Matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Wanita berpakaian semi formal itu terlihat menutupi cahaya matahari dengan tangan agar tidak membuat pandangannya menjadi silau.
Lantai empat puluh enam. Tempat wanita itu berdiri, menatap kesibukan jalanan di bawah sana dari balik kaca ruangan yang tembus pandang.Jalanan ibu kota padat merayap. Seperti biasa, jam-jam sibuk berangkat kantor. Mobil dan motor terlihat kecil seperti miniatur dari lantai setinggi ini, tersusun panjang mengular. Membentuk tiga barisan. Sementara di sela-sela barisan mobil, beberapa motor nyelip, seenaknya nyempil mentang-mentang kecil.Wanita itu mengalihkan pandangan ke meja kerjanya. Bola mata yang dilapisi lensa kontak berwarna biru itu menatap foto di atas meja.Matanya mendadak basah. Kejadian tiga tahun lalu tiba-tiba datang menyapa. Hadir begitu saja memenuhi ingatan."Ney"Arlin yang sedang duduk di kursi salah satu cafe mengangkat kepala. Terseny"Apa maksudmu, Bee? Aku bahkan sudah mengatakan pada mama dan papa dalam waktu dekat ini keluargamu akan datang meresmikan lamaran." Arlin menatap kekasihnya dengan perasaan campur aduk. Sedikit bingung, sedikit heran, lebih banyak sedih dan sakit. Semua rasa bercampur menjadi satu. Membuat hati semakin sesak, hingga akhirnya air mata keluar tidak terbendung.Hendra menggigit bibir. Aduh! Urusan ini sungguh rumit sekali."Aku sudah menikah, Ney." Hendra memejamkan mata."Hah?!" Arlin menarik tangannya dari genggaman Hendra dengan kasar."Menikah bagaimana maksudmu?!" Arlin mengguncang bahu Hendra.Wanita berkulit putih itu menggeleng kencang. Tidak mungkin! Hendra pasti berbohong. Menikah maksudnya? Bukankah selama empat tahun ini hubungan mereka baik-baik saja? Bahkan Arlin pun cukup dekat dengan Mama Lily. "Aku dijodohkan, Ney." Hendra akhirnya terisak. Sungguh. Dia sangat mencintai Arlin.Arlin terdiam. Dijodohkan? B
"Suatu saat kau akan tahu, Tik. Yang kulakukan ini bukan sekedar "hanya". Aku akan menghancurkan wanita itu dan merebut kembali lelakiku." Bayangan wajah antusias Arlin saat membahas Hendra terpantul jelas pada meja kaca di hadapannya. Wanita itu memang memilih bahan kaca untuk meja kerjanya. Dia selalu menyukai kaca-kaca tembus pandang dan bisa sedikit memantulkan bayangan."Lin. Tidak bisakah kau melupakan Hendra? Di luar sana, banyak yang mengantri untuk mendapatkan perhatianmu."Arlin mengangguk-angguk kecil mendengar perkataan Tika. Wanita itu bergerak bebas berayun ke kiri dan ke kanan dengan kursi kerjanya yang bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat."Tetapi, aku maunya Hendra. Gimana dong?" Arlin menyipitkan mata dan menggoyangkan bahu sedikit. Suaranya yang manja terdengar menggemaskan. Tika tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Ujung matanya menangkap hordeng berwarna silver di belakang Arlin sedikit bergoyang. Hembusan pendingin
"Tring!"Nada pesan di ponsel Vira berbunyi. Wanita yang sedang memasak nasi goreng itu mengerutkan kening. Ujung matanya melirik ponsel warna biru tua yang terletak di atas meja makan."Kok setiap ponselku berbunyi, ponselmu juga berbunyi, Vir?"Vira terlonjak kaget mendengar suara Hendra yang tiba-tiba sudah duduk di meja makan. Bukannya tadi lelaki itu masih mandi saat dia keluar kamar untuk memasak? Kini, saat masakannya baru setengah jadi, bisa-bisanya Hendra sudah berpakaian rapi. Vira menggelengkan kepala heran."Aku ada janji temu rekanan bisnis jam setengah delapan ini, tidak usah heran kenapa aku sudah rapi begini." Hendra seperti bisa membaca keheranan istrinya.Vira mengangguk-angguk menanggapi ucapan Hendra. Dia sibuk memindahkan nasi goreng dari wajan ke dalam wadah. Asap mengepul dari nasi goreng buatan Vira, menguarkan aroma yang sangat menggoda.Setelah itu, Vira menggoreng telur dadar yang sudah diraciknya. Empat buah telur dadar dengan banyak bawang bombay dan tomat
"Vir."Hendra menghentikan makannya yang hampir selesai saat melihat wajah Vira mendadak muram saat membaca pesan di ponselnya. "Ada masalah?"Vira menggeleng pelan. Wanita itu terlihat memaksakan senyum."Sudah sarapannya, Mas? Berangkatlah, nanti terlambat."Hendra mengerutkan kening melihat raut wajah Vira berbeda dari biasanya."Sedikit lagi." Hendra menyendokkan nasi goreng terakhir di piringnya."Oh, iya, Vir. Mama kapan pulang katanya?" "Tiga hari lagi, Mas." Vira menjawab singkat. "Ck!" Hendra berdecak sebal. Mama Lily terlalu gaul menurut Hendra. Ini juga mamanya itu pergi ke luar kota dengan teman-temannya. Menikmati masa tua katanya, saat Hendra protes karena pergi terlalu lama.Hendra melambaikan tangan saat mobilnya keluar dari halaman. Matanya melirik bayangan Vira dari kaca spion. Dia merasa agak janggal dengan sikap Vira. Tidak biasanya wanita yang selalu ceria itu terlihat murung. Sementara bergegas masuk ke kamar saat mobil Hendra menghilang dari pandangan. Wani
