“Mas!” jerit Asri.Beberapa orang perawat berlari menghampiri, saat melihat Dirga jatuh tak sadarkan diri di lantai.“Tolong cepat tangani dia, demamnya sangat tinggi. Dia habis kecelakaan tadi,” ucap Asri.Dua orang perawat mendorong ranjang tempat Dirga terbaring. Asri berjalan cepat mengikuti langkah mereka, hingga ia berhenti saat Dirga dibawa ke sebuah ruangan untuk diperiksa oleh dokter.Asri menunggu di luar dengan perasaan panik. Beberapa kali berdiri mondar-mandir ke sana kemari.“Ya Tuhan … tolong mas Dirga,” gumam Asri.Asri duduk di kursi panjang. Ia pun mencoba menghubungi bu Tami. Namun, teleponnya tidak diangkat. Kemungkinan bu Tami masih terlelap tidur. Asri memberi kabar lewat pesan kepada bu Tami. Selain itu Asri pun mengirimkan pesan kepada Debi, memintanya untuk membersihkan kamarnya yang terdapat noda darah Dirga.Setelah lama menunggu, akhirnya dokter pun keluar. Gegas Asri segera berdiri dan mendekati dokter tersebut.“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya A
Malam hari pun telah tiba, Asri kini telah berada di dalam kamar. Malam ini sama sekali ia tak berselera untuk makan. Entah kenapa, benaknya seakan dipenuhi sesuatu yang mengganggu.“Kamu belum tidur?”Asri yang tengah duduk di pinggiran ranjang, menoleh ke ambang pintu.Dirga berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sedikit tertatih, hanya saja luka di tangan dan kepalanya masih membuat Dirga meringis kesakitan.“Belum,” jawab Asri singkat.Dirga menghela napas kasar. Lantas ia berjalan menuju sofa panjang.“Besok aku akan mencari uang lagi. Doakan supaya besok kondisiku membaik dan semuanya lancar. Supaya aku bisa memberikan kamu nafkah yang lebih banyak,” ucap Dirga.Asri bergeming, hanya denting jam yang selalu setia menjawab ucapan Dirga.“Ya sudah, aku mau istirahat duluan. Kamu jangan lupa makan, kasihan anak kita di dalam, pasti sangat lapar!” seru Dirga.Lagi dan lagi Asri tidak menyahut. Hanya hening yang tercipta di kamar itu. Dirga pun mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa.“A
Asri berdiri mematung di ambang pintu. Di lantai tempatnya berpijak, ia mendapati ceceran darah yang berwarna merah segar.“Ada apa ini? Kenapa ada darah, darah siapa ini? Kenapa ada banyak sekali orang?” batin Asri bertanya-tanya.Asri melangkah masuk lebih dalam lagi. Di sana, ada pula pak RT dan istrinya sedang duduk mengerumuni seseorang yang terbaring di tengah-tengah mereka.Semakin mendekat, Asri membekap mulutnya sendiri. Tungkainya terasa lemas, tenaganya kembali terkuras oleh pemandangan yang sangat memilukan.“Kenapa dengan Mas Dirga?” tanya Asri akhirnya bersuara.Sontak orang-orang yang ada di sana menoleh ke arah Asri.Dirga terbaring di atas tikar, kepala yang berdarah dan juga tangan dengan luka yang cukup menganga. Dirga mengerang kesakitan, wajahnya terlihat pucat.“Kamu masih tanya Dirga kenapa? Lihat dia sekarang, dia sedang mempertaruhkan nyawanya demi kamu. Supaya Dirga bisa memberi kamu nafkah. Sebagai istri, mana peran kamu? Membiarkan suami kamu seperti ini. S
Deg!Asri terdiam mematung, menatap sakit saat melihat dari kejauhan nenek-nenek itu tak bernyawa dengan bersimbah darah di wajahnya.“Oma Nira,” gumam Asri.Asri memegangi dadanya, hatinya seketika merasakan sakit yang tiada tara. Bagaimana tidak, salah satu orang yang telah berjasa di dalam hidupnya kini telah tiada.“Oma Nira!” Asri menangis.Mobil yang dikendarai pak Ujang telah hilang dari pandangan. Namun, Asri belum bisa keluar dari kemacetan itu. Terhalang oleh 2 mobil yang ada di depannya. Membuatnya harus sabar menunggu.“Oma, kenapa bisa begini?” gumam Asri.Ponsel Asri berdering, ditatapnya nomor yang tertera pada layar ponsel. Nomor milik Dirga tengah menghubunginya saat itu.Kemacetan pun telah berakhir, di belakang terdengar suara klakson silih bersahutan. Tidak ada waktu untuk menerima telepon, Asri memilih mematikan panggilan dari Dirga. Lalu melanjutkan perjalanannya.Asri mengemudi sambil menangis. Ia mencari keberadaan mobil yang dibawa oleh pak Ujang. Namun, mobil
Asri begitu menikmati gerakan demi gerakan di setiap sentuhan itu. Terasa nyaman dan menenangkan. Hingga ia tersadar dari mimpinya. Namun, pijatan itu ternyata masih bisa ia rasakan.“Apa yang sedang kamu lakukan, Mas?”Asri terkejut saat membuka mata, dan mendapati Dirga ada di hadapannya. Tangan lebarnya menyentuh kaki Asri.“Jangan bergerak, aku hanya ingin memijat kaki kamu saja. Aku lihat tadi kamu berjalan sambil beberapa kali meringis dan menyentuh kaki kamu.”Dirga menekan kecil sambil memaju mundurkan tangannya. Ingin menolak akan tetapi Asri begitu menikmati. Rasa rileks ia rasakan membuat Asri merasa nyaman.Beberapa kali mulutnya hendak menolak apa yang dilakukan Dirga. Namun, hati bertolak belakang. Hingga akhirnya Asri memilih diam dengan posisi bersandar.Pijatan yang dilakukan Dirga membuatnya tidak berdaya untuk mencegahnya.“Sudah merasa enakan?” tanya Dirga, suaranya halus seperti saat mereka pertama pacaran.“Sudah cukup, Mas. Aku mau lanjut tidur,” jawab Asri.Dir
“Sialan, kamu sudah berani mengatur hidupku? Beraninya kamu kurang ajar padaku dan anakku!”Ferdi mempererat cengkraman kedua tangannya di leher Asri. Membuat wanita itu kesulitan untuk bernapas.Asri berusaha melepaskan diri. Namun, tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan.Dirga melihat apa yang dilakukan Ferdi. Sontak membuatnya berlari lantas mendekati Ferdi.Bug!Tanpa diduga, Dirga memukul Ferdi hingga tersungkur ke lantai. Asri terbatuk, mengatur napas yang sempat tersendat-sendat.“Apa yang kamu lakukan pada istriku?!” bentak Dirga. Lalu melayangkan kembali pukulan kepada Ferdi.Suara gaduh itu terdengar sampai ke dalam rumah. Bu Tami dan Debi berlari terbirit-birit keluar, mencari tahu apa yang terjadi. Kini tangan Debi telah dibungkus oleh kain perban.“Ya Tuhan, Dirga! Apa yang kamu lakukan sama kakakmu?” Bu Tami terkejut dengan apa yang dilihatnya.Bu Tami berusaha melerai Dirga dan Ferdi.“Kamu kenapa memukul Mas Ferdi? Apa kesalahan dia sama kamu?” tanya Debi.Dirga yang