“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”
“Tapi, Mbak? Bukankah mengadopsi anak justru lebih membahagiakan dari pada menghadirkan wanita lain di kehidupan Mbak Zahra!” protesku.“Mungkin iya, mungkin enggak. Setiap lelaki pasti memiliki Keinginan untuk memiliki keturunan dari darah dagingnya. Pernah Mas Zul memintaku untuk itu. Tapi aku menolaknya. Bukan karena aku tak mau merawat anak lain, melainkan aku ingin merawat anak dari darah daging suamiku. Entah di lahirkan dari rahim wanita lain pun aku ikhlas.” Subhanallah, aku tertegun mendengar ucapan Mbak Zahra, ternyata di dunia ini ada wanita berhati emas seperti ia, ia seperti bidadari atau justru malaikat tanpa sayap.“Mbak Zahra tidakkah mempermasalahkan aku berasal dari mana? Keluargaku seperti apa?”Mbak Zahra tersenyum mendengar ucapanku, senyum yang indah dan selalu nampak teduh.“Kamu adalah pilihan suamiku, aku yakin kamu yang terbaik.” Jawaban Mbak Zahra kembali membuatku spechles, aku tak mampu berkata. Jawaban menohok dari Mbak Zahra menyadarkanku kalau itulah yang dinamakan cinta sejati. Cinta yang saling ingin membahagiakan satu sama lain. “Aku bahagia ketika Mas Zul memberi kabar akan membawamu pulang.” Mbak Zahra tampak menyeka air matanya yang meleleh. Namun senyuman indahnya masih ia perlihatkan di wajahnya. “Mbak Zahra,” ucapku lirih hampir tak terdengar.Semakin kesini aku semakin yakin, aku bukanlah cinta Mas Zul, di hatinya hanya ada Mbk Zahra seorang. Bagaimana mungkin ia bisa mengisi hatinya sedangkan ia memiliki wanita berhati emas seperti Mbak Zahra. Apapun itu, Mas Zul telah banyak menolongku. Aku telah berhutang banyak kepadanya, tak mungkin juga aku menolak pernikahan ini, dan menyiratkan luka kepada orang-orang yang telah memanusiawikan aku. Aku di sini di anggap seperti tamu terhormat, berbeda sekali saat aku di kampung, aku adalah wanita hina yang tak pantas hidup apalagi bersanding dengan mereka. “Coba pakai kebaya ini!” Mbak Zahra mengambilkan sebuah kebaya berwarna putih susu dengan rangkaian paket putih yang indah. Aku mengambil kebaya tersebut dan mencobanya. “Subhanallah, cantik sekali kamu, Dek!” ucap Mbak Zahra ketika aku keluar mengenakan kebaya pilihannya. Aku memandang tubuhku dari cermin kaca tempat ini, seorang wanita cantik berdiri tepat di hadapnya. Aku menyentuh pipiku, masih tak yakin jika wanita tersebut adalah aku. Aku begitu cantik tak kalah dengan kecantikan Mbak Zahra ‘Astagfirullah, belum apa-apa niatku sudah tidak baik!’“Kami suka gak, Dek?”Aku mengangguk.“Ambil ini, Mbak!” Petugas itu berjalan menuju kami dan mengambil kebaya yang kita pilih.“Tiga juta enam ratus ribu, Mbak!” ucap pegawai tersebut.“Gak jadi, Mbak!” ucapku ketika Mbak Zahra hendak mengeluarkan kartu dari dompetnya. “Kenapa, Dek? Bukannya kamu suka?”“Mahal sekali, Mbak!” ucapku polos.“Di bungkus aja, Mbak!” mbak Zahra memberikan kemeja itu serta kartu yang dibawanya. Batinku terus bertanya, kenapa ada wanita sebaik ini? Aku justru malu kepada diriku sendiri!**Semua telah dipersiapkan, kebaya , mahar dan yang lainnya. Semua Mbak Zahra yang mempersiapkan, Mas Zul hanya terima beres. Sedangkan ibu sesekali memberi sumbangsih saran kepada Mbak Zahra. Besok adalah hari pernikahanku, entah mengapa aku tak mampu memejamkan mata, aku merasa begitu hina jika harus bersanding dengan Ms Zul yang penuh wibawa, apalagi aku akan menjadi wanita kedua, wanita pengganggu rumah tangga orang lain. Aku memandang halaman dari balik jendela, hanya tampak rumput basah yang sesaat tadi di guyur air dari langit. Rasanya aku ingin mengurungkan niatku, mereka terlalu baik untukku. Aku mengambil beberapa pakaian dan memasukkan ke tas, lewat pintu depan rasanya tak mungkin karena banyaknya orang yang sedang menyiapkan tratak untuk acara besok. Aku mengangkat kakiku, memasukkannya ke dalam jendela yang berukuran tak terlalu lebar ini. “Nduk Aisyah,” teriakan ibu serta ketokan pintu itu membuatku tersadar dan kembali mengurungkan niatku untuk kabur. Kuletakkan kembali tas yang berisi pakaian ke dalam lemari. “Gih, Buk.” Aku membuka pintu kayu tersebut. “Boleh ibu masuk?”“Monggo, Buk! Bukankah kamar ini kamarnya ibu.”Ibu memasuki kamar ini, netranya menjelajahi ruangan kamar yang memang masih tampak rapi seperti saat sebelum aku meninggalinya.“Kamu sudah ngantuk?”“Belum, Bu!”“Maaf, Nduk sebelumya, ibu mau tanya hal yang sedikit privasi!”“Apa, Bu?”“Apakah kamu masih perawan?”Jleb, kurasakan keringat dingin mulai bercucuran, apakah Ibu sudah tau bagaimana kehidupanku sebelumnya? Apakah ia tahu aku sudah tidak gadis lagi? Semua kehormatan ku di renggut paksa oleh orang yang tak ku kenal.“E ...,” Aku masih bingung untuk menjawab apa.“Maksud ibu, kamu belum pernah menikahkan? Kamu bukan janda yang ditinggal suami karena mandulkan?” Pertanyaan ibu membuatku kembali bertany, kenapa beliau bertanya seperti itu. Apa maksudnya?“E...” Aku masih bingung untuk menjawab apa.“Maksudnya kamu punya rahim dan sehatkan, Nduk? Jujur aku ingin sekali menimang cucu,” Kurasakan ketakutan dari balik ketenangan ibu yang selalu bijak, nyatanya ia memendam harapan yang begitu tinggi.Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar