“Mbak Zahra,”
Aku mendengar Isak tangisnya yang sedikit tertahan, beberapa kali kulihat ia menyeka air mata yang tampak terus mengalir dari mata indahnya.‘Maafkan aku, Mbak. Aku tak akan menikah dengan Mas Zul, wanita sebaik Mbak Zahra tak pantas untuk di duakan.’**Kami menikmati makan malam bersama. Mas Zul duduk di bangku ujung, di sebelah kanannya ada Ibu dan sebelah kirinya ada Mbak Zahra. Nampak canggung, Aku lirik wajah Mbah Zahra, dia tampak tersenyum, namun aura matanya masih terlihat kalau Mbak Zahra habis menangis, berarti benar wanita yang aku lihat tadi siang adalah Mbak Zahra. “Maaf, tadi siang belum sempat memperkenalkan, ini Dek Aisyah,” ucap Mas Zul ketika menyelesaikan makan malam. “Selamat datang, Nduk,” ucap ibu.“Selamat datang, Dek Aisyah,” ucap Mbak Zahra sambil meraih telapak tanganku, memegang erat tanganku, seakan ia menguatkan dirinya sendiri untuk menerimaku.“Seperti yang saya ucap sebelumnya, Dek Aisyah akan menjadi bagian keluarga kita, jika Ibu dan Zahra setuju.”“Aku sih terserah kalian saja, Nang. Sebagai ibu Cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian.”Mbak Zahra nampak tersenyum, meskipun netranya terlihat mengembun.“Bagaimana, Dek?“Aku menerima Dek Aisyah sebagai maduku, Mas!”Kurasakan tenggorokanku kembali mengering, kupandang Mbak Zahra, ia tampak tersenyum ke arahku. Namun kuyakin ia merasakan getir yang mendalam, bagaimana mungkin ada seorang wanita yang mau berbagi suami kepada wanita lain? Sedangkan aku yakin mereka saling menyayangi. Ada apa sebenarnya? “Dengarkan, Dek. Kamu sudah dapat ijin. Tinggal Mas memikirkan mahar apa yang kamu minta?”Nyawaku serasa melayang. Aku mematung, masih tak percaya dengan apa yang ku dengar, seorang lelaki sempurna melamar ku di depan istrinya. Ya Allah, apakah ini benar ? Apakah memang ini jawaban doa-doaku? “Terserah, Mas Zul saja!”“Alhamdulillah.”“Karena ini kabar baik, jadi di segerakan saja. Takut juga kalau menimbulkan fitnah jika tidak segera diikat dengan tali pernikahan.”Ucapan Mbak Zahra membuatku batinku menangis, ternyata bidadari dari dunia nyata itu memang ada, wanita yang cantik bukan hanya dari luar saja, namun juga dari dalam.Mas Zul menurut saja ketika Mbak Zahra menentukan tanggal pernikahan, seminggu lagi. Ia memang sengaja mempercepat agar sebelum Mas Zul kembali mengisi pengajian di kota lain, aku sudah mendapatkan kata sah. Semua keperluan pernikahan Mbak zahralah yang menyiapkan. **“Mbak, kenapa Mbak Zahra melakukan ini?” tanyaku ketika Mbak Zahra sedang sibuk mencari model kebaya pernikahan dii butik langganannya.“Melakukan apa?”“Semua ini, Mbak. Kenapa Mbak mau di madu?” Mbak Zahra tampak menghentikan aktifitasnya, ia duduk di sofa bundar di sudut ruang. Nafasnya seperti memburu, ia terlihat menata nafasnya yang sesak tidak karuan.Mbak Zahra melayangkan senyuman di hadapku, membuat pikiranku kembali melayang dengan terkaan demi terkaan yang memenuhi syaraf otakku.“Mbak,”“Karena aku mencintai Mas Zul,”Jawaban Mbak Zahra kini lebih membuatku bingung, urat syarafku semakin tak memberi jawaban atas tindakan wanita cantik di depanku ini.“Jika mencintai, kenapa harus berbagi cinta, Mbak? Bukankah itu menyakitkan?”“Lebih menyakitkan mana orang yang kita cintai tak memiliki keturunan?”‘Apa maksud Mbak Zahra? Mbak Zahra mandulkah? Ah, kenapa ia tidak langsung menceritakannya secara gamblang, kenapa aku harus berfikir terlebih dulu, sedangkan pikiranku masih begitu cetek!’“A pa kah, Mbak Zah Ra man Dul?” Ku tutup mulutku dengan telapak tangan, menyesali pertanyaan yang telah terlontarkan. Mbak Zahra justru tersenyum, tak ada raut muka marah sama sekali, begitu teduh.