***
Pagi itu, aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruang makan. Tapi bagi Alea, udara di sana terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena cuaca, melainkan karena tatapan tatapan yang bersilang tanpa suara. Ayah sudah berangkat ke perusahaan sejak subuh, meninggalkan meja makan hanya dengan empat orang Ibu, Reyhan, Dava, dan Alea. Pisau mentega di tangan Alea terasa terlalu berat saat ia mencoba mengoles selai di roti. Di depannya, Dava duduk diam, bahunya tegak, pandangannya lurus ke depan tanpa ekspresi. Sementara Reyhan dengan senyum setengah mengejek menyeruput kopinya santai seolah menikmati ketegangan itu. "bukannya semalam kamu bilang mau berangkat pagi pagi?" tanya ibunya. "gak jadi, aku mau nganterin Alea sekolah dulu" ucap reyhan. "setelah pulang sekolah, langsung ke rumah ya Alea ingat kan janji kita, ada yang harus kamu pelajari" "ma, jangan terlalu mengekang Alea" "mama ngelakuin ini untuk kebaikan Alea juga" Suara sendok yang beradu dengan cangkir menjadi satu satunya bunyi yang terdengar di ruang makan itu, seolah menegaskan kekakuan yang menggantung di udara. Alea menunduk, berusaha menyembunyikan gelisah yang makin menumpuk di dadanya. Tangannya berhenti mengoles selai, sementara matanya menatap kosong pada piring yang kini terasa seperti beban. "Untuk kebaikanku?" gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Namun, Dava sempat melirik. Tatapannya cepat, tapi tajam seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan. Setelah sarapan selesai, Dava berangkat lebih dulu ke kantor. Sementara itu, Reyhan sedang memarkirkan motornya di halaman, diikuti oleh Alea yang berjalan di belakangnya. "Cepetan, nanti telat" katanya tanpa menatap lama. Alea mengangguk pelan, memeluk tasnya di dada. Ia duduk di jok belakang, agak canggung, lalu memegang bagian pinggiran jok agar tak menyentuh punggung kakaknya. Angin pagi berhembus, membuat helaian rambutnya menari pelan. Belum sempat ia menenggelamkan pikirannya lebih dalam, suara Reyhan memecah keheningan. "Kamu kelihatan murung dari tadi"ujarnya datar, matanya tetap menatap jalan di depan. Alea terdiam sejenak. "Cuma capek, Kak" "Capek... atau gak suka diatur?" nada Reyhan sedikit berubah, setengah menggoda, setengah menyelidik. Alea menunduk, bibirnya menekan pelan. "Dua duanya mungkin" Reyhan tertawa kecil, suaranya ringan tapi entah kenapa membuat dada Alea makin berat. "Kamu harus hati-hati sama kata kata kayak gitu di depan Mama. Dia gak suka anak yang membantah" "iya apalagi cuma sama anak pungut" "kenapa?" "nggak" Alea tak menjawab. Hanya angin yang kembali mengambil alih percakapan mereka, membawa aroma pagi dan perasaan yang belum sempat diucapkan. Mereka melaju melewati jalanan kota yang mulai ramai. Di sela deru motor, Alea sempat melirik bayangan mereka di kaca toko yang dilewati dua sosok yang terlihat dekat, padahal masing masing menyimpan jarak yang tak terlihat. *** Motor Reyhan berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Suara bel masuk terdengar nyaring, diiringi hiruk pikuk siswa yang berlarian ke arah kelas. Alea masih duduk diam di jok belakang, menatap gerbang seolah tak benar benar ingin melangkah ke dalamnya. "Udah nyampe" ujar Reyhan sambil menurunkan standar motor. Ia menoleh sebentar, menatap Alea yang tampak ragu. "Kenapa? Takut sekolah tiba tiba runtuh?" Nada suaranya menggoda, membuat Alea tanpa sadar tersenyum tipis. "Leaaa! Akhirnya dateng juga!" teriak nayla sambil melambaikan tangan. Rambutnya terurai panjang, wajahnya cerah seperti biasa. Di sebelahnya, Clarissa berjalan dengan ekspresi lebih tenang, tapi matanya menatap penasaran ke arah Reyhan. "hallo gadis gadis cantik, temen kamu lea? tanya Reyhan. "hallo cowok ganteng, aku Nayla dan ini Clarissa kita berdua sahabat nya Alea" "ternyata kamu bisa juga berteman ya" ucap reyhan menggoda Alea. "apaan si, oh iya kenalin ini kakak ku Reyhan" Clarissa tersenyum kecil, melangkah setengah maju sambil menatap Reyhan lebih jelas. "Kak Reyhan, ya? Aku Clarissa" ujarnya dengan nada lembut tapi penuh percaya diri. Tatapan matanya menelusuri sosok Reyhan dari ujung helm yang masih ia pegang hingga sorot matanya yang dingin namun dalam. Ada sesuatu