Pria berkemeja hitam itu berdiri di sudut taman yang dipenuhi temaram cahaya, dia mengamati dari jauh saat Siena berjalan keluar dari kafe favoritnya. Ia tahu, meski Siena selalu berusaha tampak kuat, tapi gadis itu tetap harus dijaga. Ini adalah tugasnya—menjaga Siena memastikan dia aman dan baik-baik saja. Meski dia tahu Siena mungkin akan marah jika mengetahui bahwa dirinya diam-diam diawasi. Raksa ingat, dulu beberapa bulan yang lalu bahkan Siena sampai memanggil orang-orang dan mengatakan kalau Raksa orang jahat, beruntung Raksa bisa meyakinkan orang-orang sampai dirinya tidak diamuk masa.
Sejak beberapa tahun terakhir, Siena memang selalu menghindari kontak dengan siapa pun yang berkaitan dengan ayahnya, termasuk Raksa meski mereka sebenarnya sudah saling kenal sejak kecil. Ayah Raksa adalah orang kepercayaan Adyaksa, karena itulah Siena mengenal Raksa karena seringnya Raksa ikut ayahnya saat ayahnya diundang ke rumah. Dan karena Raksa juga bekerja dengan Adyaksa, Siena membenci lelaki itu. Raksa menghela napas panjang, ia tahu kalau tugasnya tidak mudah, mengingat Siena sangat sulit didekati. Andai Siena menyambut tawaran persahabatannya, mungkin dia tidak kesulitan dengan tugas yang diberikan Adyaksa. Sebenarnya kalau diminta untuk memilih, Raksa memilih bekerja di kantor. Sia-sia dia belajar hingga S2 ke luar negeri kalau ternyata hanya ditugaskan untuk mengawasi anak bos yang susah diatur itu. Namun, tugas kali ini rasanya beda semenjak dia mengetahui kalau Siena sudah dikhianati oleh Tsania –satu-satunya orang yang dekat dengan Siena. Raksa bisa saja melakukan apa pun untuk melindungi Siena, tapi dia tidak ingin gegabah apalagi Adyaksa juga melarangnya untuk bertindak lebih dulu selama Siena masih bisa mengatasinya sendiri. Adyaksa melakukan itu untuk mengajari putrinya agar menjadi wanita kuat dan bisa mengatasi masalahnya sendiri. Siena memang disiapkan menjadi penerus. Ketika Siena berbelok di tikungan jalan, Raksa mulai mengikutinya dengan langkah tenang. Ia sedikit memberi jarak agar tidak ketahuan, tetapi juga cukup dekat untuk memastikan bahwa dia bisa bertindak jika terjadi sesuatu. Siena memang bukan tipe wanita yang suka meminta bantuan, tapi Raksa tahu wanita tidak sekuat laki-laki. Siena berhenti tiba-tiba dan membalikkan badannya. Raksa terhenti di tempat, tapi sudah terlambat. Mata Siena langsung menangkap sosoknya yang berdiri di bawah bayangan lampu jalan. “Raksa?” Wanita itu melotot. “Kenapa kamu di sini? Kamu mengikutiku?” Raksa berusaha tetap tenang, seharusnya Siena tidak melihatnya saat ini. “Saya hanya kebetulan lewat, Nona,” jawabnya dengan suara tenang. Siena mendengus. “Hanya orang gila yang percaya jawabanmu. Aku tahu kamu pasti dikirim papa untuk memata-mataiku.” Tatapannya tajam, penuh amarah yang dipendam. Raksa menatap Siena dalam-dalam. “Saya tidak memata-matai Anda, Nona. Saya hanya ingin memastikan Anda aman.” Siena berjalan mendekat masih dengan tatapannya yang tajam pada lelaki jangkung itu. “Aku tidak butuh penjaga. Apalagi kamu. Jadi, berhenti mengikutiku!” “Saya sebenarnya juga tidak sudi mengikuti Nona kalau bukan karena tugas dari Pak Adyaksa.” Siena membuka mulutnya lebar mendengar jawaban Raksa. “Saya itu lulusan Amerika, lulusan terbaik, tapi apa ini? saya di sini malah ditugaskan menguntit Nona. Kalau bukan karena ayah yang terlalu patuh dengan Pak Adyaksa, saya lebih memilih menjauh dari kalian.” “Raksa, kamu ….” “Andai Pak Adyaksa punya keluarga, punya anak yang peduli padanya, mungkin tiap malam kami tidak harus kerepotan