Home / Fantasi / Aku bukan Alea / rahasia yang menampakan bayangannya.

Share

rahasia yang menampakan bayangannya.

Author: Rvn
last update Huling Na-update: 2025-10-08 20:15:48

***

Setelah kembali ke kamar, Alea belum bisa memejamkan matanya.

Matanya menatap kosong ke langit langit yang remang, seolah mencoba mencari sesuatu yang tak pernah ada di sana. Dada terasa sesak tanpa alasan yang bisa ia pahami. Ada kemarahan yang samar, bergolak dalam dirinya tanpa bentuk, tanpa arah. Seperti api yang menyala di ruang gelap namun tak tahu apa yang harus dibakar.

Ia ingin marah. Pada semua orang. Pada dunia yang memaksanya terjebak di dalam buku sialan ini. Pada takdir yang terasa seperti permainan buruk. Ia bahkan marah pada dirinya sendiri karena tidak mengingat bagaimana ia mati di kehidupan sebelumnya. Betapa konyol, pikirnya, untuk marah pada hal yang bahkan tak bisa dijelaskan.

Namun, yang keluar hanya diam.

Hanya tatapan hampa, napas berat yang berulang kali ia hembuskan tanpa arti. Tangannya mengepal di atas selimut, kemudian terkulai lemah. Semua terasa percuma.

Ada rasa getir yang menggantung di tenggorokan, seperti ingin menangis namun tak ada air mata yang mau keluar. Ia merasa tubuhnya berat, namun pikirannya terus berputar tak berhenti. Bayangan masa lalu dan potongan potongan kenangan yang tak lengkap menari di dalam kepalanya, suara seseorang, cahaya merah samar, lalu gelap.

Alea menutup matanya, berharap gelap bisa membawa ketenangan. Tapi tidak malam ini.

Seolah seluruh emosi di dalam dirinya sedang mendidih, mencari celah untuk meledak, tapi tak pernah menemukan jalan keluar. Yang tersisa hanyalah kehampaan. Kosong, tapi menyakitkan.

Malam terus berjalan, tapi waktu terasa berhenti di kamar itu. Di antara rasa marah yang tak tersampaikan dan kesedihan yang tak punya bentuk.

Udara kamar terasa dingin. Angin malam masuk lewat celah jendela yang tak tertutup rapat, membuat tirai tipis bergerak perlahan. Suara jam dinding berdetak tenang tapi justru membuat suasana semakin sunyi, semakin menyiksa.

Entah kenapa, matanya menolak terpejam.

Alea menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur. Ia menyampirkan cardigan tipis ke bahunya, mencoba mengusir hawa dingin yang menggigit. Tanpa benar benar tahu alasan, ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Koridor rumah itu gelap, hanya diterangi lampu kecil di ujung dinding. Cahaya kekuningan yang redup membuat bayangan perabot di sepanjang lorong tampak memanjang dan bergetar di dinding. Langkah Alea bergema pelan di lantai marmer, menciptakan irama asing yang terdengar terlalu jelas di keheningan malam.

Ia tidak berniat ke mana pun. Ia hanya ingin berjalan, mungkin udara malam bisa sedikit menenangkan pikirannya.

Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara samar dari arah belakang rumah.

Suara besi beradu, diikuti bunyi engsel berderit pelan. Kemudian, suara pintu tertutup.

Alea menegakkan tubuhnya. Hatinya berdetak cepat tanpa alasan jelas. Ia menatap ke arah sumber suara, gelap, di ujung lorong, dekat tangga menuju ruang bawah.

"Siapa…?" suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tidak berani memanggil terlalu keras.

Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Perlahan, ia melangkah mendekat. Langkahnya begitu hati hati, seolah takut lantai akan berderit dan mengkhianatinya.

Dan saat ia sampai di ujung lorong itu, matanya membulat.

Seseorang muncul dari balik sebuah pintu di bawah tangga.

