AKU DI ANTARA KALIAN
- Mengajak Bersama Sesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih. Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas." Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam. "Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar. "Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja. "Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu. "Besok saja kalau panasnya belum turun. Sekarang mau kukasih paracetamol dan kukompres dulu." Beberapa saat kemudian mereka sibuk mengurus Arsha hingga anak itu tenang setelah minum obat dan minum susu. Tubuhnya mulai berkeringat dan kembali memejam. Namun dia tidak mau dibaringkan di tempat tidur. Maunya digendong. "Sini kugantiin gendong." Manggala hendak melepaskan gendongan, tapi Kiara menahannya. "Nggak usah, Mas. Biar aku saja. Mas, istirahatlah. Besok kerja," tolak Kiara dengan halus. Kemudian membawa sang anak keluar kamar. Ditutupnya pintu supaya Manggala bisa istirahat. Kiara duduk di sofa, di bawah lampu temaram ruang keluarga. Ia memandang pintu kamar yang ditutupnya tadi. Tak terasa air matanya merambat ke pipi. Manggala sepeduli itu. Meski terlihat dingin, jarang bicara, dan entah bagaimana isi hatinya, tapi dia sangat peduli pada Arsha. Sejak bayi kalau anak itu sakit, Manggala tak segan menemaninya begadang. Dibelainya rambut sang anak. Wajah Arsha dipandangi. Terlihat begitu tenang, tidur dengan napas berat karena demam. Satu tangan kecil menggenggam baju ibunya. Kiara menatapnya lama, seolah ingin merekam seluruh lekuk wajah itu. Mata kecil, alis tebal, hidung bangir, dan bibir yang sedikit terbuka saat tidur. Tampan. Benar-benar seperti Narendra dan mirip Manggala. Perlahan Kiara membungkuk dan mengecup kening Arsha. Suhu panas itu membuat air matanya menetes. Bukan hanya karena khawatir, tapi karena rasa bersalah yang masih disesalinya. Dulu dia ingin menggugurkan Arsha, tapi sekarang anaknya lecet sedikit saja, Kiara sudah cemas. "Maafkan ibu, Arsha. Dulu ibu pernah berpikir nggak ngizinin kamu hidup," bisiknya lirih. "Maafkan ibu, Sayang. Padahal kamu satu-satunya yang ibu punya sekarang. Cepat sembuh, ya." Kiara menarik napas panjang. Dia ingat nasihat dokter Ratna. "Kamu tahu setiap anak punya takdirnya sendiri. Kadang kehadiran mereka justru jadi titik balik bagi kita. Kamu masih muda. Tapi keputusan ini akan kamu bawa seumur hidup. Jangan lanjutkan, kamu akan menyesal nanti. Kalau kamu nggak punya siapa-siapa, anak itu nanti yang akan kamu punya." Kini di tengah malam seperti ini, dengan Arsha bersandar di dadanya, Kiara merasa keputusan mempertahankan kandungannya adalah yang paling benar. Dia memang sempat ingin menggugurkan, tapi Kiara tidak ingin melakukannya sendiri dengan mengonsumsi ini itu yang berbahaya buat janin. Kiara pergi ke dokter, nyatanya dia pun ditolak. Hingga nekat menemui keluarga Narendra. Andai saat itu tak diterima, Kiara tetap akan bertekad melahirkan anaknya. Entah bagaimana ia akan menjalani kehidupan nantinya. Ucapan dokter sangat mengena dalam benak. Bahwa anak itu tidak akan menjadikannya sebatangkara lagi. Karena kelelahan fisik dan mental, Kiara akhirnya tertidur. Tubuhnya bersandar di sandaran sofa, kepala sedikit terjatuh ke belakang, dan Arsha masih di pangkuannya. Pintu kamar terbuka pelan. Manggala keluar, mengusap wajahnya yang masih mengantuk. Ia sempat tertidur, tapi terbangun karena ingat istri dan anaknya masih di luar. Setiap Arsha rewel atau sakit, Kiara menjauhkan anak itu darinya agar tidak mengganggu. Manggala mendapati pemandangan yang mengusik hatinya. Kiara tertidur di sofa memangku Arsha dengan posisi tubuh miring, tangannya masih memeluk anaknya erat. Hati Manggala tergetar. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan melihat kedua sosok itu. Perlahan ia berjalan mendekat. Duduk di sisi sofa dan menyentuh pelan lengan Kiara. "Kiara," panggilnya lirih. Kiara terbangun seketika. Ia mengedip beberapa kali, bingung. Lalu segera sadar di mana ia berada. Lantas memandangi putranya yang masih terlelap dalam gendongan. "Suhu tubuhnya udah turun?" Manggala mendekat, meletakkan telapak tangan di dahi Arsha. "Besok pagi kita periksakan ke dokter anak." Kiara meraih termogun di sebelahnya dan mengecek suhu tubuh Arsha. 37°C. "Dia sudah membaik." "Kamu tidur di dalam. Di sini nggak nyaman. Biar aku yang gantiin gendong." "Biar aku tidurkan di tempat tidurnya saja, Mas." Kiara hendak bangkit, tapi kakinya seperti kesemutan karena salah posisi duduk. Akhirnya Manggala mengambil Arsha dari pangkuan Kiara. Gerakan itu membuat Arsha merengek sebentar, tapi segera kembali terlelap saat merasakan pelukan di dada ayahnya. Dan Kiara berdiri pelan, lalu mengikuti Manggala ke kamar. Ia membetulkan bantal, membuka selimut, dan Manggala meletakkan Arsha hati-hati di baby crip. Setelah memastikan anak itu nyaman, Kiara segera mengambil air minum dan meminum seteguk. "Mas, aku tidur, ya." Kiara bicara sambil memandang Manggala. Rasa kantuknya sungguh hebat, tapi dia juga ingat akan ajakan sang suami tadi. "Ya," jawab Manggala singkat. Lantas Kiara berbaring menghadap tempat tidur anaknya. Seingatnya baru kali ini menolak. Padahal siang tadi Manggala baru pulang dari bertemu Nada. Tapi malam ini, kenapa mengajaknya 'bersama'. Sementara Manggala masih duduk di pinggir pembaringan. Memandang Kiara dan Arsha bergantian. Ada suatu rasa dalam dada yang mengusiknya. Untuk beberapa saat Manggala diam menunduk. Kemudian bangkit mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu warm white yang menempel di dinding. Sebelum berbaring, ia kembali memandang Kiara yang tidur meringkuk membelakanginya. Hatinya berdesir. 🖤LS🖤 Kiara tergesa duduk saat mendengar suara kicau burung yang riuh di sekitar rumah. Sinar matahari pagi tampak terang dari jendela yang terbuka. Ah, dia kesiangan karena tertidur habis salat subuh. Mana belum memasak untuk sarapan. Dilihat Manggala sudah tidak ada di sisinya. Kiara menghampiri Arsha yang masih tidur. Dengan punggung telapak tangan, Kiara memeriksa kening anaknya. Masih sedikit hangat. Untuk meyakinkan, ia mengambil termogun. 