yang menarik perhatian Clarissa bukan sekadar wajahnya, tapi aura yang menggoda. Reyhan mengangguk pelan. "Clarissa, nama yang cantik" ucapnya menggoda. Nayla langsung menyenggol Clarissa dengan siku dan berbisik pelan, "Jangan tatap segitunya, Ris. Nanti Alea cemburu" "Nay!" Alea menatapnya tajam, wajahnya langsung memerah. Reyhan hanya terkekeh tipis, lalu menatap Alea sekilas. "Temen kamu satu ini cerewet banget, ya." "Banget" jawab Alea cepat, mencoba mengalihkan perhatian. Clarissa masih menatap Reyhan, kali ini dengan senyum tipis yang sulit diartikan. Alea memandang aneh ke arah Clarissa, Clarissa adalah antagonis di novel ini, dia hanya terobsesi dan mengejar Keenan, bagaimana bisa dia beralih menyukai Reyhan. kalau sampai Clarissa menyukai Reyhan bagaimana dengan novel ini. Clarissa terdiam sejenak, tapi di wajahnya justru muncul senyum yang lebih lebar seperti seseorang yang baru saja menemukan teka teki menarik untuk dipecahkan. Sementara itu, Alea hanya bisa mendesah pelan, merasa suasana di sekitarnya tiba tiba jadi aneh. "Udah, Kak. Aku masuk dulu, ya" katanya cepat. Reyhan mengangguk dan berbalik menuju motornya tanpa banyak bicara. Tapi Clarissa masih sempat menatap punggungnya yang menjauh, matanya berbinar tipis. "Kayaknya aku tahu kenapa kamu jarang cerita soal keluargamu, Lea…" gumam Clarissa pelan, separuh menggoda, separuh serius. "Clarissa…" Alea menatapnya jengkel. Tapi Clarissa hanya tersenyum samar, matanya masih tertuju ke arah Reyhan yang mulai melajukan motornya menjauh. "Tenang aja, aku cuma penasaran" katanya, suaranya nyaris seperti bisikan. Mereka mulai melangkah menuju gerbang sekolah. Suasana pagi masih ramai, suara siswa lain bercampur dengan deru kendaraan yang baru datang. Nayla berjalan di tengah, wajahnya penuh semangat seperti biasa. "Clarissa, jujur aja deh" katanya dengan nada menggoda. "Kamu naksir, ya, sama kak Reyhan?" Clarissa menoleh santai, tapi senyum di bibirnya nggak bisa disembunyikan. "Naksir? Belum tentu. Tapi dia menarik" "Menarik katanya" Nayla langsung menirukan dengan nada tinggi. "Berisik, bawel"sahut Alea cepat, wajahnya mulai memerah. Nayla malah semakin menggoda. "Wah, ada yang mau iparan, nih!" "Apaan sih, ngaco!" Alea menatapnya kesal, tapi suaranya justru membuat keduanya tertawa lebih keras. Mereka akhirnya berjalan masuk ke kelas sambil masih cekikikan, membuat beberapa siswa menoleh penasaran. Namun di balik tawa ringan itu, Alea sempat melirik Clarissa yang kini tersenyum samar, senyum yang sulit dibaca, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar candaan.*** Luna langsung dikerubungi oleh beberapa siswa yang penasaran. "Luna, aku dengar kamu sekolah di sini karena beasiswa, ya?" tanya salah satu murid dengan nada setengah ingin tahu, setengah menyelidik. Luna hanya diam. Tatapannya tenang, tapi jelas terlihat ia tak nyaman dengan perhatian berlebihan itu. "Wah, berarti kamu pintar dong!" seru murid lain dengan nada riang. Namun, ucapan itu segera disusul komentar yang membuat suasana berubah dingin. "Ya, lumayanlah. Setidaknya ada gunanya juga. Daripada miskin, bodoh lagi" Beberapa siswa terkekeh pelan. Luna menunduk, berusaha menahan perasaannya. "Oh, jadi kamu miskin?" suara lembut tapi tajam itu datang dari belakang. Alea sontak menoleh, Clarissa. Gadis itu berjalan mendekat dengan senyum samar di bibirnya, namun matanya jelas menyiratkan sesuatu yang berbeda. Alea terbelalak. Kenapa Clarissa ikut campur? pikirnya cemas. "kok bisa si orang miskin sekolah di si....." Belum sempat Clarissa menyelesaikan kalima
*** Bel tanda masuk berbunyi, memecah kekakuan suasana. Siswa siswa yang tadi menonton mulai berbisik bisik, membicarakan kejadian itu dengan antusias. Pemeran utama wanita tampak masih gugup, sementara Keenan hanya melangkah pergi begitu saja tanpa banyak bicara, diikuti dua temannya. Alea berdiri mematung, matanya terus mengikuti punggung Keenan yang menjauh. Ada sesuatu di dadanya yang terasa aneh campuran antara panik dan rasa tak percaya. Kenapa dia menatapku seperti itu? pikir Alea. Seharusnya dia fokus pada pemeran utama, bukan aku. Jangan bilang… keberadaanku mulai mengubah jalan ceritanya. "apa aku akan selamat pada akhirnya" pikir