Pintu itu…

Alea menatapnya lama. Ia yakin benar benar yakin pintu itu tidak pernah ada sebelumnya. Selama ini, dinding di bawah tangga selalu tertutup rapi, polos, tanpa tanda tanda ada ruang tersembunyi di baliknya. Tapi malam ini, ada celah kecil yang terbuka, dan dari dalamnya keluar sosok yang begitu ia kenal.

Dava.

Kakaknya.

Dava menutup pintu perlahan, gerakannya tenang tapi terukur. Sesaat kemudian, ia berbalik dan di bawah cahaya redup, wajahnya terlihat jelas.

"Kak Dava…?" suara Alea nyaris hanya berupa bisikan.

Dava sempat mengangkat kepalanya, seolah terkejut sesaat. Ada kilatan kaget yang melintas di matanya, tapi dengan cepat menghilang, tertelan kembali oleh ketenangan palsu yang selalu ia tunjukkan.

Tatapannya kembali dingin seperti es yang tak bisa ditembus siapa pun.

"Kamu ngapain di sini?" suaranya datar, tanpa emosi.

Alea menelan ludah.

"Aku… nggak bisa tidur" jawabnya pelan. Pandangannya bergeser ke arah pintu yang baru saja Dava tutup. Rasa ingin tahunya menumpuk di ujung lidah, tapi kata kata itu tak sanggup keluar.

dia tahu betul, Dava tidak suka ditanya.

Dulu, setiap kali Alea menanyakan hal hal kecil tentang kenapa ia sering pergi malam malam, atau kenapa tangannya terkadang berlumur tanah, Dava selalu menjawab dengan tatapan kosong dan diam panjang yang menakutkan.

"Kenapa, Kak? Kakak belum tidur juga?" ia mencoba lagi, suaranya bergetar.

Dava tidak menjawab. Ia hanya menatap Alea sekilas, kemudian berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Aroma logam samar tercium saat bahu mereka bersinggungan.

Alea terpaku di tempat.

dia menoleh, menatap punggung kakaknya yang menjauh di sepanjang koridor, langkahnya tenang, nyaris tanpa suara. Dalam hati, perasaannya campur aduk antara penasaran, takut, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu, perasaan aneh bahwa Dava menyembunyikan sesuatu yang besar.

Matanya kembali ke arah pintu di bawah tangga. Kini pintu itu terlihat begitu mencolok.

Gelap, tertutup rapat, namun seolah memanggilnya.

Bayangan pintu itu seperti menggoda pikirannya, menanamkan rasa ingin tahu yang menyakitkan.

"ruang bawah tanah?" bisiknya pelan. "Tapi… bukan yang itu."

Ia tahu ruang bawah tanah tempat ia sering dikurung berada di sisi timur rumah, jauh dari sini. Tapi yang ini entah kenapa terlihat berbeda. Ada sesuatu yang asing di sana.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan dorongan untuk mendekat. Tangannya sempat terulur, tapi segera ia tarik kembali. Bayangan wajah Dava yang dingin tadi cukup untuk membuatnya mengurungkan niat.

Tidak malam ini. Ia tidak cukup berani.

Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamarnya.

Lorong itu terasa lebih dingin dari sebelumnya, seolah udara malam menyusup langsung ke tulang. Detak jam di ruang tengah terdengar semakin keras, mengiringi langkahnya kembali ke tempat tidur.

Saat pintu kamarnya tertutup, ia bersandar di baliknya dan menghela napas panjang. Tapi rasa sesak di dadanya belum juga pergi.

Bayangan Dava dan pintu misterius itu terus terputar di pikirannya.

Apa yang ada di balik sana? Kenapa Dava keluar dari sana malam malam begini?

Alea memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi rasa takut dan penasaran saling bertabrakan, menciptakan kekacauan dalam pikirannya. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus tahu apa yang disembunyikan kakaknya.