menemaninya. Kami tidak perlu menghiburnya ketika beliau sedang sedih. Andai Pak Adyaksa punya satu anak lagi yang memperhatikan hidupnya, mungkin beliau tidak akan menangis ketika menatap pintu kamar putrinya yang tidak tahu diri itu.” “Raksa, diam!” Mata Siena berkaca-kaca, dia tidak pernah mendengar ayahnya menderita karena kehilangan istrinya, ayahnya tidak pernah merasa sedih saat putrinya menjauh, Siena selalu berpikir ayahnya adalah lelaki ambisius yang tidak punya hati, hidupnya hanya untuk harta saja. Lalu … omong kosong apa yang Raksa katakan? “Kami juga punya keluarga, ayah saya juga punya istri. Gara-gara anak tidak tahu diri seperti Anda keluarga saya ikut menanggung akibatnya. Ayah saya lebih mementingkan kepatuhannya pada Pak Adyaksa dibanding istrinya sendiri, bahkan sekarang ayah saya hampir kehilangan istrinya kalau saja Pak Adyaksa tidak menyadari bahwa dirinya menjadi beban orang lain. Seharusnya Anda yang menjaganya, bukan kami.” “Raksa, diam!” bentak Siena lagi. Dia memalingkan wajahnya. Raksa tahu kalau wanita itu sedang menahan tangis. Raksa memang sengaja memancing emosi Siena, karena selama ini wanita itu sulit dijangkau hatinya. “Maaf, Nona. Untuk kali ini tolong jangan persulit pekerjaan saya. Biarkan saya menjalani tugas ini dengan baik.” Lelaki itu menghela napasnya. “Saya juga peduli dengan Nona.” Siena terdiam sejenak, lalu menertawakan pernyataan itu. “Peduli? Kamu hanya sedang melakukan pekerjaanmu, Raksa. Jangan berpura-pura seolah-olah kamu melakukan ini karena kamu peduli padaku. Kamu hanya ingin menyenangkan papa.” Raksa menghela napas. Dia tahu Siena masih ingin keras kepala. Ya, Siena dan ayahnya sama-sama keras kepala. Andai Adyaksa menurunkan ego meminta maaf pada putrinya, mungkin gadis keras kepala ini juga akan memaafkannya dan Siena … dia terlalu lama terjebak dalam kebencian hingga tidak mudah percaya dengan orang-orang yang dekat dengan ayahnya. “Anda mungkin tidak percaya, Nona. Tapi saya ada di sini bukan hanya karena Pak Adyaksa yang memintanya,” Raksa berkata dengan lembut, mencoba mendekatkan diri tanpa membuat Siena merasa terancam. “Saya ada di sini karena saya benar-benar ingin memastikan Anda baik-baik saja.” “Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku sudah terbiasa hidup tanpa bantuan kalian semua.” Raksa merasakan ada kegetiran di balik kata-kata Siena. Dia tahu betul bahwa Siena bukan orang yang mudah membuka diri. Tapi ia juga tahu, di balik semua kemarahan dan ketidakpercayaan itu, ada luka yang belum sembuh—luka yang telah ia simpan sejak kematian ibunya dan ketidakmampuannya memaafkan ayahnya. Ya, Raksa tentu tahu karena sejak sepuluh tahun yang lalu ditugaskan menjaga Siena tanpa sepengetahuan Siena. Selama itu Siena tidak menyadari keberadaannya, baru beberapa bulan terakhir Seina memprotes pada ayahnya agar tidak mengirim orang mematainya. Meski Siena menolak penjagaan itu, tapi Adyaksa tetap memerintah Raksa untuk menjaga Seina diam-diam. “Terserah Nona mau berpikir apa, saya juga peduli pada diri saya. Saya tidak mau bertanggung jawab jika Anda mungkin ingin mengakhiri hidup karena patah hati.” Seina melotot kemudian dia menedang tulang kering Raksa. “Memangnya aku selemah itu?” Dia berjalan menjauhi Raksa. Raksa mengikuti dari belakang. “Orang bisa melakukan apa pun saat patah hati. Jadi, saya akan tetap berada di sekitaran Anda, Nona.” “Aku tidak butuh siapa pun, pergi dari sini.” “Saya akan tetap di sini, Nona, sampai Nona kembali pada Pak Adyaksa. Saya sudah menyewa unit di dekat Nona.” Raksa mendahului Siena menuju unit apartemen, sedang Siena terus saja mengomel dan mengumpatinya. Raksa tersenyum, sepertinya pekerjaannya akan jauh lebih menyenangkan dibanding dia hanya menguntit diam-diam.Gosip-gosip di kantor semakin terdengar tidak nyaman di telinga Siena. Entah apa ayahnya tahu atau tidak yang jelas gossip kalau Tsania adalah anak Adyaksa membuat hati Siena panas, apalagi kabar pertunangan Danu dengan Tsania semakin membuat Siena terjebak dalam perasaan tidak nyaman karena mereka berasumsi sendiri tentang Siena.