kau butuh keramaian, Reyhan" ucapnya dingin tanpa menoleh, "pergi makan di luar saja. Tidak ada yang memaksamu duduk di sini"

Reyhan mendengus, tapi tidak membalas.

***

Malam itu, saat semua sudah kembali ke kamar masing-masing, aku duduk di tepi ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang luas tapi dingin. Cahaya lampu gantung mewah menerangi setiap sudut ruangan, tapi tak ada kehangatan di sana. Semuanya terasa palsu. Seperti teater megah tanpa penonton.

Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Aku berdiri dengan waspada, lalu membukanya sedikit.

Reyhan berdiri di sana sambil mengangkat satu kantong plastik kecil.

"Bubur ayam" katanya singkat. "Tadi lihat kamu gak makan banyak"

Aku menatapnya dengan bingung. "Kamu... beli ini untukku?"

"Enggak, buat burung tetangga. Ya buat kamu lah" Ia mendorong kantong itu ke arahku. "Udah makan. Daripada nanti pingsan dan aku harus gendong kamu kayak di drama Korea."

Aku tidak bisa menahan tawa kecilku. Entah kenapa, untuk pertama kalinya hari ini, aku merasa... hidup.

"Makasih,"kataku pelan.

Dia mengangguk, lalu berbalik pergi, tapi sebelum benar-benar menjauh, dia berkata tanpa menoleh, "Kamu tahu, kamu nggak harus terus kelihatan takut sama semuanya. Mereka bukan dewa. Mereka cuma manusia."

Aku mematung di depan pintu, menggenggam kantong bubur itu erat-erat.

Mereka cuma manusia.

Tapi di dunia ini, manusia bisa lebih kejam daripada tokoh jahat dalam cerita.

Dan aku harus mencari caraku sendiri untuk bertahan.

Bukan sebagai Alea. Tapi sebagai Airin.

Yang tidak akan tinggal diam menunggu dibuang.

Dan aku hanya menunduk dalam diam.

Selama ini, Reyhan tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku.

Tentang bagaimana keluarga ini memperlakukanku bukan sebagai manusia, tapi sebagai barang dagangan. Tentang malam-malam penuh luka di ruang bawah tanah, saat tubuhku dipaksa tunduk, bukan dengan kata-kata, tapi dengan kekerasan. Tentang jeruji besi dan cambuk yang menjadi temanku, hanya karena aku menolak perintah mereka, hanya karena aku mencoba menjadi diriku sendiri.

Yang tahu... hanya Dava.

Dava, kakak pertamaku. Pria dingin yang selalu kulihat sebagai bayangan gelap di rumah ini. Diam, rapi, tak pernah berteriak tapi setiap tatapannya seperti pisau yang menelanjangiku hingga ke tulang.

Saat mereka menyeretku ke ruang bawah tanah waktu itu, aku menjerit, berusaha melepas genggaman kasar tangan-tangan itu. Kupanggil namanya.

"Kak Dava! Tolong aku... tolong!!”

Aku tahu dia mendengar. Dia berdiri di ujung tangga batu, menatap ke arahku dari kegelapan. Tatapannya dingin, tidak terganggu sedikit pun oleh tangisku.

Tapi dia tidak melakukan apa-apa.

Tidak satu langkah pun ia gerakkan untuk menghentikan mereka.

Aku terus berteriak, berharap ada celah dalam hatinya bahkan seujung kuku pun yang akan tergerak melihatku seperti itu. Tapi yang kuterima hanya diam.

Dan setelah itu, jeruji besi dan cambuk menyambutku.

Hari-hari setelahnya, aku menghindari menatap matanya. Bukan karena takut, tapi karena aku tahu aku akan kembali mengingat malam itu. Mengingat bahwa dia, satu-satunya orang yang punya kuasa menghentikan semua itu... memilih untuk membiarkanku menderita.

***

Tapi Reyhan... dia berbeda.

Meskipun cerewet, meskipun sering menjahiliku, dia tidak pernah menyakitiku. Bahkan kadang tanpa sadar, dia memperlakukanku seperti manusia. Seperti seseorang yang patut dihargai.

Tapi dia tidak tahu apa pun.

Mungkin karena mereka menyembunyikannya darinya.

Atau mungkin karena dia terlalu sibuk hidup dalam dunianya sendiri untuk melihat penderitaanku yang ditutupi senyum palsu.

Tapi berapa lama lagi?

Berapa lama lagi aku bisa berpura-pura menjadi Alea yang baik, yang patuh, yang diam?

Berapa lama lagi aku harus menahan luka-luka yang terus dikubur agar tak terlihat?

