“Mau tambah lagi makannya?” tawar bu Tami.Lahap, Asri makan begitu banyak. Dalam kata lain, Asri begitu rakus. Bahkan ia bisa nambah dua sampai tiga kali dalam satu waktu.“Sudah kenyang, Bu. Masakan Ibu enak sekali, membuat aku selalu lapar. Terima kasih, Bu!” ucap Asri, ia tersenyum bahagia.“Sama-sama, Nak. Itu hal yang wajar, selalu lapar di kala sedang hamil besar. Bayi di dalam kandungan butuh banyak asupan makanan. Sengaja Ibu masak banyak, supaya kalau kamu mau nambah, tinggal nyendok,” sahut bu Tami.“Aku jadi merepotkan semua orang. Setiap makan Ibu harus repot-repot bawain ke sini. Seharusnya aku yang turun ke bawah,” ucap Asri, ia merasa tidak enak hati.“Siapa yang merasa direpotkan? Tidak, Ibu senang melakukannya. Anggap saja semua ini adalah penebusan semua kesalahan Ibu terhadap kamu. Ibu menyayangi kamu. Ibu sadar, kamu wanita baik. Beruntung Dirga tidak sampai mendengarkan kata-kata Ibu untuk menceraikan kamu, Nak.”Bu Tami menitikkan air mata.“Jangan bahas itu lag
Ferdi menjatuhkan sendok dan garpu ke atas piring. Sehingga menimbulkan suara nyaring.“Kenapa kamu?” tanya pak Barna, ia menatap heran ke arah menantunya.Tanpa menjawab, Ferdi beranjak dari kursi, lantas berlari membuka kulkas.Kalap, Ferdi mencari minuman berwarna putih.“Ditaruh di mana susunya?” Ferdi kelabakan, ia tidak menemukan susu di dalam kulkas itu.Keringat bercucuran cukup deras. Ketakutan telah berhasil menguasai diri. Ada perasaan berbeda yang ia rasakan pada tubuhnya. Entah itu efek racun, atau hanya ketakutan yang berlebihan.“Ferdi, kenapa kamu?” Pertanyaan pak Barna tidak dihiraukan, yang Ferdi inginkan sekarang hanyalah susu. Ya, susu. Susu putih bisa menetralisir racun. Bukankah begitu?“Sial! Aku tidak menemukannya!” rutuk Ferdi.Ferdi menutup kasar pintu kulkas. Sehingga membuat mertuanya kesal.“Hei, jangan rusak barang-barangku!”Tidak peduli, yang ia inginkan hanyalah tetap hidup.Panik, ya, tentu ia sangat panik saat itu. Bagaimana tidak, ia terkena jebaka
“Apa aku harus melakukannya?” batin Ferdi.Ferdi menatap sisa nasi goreng di dalam wadah, lalu menoleh ke arah sudut ruangan.Ferdi mulai menjauh dari meja makan. Kakinya melangkah pelan. Bahkan tak terdengar sedikit pun suara langkah kakinya.Ferdi berjalan ke sudut ruangan, di mana matanya tidak bisa teralihkan dari tempat itu. Benar-benar tertuju dan terfokus ke tempat itu.Sebelah tangannya terjulur, diraihnya racun tikus di atas meja kecil. Ferdi menggenggam racun tersebut, meremas kuat, dengan tekad yang berusaha ia bulatkan.Beberapa kali ia menganggukkan kepala memantapkan diri.Setan di dalam dirinya pun ikut berkata, “Ya, kau harus melakukannya!”Sebuah dorongan besar yang membuat akal sehatnya hilang. Benci, marah, kesal, telah menguasai diri. Tidak ada pikiran jernih, selain ingin segera memusnahkan apa yang ia benci. Maka kepuasan akan ia raih.Pikiran terfokus, hati bergejolak. Setan pun seakan menyoraki untuk segera melakukannya.“Lakukan … apa lagi yang kamu tunggu?” B
