AKU DI ANTARA KALIAN
- Butuh Pengakuan "Halo." "Kiara, aku Nada." Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala. "Oh iya, Mbak. Ada apa?" "Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala." Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala. "Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?" "Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala." "Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun. Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih tinggal kirim ke aku. Aku juga menantu mereka walaupun Mas Gala belum berterus terang sama ayah dan ibunya. Tapi suatu hari mereka akan tahu juga. Aku juga nggak mau disembunyikan terus-terusan." Suara Nada terdengar mulai kesal. "Maaf, saya nggak berani. Mbak, bisa minta sendiri sama Mas Gala. Maaf." "Aku tunggu pokoknya." Selesai bicara dengan nada memaksa, Nada langsung menyudahi panggilan. Kiara menghela nafas panjang. Dia masih mematung di ruang keluarga. Jelas dia tidak mungkin memberikan nomer Pak Gatot dan Bu Puri pada madunya. Ini bukan soal cemburu atau khawatir kalau dirinya akan tersingkir, tapi bukan haknya memberikan informasi itu. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar. Namun Kiara tidak ingin bertindak di luar sepengetahuan Manggala. Lebih baik mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang terjadi nanti. Wanita itu menghela nafas panjang, kemudian tergesa masuk kamar saat mendengar anaknya menangis. 🖤LS🖤 Tengah hari, Nada mengirimkan pesan lagi. [Kiara, masih aku tunggu nomernya, ya.] Kiara termangu. Dia harus bilang apalagi. Jelas kalau dia sudah menolak mengirimkan nomer. Jujur dia takut. Ingin memberitahu Manggala tentang hal itu, tapi Nada melarangnya. Nanti kalau dikasih tahu, permasalahan baru akan muncul. Begitu ruwetnya. Ketika tengah melamun, Ponselnya kembali bergetar. Kali ini Nada menelepon. "Halo." Kiara menjawab. Namun dia lebih dulu merekam percakapan mereka. Hanya untuk berjaga-jaga. Tidak ada siapapun yang akan membelanya kalau terjadi sesuatu. "Aku nggak akan berhenti sampai kamu kasih nomor itu. Walaupun bukan sekarang, pada akhirnya mereka berhak tahu. Aku nggak mau jadi istri yang disembunyikan seumur hidup. Kamu hanya butuh pengakuan untuk anakmu sampai dia lahir, kan? Tapi kenapa kamu masih bersama Mas Gala sampai sekarang. "Mas Gala berhak bahagia dengan perempuan pilihannya sendiri. Sampai kapan akan menikah dalam keterpaksaan." Dada Kiara bagai disiram bara panas. Nada yang selama ini diam, akhirnya meluahkan kekecewaan yang mungkin dia pendam selama ini. Mata Kiara memanas. Setelah menarik napas panjang, ia bicara. "Saya paham." Suara Kiara terdengar datar. Ia mengusap kepala Arsha yang mulai bersandar di dadanya. Tubuh itu masih lemah walaupun sudah mau bermain. "Mbak, bicarakan saja dengan Mas Gala, ya." "Bukankah yang kamu cintai itu kakaknya yang menghamilimu itu. Kenapa kamu masih bertahan dengan Mas Gala. Kamu nyaman sebagai istrinya, ya? Hidup enak dengan fasilitas yang diberikannya." Ucapan Nada mulai ketus. Membuat dada Kiara terasa nyeri. Ketika hendak menjawab, panggilan diputus begitu saja. Tidak ada kata pamit. Kiara menarik napas panjang. Padahal dia sudah bicara dengan Manggala untuk bercerai saja. Karena hal ini pasti akan menyakiti hatinya dan hati wanita itu. Namun Manggala tidak mau. Kenapa? Arsha memandanginya. Mungkin heran melihat ibunya berwajah sedih. Tersadar saat diperhatikan sang anak, Kiara buru-buru tersenyum dan mengajak anaknya bermain, hingga bocah itu mulai ceria. 🖤LS🖤 Beberapa jam kemudian, ketika matahari mulai tergelincir ke langit barat, Kiara menggendong Arsha dan naik ke atas motor. Dia ingin mengajak sang anak ke rumah peninggalan orang tuanya. "Kita ke rumah Uti, ya," ucapnya seraya memakaikan topi di kepala Arsha. Angin menjelang sore terasa menyegarkan. Kiara menelusuri jalanan desa yang sepi. Namun di sawah, para petani sudah sibuk beraktivitas lagi. Menyiangi tanaman padi yang menghijau bak hamparan permadani. Akhirnya Kiara dan Arsha sampai juga. Rumah berukuran sedang bagi ukuran orang desa. Berdinding semen yang sudah memudar catnya. Halamannya tak terlalu luas. Beberapa bagian genteng tampak miring, lumut merambat di sisi tembok. Tapi di sanalah semua kenangan Kiara tertinggal. Masa kecil yang penuh cinta. Masa remaja yang penuh mimpi. Banyak sekali perbaikan jika ia ingin menempati rumah itu. Genteng sudah banyak yang pecah dan jatuh diterpa angin atau pun hujan. Kiara memarkir motor di bawah pohon mangga tua yang masih kokoh berdiri di depan rumah. Ia membuka pintu yang sudah beberapa hari tidak disambangi. "Ini