“Aku wanita tanpa rahim,” Aku tercekat mendengar jawaban itu, aku yang selalu mengeluh dengan kehidupanku yang penuh cobaan, nyatanya tak sebanding dengan Mbak Zahra yang terlahir tanpa rahim. “Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”“Tapi, Mbak? Bukankah mengadopsi anak justru lebih membahagiakan dari pada menghadirkan wanita lain di kehidupan Mbak Zahra!” protesku.“Mungkin iya, mungkin enggak. Setiap lelaki pasti memiliki Keinginan untuk memiliki keturunan dari darah dagingnya. Pernah Mas Zul memintaku untuk itu. Tapi aku menolaknya. Bukan karena aku tak mau merawat anak lain, melainkan aku ingin merawat anak dari darah daging suamiku. Entah di lahirkan dari rahim wanita lain pun aku ikhlas.” Subhanallah, aku tertegun mendengar ucapan Mbak Zahra, ternyata di dunia ini ada wanita berhati emas seperti ia, ia seperti bidadari atau justru malaikat tanpa sayap.“Mbak Zahra tidakkah mempermasalahkan aku berasal dari mana? Keluargaku seperti apa?”Mbak Zahra tersenyum mendengar ucapanku, senyum yang indah dan selalu nampak teduh.“Kamu adalah pilihan suamiku, aku yakin kamu yang terbaik.” J
Kurasakan ketakutan dari balik ketenangan ibu yang selalu bijak, nyatanya ia memendam harapan yang begitu tinggi. “Iya, Buk. InsyaAllah aku sehat.”“Syukurlah,” ucap ibu sambil memegang dadanya. Ia segera pamit .“Jangan lupa istirahat yang cukup, biar besok terlihat segar, Nduk!”“Iya, Bu!”Aku kembali merebahkan tubuhku di tempat ternyaman ku, Beberapa kali terlintas wajah Mas Zul yang tersenyum, suara teduhnya yang membelaku di antara amukan Massa. Lelaki sempurna di mataku. Kini bayangan Mbak Zahra ikut mampir. Wanita Solehah yang membuat aku kagum akan sosoknya, wanita yang memiliki cinta begitu besar untuk suaminya. “Aku terima nikah dan kawinnya, Aisyah binti bapak Purbono dengan mas Kawin seperangkat alat solat. Di bayar tunai,” “Syah?” ucap Pak penghulu.Aku melirik ke arah Mbak Zahra, tangisannya pecah. Air bening itu terus tumpah membasahi pipinya, tak mungkin juga ada wanita yang ikhlas menghadirkan wanita lain dalam kehidupannya. “Tidak sah.” Mas Zul melepas kerudung
“Dek Aisyah,” ucap lirih Mbah Zahra sambil memandang ke arahku.Aku melihat sisi kanan dan sisi kiriku, mencari jawaban akan pertanyaan yang nantinya akan di lontarkan Mbak Zahra. Aku kikuk, bingung harus berkata apa? Batinku terus menghardik diriku yang sengaja mengintip pasangan halal dalam kamar.Mbak Zahra berjalan pelan ke arahku, di setiap langkah itu membuat jantungku memompa darah semakin cepat, tubuhku terasa bergetar, telapak tanganku terasa dingin. “Dek Aisyah, masuk saja. Dari pada berdiri dari balik pintu nanti ada yang melihat.” Tak ada hardikan atau celotehan dari mulut Mbak Zahra, justru ia menggandeng tanganku untuk ikut masuk ke dalamnya. “E-enggak, Mbak. Tadinya aku mau minta Mbak Zahra membantu melepaskan pernak-pernik ini. Aku kesusahan mengambilnya. Aku mau ganti baju gamis, Mbak. Pakai kebaya bikin gerah.” Aku menunjuk aksesori yang menghiasi jilbabku. “Ya sudah, sini aku bantu.” Mbak Zahra menuntunku untuk duduk di bangku riasnya. Aku memandang wajahku yan
