Share

6. Butuh Pengakuan

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-06 14:34:39

AKU DI ANTARA KALIAN

- Butuh Pengakuan

"Halo."

"Kiara, aku Nada."

Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala.

"Oh iya, Mbak. Ada apa?"

"Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala."

Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala.

"Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?"

"Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala."

"Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun.

Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih tinggal kirim ke aku. Aku juga menantu mereka walaupun Mas Gala belum berterus terang sama ayah dan ibunya. Tapi suatu hari mereka akan tahu juga. Aku juga nggak mau disembunyikan terus-terusan." Suara Nada terdengar mulai kesal.

"Maaf, saya nggak berani. Mbak, bisa minta sendiri sama Mas Gala. Maaf."

"Aku tunggu pokoknya." Selesai bicara dengan nada memaksa, Nada langsung menyudahi panggilan. Kiara menghela nafas panjang. Dia masih mematung di ruang keluarga.

Jelas dia tidak mungkin memberikan nomer Pak Gatot dan Bu Puri pada madunya. Ini bukan soal cemburu atau khawatir kalau dirinya akan tersingkir, tapi bukan haknya memberikan informasi itu.

Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar. Namun Kiara tidak ingin bertindak di luar sepengetahuan Manggala. Lebih baik mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang terjadi nanti.

Wanita itu menghela nafas panjang, kemudian tergesa masuk kamar saat mendengar anaknya menangis.

đź–¤LSđź–¤

Tengah hari, Nada mengirimkan pesan lagi.

[Kiara, masih aku tunggu nomernya, ya.]

Kiara termangu. Dia harus bilang apalagi. Jelas kalau dia sudah menolak mengirimkan nomer. Jujur dia takut. Ingin memberitahu Manggala tentang hal itu, tapi Nada melarangnya. Nanti kalau dikasih tahu, permasalahan baru akan muncul. Begitu ruwetnya.

Ketika tengah melamun, Ponselnya kembali bergetar. Kali ini Nada menelepon.

"Halo." Kiara menjawab. Namun dia lebih dulu merekam percakapan mereka. Hanya untuk berjaga-jaga. Tidak ada siapapun yang akan membelanya kalau terjadi sesuatu.

"Aku nggak akan berhenti sampai kamu kasih nomor itu. Walaupun bukan sekarang, pada akhirnya mereka berhak tahu. Aku nggak mau jadi istri yang disembunyikan seumur hidup. Kamu hanya butuh pengakuan untuk anakmu sampai dia lahir, kan? Tapi kenapa kamu masih bersama Mas Gala sampai sekarang.

"Mas Gala berhak bahagia dengan perempuan pilihannya sendiri. Sampai kapan akan menikah dalam keterpaksaan."

Dada Kiara bagai disiram bara panas. Nada yang selama ini diam, akhirnya meluahkan kekecewaan yang mungkin dia pendam selama ini. Mata Kiara memanas. Setelah menarik napas panjang, ia bicara. "Saya paham." Suara Kiara terdengar datar. Ia mengusap kepala Arsha yang mulai bersandar di dadanya. Tubuh itu masih lemah walaupun sudah mau bermain. "Mbak, bicarakan saja dengan Mas Gala, ya."

"Bukankah yang kamu cintai itu kakaknya yang menghamilimu itu. Kenapa kamu masih bertahan dengan Mas Gala. Kamu nyaman sebagai istrinya, ya? Hidup enak dengan fasilitas yang diberikannya." Ucapan Nada mulai ketus. Membuat dada Kiara terasa nyeri.

Ketika hendak menjawab, panggilan diputus begitu saja. Tidak ada kata pamit. Kiara menarik napas panjang. Padahal dia sudah bicara dengan Manggala untuk bercerai saja. Karena hal ini pasti akan menyakiti hatinya dan hati wanita itu. Namun Manggala tidak mau. Kenapa?

Arsha memandanginya. Mungkin heran melihat ibunya berwajah sedih. Tersadar saat diperhatikan sang anak, Kiara buru-buru tersenyum dan mengajak anaknya bermain, hingga bocah itu mulai ceria.

đź–¤LSđź–¤

Beberapa jam kemudian, ketika matahari mulai tergelincir ke langit barat, Kiara menggendong Arsha dan naik ke atas motor. Dia ingin mengajak sang anak ke rumah peninggalan orang tuanya.

"Kita ke rumah Uti, ya," ucapnya seraya memakaikan topi di kepala Arsha.

Angin menjelang sore terasa menyegarkan. Kiara menelusuri jalanan desa yang sepi. Namun di sawah, para petani sudah sibuk beraktivitas lagi. Menyiangi tanaman padi yang menghijau bak hamparan permadani.

Akhirnya Kiara dan Arsha sampai juga. Rumah berukuran sedang bagi ukuran orang desa. Berdinding semen yang sudah memudar catnya. Halamannya tak terlalu luas. Beberapa bagian genteng tampak miring, lumut merambat di sisi tembok. Tapi di sanalah semua kenangan Kiara tertinggal. Masa kecil yang penuh cinta. Masa remaja yang penuh mimpi.

Banyak sekali perbaikan jika ia ingin menempati rumah itu. Genteng sudah banyak yang pecah dan jatuh diterpa angin atau pun hujan.

Kiara memarkir motor di bawah pohon mangga tua yang masih kokoh berdiri di depan rumah. Ia membuka pintu yang sudah beberapa hari tidak disambangi.

"Ini rumah kita, Arsha," bisiknya pada putranya yang menatap sekeliling. Kiara menurunkan anak itu, membiarkannya berjalan dengan sandalnya yang berdecit tiap kali kaki kecilnya melangkah.

Di ruang tengah, Kiara duduk di lantai beralaskan tikar. Jemarinya menyusuri lantai keramik. Sebak sekali dadanya.

"Andai mereka masih hidup, mungkin aku tidak akan seperti ini," ucapnya lirih. Pandangannya menerawang. Ingatannya melayang pada masa-masa ketika keluarganya masih ada.

Narendra, satu-satunya tempat bergantung setelah dirinya kehilangan semua. Dia yang peduli, yang melindungi, tapi dia juga yang menghancurkannya.

Apa alasannya menghilang? Kiara ingin tahu. Kalau karena sudah tidak ada rasa lagi, dia mendapatkan yang lain, Kiara tak akan pernah bertanya lagi. Anggap saja apa yang direnggut Narendra darinya, sebagai pembayaran untuk segala pengorbanan laki-laki itu terhadapnya selama ini. Meski ada anak yang tidak berdosa lahir dari rahimnya.

Kiara mendongak untuk menahan air mata yang menggenang. Bukan lagi menangis untuk nasibnya dua tahun belakangan ini. Tapi karena tiba-tiba rasa rindu yang menyeruak. Kangen pada keluarga.

Sementara di hadapannya, Arsha berlari-lari kecil mengelilingi ruangan. Terkadang berhenti memperhatikan sandalnya yang berdecit-decit, suaranya riuh di ruang tamu.

"Kenapa kalian di sini?"

Suara itu mengangetkan Kiara. Spontan dia menoleh ke arah pintu.

Next ....

Selamat membaca 🫶🏻

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (23)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
ngalah aja Kiara ..km mundur dr PD hati km malah hancur
goodnovel comment avatar
sasri
kesal sama nada..
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
ayo Kiara bangkit.. beritahu Gala soal Nada yg menerima.. klo pada akhirnya kamu harus berpisah kamu harus kuat demi Arsha..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku di Antara Kalian   142. I Love You 3

    "Mas, apa yang kamu rasakan? Masih pusing?""Masih sedikit, tapi lebih enak dari semalam.""Alhamdulillah." Kiara lega. Kiara beranjak untuk mengambil baskom dan waslap, mengisinya dengan air hangat untuk menyeka tubuh suaminya. Manggala merasakan perhatian yang begitu dalam. Sejak awal menikah, Kiara sudah begitu baik menjalani perannya sebagai istri. Namun kali ini rasanya berbeda. Manggala merasa sangat beruntung memiliki istri yang hebat dan kuat menurut versinya."Arsha nggak rewel tadi malam?""Semoga saja nggak, Mas," jawab Kiara."Terima kasih, Ki. Mas bahagia memilikimu." Manggala menggenggam tangan Kiara yang memegang waslap di dadanya. Mereka saling pandang. Kali ini Kiara tak canggung lagi. Membalas tatapan itu penuh perhatian. Memang ada Narendra di antara mereka. Lelaki yang terkadang menatapnya penuh makna tiap kali mereka tanpa sengaja bertemu. Sesekali membuat dada Kiara berdesir. Sebab mereka memang memiliki kenangan yang cukup indah di masa lalu. Narendra juga sa

  • Aku di Antara Kalian   141. I Love You 2

    Bertahannya sebuah pernikahan, tergantung bagaimana seorang suami mempertahankan. Manggala pernah membuat kesalahan yang tidak semua perempuan bisa menoleransinya. Namun ia tidak pernah berucap hendak meninggalkan Kiara. Sementara Kiara sendiri tidak akan pergi selagi Manggala tidak melepaskannya."I love you, Ki." Manggala memandang serius.Kiara tersenyum sambil berkaca-kaca. Bibirnya sampai bergetar menahan supaya tidak menangis. "Terima kasih ya, Mas. Untuk semuanya. Mas, yang membuatku merasa berharga lagi.""Mas yang harus berterima kasih karena sudah memberikan peluang kedua. Kamu wanita hebat, Sayang. Kita udah melewati masa paling sulit. Dan kita masih bersama. Sebentar lagi akan lahir bayi kembar kita."Kiara mendekati wajah dan mengecup pipi suaminya. "Aku bangga sama kamu, Mas. Aku bahagia jadi istrimu."Manggala terharu. Dia hanya bisa mengusap lembut bahu istrinya. Ingin memeluk tapi tidak bisa karena terhalang perut besar Kiara.Saat mendengar langkah kaki, Kiara buru-b