Alea. Suara Clarissa yang tiba tiba memanggil namanya membuat Alea tersadar. "Alea! Ngapain bengong di situ?" seru Clarissa sambil menghampiri. "Oh, nggak... nggak apa-apa," jawab Alea cepat, berusaha menormalkan ekspresinya. "aku kaget, tahu tahu kamu lari keluar" kata Clarissa heran. "Kamu kenal sama anak baru itu?" tanya Nayla
*** Keenan menoleh sekilas ke arah Farel, ekspresinya tetap datar seperti biasa. "Kenapa? Ada masalah kalau dia anak Marvelle?" suaranya terdengar tenang, tapi mengandung nada peringatan halus. Raiden dan Farel saling pandang, menahan tawa. "Enggak, cuma aneh aja. Bukannya keluarga Marvelle gak punya anak cewek?" tanya Farel penasaran. Keenan menghela napas pelan. "Main lu kurang jauh" ujarnya santai. "Dia jarang dipublikasikan aja" tambahnya kemudian, nada suaranya kembali tenang tapi tegas. "lu beneran suka sama dia" tanya farel penasaran. Keenan menatap farel tegas. "yang bilang suka sama dia siapa, memangnya gue bisa apa tentang pertunangan ini" ucap Keenan. Raiden mengangkat alis, senyum jahilnya langsung muncul. "Wih, berarti emang dijodohin dong?" godanya sambil menepuk bahu Keenan. Keenan menatapnya datar, tatapan dingin khasnya cukup untuk membuat Raiden langsung terdiam. "Kurang lebih" jawabnya singkat. Farel mencondongkan badan ke depan, nada sua
*** Bel tanda masuk baru saja berbunyi ketika Alea, Clarissa, dan Nayla melangkah menuju kelas, Matahari sudah cukup tinggi, menyinari halaman sekolah yang mulai dipenuhi murid murid dengan berbagai ekspresi dan obrolan pagi. Namun kali ini, Alea bisa merasakan sesuatu yang berbeda tatapan. Setiap langkah yang ia ambil terasa diperhatikan. Beberapa siswa yang duduk di taman depan menoleh ke arahnya, lalu berbisik bisik dengan ekspresi heran, bahkan tak sedikit yang tersenyum penuh arti. Alea menegakkan tubuhnya, mencoba bersikap seolah tak terjadi apa apa. Tapi dalam hati, ia bisa merasakan gelombang rasa canggung yang makin lama makin kuat. "Kayaknya gosipnya udah nyebar ke seluruh sekolah" bisik Nayla pelan, menatap sekelompok siswa yang menatap mereka dari jauh. Clarissa mengangkat alis. "Ya jelas. Semalam aja satu kota tahu, apalagi anak sekolah" Alea hanya mengangguk pelan. Ia memang sudah memperkirakan ini akan terjadi. Tapi tetap saja, berada di tengah sorotan sepert
*** Tubuh Alea seketika menegang, tetapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, mobil sudah berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba tiba terasa terlalu cepat. "Menyebalkan?" ulangnya pelan, masih mengingat nada dingin dava beberapa detik lalu. "Kenapa?" Tidak ada jawaban. Hanya suara mesin yang perlahan mati, terdengar lebih nyaring dari biasanya seolah menegaskan akhir dari percakapan yang menggantung di udara. Alea turun dari mobil, dan sesaat kemudian mobil itu melaju pergi, meninggalkannya yang masih berdiri dalam kebingungan. Beberapa detik ia hanya terpaku di tempat, hingga suara langkah cepat mendekat dari arah samping membuatnya menoleh. Dua sosok tiba tiba muncul di hadapannya membuatnya terlonjak kaget. "Ya ampun! Kalian bikin kaget aja" serunya sambil menepuk dadanya pelan. Namun, bukannya tertawa seperti biasa, kedua temannya justru diam dengan wajah cemberut. Alea mengerutkan kening, merasa ada
*** Pagi itu suasana di kediaman keluarga Marvelle terasa hangat dan ceria. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan yang sudah tertata rapi. Alea menuruni tangga dengan langkah ringan, mengenakan seragam sekolah yang sudah rapi disetrika. Rambutnya dikuncir sederhana, membuat wajahnya tampak segar pagi itu. Alea duduk di meja makan, tepat berhadapan dengan Dava. Suasana mendadak terasa mencekam. Tatapan tajam Dava menembusnya seperti bilah pisau yang siap menusuk kapan saja. Alea menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut perlahan merambati seluruh tubuhnya setiap kali mata mereka hampir bertemu. Nyonya Marvelle tersenyum puas sambil menatap suaminya. "Acara ulang tahun perusahaan semalam benar benar sukses besar" ujarnya penuh semangat. "Semua tamu tampak terkesan, terutama setelah Keenan dan Alea datang bersama, Banyak yang memuji citra keluarga kita" Tuan Marvelle hanya mengangguk kecil sambil melipat surat kab