Aku mulai lelah menjadi bayangan.

Aku mulai muak jadi boneka.

Dan kalau dunia ini tidak memberiku tempat,

maka aku akan menciptakan tempatku sendiri.

Aku menutup pintu pelan, lalu kembali ke tepi ranjang. Bubur itu masih hangat uapnya mengaburkan sejenak pikiranku. Aku menyendok sedikit, mencicipi. Rasa hangatnya seperti jari yang menyapu malam dingin, kecil, sederhana, tapi menenangkan.

Di cermin kamar, aku melihat bayangan tubuh yang pernah kubenci: bekas-bekas luka samar di pergelangan dan pundakku, mataku yang sering berkaca-kaca ketika aku pura-pura tertidur, bibir yang menahan kata-kata pemberontakan. Aku mengangkat satu ruas lengan, mengusap bekas itu dengan ujung jari. Luka itu bukan hanya pada kulit. Ia bertahan di bawahnya di cara aku berjalan, di cara aku menarik napas. Namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Ada tekad yang baru, seperti sesuatu yang mengeras pelan dalam dadaku.

"Kamu bukan Alea," kukatakan pada bayangan di cermin, suaraku serak tapi pasti. "Kamu Airin. Ingat itu."

Aku tahu, mengubah apa yang orang lain tulis tentangku tidak semudah mengubah nama di atas surat. Mereka adalah pembaca yang kejam; mereka suka ketika tokoh figuran tetap pada perannya. Tapi aku sudah terlalu lama membiarkan naskah itu mengatur tubuh dan pikiranku. Jika dunia ini menuntut aku jadi barang maka aku akan menjadi barang yang berbahaya ketika diremehkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku bukan Alea   plotnya ke luar jalur

    *** Alea menunduk sedikit, berusaha mengabaikan tatapan tatapan tajam yang mengikuti setiap langkahnya. Bisik bisik muncul begitu ia lewat berhenti sesaat ketika ia menoleh, lalu kembali muncul lebih pelan namun semakin menusuk. Rasanya seperti semua orang di sekolah tiba tiba berubah menjadi hakim yang siap menjatuhkan vonis. Alea tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan dada yang mulai sesak, ia mempercepat langkah dan segera masuk ke kelas. Begitu melihat kedua sahabatnya, ia langsung menghampiri. "Kenapa sih? Kok semua orang ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Alea, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Salah satu sahabatnya saling melirik dengan wajah tidak enak. "kamu… beneran gak liat grup sekolah?" Alea mengerutkan kening. "Emang kenapa? Ada apa?" "coba kamu baca sendiri aja" Alea membuka ponselnya. Notifikasi grup sekolah memenuhi layar. Begitu ia membuka pesan paling atas, dunia rasanya berhenti sejenak. Sebuah postingan menyebar cepat, Keenan dan

  • Aku bukan Alea   Di bonceng pertama kali

    Begitu sarapan selesai, para pelayan mulai membereskan meja. Nenek masih duduk di kursinya sambil memperhatikan Alea dan Keenan yang sejak tadi terlihat salting satu sama lain tapi sama sama pura pura tenang. "Alea, kamu sama Keenan berangkat bareng ya" ucap nenek tiba tiba. Alea tersentak. "sama Luna juga kan nek" "gak usah aku bisa naik bis kok" ucap Luna dengan senyum di bibirnya. "nanti Luna supir yang antar" ucap nenek. Keenan bangkit sambil meraih tasnya. "Ayo" Nada suaranya datar, tapi kedua telinganya masih merah. *** Di halaman depan, motor Keenan sudah terparkir rapi. Motor hitam itu mengkilap, model sport tapi tidak terlalu besar pas dengan gaya Keenan yang stylish. Alea berhenti di samping motor itu. "Naik motor…?" tanyanya ragu. Keenan memasang helm cadangan pada kepala Alea tanpa menjawab, benar benar tanpa meminta izin dulu. Gerakannya hati hati, seolah takut menyakiti. Tangan Keenan sempat bersentuhan dengan pipi Alea. Alea langsung menahan na

