Beranda / Romansa / Aku, istri kedua / bab. 5 Mbak Zahra

Share

bab. 5 Mbak Zahra

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-09 20:46:33

“Mbak Zahra,” 

Aku mendengar Isak tangisnya yang sedikit tertahan, beberapa kali kulihat ia menyeka air mata yang tampak terus mengalir dari mata indahnya.

‘Maafkan aku, Mbak. Aku tak akan menikah dengan Mas Zul, wanita sebaik Mbak Zahra tak pantas untuk di duakan.’

**

Kami menikmati makan malam bersama. Mas Zul duduk di bangku ujung, di sebelah kanannya ada Ibu dan sebelah kirinya ada Mbak Zahra. Nampak canggung, Aku lirik wajah Mbah Zahra, dia tampak tersenyum, namun aura matanya masih terlihat kalau Mbak Zahra habis menangis, berarti benar wanita yang aku lihat tadi siang adalah Mbak Zahra. 

“Maaf, tadi siang belum sempat memperkenalkan, ini Dek Aisyah,” ucap Mas Zul ketika menyelesaikan makan malam. 

“Selamat datang, Nduk,” ucap ibu.

“Selamat datang, Dek Aisyah,” ucap Mbak Zahra sambil meraih telapak tanganku, memegang erat tanganku, seakan ia menguatkan dirinya sendiri untuk menerimaku.

“Seperti yang saya ucap sebelumnya, Dek Aisyah  akan menjadi bagian keluarga kita, jika Ibu dan Zahra setuju.”

“Aku sih terserah kalian saja, Nang. Sebagai ibu Cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

Mbak Zahra nampak tersenyum, meskipun netranya terlihat mengembun.

“Bagaimana, Dek?

“Aku menerima Dek Aisyah sebagai maduku, Mas!”

Kurasakan tenggorokanku kembali mengering, kupandang Mbak Zahra, ia tampak tersenyum ke arahku. Namun kuyakin ia merasakan getir yang mendalam, bagaimana mungkin ada seorang wanita yang mau berbagi suami kepada wanita lain? Sedangkan aku yakin mereka saling menyayangi. Ada apa sebenarnya? 

“Dengarkan, Dek. Kamu sudah dapat ijin. Tinggal Mas memikirkan mahar apa yang kamu minta?”

Nyawaku serasa melayang. Aku mematung, masih tak percaya dengan apa yang ku dengar, seorang lelaki sempurna melamar ku di depan istrinya. Ya Allah, apakah ini benar ? Apakah memang ini jawaban doa-doaku? 

“Terserah, Mas Zul saja!”

“Alhamdulillah.”

“Karena ini kabar baik, jadi di segerakan saja. Takut juga kalau menimbulkan fitnah jika tidak segera diikat dengan tali pernikahan.”

Ucapan Mbak Zahra membuatku batinku menangis, ternyata bidadari dari dunia nyata itu memang ada, wanita yang cantik bukan hanya dari luar saja, namun juga dari dalam.

Mas Zul menurut saja ketika Mbak Zahra menentukan tanggal pernikahan, seminggu lagi. Ia memang sengaja  mempercepat agar sebelum Mas Zul kembali mengisi pengajian di kota lain, aku sudah mendapatkan kata sah.  Semua keperluan pernikahan Mbak zahralah yang menyiapkan. 

**

“Mbak, kenapa Mbak Zahra melakukan ini?” tanyaku ketika Mbak Zahra sedang sibuk mencari model kebaya pernikahan dii butik langganannya.

“Melakukan apa?”

“Semua ini, Mbak. Kenapa Mbak mau di madu?” 

Mbak Zahra tampak menghentikan aktifitasnya, ia duduk di sofa bundar di sudut ruang. Nafasnya seperti memburu, ia terlihat menata nafasnya yang sesak tidak karuan.

Mbak Zahra melayangkan senyuman di hadapku, membuat pikiranku kembali melayang dengan terkaan demi terkaan yang memenuhi syaraf otakku.

“Mbak,”

“Karena aku mencintai Mas Zul,”

Jawaban Mbak Zahra kini lebih membuatku bingung, urat syarafku semakin tak memberi jawaban atas tindakan wanita cantik di depanku ini.

“Jika mencintai, kenapa harus berbagi cinta, Mbak? Bukankah itu menyakitkan?”

“Lebih menyakitkan mana orang yang kita cintai tak memiliki keturunan?”

‘Apa maksud Mbak Zahra? Mbak Zahra mandulkah? Ah, kenapa ia tidak langsung menceritakannya secara gamblang, kenapa aku harus berfikir terlebih dulu, sedangkan pikiranku masih begitu cetek!’

“A pa kah, Mbak Zah Ra man Dul?” 

Ku tutup mulutku dengan telapak tangan, menyesali pertanyaan yang telah terlontarkan. 

Mbak Zahra justru tersenyum, tak ada raut muka marah sama sekali, begitu teduh.

“Aku wanita tanpa rahim,” 

Aku tercekat mendengar jawaban itu, aku yang selalu mengeluh dengan kehidupanku yang penuh cobaan, nyatanya tak sebanding dengan Mbak Zahra yang terlahir tanpa rahim. 

“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 Bab.17

    Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.16

    Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.15

    “Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.14

    Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp

  • Aku, istri kedua    sesion 2 bab.13

    “Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.12 Pov. Zulkifli

    Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status