“Pantas saja Seina ditinggal, Danu lebih memilih anak tunggal Pak Adyaksa dibanding karyawan biasa.”Biasanya, Siena tidak pernah tersinggung jika dia dianggap karyawan biasa karena saat ini dia memang berperan sebagai karyawan di kantor ayahnya. Ya, Siena memang bekerja di kantor cabang milik ayahnya, itu pun karena ayahnya memberi syarat membolehkan dirinya tinggal jauh dari ayahnya asal tetap bekerja di kantor ayahnya dan dia bekerja di sana juga bersama Tsania karena ayahnya juga mempercayakan dirinya pada Tsania.Siena duduk di meja kubikel, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Pikirannya berkecamuk, berusaha menyatukan potongan-potongan infor
“Lakukan apa pun jika itu membuatmu senang, Sayang.” Adyaksa mendekat lantas mengusap kepala berbungkus kain dengan tangan bergetar. Dalam hati dia panjatkan doa pada Tuhan untuk selalu melindungi dan memberi kebahagiaan pada putrinya. Mata lelaki itu memerah, lantas segera memejamkan mata menahan sesuatu yang hangat keluar melewati lingkaran kecil itu. Siena menunduk, gadis itu hanya menatap sepatunya yang menginjak marmer menampilkan refleksi dirinya berdiri rapuh.“Apa Papa harus melakukan sesuatu?” “Tidak perlu, Pa. Seina hanya minta izin saja, jika Papa keberatan ….”“Sayang, apa Papa pernah keberatan dengan apa pun yang kamu lakukan?”Mendengar ucapan itu, Siena seperti sedang di pukul dengan palu. Andai ayahnya memberi pukulan padanya atau melarangnya dengan keras, mungkin dia tidak merasakan sakit menahan benci dan rindu, tapi ayahnya tidak pernah melarang dan tidak pernah memintanya untuk berada di dekatnya. Siena tidak tahu harus bagaimana, dia hanya terus melanjutkan apa
“Papa tidak mau orang tahu siapa saya.”“Oh, ibu tahu. Pasti karena papa kamu banyak saingan bisnis makanya kamu disembunyikan.”“Iya, Bu. Makanya nanti saat pernikahan kami, tidak perlu menyebutkan nama Papa. Saat ijab kabul, Papa minta Om Haris untuk jadi wali dan jab kabul dilakukan tertutup saja.”“Jadi, papamu tidak datang?”“Papa tidak bisa datang, ada sesuatu hal yang tidak memungkinkan untuk datang, kecuali … ibu menyembunyikan pernikahan kami, pasti Papa mau datang.” Nimas langsung menggeleng, mana mungkin dia menyembunyikan pernikanan putranya. Tidak mengapa jika Adyaksa tidak datang, yang dia pikirkan bukan tentang pernikahan, tapi tentang masa depan putranya nanti dan juga masa depan bisnisnya.“Pernikahan kalian akan kami gelar secara mewah. Danu itu putra satu-satunya keluarga Cakra Wijaya, pewaris bisnis keluarga, jadi semua orang harus tahu siapa wanita yang dinikahi Danu.” Nimas mengusap punggung tangan Tsania dengan bangga, bagaimana tidak, dia membayangkan jika nan
Siena masih menunggu kenapa Danu tidak menghubunginya setelah dia menunjukkan bukti-bukti itu, dia masih berharap pada lelaki itu. Setahun bersama tentu tidak mudah melupakan perasaannya, dia masih sangat cinta pada Danu.Saat masa-masa terpuruknya, Danu datang dengan segala perhatiannya, mana mungkin Siena melupakan begitu saja apalagi keluarga Danu juga sangat menerimanya. Siena bukan orang yang mudah melupakan kebaikan orang lain, dia bukan orang yang mudah lupa hanya dengan satu kesalahan. Andai Danu meminta maaf dan ingin kembali padanya, tentu Siena akan menerima lelaki itu.Siena membaca surat undangan yang dikirim oleh salah satu karyawan di chat pribadinya. Sepertinya temannya itu senang sekali memanasi dirinya. Beberapa kali sengaja mengirim foto Tsania bersama Danu di salah satu pusat perbelajaan, foto yang menunjukkan kedekatan Danu dengan tsania. Tidak lama lagi hari pernikahan mereka, Siena berharap ada keajaiban. Danu melihat bukti itu dan membatalkan pernikahannya. S
“Aku mencintai Mas Danu, percayalah, aku tidak bermaksud berbohong.” Tsania menarik lengan kaos Danu, lelaki itu langsung mendorong Tsania dengan jijik.“Tidak bermaksud berbohong tapi kamu jelas-jelas membohongiku.” Danu menendang meja, barang-barang yang berada di meja berhamburan bersamaan suara jerit orang-orang di sana.“Pergi dari sini! jangan perlihatkan dirimu di hadapanku!” Lelaki itu lantas meninggalkan rumah tanpa mempedulikan panggilan orang-orang untuk tetap di rumah. Tidak ada yang bisa menghentikannya.Suasana rumah menjadi tegang, Nimas masih diam karena belum bisa menguasai diri. Tangannya gemetar dan napasnya terengah.Tsania duduk besimpuh di depan Nimas, air mata gadis itu tumpah, wajahnya menunduk tak berani menatap orang-orang di rumah itu. “Maaf, Bu, tapi aku melakukan ini karena aku sangat mencintai Mas Danu.” Tsania sesenggukan, bagaimana bisa dia menerima ini padahal tinggal selangkah lagi dia mencapai tujuannya. Dia ingin tetap keras kepala meminta orang-or
“Danu, kita harus menemui Siena, kita masih punya waktu meyakinkan Siena. Pernikahan kamu harus tetap dilaksanakan, tapi kamu harus menikah dengan Siena.” “Aku nggak yakin Siena mau memaafkan aku, Bu.” Tentu saja Danu masih sangat ingat saat Siena mengiba padanya bahkan menunjukkan bukti yang dia abaikan. Baru saja Danu membuka bukti yang diberikan Siena dan bodohnya, kenapa tidak dia buka saat Siena memberikan itu. Dia sendiri tidka tahu kenapa sampai mudah dieprdaya mulut manis Tsania. “Siena masih sangat cinta sama kamu, Danu. Dia pasti akan memaafkan kamu.”Mungkin apa yang dikatakan ibunya benar. Siena sampai datang ke rumahnya hanya untuk menunjukkan bukti itu, tentu karena Siena masih sangat mencintainya. Danu mengambil ponselnya, tangannya mengusap layar mencari nama Siena. Dia mendesah pelan saat melihat nomor konta Siena yang sudah dia blokir. Danu mulai ragu untuk menemui Siena mengingat sudah berapa kali Siena menemuinya dan dia selalu mengabaikannya.“Ayu, kita temui
“Kenapa kamu bisa masuk?” Siena langsung memakai jilbabnya yang dia lepas tadi. Sungguh tidak sopan lelaki itu tiba-tiba masuk tanpa meminta izin dan … kenapa Raksa bisa masuk padahal tidak punya akses untuk masuk. “Jangan bilang kamu bisa melakukan apa pun karena bantuan papa.”“Saya meminta kartu ini pada Danu.” Raksa menjawab dengan tanpa bersalah, lelaki itu lantas duduk di sofa dengan tenang kemudian mengambil minuman yang tidak disentuh sama sekali oleh Danu dan keluarganya.“Kamu jangan kurang ajar, Raksa. Kembalikan pada saya.” Siena menengadahkan tangannya, tatapannya tajam pada lelaki itu.“Saya tidak akan berikan pada Nona karena saya ditugaskan untuk menjaga nona di sini.”Siena melotot. Orang tua mana yang meminta anaknya tinggal bersama laki-laki. Gila, dia tidak akan biarkan Raksa tinggal di unitnya, apalagi hanya berdua.“Kita bukan mahram, jadi jangan di sini.” “Saya sering melihat Danu keluar masuk tidak masalah. Jadi … seharusnya saya juga bisa seperti itu, apalagi