  • Aku bukan Alea   Percakapan pelayan

    Di sisi kamar yang remang, Nyonya alfarez melangkah masuk ke kamar nenek. Wajahnya tegang, suaranya penuh emosi yang ditahan. "Maksud Ibu apa sih, bawa Alea ke sini?" tanyanya ketus. Nenek menatapnya tanpa bergeming. “Kamu tanya saja pada anakmu" Nyonya alfarez menghela napas keras, matanya memerah oleh kekesalan. "Bu, sepertinya di rumah ini tidak ada yang menghargai perasaan aku, Lama lama Ibu juga mau bawa perempuan itu ke sini… dan anak haramnya, ya kan?" Nenek menatapnya tajam, suaranya rendah tapi tegas. "Diana, jangan samakan Alea dengan perempuan itu. Mereka berbeda. Hanya karena kamu tidak suka seseorang, bukan berarti orang itu buruk" "tuh ibu juga tahu aku tidak suka dia…" "Ibu tahu," potong nenek lembut. "Tapi Ibu juga tahu siapa kamu sebenarnya, Coba buka sedikit saja hatimu untuk Alea, Ibu yakin… dia bisa menjadi teman di kala sepimu" "Alea sama aja sama keluarganya, tamak" "soal itu kamu bisa menilainya sendiri... nyonya alfarez pun tak bicara

  • Aku bukan Alea   pindah ke rumah baru

    Alea mengikuti nenek Keenan menuju mobil keluarga itu. Udara malam terasa menekan, angin dingin membuat kulitnya merinding, tapi bukan karena cuaca melainkan karena apa yang baru saja terjadi. Perjanjian itu, keputusan itu semuanya berlangsung terlalu cepat. Begitu pintu mobil terbuka, Alea sempat menoleh. Di depan pintu rumah, tuan dan nyonya Marvelle berdiri terpaku. Wajah mereka campuran antara keterkejutan, ketamakan, dan ketakutan. Tapi tidak ada sedikit pun belas kasihan yang tersisa dalam diri Alea untuk mereka. Tidak setelah semua yang mereka lakukan. dia masuk ke mobil, dan perjalanan menuju rumah keluarga Keenan dimulai. *** mobil berhenti, pintu depan terbuka otomatis. Lampu lampu taman menyala lembut memandikan halaman luas itu dengan cahaya putih pucat. Alea turun, mengikuti nenek Keenan masuk. Sang nenek berjalan anggun, seolah seluruh tempat ini berputar mengikuti langkahnya. Begitu pintu utama terbuka, sosok seorang wanita muncul di ambang pintu.

  • Aku bukan Alea   Sebuah Jaminan

    *** Alea turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah megah itu. Begitu melewati pintu utama, langkahnya terhenti. Di ruang tamu, nenek Keenan sedang duduk sambil mengobrol dengan kedua orangtua angkatnya. "Alea, sini nak…" panggil sang nenek sambil tersenyum. Alea mendekat pelan. Tatapannya berpindah ke kedua orangtuanya yang terlihat gelisah dan tidak nyaman. "Nenek sudah berbicara dengan orangtuamu" ucap sang nenek lembut. "Keluarga kami bukan keluarga biasa, jadi calon anggota keluarga harus dibimbing sejak awal. Akan lebih baik jika kamu tinggal bersama kami, di bawah pengawasan keluarga" Senyumnya begitu tenang, seolah keputusan itu sudah final. "Alea, bisa kita bicara sebentar?" suara nyonya Marvelle memecah udara. Alea menoleh. Tatapannya sempat menangkap senyum kecil di ujung bibir nenek itu senyum yang membuatnya curiga. Apakah ini rencana Keenan? Apa dia bekerja sama dengan neneknya? "Boleh saya bicara sebentar dengan anak saya?" pinta nyonya Marvelle.

  • Aku bukan Alea   Jejak luka yang tersingkap

    Di masa sekarang, ingatan itu menghantam Keenan seperti gelombang dingin yang menampar kesadarannya. Ia menutup mata, mencoba mengusir sakit di dadanya, sakit yang sebenarnya sudah ia kenal sejak kecil namun tidak pernah ia akui. Karena untuk pertama kalinya… ia mulai curiga. Bagaimana kalau Alea tidak pernah membencinya? Bagaimana kalau semua waktu itu… Alea hanya ketakutan? Dan bagaimana kalau ketakutan yang sama masih menghantui Alea sampai hari ini? Keenan meremas ponselnya. Kecurigaan yang tadinya samar kini berubah menjadi rasa tidak tenang yang menikam. Dava. Setiap kali Alea terlihat ketakutan… Setiap kali Alea menutup diri… Setiap kali Alea bersikap aneh, seolah menyembunyikan sesuatu… Dava selalu ada di sekitarnya. Kenapa aku baru sadar sekarang…? pikir Keenan, rahangnya mengeras. Ia membuka mata, menatap pantulan dirinya di layar ponsel. Wajahnya datar, tapi tatapannya gelap. Ada naluri protektif yang selama ini ia tekan, kini mulai merangkak nai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status