Namun malam ini, ia hanya bisa menatap kosong ke jendela yang buram oleh embun, mendengarkan suara malam yang perlahan tenggelam dalam keheningan.

Di luar, bulan tertutup awan.

Dan di dalam kamar itu, Alea kembali terjebak dalam sunyi antara kemarahan yang belum padam, dan rahasia yang baru saja menampakkan bayangannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku bukan Alea   Pemeran utama memang berbeda

    *** Luna langsung dikerubungi oleh beberapa siswa yang penasaran. "Luna, aku dengar kamu sekolah di sini karena beasiswa, ya?" tanya salah satu murid dengan nada setengah ingin tahu, setengah menyelidik. Luna hanya diam. Tatapannya tenang, tapi jelas terlihat ia tak nyaman dengan perhatian berlebihan itu. "Wah, berarti kamu pintar dong!" seru murid lain dengan nada riang. Namun, ucapan itu segera disusul komentar yang membuat suasana berubah dingin. "Ya, lumayanlah. Setidaknya ada gunanya juga. Daripada miskin, bodoh lagi" Beberapa siswa terkekeh pelan. Luna menunduk, berusaha menahan perasaannya. "Oh, jadi kamu miskin?" suara lembut tapi tajam itu datang dari belakang. Alea sontak menoleh, Clarissa. Gadis itu berjalan mendekat dengan senyum samar di bibirnya, namun matanya jelas menyiratkan sesuatu yang berbeda. Alea terbelalak. Kenapa Clarissa ikut campur? pikirnya cemas. "kok bisa si orang miskin sekolah di si....." Belum sempat Clarissa menyelesaikan kalima

  • Aku bukan Alea   jiwa Antagonis Clarissa mulai terlihat

    *** Bel tanda masuk berbunyi, memecah kekakuan suasana. Siswa siswa yang tadi menonton mulai berbisik bisik, membicarakan kejadian itu dengan antusias. Pemeran utama wanita tampak masih gugup, sementara Keenan hanya melangkah pergi begitu saja tanpa banyak bicara, diikuti dua temannya. Alea berdiri mematung, matanya terus mengikuti punggung Keenan yang menjauh. Ada sesuatu di dadanya yang terasa aneh campuran antara panik dan rasa tak percaya. Kenapa dia menatapku seperti itu? pikir Alea. Seharusnya dia fokus pada pemeran utama, bukan aku. Jangan bilang… keberadaanku mulai mengubah jalan ceritanya. "apa aku akan selamat pada akhirnya" pikir Alea. Suara Clarissa yang tiba tiba memanggil namanya membuat Alea tersadar. "Alea! Ngapain bengong di situ?" seru Clarissa sambil menghampiri. "Oh, nggak... nggak apa-apa," jawab Alea cepat, berusaha menormalkan ekspresinya. "aku kaget, tahu tahu kamu lari keluar" kata Clarissa heran. "Kamu kenal sama anak baru itu?" tanya Nayla

  • Aku bukan Alea   Munculnya pemeran utama wanita

    *** Keenan menoleh sekilas ke arah Farel, ekspresinya tetap datar seperti biasa. "Kenapa? Ada masalah kalau dia anak Marvelle?" suaranya terdengar tenang, tapi mengandung nada peringatan halus. Raiden dan Farel saling pandang, menahan tawa. "Enggak, cuma aneh aja. Bukannya keluarga Marvelle gak punya anak cewek?" tanya Farel penasaran. Keenan menghela napas pelan. "Main lu kurang jauh" ujarnya santai. "Dia jarang dipublikasikan aja" tambahnya kemudian, nada suaranya kembali tenang tapi tegas. "lu beneran suka sama dia" tanya farel penasaran. Keenan menatap farel tegas. "yang bilang suka sama dia siapa, memangnya gue bisa apa tentang pertunangan ini" ucap Keenan. Raiden mengangkat alis, senyum jahilnya langsung muncul. "Wih, berarti emang dijodohin dong?" godanya sambil menepuk bahu Keenan. Keenan menatapnya datar, tatapan dingin khasnya cukup untuk membuat Raiden langsung terdiam. "Kurang lebih" jawabnya singkat. Farel mencondongkan badan ke depan, nada sua

