“Maaf, Sayang, aku capek!” ucap Dirga.Tak berselang lama suara dengkuran halus muncul dari mulut Dirga. Asri menarik tangannya, menghembuskan napas kasar, memaklumi apa yang suaminya rasakan.Asri pun menyusul tidur hingga pagi menjelang.“Mas, aku mau pergi ke dokter. Antar aku ke rumah sakit, ya!” ucap Asri.Dirga mengangkat sebelah alisnya.“Bukankah pemeriksa rutin kamu sudah dilakukan di sini. Kenapa kamu harus repot-repot pergi ke dokter?” “Aku … aku ingin kembali bisa jalan. Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku ingin jalan-jalan, aku ingin melakukan apa pun untuk memperlancar persalinan. Tolong, antar aku pergi ke dokter,” mohon Asri.“Aku sangat sibuk, sebentar lagi barang-barang datang dalam jumlah lebih banyak dari kemarin. Sebaiknya kamu rutin minum obat yang sudah ada. Tidak apa-apa, ya!” Dirga menolak.Asri menghembuskan napas kasar. “Baiklah!”Asri meminum obat seperti biasa. Perutnya kembali merasa lapar.“Aku lapar, Mas!” ucap Asri.“Aku akan hubungi Ibu,” sahut Dir
Kepala Asri berkedut sakit, ditambah kakinya terasa lebih sakit dari sebelumnya. Kesadaran belum sepenuhnya kembali. Namun, Asri bisa mendengar suara seseorang berbicara di dekatnya.Tepukan kecil di pipi hingga hidung seperti menghirup aroma eucalyptus. Kesadaran Asri perlahan kembali. Mata terbuka, keadaan buram perlahan berubah jelas.“Asri, syukurlah kamu sudah sadar!” Dirga telah berada di sampingnya.Asri mendapati dirinya telah berada di kamar. Ia memijat kepalanya yang terasa sakit akibat benturan saat jatuh. Benjol, keningnya terluka. Namun, tidak mengeluarkan darah.“Tadi kamu pingsan di bawah, aku membawa kamu ke sini. Maafkan aku, kamu seperti ini karena aku tidak bisa selalu menjaga kamu,” ucap Dirga.Asri menyentuh bibir lelaki itu, tidak ingin mendengarnya menyalahkan dirinya sendiri.“Bukan salah kamu, ini hanya kecelakaan. Aku hanya kehausan dan tidak sengaja jatuh saat mau ngambil minum di bawah,” sahut Asri.Bu Tami menggenggam tangan Asri sedih.“Ini salah Ibu, buk
“Mau tambah lagi makannya?” tawar bu Tami.Lahap, Asri makan begitu banyak. Dalam kata lain, Asri begitu rakus. Bahkan ia bisa nambah dua sampai tiga kali dalam satu waktu.“Sudah kenyang, Bu. Masakan Ibu enak sekali, membuat aku selalu lapar. Terima kasih, Bu!” ucap Asri, ia tersenyum bahagia.“Sama-sama, Nak. Itu hal yang wajar, selalu lapar di kala sedang hamil besar. Bayi di dalam kandungan butuh banyak asupan makanan. Sengaja Ibu masak banyak, supaya kalau kamu mau nambah, tinggal nyendok,” sahut bu Tami.“Aku jadi merepotkan semua orang. Setiap makan Ibu harus repot-repot bawain ke sini. Seharusnya aku yang turun ke bawah,” ucap Asri, ia merasa tidak enak hati.“Siapa yang merasa direpotkan? Tidak, Ibu senang melakukannya. Anggap saja semua ini adalah penebusan semua kesalahan Ibu terhadap kamu. Ibu menyayangi kamu. Ibu sadar, kamu wanita baik. Beruntung Dirga tidak sampai mendengarkan kata-kata Ibu untuk menceraikan kamu, Nak.”Bu Tami menitikkan air mata.“Jangan bahas itu lag