  • Aku di Antara Kalian   140. I Love You 1

    AKU DI ANTARA KALIAN- I love you Kiara panik kemudian turun dari pembaringan. Sambil menyangga perutnya, ia menghampiri sang suami. Kemudian menekan tombol nurse call warna merah yang menempel di dinding atas kepala tempat tidur.Diraihnya tisu untuk mengelap bibir Manggala. Netra Kiara sudah berkaca-kaca, sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. "Apa yang Mas rasain?""Mas nggak apa-apa. Memang sejak pagi tadi sudah terasa mual." Manggala menahan lengan istrinya yang hendak menunduk membersihkan bekas muntahan. "Jangan, Ki. Kamu nanti jatuh. Panggil Yono saja."Kiara segera membuka pintu. Yono yang masih duduk bermain medsos segera bangkit dan masuk ke kamar. Tidak lama kemudian terdengar langkah kaki yang tergesa di lorong kamar perawatan. Seorang perawat masuk. "Ada apa, Bu?""Suami saya muntah, Sus."Belum sempat perawat menjawab, masuk dokter yang berjaga malam itu. Dokter muda itu memeriksa Manggala dengan tenang, menanyai beberapa hal, lalu mengamati sorot mata d

  • Aku di Antara Kalian   139. Takut Kehilangan 3

    "Harusnya aku yang nanya begitu sama, Mas." Kiara malah kembali terisak. "Aku nggak apa-apa. Bayi kita juga sehat." Suara Kiara serak.Tangan Manggala bergerak hendak menggapai perut Kiara, makanya wanita itu segera berdiri dan lebih mepet ke brankar. Manggala lega, tapi ia belum bisa banyak bicara. Mereka hanya saling pandang dan jemari saling menggenggam sampai perawat datang untuk memindahkan Manggala ke kamar rawat inap.đź–¤LSđź–¤"Ayah kok pakai topi, Bu?" tanya Arsha polos sambil menunjuk perban di kepala Manggala. Setelah ia diajak bertemu ayahnya."Itu namanya perban, Arsha. Karena tadi ayah jatuh, jadi kepalanya diobati dulu. Arsha, tadi melihat Ayah nolongin kita, kan," jawab Kiara lembut dan bocah itu mengangguk.Sedangkan Manggala hanya bisa menyentuh lengan putranya. Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Dia kehilangan banyak darah tadi.Setengah jam kemudian Narendra masuk kamar dengan membawa plastik berisi makan malam."Ki, makan dulu." Bu Puri memandang Kiara."Nanti

  • Aku di Antara Kalian   138. Takut Kehilangan 2

    Meski dirinya sedang diperiksa, pikiran Kiara tidak ada di sana. Tapi pada Manggala. Padahal sore ini mereka sangat antusias bertemu dokter untuk mengetahui kondisi calon anak kembar mereka. Namun hanya Kiara yang sekarang menatap layar USG dan merasakan detak jantung kedua bayinya."Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Bu Puri tidak sabar."Kondisi dua baby-nya sehat, Bu. Dalam keadaan hamil lima bulan, hindari tekanan emosional yang berlebihan. Sebab kehamilan kembar ini berbeda dengan kehamilan tunggal." Dokter kandungan menjelaskan beberapa hal. Namun tetap saja pikiran Kiara tidak ada di sana. Bagaimana keadaan Manggala sekarang?Setelah selesai diperiksa, Kiara dan Bu Puri kembali ke IGD."Bagaimana pemeriksaannya?" tanya Pak Gatot memandang Kiara."Alhamdulillah, baik-baik saja, Yah.""Syukurlah.""Dokter belum keluar, Yah?" tanya Bu Puri sambil memandang ke dalam."Belum, Bu," jawab Pak Gatot singkat.Kiara makin cemas. Detak jantungnya berpacu lebih hebat. Ketakutan merayap di s

  • Aku di Antara Kalian   137. Takut Kehilangan 1

    AKU DI ANTARA KALIAN- Takut Kehilangan "KI," teriak Manggala saat melihat tubuh Kiara oleng karena tangannya tak berhasil menggenggam ujung pegangan tangga teras. Saat itu Manggala memang baru keluar dari pintu samping sambil menggendong Arsha.Manggala bergerak secepat mungkin, menuruni dua anak tangga dalam satu hentakan. Disaat bersamaan tubuh Kiara kehilangan keseimbangan dan meluncur turun tak terkontrol. Refleks Manggala merentangkan tangan, berusaha menahan tubuh istrinya agar tidak terbanting. Tapi dia juga harus tetap melindungi Arsha dalam pelukannya supaya tidak terjatuh.Tubuh Manggala terguling ke belakang, satu tangan mencengkeram pinggang Kiara, satu lagi menahan Arsha erat-erat. Namun membuat kepala Manggala membentur tiang teras. Disusul hempasan tubuhnya yang terbaring dengan Arsha terduduk di atas dada. Sedangkan Kiara terduduk di pahanya. Tangan Kiara secara naluriah menahan perutnya."Mas!" jerit Kiara. Tubuhnya gemetar, wajahnya memucat melihat mata Manggala te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status