“Sudah kubilang, jangan dekati Mas Danu!”“Apaan, sih, Sie. Jangan nuduh sembarangan.”“Aku tidak menuduh tanpa bukti. Aku tahu kamu sudah mempengaruhi Mas Danu. Kamu jahat Tsan.”“Aku tidak jahat, tapi hanya membuktikan kalau aku punya hak yang sama, meski status kita berbeda.” Wanita itu tersenyum sinis, tangannya dilipat ke dada kemudian mencondongkan tubuhnya lebih mendekat. “Meski aku anak pembantu, tapi aku punya hak yang sama. Kita buktikan kalau aku lebih dipilih Danu dari pada kamu.”Siena mendorong Tsania hingga tubuhnya membentur pegangan tangga. Orang-orang di sekiar mereka menoleh. Kebetulan mereka berada di pusat pembelanjaan dan saat itu Siena memang sedang mengikuti Danu dan Tsania setelah mendapatkan laporan dari seseorang.“Apa yang kamu lakukan Siena!” Tiba-tiba saja Danu datang padahal Siena sudah memastikan kalau Danu berada di toilet saat dia akan menemui Tsania. Dia memang menunggu Danu menjauh untuk menanyakan langsung pada Tsania agar tidak terjadi salah paham
“Kenapa kamu bisa masuk?” Siena langsung memakai jilbabnya yang dia lepas tadi. Sungguh tidak sopan lelaki itu tiba-tiba masuk tanpa meminta izin dan … kenapa Raksa bisa masuk padahal tidak punya akses untuk masuk. “Jangan bilang kamu bisa melakukan apa pun karena bantuan papa.”“Saya meminta kartu ini pada Danu.” Raksa menjawab dengan tanpa bersalah, lelaki itu lantas duduk di sofa dengan tenang kemudian mengambil minuman yang tidak disentuh sama sekali oleh Danu dan keluarganya.“Kamu jangan kurang ajar, Raksa. Kembalikan pada saya.” Siena menengadahkan tangannya, tatapannya tajam pada lelaki itu.“Saya tidak akan berikan pada Nona karena saya ditugaskan untuk menjaga nona di sini.”Siena melotot. Orang tua mana yang meminta anaknya tinggal bersama laki-laki. Gila, dia tidak akan biarkan Raksa tinggal di unitnya, apalagi hanya berdua.“Kita bukan mahram, jadi jangan di sini.” “Saya sering melihat Danu keluar masuk tidak masalah. Jadi … seharusnya saya juga bisa seperti itu, apalagi
“Danu, kita harus menemui Siena, kita masih punya waktu meyakinkan Siena. Pernikahan kamu harus tetap dilaksanakan, tapi kamu harus menikah dengan Siena.” “Aku nggak yakin Siena mau memaafkan aku, Bu.” Tentu saja Danu masih sangat ingat saat Siena mengiba padanya bahkan menunjukkan bukti yang dia abaikan. Baru saja Danu membuka bukti yang diberikan Siena dan bodohnya, kenapa tidak dia buka saat Siena memberikan itu. Dia sendiri tidka tahu kenapa sampai mudah dieprdaya mulut manis Tsania. “Siena masih sangat cinta sama kamu, Danu. Dia pasti akan memaafkan kamu.”Mungkin apa yang dikatakan ibunya benar. Siena sampai datang ke rumahnya hanya untuk menunjukkan bukti itu, tentu karena Siena masih sangat mencintainya. Danu mengambil ponselnya, tangannya mengusap layar mencari nama Siena. Dia mendesah pelan saat melihat nomor konta Siena yang sudah dia blokir. Danu mulai ragu untuk menemui Siena mengingat sudah berapa kali Siena menemuinya dan dia selalu mengabaikannya.“Ayu, kita temui
“Aku mencintai Mas Danu, percayalah, aku tidak bermaksud berbohong.” Tsania menarik lengan kaos Danu, lelaki itu langsung mendorong Tsania dengan jijik.“Tidak bermaksud berbohong tapi kamu jelas-jelas membohongiku.” Danu menendang meja, barang-barang yang berada di meja berhamburan bersamaan suara jerit orang-orang di sana.“Pergi dari sini! jangan perlihatkan dirimu di hadapanku!” Lelaki itu lantas meninggalkan rumah tanpa mempedulikan panggilan orang-orang untuk tetap di rumah. Tidak ada yang bisa menghentikannya.Suasana rumah menjadi tegang, Nimas masih diam karena belum bisa menguasai diri. Tangannya gemetar dan napasnya terengah.Tsania duduk besimpuh di depan Nimas, air mata gadis itu tumpah, wajahnya menunduk tak berani menatap orang-orang di rumah itu. “Maaf, Bu, tapi aku melakukan ini karena aku sangat mencintai Mas Danu.” Tsania sesenggukan, bagaimana bisa dia menerima ini padahal tinggal selangkah lagi dia mencapai tujuannya. Dia ingin tetap keras kepala meminta orang-or