rumah kita, Arsha," bisiknya pada putranya yang menatap sekeliling. Kiara menurunkan anak itu, membiarkannya berjalan dengan sandalnya yang berdecit tiap kali kaki kecilnya melangkah. Di ruang tengah, Kiara duduk di lantai beralaskan tikar. Jemarinya menyusuri lantai keramik. Sebak sekali dadanya. "Andai mereka masih hidup, mungkin aku tidak akan seperti ini," ucapnya lirih. Pandangannya menerawang. Ingatannya melayang pada masa-masa ketika keluarganya masih ada. Narendra, satu-satunya tempat bergantung setelah dirinya kehilangan semua. Dia yang peduli, yang melindungi, tapi dia juga yang menghancurkannya. Apa alasannya menghilang? Kiara ingin tahu. Kalau karena sudah tidak ada rasa lagi, dia mendapatkan yang lain, Kiara tak akan pernah bertanya lagi. Anggap saja apa yang direnggut Narendra darinya, sebagai pembayaran untuk segala pengorbanan laki-laki itu terhadapnya selama ini. Meski ada anak yang tidak berdosa lahir dari rahimnya. Kiara mendongak untuk menahan air mata yang menggenang. Bukan lagi menangis untuk nasibnya dua tahun belakangan ini. Tapi karena tiba-tiba rasa rindu yang menyeruak. Kangen pada keluarga. Sementara di hadapannya, Arsha berlari-lari kecil mengelilingi ruangan. Terkadang berhenti memperhatikan sandalnya yang berdecit-decit, suaranya riuh di ruang tamu. "Kenapa kalian di sini?" Suara itu mengangetkan Kiara. Spontan dia menoleh ke arah pintu. Next .... Selamat membaca 🫶🏻AKU DI ANTARA KALIAN - Mari Kita Bicara"Kenapa diajak ke sini? Arsha kan masih sakit?" Pria menjulang di depan pintu akhirnya masuk ke dalam. Arsha berlari memeluk ayahnya. Bocah itu tersenyum menampakkan gigi kecilnya yang berjajar rapi. Manggala langsung mengangkat dan menggendongnya. Lengan kecil Arsha melingkar di leher. Manggala mencium kening Arsha dam merasakan kalau suhu tubuh anak itu sudah normal."Arsha sudah sembuh. Mas, kok tahu kami di sini?" "Aku tadi mau pulang, lewat depan sana dan melihat motormu di bawah pohon mangga. Ayo, kita pulang. Biar Arsha naik mobil bersamaku." Manggala berbalik hendak melangkah, tapi Kiara mencegahnya. "Mas, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan." Suara Kiara terdengar biasa, tapi ada ketegangan di sorot matanya.Langkah Manggala terhenti. Dia kembali memandang pada Kiara yang masih duduk di tikar. "Bicara apa?""Bagaimana kalau kita bicara di sini saja?"Setelah berpikir sejenak, Manggala mengangguk. Kemudian dia keluar untuk mengambil
AKU DI ANTARA KALIAN- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink."Kiara ....""Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami."Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya."Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping.Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara.Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk meni
AKU DI ANTARA KALIAN- Minta Tanggungjawab[Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.]Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada.Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya.Dua tahun yang lalu ....Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, me
AKU DI ANTARA KALIAN- Perhatian "Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa menggelegar di pendengaran Kiara.Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan. "Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu."Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pukulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya. "Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar."Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara.""Jadi aku harus menandatangani
AKU DI ANTARA KALIAN- Di mana dia?"Cari dia sampai ketemu. Harus ketemu!" teriak Pak Gatot pada seseorang di seberang sana. Suaranya begitu gusar.Kiara tercekat. Kembali teringat sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang melemparnya pada jurang penyesalan dan penderitaan. Tapi Narendra juga lelaki yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tergesa Kiara menuju pintu samping, tidak ingin ketahuan telah mendengar percakapan ayah mertuanya. Mereka sudah begitu baik, sudi menerima dan mempercayai pengakuannya. Juga bertanggungjawab.Ia duduk di kursi dekat pintu samping. Saat memandang ke dalam, tatapannya jatuh pada foto ukuran sangat besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Foto keluarga suaminya. Narendra yang berdiri bersama Manggala di belakang kedua orang tuanya, tampak gagah dan tampan dengan setelan jas hitam.Buru-buru Kiara mengalihkan perhatian. Nyeri kembali mengiris hati.[Kia, kamu baik-baik saja, kan?] Ini pesan terakhir yang dikirim Narendra padanya setelah ma
