“Sie, kenapa nggak dipakai. Ini hadiah papa kamu,” kata Tsania sembari menunjukkan jam tangan mewah hadiah Adyaksa sepulang dari luar negeri.
“Kalau kamu suka, pakai saja.” Meski Siena tahu hadiah dari ayahnya harganya tentu tidak murah, tapi dia tidak suka dengan apa pun yang diberi ayahnya. Selama ini Siena hidup dengan dari harta peninggalan ibunya, membayar sekolah juga dari harta ibunya. “Makasih, Sie. Kamu baik banget.” Tsania memeluk Siena kemudian memakai jam tangan itu. Tidak hanya sekali dua kali, bahkan setiap kali ayahnya mengirim barang-barang yang dibeli ketika pergi ke suatu tempat, Siena selalu memberikan barang itu pada Tsania hingga saat mereka bersama, Tsania lah yang tampak seperti putri Adyaksa. Tsania, gadis itulah yang sejak kecil berada di sampingnya. Bi Narsih bekerja di rumah orang tuanya semenjak masih mengandung Tsania, Ibunya bilang karena Bik Narsih hamil tanpa suami merasa kasihan akhirnya menerima lamaran kerja dari Bik Narsih. Pekerjaan Bik Narsih juga sangat bagus, Widuri—ibu Siena sangat senang karena saat kesepian dia punya teman bicara. Widuri menganggap Bik Narsih tidak hanya sebagai asisten rumah tangga, tapi menganggap Bik Narsih sebagai saudara. Saat itu Widuri baru saja melahirkan Siena, Adyaksa masih sibuk saat awal-awal membuka usaha. Widuri butuh teman untuk sekedar berbagi cerita dan juga untuk membantunya mengurus Siena. Selang tujuh bulan, Bik Narsih melahirkan Tsania, Widuri lah yang membantu merawat Tsania, mereka berawat dua bayi itu bersama-sama. Widuri tidak pernah membedakan keduanya, dia memberi kasih sayang yang sama. Siena masih ingat ibunya selalu mengatakan ‘jangan pernah menganggap Tsania asisten rumah tangga, Tsania adalah saudaranya.’ Sejak saat itu Siena selalu bersikap baik pada Tsania, dia memperlakukan Tsania sebagai sahabat, saudara sekaligus orang keprcayaan. Entah kenapa Siena tidak menyadarinya kalau kebaikan yang dia berikan pada Tsania ternyata dibalas pengkhianatan. Tsania memang selalu ikut saat Siena menemui Danu. Bukan apa-apa, Siena tidak mau hanya berdua dengan Danu dan ketika bertemu dengan keluarga Danu pun, Siena juga mengajak Tsania karena tidak pernah berpikir Tsania akan menikung di belakangnya. Meskipun saat ini hatinya hancur, Siena harus mencari tahu alasan apa yang membuat Tsania tega melakukan itu. Siena berdiri, menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Ia tidak bisa membiarkan dirinya terus terjebak dalam perasaan patah hati. Langkah pertama yang harus ia lakukan adalah mencari tahu tentang Tsania—siapa sebenarnya gadis itu? Bagaimana Tsania bisa berani mengklaim identitas Siena? Kenapa Siena tidak tahu apa-apa tentang Tsania padahal mereka tumbuh besar bersama dalam satu atap. Dengan hati-hati, Siena memulai pencariannya. Dia kembali ke kenangan-kenangan lama saat masih tinggal bersama ayahnya. Siena mengingat bagaimana Tsania selalu mendapatkan hal yang sama dengannya—dari sekolah hingga fasilitas lain. Namun, apakah itu cukup untuk membuat Tsania merasa berhak atas nama dan identitas keluarga Adhyaksa? Siena berjalan ke meja kerjanya dan membuka laptop. Ia mulai mencari informasi tentang Tsania di dunia maya, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa memberinya petunjuk. Namun, hasil pencariannya tidak membuahkan hasil. Tsania tampaknya telah hidup dalam bayangan, tidak meninggalkan jejak yang bisa dia gali. Rasa frustasi mulai merayapi hati Siena. Bagaimana mungkin seseorang yang ia anggap sahabat bisa menyembunyikan begitu banyak dari dirinya? Dia berpikir keras, mencoba mengingat momen-momen yang mungkin telah ia abaikan. Dan perlahan, Siena menyadari satu hal—Tsania selalu bersikap seolah-olah sebagai anak asisten rumah tangga yang menjaga majikannya, namun di saat yang bersamaan, ia selalu ingin menunjukkan dirinya lebih baik. Lebih sempurna. Apakah ini berarti bahwa Tsania selama ini iri terhadapnya? Siena kembali duduk di kursi, tubuhnya lemas karena berbagai pikiran yang menumpuk. "Apa mungkin Tsania melakukannya karena iri?" gumamnya pelan. Sejak kecil, Siena selalu mendapatkan perhatian lebih, baik dari keluarganya maupun lingkungan sekitarnya. Namun, sejak kematian ibunya, perhatian itu berubah menjadi beban bagi Siena. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, terutama perhatian dari ayahnya, yang ia anggap sebagai penyebab kematian ibunya. Itu sebabnya Siena memilih menjauh dari ayahnya. Tapi Tsania? Ia selalu terlihat bersemangat untuk mendapatkan pengakuan, entah dari teman-temannya atau orang-orang di sekitar mereka. Mungkinkah itu yang membuat Tsania merasa berhak atas identitas Siena—identitas yang sebenarnya tidak diinginkan oleh Siena? “Tsania…” Siena menghela napas panjang, menatap jauh ke arah jendela. Pikirannya berputar mencoba merangkai potongan-potongan puzzle yang masih berantakan. Ia ingat bahwa tidak banyak orang yang tahu siapa sebenarnya anak kandung Adhyaksa Grup, karena Siena sendiri yang menutupi identitasnya selama ini. Mungkin bagi Tsania, ini adalah kesempatan emas—kesempatan untuk mendapatkan segala yang selama ini ia impikan, termasuk perhatian Danu dan keluarganya. Tapi apakah Tsania melakukan ini sendirian? Pikirannya tiba-tiba terhenti pada sosok lain yang mungkin terlibat—Bik Narsih. Namun, apa mungkin Bik Narsih juga terlibat dalam kebohongan ini? Bukankah mereka bekerja sejak ibunya masih hidup? Apa mungkin mereka tega melakukan itu pada Siena? Lalu, kenapa bisa keluarga Danu percaya begitu saja tanpa ada bukti akurat? Apa bukti yang mereka tunjukkan pada keluarga Danu hingga mereka percaya begitu saja. Siena berusaha menepis pikiran buruk itu, dia masih mempercayai hati kecilnya bahwa Bik Narsih adalah orang yang tulus dan baik, tidak mungkin tega melakukan hal itu terhadapnya. Dia harus mencari tahu lebih banyak, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan mengonfrontasi Tsania. Siena berdiri dari kursinya. Dia tidak akan membiarkan kebohongan Tsania terus menghancurkan hidupnya. Dia perlu tahu kebenarannya, langsung dari mulut orang yang telah mengkhianatinya. Tsania harus menjelaskan semuanya—mengapa dia melakukan ini, dan bagaimana dia bisa berani mengambil identitas yang seharusnya bukan miliknya. Meski hatinya masih terluka, Siena tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban dan memulihkan harga dirinya yang telah hancur karena pengkhianatan. Tsania tidak akan bisa lari lagi. Siena mengambil ponsel yang dia lempar sembarngan tadi, ada notifikasi bertubi dari ponselnya. Itu notifikasi dari grup kantor, biasanya Siena tidak tertarik untuk melihatnya, tapi sejak kabar tentang Tsania sebagai anak Adyaksa menjadi topic utama, Siena penasaran dengan obrolan mereka. [Tsania katanya mau nikah.] [Iya, nikah sama Mas Ganteng yang suka jemput Siena.] [Harusnya, sih, Siena tahu diri kalau rivalnya anak bos. Kalau begini kan sakit sendiri.] Astaga! Bahkan mereka berani menggunjing Siena padahal Siena ada di grup itu."Kamu jahat, Tsan.""Maaf.""Lihat, apa yang kamu perbuat? Ibu meninggal, Tsan, kenapa kamu tega mencelakai kami, bisa saja kami semua meninggal." Danu meraup kasar wajahnya, matanya memerah, tangan kanannya mencengkeram lengan Tsania. "Aku hanya memberi kalian sedikit pelajaran." Tsania menunduk, dia meringis saat tangan Danu semakin mencengkeram lengannya. "Sedikit katamu? Ibu meninggal, Tsan? Apa yang membuatmu tega melakukannya padahal kami hanya kecewa padamu. Kami tidak melakukan kekerasan.""Kalian menghinaku.""Tidak. Kami tidak menghinamu, kami hanya kecewa padamu dan mengingatkan kalau kamu salah, kamu salah mengambil identitas orang lain agar diterima, padahal identitas kamu tidak buruk.”Ibarat nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi. Tsania melakukan segala cara demi mendapatkan keinginannya padahal itu hanya perasaan iri dengki saja. Tsania telah terjebak dalam kubangan perasaan yang tidak bisa dia kendalikan, dia terjebak dalam tipu daya setan. Hanya karena men
“Raksa … Raksa …!”Siena memanggil-mangil Raksa yang sedang berada di kamar mandi. Tangannya mengetuk keras hingga membuat lelaki yang masih penuh busa itu terpaksa membuka pintu.“Sayang, ada apa?” jawab Raksa dengan tetap tenang.“Tsania, dia ….” Siena menarik napas kemudian menggeleng. “Tidak mungkin Tsania sekriminal itu.”“Apa pun yang kamu dengar, itu yang terjadi. Aku memang mau mengabari soal Tsania tadi. Setelah aku mandi, kita ke kantor polisi, tadi aku dihubungi polisi untuk dimintai keterangan.”Lelaki itu masuk kembali ke kamar mandi karena belum menyelesaikan mandinya.Siena berjalan mondar-mandir, dia masih belum mengerti kenapa bisa Tsania dan ibunya justru kena masalah di waktu yang sama, dia sebenarnya belum sepenuhnya percaya dengan Narsih yang tega meracuni ibunya. Kenapa sulit mempercayai apa yang terjadi, tapi mungkin inilah yang sebenarnya, Tuhan telah menunjukkan kebenaran.Setelah Raksa selesai mandi dan berganti pakaian, mereka langsung menuju kantor polisi.
“Cari lelaki ini sampai ketemu.” Adyaksa meminta orang yang memberikan informasi padanya tentang Surya. Dan … Finally, setelah sepuluh tahun akhirnya menemukan titik terang tentang kematian istrinya dan orang yang membuat putrinya menjauh.Sebenanrya sudah lama sejak istrinya meninggal Adyaksa mencurigai Narsih terlibat, tapi dia tidak punya bukti akurat ditambah lagi kejahatan Narsih sepertinya tersusun rapi hingga tidak mudah bagi Adyaksa menemukan bukti dan juga alasan putrinya yang saat itu begitu dekat dengan Narsih.Awalnya kasus kematian istrinya dia bawa ke polisi, tapi karena kesibukannya, dia menarik kasus itu apalagi semenjak putrinya semakin dekat dengan Narsih. Adyaksa sempat mengira kalau kecurigaanya tidak benar. Namun, setelah Narsih dan Tsania berhenti bekerja dan memilih pergi dari rumahnya, Adyaksa kembali mencari informasi tentang Narsih dan Tsania. Awalnya dia ingin mencari tahu alasan Tsania merebut Danu, tapi dia curiga kalau ada sesuatu hal lain yang membuat Na
Raksa berdiri mematung, pandangannya menyapu sekeliling. Lelaki itu sudah tidak ada. Dia yakin benar tadi melihat sosok misterius menyeret Narsih menjauh dengan kecepatan yang membuatnya hampir tak percaya. Bayangan lelaki itu menghilang di lorong gelap menuju tangga darurat. Sepertinya lelai itu sudah mengintai sejak awal dan sudah tahu situasi di sana.Raksa mengepalkan tangan, frustrasi. "Dia terlalu cepat," gumamnya, melangkah menyusuri lorong untuk mencoba mencari jejak. Namun, tidak ada yang tersisa kecuali suara langkah kakinya sendiri.Raksa mengambil ponselnya pantas melakukan panggilan telepon. “Buat opsi kedua, kemungkinan mereka menuju silang.” Raksa memberi kode lantas mematikan ponselnya.Sementara itu, lelaki misterius itu dengan sigap membawa Narsih ke sebuah mobil yang sudah menunggu di belakang gedung. Wajah Narsih pucat pasi, tapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya ada ketakutan yang terpancar jelas di matanya."Tenang, aku tidak akan membiarkan mereka men
Siena sedang duduk di ruang tamu rumahnya, jemarinya sibuk membuka dokumen-dokumen kecil terkait pekerjaannya. Raksa belum pulang, dan dia merasa ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan beberapa hal. Namun, suasana tenang itu terusik saat bel pintu berbunyi.Siena bangkit dengan sedikit enggan, membuka pintu, dan langsung mendapati Tsania berdiri di sana dengan senyum tipis yang penuh arti.“Tsania?” Siena menatapnya penuh curiga. “Kenapa kamu ke sini?” Seingat Siena, sejak kematian Nimas waktu itu, Tsania tidak lagi datang karena polisi mulai menyelidiki penyebab kecelakaan. Meski Siena mendengar dari tante Mona kalau Tsania ada hubungannya dengan kecelakaan itu, tapi Siena masih tidak mempercayai karena menurutnya Tsania tidak akan melakukan hal criminal. “Aku cuma ingin bicara sebentar,” Tsania menjawab santai, melirik ke dalam rumah Siena dengan pandangan sinis. “Tidak lama kok, hanya lima menit.”Siena menghela napas, merasa enggan, tapi akhirnya mengizinkan Tsania masuk. Wanit
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Siena mendongak, terkejut melihat Raksa berdiri tak jauh darinya. Wajah lelaki itu tegang, matanya seperti menyala. Dalam sekejap, Raksa melangkah mendekat, tangannya meraih pergelangan Siena dengan gerakan yang membuatnya tersentak.Hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah pemakaman, menambah suasana kelabu yang sudah menyelimuti tempat itu. Saat itu Siena memang berdiri di dekat Danu, menatap tanah basah tempat Nimas baru saja dimakamkan. Hatinya terasa berat melihat kesedihan Danu yang tak henti menunduk, wajahnya sendu, tapi tetap tegar.“Siena, kita pulang,” ucap Raksa, nada suaranya rendah, tapi penuh penekanan.“Raksa—” Siena mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Raksa terlalu kuat. “Tunggu, aku belum selesai di sini.”Raksa mengabaikannya. Tanpa banyak bicara, dia menarik tangan Siena, langkahnya cepat dan pasti. Danu yang menyadari apa yang terjadi langsung maju, mencoba menghentikan Raksa.“Raksa, tunggu!” Danu berseru.