36,8°C. Kiara lega lantas keluar kamar. "Maaf, aku kesiangan, Mas," ucap Kiara pada Manggala yang sibuk dengan laptopnya di meja makan. Di samping benda itu, Kiara melihat secangkir kopi yang tinggal separuh. "Nggak apa-apa. Aku sudah belikan lauk. Kamu nggak usah masak hari ini." Manggala memandang bungkusan kresek di atas meja, kemudian kembali fokus ke laptopnya. "Oh iya, makasih." Dengan cekatan Kiara mengambil baskom untuk mencuci beras. Selesai itu memindahkan lauk ke dalam wadah. Saat bersamaan ponsel Manggala berpendar. Kiara jelas melihat siapa yang menelepon. Nada. "Aku berangkat ke garasi dulu." Manggala bangkit, membereskan laptop dan meraih ponselnya lantas melangkah keluar rumah. Garasi sebutan gedung besar tempat parkir kendaraan-kendaraan milik Gatotkaca Travel. Kiara yang termangu, mendengar ponselnya di kamar berdering. Dengan langkah cepat ia mengambil benda itu supaya tidak membuat Arsha terbangun. Ada panggilan masuk dari nomor yang tidak ada di kontak whatshapp-nya. Siapa ini? Next .... Selamat membaca 🫶🏻"Memangnya saat itu ada orang lain di rumah kita?" Manggala malah ganti bertanya.Kiara mengembuskan napas pelan. Ditatapnya sang suami. Lelaki yang keras kepala, kadang konyol, suka memaksakan kehendak, tapi hatinya juga gampang jatuh iba.Beberapa menit kemudian, suasana mulai mencair. Kiara mematikan layar laptop dan mencabut flashdisk milikinya. "Mas tahu nggak, betapa stresnya aku waktu kehilangan benda ini?""Ya, Mas tahu kamu mencarinya setiap hari. Sampai di kolong-kolong lemari dan meja." Manggala menahan senyum."Ish." Kiara mencubit pinggang suaminya. "Tega kamu, Mas. Kenapa saat itu diam saja.""Mas harus tega demi melihatmu bertahan."Keduanya saling pandang. Mereka terdiam menikmati keheningan yang tercipta. Sedangkan di luar, suara gemerisik di gudang terdengar samar.Manggala menarik Kiara dalam dekapannya. Mencium keningnya berulangkali. Dan sang istri membalas pelukannya. Tidak peduli seberapa keras permasalahan menekan, selama mereka masih bisa saling memaafkan, men
Kiara menatap meja kerja suaminya. Di sana ada tumpukan kertas kerja, katalog desain, dan sketch book berada di atasnya. Kiara duduk di kursi putarnya Manggala. Tiba-tiba ia tertarik untuk membuka laci. Penasaran karena selama mampir ke situ, Kiara tidak pernah membukanya.Tangannya terhenti saat melihat sebuah flashdisk warna hitam ada di pojok. Diambilnya benda itu lalu diamati untuk memastikan, itu miliknya atau bukan. Dan ... hati Kiara mencelos. Benar, itu flashdisk yang selama ini ia cari dan dikira hilang ternyata ada di laci meja kerja suaminya. Benda yang menyimpan CV dan semua file desain yang pernah ia buat beberapa tahun lalu. Tapi kenapa ada di sini? Tidak mungkin benda itu jalan sendiri kalau tidak dipindahkan. Jadi, Manggala yang telah mengambilnya?Pintu terbuka dan Manggala tersenyum ke arahnya."Mas!" serunya kesal. Kiara berdiri dan Manggala mendekat."Ada apa, Sayang?"Tanpa berkata, Kiara mengangkat tangan dan menunjukkan flashdisk di genggamannya. Wajahnya terlih
AKU DI ANTARA KALIAN- Akhirnya Ketemu Pagi itu menjadi pagi yang penuh suka cita di ruang makan keluarga Pak Gatot. Mereka menyambut bahagia kabar baik dari Tiana. Setelah Kiara keguguran, sekarang Tiana yang berbadan dua. Menjadi rezeki yang tak ternilai harganya dari pernikahan Narendra dan Tiana. Rizky terlihat berbinar-binar mendengar kalau dia mau punya adik. Tentu saja sangat bahagia. Usianya hampir delapan tahunSetelah mengantarkan Rizky ke sekolah, Narendra dan Tiana langsung pergi ke tempat praktek dokter Maya. Di mana mereka selama ini selalu konsultasi dan menjalani program kehamilan.Dokter Maya menyambut mereka dengan senyum hangat. Tiana masih berdebar saja. Ini memang bukan kehamilan yang pertama, tapi kehamilan ini disambut dengan luar biasa oleh suami dan keluarganya. Beberapa menit kemudian, dokter Maya menunjukkan layar monitor USG ke arah mereka. "Ini kantung kehamilannya," ujar sang dokter sambil menunjuk titik kecil pada layar. "Usia kehamilan sekitar 4–5 mi