“Kata siapa aku tidak mencintaimu?”“Bagaimana mungkin engkau mencintaiku, jika kita bertemu pun hanya sesaat!”“Apakah Dek Aisyah mencintaiku?”“Pasti, untuk apa aku menikah denganmu, Mas. Jika tidak ada cinta untukmu!”“Adek sudah tau jawabannya, lantas kenapa masih ragu kepadaku?”**Saat mataku terbuka, kudapati lelaki sempurna itu tidur menghadapku, paras tampannya bahkan tak menghilang, wajah seperti inilah yang membuatku semakin menggila. Kulihat jam yang menempel di dinding kayu ini. Pukul 03.00, aku membersihkan tubuhku, rasa dingin itu menyelimuti pori-pori ketika kucuran air melewati tubuhku, kejadian beberapa jam yang lalu membuatku tersenyum dan memberikan kehangatan tersendiri. Kubalut tubuhku dengan handuk, dan hendak mengganti pakaian. Melihat Mas Zul berada di kamar ini membuat aku tak nyaman dan malu mengekspose tubuhku meskipun ia masih dalam keadaan terpejam. Ku bawa satu stel gamis dan memakainya di kamar mandi, aku mengurai rambut panjang ku yang kini basah, me
Meskipun ibu tak mengucap maksudnya, aku paham betul apa maksud yang diucapkan ibu. “Aamiin, Bu. Doanya gih,” ucapku dengan melayangkan senyum yang tak kalah manis darinya.Bawang merah, bawah putih, cabai serta beberapa kemiri itu sudah tampak halus, segera ku masukkan ke wajan yang sebelumnya sudah aku bubuhkan margarin, wangi khas nasi goreng menyeruak ke seluruh ruangan. Aku masukkan beberapa telur, nasi serta suiran ayam. Wanginya benar-benar menggugah selera. Atau mungkin aku yang memang merasa lapar karena semalaman telah bertarung.“Baunya enak sekali, Yu! Aku yang masih tertidur bisa terbangun karena mencium aroma masakan ini.” Bu Khofi, kakak ibu itu mengambil sendok dan membenamkannya di nasi goreng yang masih di atas wajan ini, diangkatnya sendok itu hingga terisi penuh. “Belum saya cicipi, Bude. Belum tahu asin apa enggaknya!” ucapku yang masih tak yakin dengan makanan yang ku buat.“Enak gini, kok. Rasanya pas!” ucap bude sambil menguah karena nasi goreng yang masih pa
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
Mas Zul mencoba membujuk kekasih hatinya itu untuk ikut, namun Mbak Zahra terus menolak dengan alasan fisiknya yang masih lemah, hingga ia pun menurut demi kebaikan Mbak Zahra. Sore hari setelah solat berjamaah bersama, Mbak Zahra langsung kembali ke kamar, ia diminta untuk banyak istirahat. Alhamdulillah kondisinya pun mulai membaik, wajahnya sudah terlihat segar serta tubuhnya nampak sudah sehat seperti biasanya. “Mengaji bersama ya, Dek!” Kulafalkan kata demi kata dari kitab suci ku ini, Al Qur’an. Mas Zul tampak menyimak serta mengingatkan beberapa bacaanku yang masih salah. Tak kupingkiri masa laluku begitu kelam, bahkan saat aku terus di uji dengan masalah yang bertubi keimanan ku mulai memudar, aku bahkan pernah menyalahkan Tuhan hingga aku meninggalkan rokaatku dan tak pernah lagi melafalkan namaNya.Dibalik itu semua, aku malu dengan diriku. Aku di beri takdir kebahagiaan seperti ini, memiliki keluarga yang begitu menyayangiku. Bahkan aku yang mengira nasib buruk ku akan k
“Mas ini masih pukul 03.00 kenapa ke sini? Kasihan kalau Mbak Zahra mencarimu!’“Ia yang memintaku untuk ke sini!”‘Ya Tuhan, ternyata wanita sebaik Mbak Zahra benar-benar ada, wanita Solehah yang membuat aku selalu kagum kepadanya.’“Jangan, Mas. Kamu harus adil terhadap kedua istrimu.” Aku mendorong tubuhnya melewati pintu kayu yang berukuran indah, kembali menutupnya rapat. Aku tertunduk duduk di lantai di bawah pintu tersebut, tak mampu lagi aku menahan air mata yang ingin segera luruh melihat bumi. Tak kupingkiri aku pun wanita biasa yang ingin bisa selalu bersama suamiku, Namun, aku lebih ingin suamiku adil, aku ingin aku tetap bersamanya hingga ke jannahNya kelak. **Mas Zul memasukkan dua koper ke dalam bagasi mobilnya, sedangkan dua wanita berparas ayu itu mengantar kami hingga di halaman depan, aku berpamitan kepada ibu, mencium punggung tangannya, dan dibalas dengan pelukan hangat oleh tubuh paruh baya itu. Akupun melayangkan pelukan ke tubuh mbak Zahra, nampak senyuman i