Vira tidak patah semangat. Tujuannya hanya satu. Membuat Rahma dan Silmi membayar semua rasa sakitnya. Biarlah mereka tersiksa karena mengira dia hidup dalam kebahagiaan, sehingga enggan untuk pulang.Penguatnya hanya satu. Semua karena Mama Lily. Vira bersyukur karena mertuanya itu sangat baik padanya."Tring!"Bunyi ponsel Vira kembali terdengar. Wanita itu menghapus air mata di pipinya. "Sakit Ayah kambuh lagi."Vira terkesiap. Ini masalah serius. Sebenci apapun dia dengan ayahnya, lelaki itu satu-satunya orang tua yang dia punya. Bagaimanapun, dulu dia pernah merasakan kehangatan kasih sayang seorang Ayah.Mungkin tiba saatnya dia harus kembali. Pulang sejenak ke rumah yang dulu sempat tidak ingin dia datangi lagi. Terlebih, pesan yang dikirim Ayah Aksa sepertinya serius. Dada Vira mendadak berdebar. Tiga tahun tidak pernah berjumpa, sudah seperti apa rupa ayahnya? Akankah masih sama dengan hari terakhir mereka saling bertatap mata?Gemetar tangan Vira menekan nomor telepon Hendr
"Mari, silakan." Hendra mempersilakan rekan bisnisnya duduk.Pramusaji menghampiri meja mereka. Nomor empat. Entah suatu kebetulan semata atau justru alam bawah sadar Hendra yang menggerakkan memilih meja dengan nomor itu.Empat. Tanggal empat bulan empat, dia dan Arlin memutuskan mengikat diri dalam sebuah hubungan. Tanggal empat bulan empat juga, hubungan mereka berakhir. Saat itu, ketika mereka memutuskan akan melangkah ke jenjang yang lebih serius di usia empat tahun kebersamaan."Jadi begini, Pak Hendra. Bu Arlin ini adalah pengganti pimpinan sebelumnya. Beliau baru pulang dari menempuh pendidikan di Jepang beberapa bulan yang lalu." Pak Prima menjelaskan sambil menunggu pesanan datang.Hendra mengernyitkan kening. Dia baru tahu bahwa perusahaan yang baru akan bekerjasama dengannya ini adalah milik keluarga Arlin."Perusahaan ini milik Kakek, Hen. Awalnya dijalankan oleh Om Heru. Kamu memang belum pernah bertemu karena selama ini Om Heru selalu sibuk dan sering bepergian ke luar
"Bisnis ini sangat menjanjikan. Bahkan, sekelas perusahaan minyak besar milik negara juga sudah melakukan ekspansi minyak luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama.""Tetapi mereka melakukan ekspansi ke daerah gurun sana, Bu Arlin! Anda yakin tanah bersalju ini menyimpan banyak minyak di bawahnya?" Hendra memijat perlahan keningnya."Well, Pak Hendra. Saya memang baru terjun sebagai pimpinan perusahaan. Tetapi, bukan berarti saya tidak punya pengalaman bisnis sama sekali, jika itu yang anda ragukan. Tim riset yang kami kirim bukan tim yang baru dibentuk kemarin sore, mereka sudah sangat …."Hendra sudah tidak mendengarkan penjelasan Arlin lagi. Dari awal dia sebenarnya sudah menyetujui kerjasama ini. Sekali lagi, dia hanya menguji Arlin.Melalui penjelasan wanita itu barusan, Hendra paham Arlin sangat menguasai bidang ini. Lelaki itu sungguh kagum dengan perubahan Arlin. Wanita lemah lembut yang selama ini dia kenal, kini telah berubah menjadi pebisnis handal.Sungguh. Pesona Arl
Mobil Vira memasuki halaman rumah yang selama tiga tahun ini tidak pernah menjadi tempatnya pulang lagi. Vira bergegas mengambil tas tangan dan mencabut kunci mobil. Wanita itu sedikit menggeliat dan melakukan gerakan stretching ringan untuk melemaskan otot-otot tubuhnya. Lima jam perjalanan tanpa henti, membuat otot-ototnya sedikit tegang.Vira yang menggunakan sepatu kets berwarna baby pink dengan merk salah satu produk ternama melangkah ringan. Sekilas matanya menyapu halaman. Tidak banyak yang berubah, halaman rumah itu tertata rapi dan indah dengan berbagai macam tanaman hias dan beberapa bonsai. Rahma, ibu tiri Vira memang menyukai keindahan.Vira sedikit pusing saat akan sampai pada pintu utama. Bayangan keluarga bahagia di depannya mendadak memenuhi ingatan. Ayah Aksa, Rahma dan Silmi yang sedang duduk santai sambil menonton televisi bersama. Suara tawa mereka bahkan masih terdengar jelas di telinga Vira. Meninggalkan trauma akan sakit hati karena hanya bis