Mereka tidak ada yang datang ke rumah sakit, karena dilarang Manggala. Biar Kiara bisa istirahat dengan tenang pasca keguguran. Toh keesokan harinya juga sudah boleh pulang. Jadi sehari semalam, Kiara hanya ditemani oleh Manggala.Anak-anak diboyong semua ke rumah neneknya. Sebab si kembar rewel mencari ibunya. Di rumah sang nenek, mereka ceria karena ada kakek, nenek, pakdhe, dan budhenya. Ada Rizky yang menemani mereka bermain. Keesokan harinya, dari rumah sakit Manggala langsung mampir menjemput anak-anak ke rumah ibunya. Kiara juga ikut turun. Bu Puri tergopoh menghampiri dan meraih tangan menantunya. "Saya nggak apa-apa kok, Bu," kata Kiara sambil tersenyum."Duduklah dulu. Anak-anak diajak pakdhe sama budhenya keluar tadi. Sekalian nganterin Rizky dan Arsha ke sekolah."Pantas saja rumah sepi. Kiara dan Manggala duduk di ruang makan. Mak Yah membuatkan dua gelas teh hangat. Mereka ngobrol bertiga, karena Pak Gatot sudah ke Garasi."Ibu nggak nyangka kamu hamil lagi, Ki. Padaha
Keringat dingin membasahi pelipis dan tengkuknya. Ia memanggil Manggala, "Mas!"Di kamar mandi, suara air berhenti. Manggala keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia sudah mengenakan celana dan kaus warna hitam. Pria itu kaget melihat istrinya yang membungkuk menahan perutnya. "Sayang, kamu kenapa?" Manggala berlari ke sisinya. Wajah Kiara pucat. Keringat mengalir deras di pelipis, bahkan lehernya sampai basah.Kiara menggigit bibir. Tubuhnya gemetar, tangan mencengkeram perut. "Perutku tiba-tiba sakit banget, Mas," desisnya.Wanita itu menggigil dan merasakan bawahnya basah. Tangan kanannya menyentuh bagian bawah tubuhnya, dan saat ia mengangkat telapak tangan, darah menodai jemarinya. Mereka berdua sama-sama kaget dan panik.Tanpa pikir panjang, Manggala langsung membopong Kiara keluar kamar. "Mbak Asih, tolong bukain pintu depan!" teriaknya pada Mbak Asih.Wanita yang tengah menyiapkan sarapan, sontak berlari. Dalam kepanikan, ia mengambil kerudung Kiara yang a
AKU DI ANTARA KALIAN- Buah Penantian "Kaira, sini, Sayang!"Nada mendengar suara Manggala memanggil anak itu. Jadi nama anaknya Kaira. Wanita itu melirik pada gadis kecil yang usianya tak beda jauh dari anaknya.Kaira yang sudah terlanjur melihat anak kecil yang saat itu juga memandangnya, tidak mau pergi dari sana. Mereka saling pandang. Anaknya Nada ingin turun, tapi ditahan oleh ibunya.Sedangkan Kaira ingin mendekat dan berkenalan. Ketika kaki kecilnya hendak melangkah, Manggala menghampiri dan meraih tubuh sang anak. Kaira tertawa geli saat ayahnya membopong sambil menciuminya.Nada bernapas lega. Namun ia tetap berusaha bersikap sebiasa mungkin. Agar suaminya tidak curiga.Setelah mereka menjauh, Nada menoleh. Dari sini dia tahu kalau anaknya Manggala kembar. Gadis kecil di dekatnya tadi sama anak laki-laki yang sedang digandeng oleh seorang ART mereka.Dia tidak sanggup bertemu lagi dengan mereka. Terakhir ketika Nada datang untuk meminta maaf. Setelah itu berharap tak berjum