Share

bab. 4 Tenderloin steak

Seorang lelaki berseragam menghampiri meja kami, diletakkannya dua piring dan dua gelas minuman berwarna di atas meja, tak lupa sendok garpu dan pisau.

 

Mataku mengarah ke makanan tersebut, sebuah daging berlemak dengan aroma wangi itu tepat di depanku, aku menelan ludah ketika melihatnya, ingin segera menyantap makanan tersebut namun aku tak paham cara memakai pisau, garpu maupun sendoknya. 

Aku melirik Mas Zul, mulutnya nampak berkomat Kamit mengucap doa, ia mengambil sendok dan garpu itu, mengiris sedikit demi sedikit daging tersebut, dan mengunyahnya pelan.

Aku melakukan hal yang sama, sambil sesekali melirik tubuh sempurna itu, tampak tenang, tak banyak bicara. Hanya terasa teduh ketika bersamanya.

Kuucapkan kalimat basmallah serta doa sebelum makan, dan segera kunikmati makanan yang pertama kali masuk ke mulutku. Tak ada yang tersisa, semua habis dalam perutku. Baru kurasakan makanan seenak ini, entah karena menunya yang begitu istimewa. Atau makannya di dampingi orang istimewa, atau mungkin malah keduanya.

Kami pulang dengan membawa 2 kardus bertuliskan nama restoran ini, serta nama menu yang dikasih tanda centang. “Tenderloin Steak”. Entahlah, aku baru mendengar kata tersebut. Dua steak yang akan kami berikan kepada Mbak Zahra dan Ibunya Mas Zul, makanan favorit mereka.

“Bagaimana rasanya, Dek? Enakkan steaknya?” ucap Mas Zul sambil netranya terus fokus ke jalan.

“Iya, Mas. Baru pertama kali ini aku makan steak,” jawabku penuh ragu. 

Mas Zul tersenyum.

“Disitulah tempat pertama kali aku bertemu Zahra, ibu dan Zahra memiliki menu makanan yang sama, tenderloin steak.”

“Eh, maaf-maaf. Aku malh bercerita tentang Zahra.”

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Mas Zul bercerita tentang Mbak Zahra, meskipun ia tampak menyesal tapi aku yakin di hati ia hanya ada Mbak Zahra.

“Gak apa, Mas. Aku malah seneng, aku ingin tahu tentang Mbak Zahra !” 

Aku sudah pasrah, aku tak lagi mengharapkan pernikahan ini. Aku hanya akan menjadi asisten rumah tangga untuk mereka saja, setidaknya untuk menyambung hidup dan kembali memikirkan langkah apa yang akan aku ambil nantinya.

Tak selang lama mobil Mas Zul kembali berhenti, aku melihat sekitar, sebuah bangunan besar yang tercipta dari rangkaian papan kayu itu begitu indah, tiangnya terlihat begitu kokoh, dan lantainya nampak begitu mengkilat.  Di depan rumah ada dua pohon besar yang menjulang tinggi, daunnya tampak rimbun dan melambai. Kurasakan sentuhan angin menyelimuti tubuhku ketika aku pertama kali menginjakkan kaki. Aku yakin takdirku kini telah dekat, takdir yang membawaku kepada gerbang awal kegidupan baruku. 

Tampak dua orang wanita keluar dari balik pintu, seorang wanita cantik berkulit putih dengan jilbab panjang yang menjuntai ke bawah. Serta wanita paruh baya memakai gamis coklat dan jilbab dengan warna senada. 

Aku menarik nafas panjang, mencoba menata hati yang rasanya tak karuan.

“Assalamualaikum,” ucap mas Zul. 

Ia mencium punggung tangan ibunya, dan diikuti Mbak Zahra yang mencium punggung tangan Mas Zul, nampak lelaki itu mencium pucuk kepala Mbak Zahra. 

“Waalaikumsalam.” Senyum sumringah menghiasi wajah mereka.

Dua bola mata mereka kini mengarah kepadaku, wanita desa yang hidupnya di selamatkan oleh lelaki kebanggan mereka. Aku tertunduk tak berani menatap mata ibu maupun Mbak Zahra, terlalu malu.

“Dek Aisyah, ayo masuk.”

Aku terasa tersambar petir di siang yang terik, kurasakan sentuhan tangan Mbak Zahra yang kini melingkari lenganku. Aku seakan tercekat, tenggorokanku terasa mengering.

“Ba- baik, Mbak.” Aku menurut dan melangkahkan kaki masuk, sesekali kulihat raut muka Mbak Zahra, tampak teduh. Sama ketika aku melihat Mas Zul, tak ada raut mata kebencian dari wanita cantik itu. Begitupun dengan Ibu Mas Zul, ia tampak ramah, tak ada wajah garang dari raut mukanya. Berbeda sekali dengan yang aku bayangkan, aku disambut begitu hangat. Aisyah wanita hina kita di manusiawi kan oleh keluarga. Yang penuh cinta.

“Ayo, Nduk. Di makan dulu. Ini ibu sudah masak banyak saat Zulkifli ngabari mau pulang.” 

Kulihat beberapa makanan tersaji di atas meja kayu yang penuh ukiran tersebut. 

“Tadi kami sudah makan, Bu. Ini Zul bawakan steak kesukaan Ibu dan Zahra.” Mas Zul memberikan tas kresek yang berisi dua kardus berlogo restoran tadi.  

Mata mereka nampak berbinar ketika menerima tas kresek itu 

“Makanannya dibagi saja ke tetangga ya, Bu. Biar tidak mubazir,” ucap Mbah Zahra dengan santunnya. Nampak wanita itu terus melayangkan senyum di bibirnya, senyum yang seharusnya menghilang ketika aku menginjakkan kaki di sini.

Dengan gesitnya ia memasukkan macam-macam mknan tersebut ke wadah dan membungkusnya.

“Kamu istirahat dulu, Nduk. Ibu sudah menyiapkan tkamar untukmu.” Ibu menggandeng tanganku mengantar ke tempat yang Ia ceritakan tersebut. Sebuah kamar kayu dengan nuansa klasik dan beberapa ukiran di dalamnya, begitu indah.

“Ibu tinggal dulu, kamu istirahat ya!”

Ibu melangkah pergi, namun aku masih tak percaya dengan apa yang aku alami saat ini, beberapa kali kucibit lenganku untuk memastikan kalau ini tidaklah mimpi. 

Kenapa mereka begitu baik kepadaku? Apakah mereka belum tahu kalau aku ini akan menjadi madu Mbak Zahra? 

Aku menjatuhkan tubuhku ke kasur yang paling nyaman ku tempati, kasurnya begitu empuk bak tidur di hotel mewah. Entahlah, mungkin seperti ini tidur di hotel mewah, karena aku memang belum pernah merasakannya. 

Aku mencoba memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh serta hatiku yang saling berkecamuk, tiba-tiba indraku mendengarku Isak tangis dari luar kamar. Aku terbangun dan melihat dari jendela,

“Mbak Zahra!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status