Share

bab. 5 Mbak Zahra

“Mbak Zahra,” 

Aku mendengar Isak tangisnya yang sedikit tertahan, beberapa kali kulihat ia menyeka air mata yang tampak terus mengalir dari mata indahnya.

‘Maafkan aku, Mbak. Aku tak akan menikah dengan Mas Zul, wanita sebaik Mbak Zahra tak pantas untuk di duakan.’

**

Kami menikmati makan malam bersama. Mas Zul duduk di bangku ujung, di sebelah kanannya ada Ibu dan sebelah kirinya ada Mbak Zahra. Nampak canggung, Aku lirik wajah Mbah Zahra, dia tampak tersenyum, namun aura matanya masih terlihat kalau Mbak Zahra habis menangis, berarti benar wanita yang aku lihat tadi siang adalah Mbak Zahra. 

“Maaf, tadi siang belum sempat memperkenalkan, ini Dek Aisyah,” ucap Mas Zul ketika menyelesaikan makan malam. 

“Selamat datang, Nduk,” ucap ibu.

“Selamat datang, Dek Aisyah,” ucap Mbak Zahra sambil meraih telapak tanganku, memegang erat tanganku, seakan ia menguatkan dirinya sendiri untuk menerimaku.

“Seperti yang saya ucap sebelumnya, Dek Aisyah  akan menjadi bagian keluarga kita, jika Ibu dan Zahra setuju.”

“Aku sih terserah kalian saja, Nang. Sebagai ibu Cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

Mbak Zahra nampak tersenyum, meskipun netranya terlihat mengembun.

“Bagaimana, Dek?

“Aku menerima Dek Aisyah sebagai maduku, Mas!”

Kurasakan tenggorokanku kembali mengering, kupandang Mbak Zahra, ia tampak tersenyum ke arahku. Namun kuyakin ia merasakan getir yang mendalam, bagaimana mungkin ada seorang wanita yang mau berbagi suami kepada wanita lain? Sedangkan aku yakin mereka saling menyayangi. Ada apa sebenarnya? 

“Dengarkan, Dek. Kamu sudah dapat ijin. Tinggal Mas memikirkan mahar apa yang kamu minta?”

Nyawaku serasa melayang. Aku mematung, masih tak percaya dengan apa yang ku dengar, seorang lelaki sempurna melamar ku di depan istrinya. Ya Allah, apakah ini benar ? Apakah memang ini jawaban doa-doaku? 

“Terserah, Mas Zul saja!”

“Alhamdulillah.”

“Karena ini kabar baik, jadi di segerakan saja. Takut juga kalau menimbulkan fitnah jika tidak segera diikat dengan tali pernikahan.”

Ucapan Mbak Zahra membuatku batinku menangis, ternyata bidadari dari dunia nyata itu memang ada, wanita yang cantik bukan hanya dari luar saja, namun juga dari dalam.

Mas Zul menurut saja ketika Mbak Zahra menentukan tanggal pernikahan, seminggu lagi. Ia memang sengaja  mempercepat agar sebelum Mas Zul kembali mengisi pengajian di kota lain, aku sudah mendapatkan kata sah.  Semua keperluan pernikahan Mbak zahralah yang menyiapkan. 

**

“Mbak, kenapa Mbak Zahra melakukan ini?” tanyaku ketika Mbak Zahra sedang sibuk mencari model kebaya pernikahan dii butik langganannya.

“Melakukan apa?”

“Semua ini, Mbak. Kenapa Mbak mau di madu?” 

Mbak Zahra tampak menghentikan aktifitasnya, ia duduk di sofa bundar di sudut ruang. Nafasnya seperti memburu, ia terlihat menata nafasnya yang sesak tidak karuan.

Mbak Zahra melayangkan senyuman di hadapku, membuat pikiranku kembali melayang dengan terkaan demi terkaan yang memenuhi syaraf otakku.

“Mbak,”

“Karena aku mencintai Mas Zul,”

Jawaban Mbak Zahra kini lebih membuatku bingung, urat syarafku semakin tak memberi jawaban atas tindakan wanita cantik di depanku ini.

“Jika mencintai, kenapa harus berbagi cinta, Mbak? Bukankah itu menyakitkan?”

“Lebih menyakitkan mana orang yang kita cintai tak memiliki keturunan?”

‘Apa maksud Mbak Zahra? Mbak Zahra mandulkah? Ah, kenapa ia tidak langsung menceritakannya secara gamblang, kenapa aku harus berfikir terlebih dulu, sedangkan pikiranku masih begitu cetek!’

“A pa kah, Mbak Zah Ra man Dul?” 

Ku tutup mulutku dengan telapak tangan, menyesali pertanyaan yang telah terlontarkan. 

Mbak Zahra justru tersenyum, tak ada raut muka marah sama sekali, begitu teduh.

“Aku wanita tanpa rahim,” 

Aku tercekat mendengar jawaban itu, aku yang selalu mengeluh dengan kehidupanku yang penuh cobaan, nyatanya tak sebanding dengan Mbak Zahra yang terlahir tanpa rahim. 

“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status