“Menantu pemalas, enak sekali pagi-pagi begini sudah minum kopi sambil merokok!” Di sebuah rumah berukuran cukup besar, seorang pria paruh baya melempar sebuah kanebo ke arah Ferdi. Pria berperawakan gendut dengan kulit kecoklatan itu menatap kesal ke arah Ferdi. Dialah pak Barna, ayah Debi atau ayah mertua dari Ferdi.Ferdi yang tengah duduk di teras rumah, segera menyimpan cangkir berisi kopi ke atas meja.“Iya, Pa … aku habiskan dulu kopiku. Takutnya keburu dingin,” sahut Ferdi.“Kamu membantah perintahku? Saya tidak menerima penolakan atau ditunda-tunda. Atau kamu boleh angkat kaki dari rumah saya!”Ferdi bergegas mendekati mobil. Menyemprotkan air dari selang, lalu mulai menggosok mobil itu menggunakan lap dan sabun.Pak Barna masuk ke dalam rumah. Dengan rahang mengeras, Ferdi melempar lap di tangannya ke dalam ember berisi air sabun.“Sial! Si gendut berani-beraninya menjadikanku kacung. Tahu begini, aku lebih baik tinggal di rumah Asri,” gerutu Ferdi.Dari pintu gerbang, dua
“Mas, kakiku pegal sekali. Bukan pegal lagi, ini nyaris terasa sakit. Kakiku juga bengkak,” pekik Asri, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya memijat kakinya.Dirga menutup kembali pintu mobilnya. Mendekati Asri lantas berjongkok memandangi kakinya. Menyentuh dengan sedikit tekanan.“Sakit sekali?” tanya Dirga, kepalanya menengadah ke atas menatap Asri.Asri mengangguk, akhir-akhir ini ia memang sering merasa pegal di kaki. Sebelumnya masih bisa ia tahan. Namun, kali ini Asri merasa tidak kuat untuk menahannya.“Sebaiknya kamu istirahat saja di rumah. Kamu perlu banyak istirahat, mengingat kandungan kamu sudah mulai membesar,” ujar Dirga.“Sepertinya memang begitu, iya aku harus istirahat. Kakiku rasanya sakit, nggak kuat dibawa jalan,” sahut Asri.Dirga membantu Asri pergi ke kamarnya.“Loh, nggak jadi berangkat?” tanya bu Tami, wanita tua itu tengah menyapu lantai.Dirga dan Asri kompak menggeleng.“Kaki Asri pegal-pegal, sampai bengkak begini!” tunjuk Dirga ke bawah.Bu Tami mengara
Pagi itu, suasana di ruang makan begitu ramai oleh suara sendok dan garpu saling beradu di atas piring.Ketiga manusia penghuni rumah itu tengah sibuk melakukan sarapan pagi.Suara bel berbunyi, mereka semua menoleh ke arah sumber suara.“Biar aku saja yang buka,” ujar Dirga.Dirga pergi ke depan, meninggalkan nasi goreng yang masih tersisa setengah. Asri makan begitu lahap dengan sosis goreng dan telur ceplok yang menjadi topingnya.“Kamu suka masakannya?” tanya bu Tami.“Suka, Bu … ini sangat enak,” jawab Asri dengan mulut penuh.Bu Tami tersenyum simpul, ia pun menyuap makanannya ke dalam mulut tuanya.“Kalau kamu suka, Ibu pasti akan membuatnya lagi buat kamu. Makan yang banyak, cucu Ibu harus tetap sehat,” ucap bu Tami yang disambut oleh anggukan kepala Asri.Keadaan rumah menghangat seiring perginya Debi dan suaminya. Tanpa mereka, kehidupan Asri dan Dirga kini lebih tentram. Kedua manusia itulah yang menjadi sumber kacaunya rumah tangga Asri termasuk bu Tami.Ada pun bu Tami, w