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengajak BersamaSesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih.Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas."Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam."Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar."Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja."Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu."Besok saja kalau panasn
AKU DI ANTARA KALIAN - Mari Kita Bicara"Kenapa diajak ke sini? Arsha kan masih sakit?" Pria menjulang di depan pintu akhirnya masuk ke dalam. Arsha berlari memeluk ayahnya. Bocah itu tersenyum menampakkan gigi kecilnya yang berjajar rapi. Manggala langsung mengangkat dan menggendongnya. Lengan kecil Arsha melingkar di leher. Manggala mencium kening Arsha dam merasakan kalau suhu tubuh anak itu sudah normal."Arsha sudah sembuh. Mas, kok tahu kami di sini?" "Aku tadi mau pulang, lewat depan sana dan melihat motormu di bawah pohon mangga. Ayo, kita pulang. Biar Arsha naik mobil bersamaku." Manggala berbalik hendak melangkah, tapi Kiara mencegahnya. "Mas, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan." Suara Kiara terdengar biasa, tapi ada ketegangan di sorot matanya.Langkah Manggala terhenti. Dia kembali memandang pada Kiara yang masih duduk di tikar. "Bicara apa?""Bagaimana kalau kita bicara di sini saja?"Setelah berpikir sejenak, Manggala mengangguk. Kemudian dia keluar untuk mengambil
AKU DI ANTARA KALIAN- Butuh Pengakuan "Halo.""Kiara, aku Nada." Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala."Oh iya, Mbak. Ada apa?""Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala."Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala. "Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?""Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala.""Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun.Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih t
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengajak BersamaSesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih.Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas."Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam."Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar."Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja."Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu."Besok saja kalau panasn
AKU DI ANTARA KALIAN- Di mana dia?"Cari dia sampai ketemu. Harus ketemu!" teriak Pak Gatot pada seseorang di seberang sana. Suaranya begitu gusar.Kiara tercekat. Kembali teringat sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang melemparnya pada jurang penyesalan dan penderitaan. Tapi Narendra juga lelaki yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tergesa Kiara menuju pintu samping, tidak ingin ketahuan telah mendengar percakapan ayah mertuanya. Mereka sudah begitu baik, sudi menerima dan mempercayai pengakuannya. Juga bertanggungjawab.Ia duduk di kursi dekat pintu samping. Saat memandang ke dalam, tatapannya jatuh pada foto ukuran sangat besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Foto keluarga suaminya. Narendra yang berdiri bersama Manggala di belakang kedua orang tuanya, tampak gagah dan tampan dengan setelan jas hitam.Buru-buru Kiara mengalihkan perhatian. Nyeri kembali mengiris hati.[Kia, kamu baik-baik saja, kan?] Ini pesan terakhir yang dikirim Narendra padanya setelah ma
AKU DI ANTARA KALIAN- Perhatian "Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa menggelegar di pendengaran Kiara.Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan. "Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu."Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pukulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya. "Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar."Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara.""Jadi aku harus menandatangani
AKU DI ANTARA KALIAN- Minta Tanggungjawab[Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.]Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada.Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya.Dua tahun yang lalu ....Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, me
AKU DI ANTARA KALIAN- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink."Kiara ....""Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami."Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya."Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping.Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara.Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk meni