  • Aku bukan Alea   teman di tengah gosip

    *** Bel tanda masuk baru saja berbunyi ketika Alea, Clarissa, dan Nayla melangkah menuju kelas, Matahari sudah cukup tinggi, menyinari halaman sekolah yang mulai dipenuhi murid murid dengan berbagai ekspresi dan obrolan pagi. Namun kali ini, Alea bisa merasakan sesuatu yang berbeda tatapan. Setiap langkah yang ia ambil terasa diperhatikan. Beberapa siswa yang duduk di taman depan menoleh ke arahnya, lalu berbisik bisik dengan ekspresi heran, bahkan tak sedikit yang tersenyum penuh arti. Alea menegakkan tubuhnya, mencoba bersikap seolah tak terjadi apa apa. Tapi dalam hati, ia bisa merasakan gelombang rasa canggung yang makin lama makin kuat. "Kayaknya gosipnya udah nyebar ke seluruh sekolah" bisik Nayla pelan, menatap sekelompok siswa yang menatap mereka dari jauh. Clarissa mengangkat alis. "Ya jelas. Semalam aja satu kota tahu, apalagi anak sekolah" Alea hanya mengangguk pelan. Ia memang sudah memperkirakan ini akan terjadi. Tapi tetap saja, berada di tengah sorotan sepert

  • Aku bukan Alea   ketika Clarissa mengetahui alea tunangan keenan

    *** Tubuh Alea seketika menegang, tetapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, mobil sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba tiba terasa terlalu cepat. "Menyebalkan?" ulangnya pelan, masih mengingat nada dingin dava beberapa detik lalu. "Kenapa?" Tidak ada jawaban. Hanya suara mesin yang perlahan mati, terdengar lebih nyaring dari biasanya seolah menegaskan akhir dari percakapan yang menggantung di udara. Alea turun dari mobil, dan sesaat kemudian mobil itu melaju pergi, meninggalkannya yang masih berdiri dalam kebingungan. Beberapa detik ia hanya terpaku di tempat, hingga suara langkah cepat mendekat dari arah samping membuatnya menoleh. Dua sosok tiba tiba muncul di hadapannya membuatnya terlonjak kaget. "Ya ampun! Kalian bikin kaget aja" serunya sambil menepuk dadanya pelan. Namun, bukannya tertawa seperti biasa, kedua temannya justru diam dengan wajah cemberut. Alea mengerutkan kening, merasa ada

  • Aku bukan Alea   Malam yang terlupakan

    *** Pagi itu suasana di kediaman keluarga Marvelle terasa hangat dan ceria. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan yang sudah tertata rapi. Alea menuruni tangga dengan langkah ringan, mengenakan seragam sekolah yang sudah rapi disetrika. Rambutnya dikuncir sederhana, membuat wajahnya tampak segar pagi itu. Alea duduk di meja makan, tepat berhadapan dengan Dava. Suasana mendadak terasa mencekam. Tatapan tajam Dava menembusnya seperti bilah pisau yang siap menusuk kapan saja. Alea menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut perlahan merambati seluruh tubuhnya setiap kali mata mereka hampir bertemu. Nyonya Marvelle tersenyum puas sambil menatap suaminya. "Acara ulang tahun perusahaan semalam benar benar sukses besar" ujarnya penuh semangat. "Semua tamu tampak terkesan, terutama setelah Keenan dan Alea datang bersama, Banyak yang memuji citra keluarga kita" Tuan Marvelle hanya mengangguk kecil sambil melipat surat kab

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status