Share

bab. 6 Saling berkorban

“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”

“Tapi, Mbak? Bukankah mengadopsi anak justru lebih membahagiakan dari pada menghadirkan wanita lain di kehidupan Mbak Zahra!” protesku.

“Mungkin iya, mungkin enggak. Setiap lelaki pasti memiliki Keinginan untuk memiliki keturunan dari darah dagingnya. Pernah Mas Zul memintaku untuk itu. Tapi aku menolaknya. Bukan karena aku tak mau merawat anak lain, melainkan aku ingin merawat anak dari darah daging suamiku. Entah di lahirkan dari rahim wanita lain pun aku ikhlas.” 

Subhanallah, aku tertegun mendengar ucapan Mbak Zahra, ternyata di dunia ini ada wanita berhati emas seperti ia, ia seperti bidadari atau justru malaikat tanpa sayap.

“Mbak Zahra tidakkah mempermasalahkan aku berasal dari mana? Keluargaku seperti apa?”

Mbak Zahra tersenyum mendengar ucapanku, senyum yang indah dan selalu nampak teduh.

“Kamu adalah pilihan suamiku, aku yakin kamu yang terbaik.” 

Jawaban Mbak Zahra kembali membuatku spechles, aku tak mampu berkata. Jawaban menohok dari Mbak Zahra menyadarkanku kalau itulah yang dinamakan cinta sejati. Cinta yang saling ingin membahagiakan satu sama lain. 

“Aku bahagia ketika Mas Zul memberi kabar akan membawamu pulang.” Mbak Zahra tampak menyeka air matanya yang meleleh. Namun senyuman indahnya masih ia perlihatkan di wajahnya. 

“Mbak Zahra,” ucapku lirih hampir tak terdengar.

Semakin kesini aku semakin yakin, aku bukanlah cinta Mas Zul, di hatinya hanya ada Mbk Zahra seorang. Bagaimana mungkin ia bisa mengisi hatinya sedangkan ia memiliki wanita berhati emas seperti Mbak Zahra. Apapun itu, Mas Zul telah banyak menolongku. Aku telah berhutang banyak kepadanya, tak mungkin juga aku menolak pernikahan ini, dan menyiratkan luka kepada orang-orang yang telah memanusiawikan aku. 

Aku di sini di anggap seperti tamu terhormat, berbeda sekali saat aku di kampung, aku adalah wanita hina yang tak pantas hidup apalagi bersanding dengan mereka. 

“Coba pakai kebaya ini!” Mbak Zahra mengambilkan sebuah kebaya berwarna putih susu dengan rangkaian paket putih yang indah.  Aku mengambil kebaya tersebut dan mencobanya. 

“Subhanallah, cantik sekali kamu, Dek!” ucap Mbak Zahra ketika aku keluar mengenakan kebaya pilihannya. Aku memandang tubuhku dari cermin kaca tempat ini, seorang wanita cantik berdiri tepat di hadapnya. Aku menyentuh pipiku, masih tak yakin jika wanita tersebut adalah aku. Aku begitu cantik tak kalah dengan kecantikan Mbak Zahra 

‘Astagfirullah, belum apa-apa niatku sudah tidak baik!’

“Kami suka gak, Dek?”

Aku mengangguk.

“Ambil ini, Mbak!” 

Petugas itu berjalan menuju kami dan mengambil kebaya yang kita pilih.

“Tiga juta enam ratus ribu, Mbak!” ucap pegawai tersebut.

“Gak jadi, Mbak!” ucapku ketika Mbak Zahra hendak mengeluarkan kartu dari dompetnya. 

“Kenapa, Dek? Bukannya kamu suka?”

“Mahal sekali, Mbak!” ucapku polos.

“Di bungkus aja, Mbak!” mbak Zahra memberikan kemeja itu serta kartu yang dibawanya. 

Batinku terus bertanya, kenapa ada wanita sebaik ini? Aku justru malu kepada diriku sendiri!

**

Semua telah dipersiapkan, kebaya , mahar dan yang lainnya. Semua Mbak Zahra yang mempersiapkan, Mas Zul hanya terima beres. Sedangkan ibu sesekali memberi sumbangsih saran kepada Mbak Zahra. 

Besok adalah hari pernikahanku, entah mengapa aku tak mampu memejamkan mata, aku merasa begitu hina jika harus bersanding dengan Ms Zul yang penuh wibawa, apalagi aku akan menjadi wanita kedua, wanita pengganggu rumah tangga orang lain. 

Aku memandang halaman dari balik jendela, hanya tampak rumput basah yang sesaat tadi di guyur air dari langit. Rasanya aku ingin mengurungkan niatku, mereka terlalu baik untukku. Aku mengambil beberapa pakaian dan memasukkan ke tas, lewat pintu depan rasanya tak mungkin karena banyaknya orang yang sedang menyiapkan tratak untuk acara besok. Aku mengangkat kakiku, memasukkannya ke dalam jendela yang berukuran tak terlalu lebar ini. 

“Nduk Aisyah,” teriakan ibu serta ketokan pintu itu membuatku tersadar dan kembali mengurungkan niatku untuk kabur. Kuletakkan kembali tas yang berisi pakaian ke dalam lemari. 

“Gih, Buk.” Aku membuka pintu kayu tersebut. 

“Boleh ibu masuk?”

“Monggo, Buk! Bukankah kamar ini kamarnya ibu.”

Ibu memasuki kamar ini, netranya menjelajahi ruangan kamar yang memang masih tampak rapi seperti saat sebelum aku meninggalinya.

“Kamu sudah ngantuk?”

“Belum, Bu!”

“Maaf, Nduk sebelumya, ibu mau tanya hal yang sedikit privasi!”

“Apa, Bu?”

“Apakah kamu masih perawan?”

Jleb, kurasakan keringat dingin mulai bercucuran, apakah Ibu sudah tau bagaimana kehidupanku sebelumnya? Apakah ia tahu aku sudah tidak gadis lagi? Semua kehormatan ku di renggut paksa oleh orang yang tak ku kenal.

“E ...,” Aku masih bingung untuk menjawab apa.

“Maksud ibu, kamu belum pernah menikahkan? Kamu bukan janda yang ditinggal suami karena mandulkan?” 

Pertanyaan ibu membuatku kembali bertany, kenapa beliau bertanya seperti itu. Apa maksudnya?

“E...” Aku masih bingung untuk menjawab apa.

“Maksudnya kamu punya rahim dan sehatkan, Nduk? Jujur aku ingin sekali menimang cucu,” 

Kurasakan ketakutan dari balik ketenangan ibu yang selalu bijak, nyatanya ia memendam harapan yang begitu tinggi.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Juliyanti
asal jgn nnti niat memiliki seutuhnya aja..udh d kasih hati malah minta jantung. menyingkirkan istri pertama..
goodnovel comment avatar
Anya Anayaa
kere baca ini sara aku baca ini sabagu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status