Ferdi menjatuhkan sendok dan garpu ke atas piring. Sehingga menimbulkan suara nyaring.“Kenapa kamu?” tanya pak Barna, ia menatap heran ke arah menantunya.Tanpa menjawab, Ferdi beranjak dari kursi, lantas berlari membuka kulkas.Kalap, Ferdi mencari minuman berwarna putih.“Ditaruh di mana susunya?” Ferdi kelabakan, ia tidak menemukan susu di dalam kulkas itu.Keringat bercucuran cukup deras. Ketakutan telah berhasil menguasai diri. Ada perasaan berbeda yang ia rasakan pada tubuhnya. Entah itu efek racun, atau hanya ketakutan yang berlebihan.“Ferdi, kenapa kamu?” Pertanyaan pak Barna tidak dihiraukan, yang Ferdi inginkan sekarang hanyalah susu. Ya, susu. Susu putih bisa menetralisir racun. Bukankah begitu?“Sial! Aku tidak menemukannya!” rutuk Ferdi.Ferdi menutup kasar pintu kulkas. Sehingga membuat mertuanya kesal.“Hei, jangan rusak barang-barangku!”Tidak peduli, yang ia inginkan hanyalah tetap hidup.Panik, ya, tentu ia sangat panik saat itu. Bagaimana tidak, ia terkena jebaka
“Apa aku harus melakukannya?” batin Ferdi.Ferdi menatap sisa nasi goreng di dalam wadah, lalu menoleh ke arah sudut ruangan.Ferdi mulai menjauh dari meja makan. Kakinya melangkah pelan. Bahkan tak terdengar sedikit pun suara langkah kakinya.Ferdi berjalan ke sudut ruangan, di mana matanya tidak bisa teralihkan dari tempat itu. Benar-benar tertuju dan terfokus ke tempat itu.Sebelah tangannya terjulur, diraihnya racun tikus di atas meja kecil. Ferdi menggenggam racun tersebut, meremas kuat, dengan tekad yang berusaha ia bulatkan.Beberapa kali ia menganggukkan kepala memantapkan diri.Setan di dalam dirinya pun ikut berkata, “Ya, kau harus melakukannya!”Sebuah dorongan besar yang membuat akal sehatnya hilang. Benci, marah, kesal, telah menguasai diri. Tidak ada pikiran jernih, selain ingin segera memusnahkan apa yang ia benci. Maka kepuasan akan ia raih.Pikiran terfokus, hati bergejolak. Setan pun seakan menyoraki untuk segera melakukannya.“Lakukan … apa lagi yang kamu tunggu?” B
“Menantu pemalas, enak sekali pagi-pagi begini sudah minum kopi sambil merokok!” Di sebuah rumah berukuran cukup besar, seorang pria paruh baya melempar sebuah kanebo ke arah Ferdi. Pria berperawakan gendut dengan kulit kecoklatan itu menatap kesal ke arah Ferdi. Dialah pak Barna, ayah Debi atau ayah mertua dari Ferdi.Ferdi yang tengah duduk di teras rumah, segera menyimpan cangkir berisi kopi ke atas meja.“Iya, Pa … aku habiskan dulu kopiku. Takutnya keburu dingin,” sahut Ferdi.“Kamu membantah perintahku? Saya tidak menerima penolakan atau ditunda-tunda. Atau kamu boleh angkat kaki dari rumah saya!”Ferdi bergegas mendekati mobil. Menyemprotkan air dari selang, lalu mulai menggosok mobil itu menggunakan lap dan sabun.Pak Barna masuk ke dalam rumah. Dengan rahang mengeras, Ferdi melempar lap di tangannya ke dalam ember berisi air sabun.“Sial! Si gendut berani-beraninya menjadikanku kacung. Tahu begini, aku lebih baik tinggal di rumah Asri,” gerutu Ferdi.Dari pintu gerbang, dua