Siena masih menunggu kenapa Danu tidak menghubunginya setelah dia menunjukkan bukti-bukti itu, dia masih berharap pada lelaki itu. Setahun bersama tentu tidak mudah melupakan perasaannya, dia masih sangat cinta pada Danu.Saat masa-masa terpuruknya, Danu datang dengan segala perhatiannya, mana mungkin Siena melupakan begitu saja apalagi keluarga Danu juga sangat menerimanya. Siena bukan orang yang mudah melupakan kebaikan orang lain, dia bukan orang yang mudah lupa hanya dengan satu kesalahan. Andai Danu meminta maaf dan ingin kembali padanya, tentu Siena akan menerima lelaki itu.Siena membaca surat undangan yang dikirim oleh salah satu karyawan di chat pribadinya. Sepertinya temannya itu senang sekali memanasi dirinya. Beberapa kali sengaja mengirim foto Tsania bersama Danu di salah satu pusat perbelajaan, foto yang menunjukkan kedekatan Danu dengan tsania. Tidak lama lagi hari pernikahan mereka, Siena berharap ada keajaiban. Danu melihat bukti itu dan membatalkan pernikahannya. S
“Papa tidak mau orang tahu siapa saya.”“Oh, ibu tahu. Pasti karena papa kamu banyak saingan bisnis makanya kamu disembunyikan.”“Iya, Bu. Makanya nanti saat pernikahan kami, tidak perlu menyebutkan nama Papa. Saat ijab kabul, Papa minta Om Haris untuk jadi wali dan jab kabul dilakukan tertutup saja.”“Jadi, papamu tidak datang?”“Papa tidak bisa datang, ada sesuatu hal yang tidak memungkinkan untuk datang, kecuali … ibu menyembunyikan pernikahan kami, pasti Papa mau datang.” Nimas langsung menggeleng, mana mungkin dia menyembunyikan pernikanan putranya. Tidak mengapa jika Adyaksa tidak datang, yang dia pikirkan bukan tentang pernikahan, tapi tentang masa depan putranya nanti dan juga masa depan bisnisnya.“Pernikahan kalian akan kami gelar secara mewah. Danu itu putra satu-satunya keluarga Cakra Wijaya, pewaris bisnis keluarga, jadi semua orang harus tahu siapa wanita yang dinikahi Danu.” Nimas mengusap punggung tangan Tsania dengan bangga, bagaimana tidak, dia membayangkan jika nan
“Lakukan apa pun jika itu membuatmu senang, Sayang.” Adyaksa mendekat lantas mengusap kepala berbungkus kain dengan tangan bergetar. Dalam hati dia panjatkan doa pada Tuhan untuk selalu melindungi dan memberi kebahagiaan pada putrinya. Mata lelaki itu memerah, lantas segera memejamkan mata menahan sesuatu yang hangat keluar melewati lingkaran kecil itu. Siena menunduk, gadis itu hanya menatap sepatunya yang menginjak marmer menampilkan refleksi dirinya berdiri rapuh.“Apa Papa harus melakukan sesuatu?” “Tidak perlu, Pa. Seina hanya minta izin saja, jika Papa keberatan ….”“Sayang, apa Papa pernah keberatan dengan apa pun yang kamu lakukan?”Mendengar ucapan itu, Siena seperti sedang di pukul dengan palu. Andai ayahnya memberi pukulan padanya atau melarangnya dengan keras, mungkin dia tidak merasakan sakit menahan benci dan rindu, tapi ayahnya tidak pernah melarang dan tidak pernah memintanya untuk berada di dekatnya. Siena tidak tahu harus bagaimana, dia hanya terus melanjutkan apa
Gosip-gosip di kantor semakin terdengar tidak nyaman di telinga Siena. Entah apa ayahnya tahu atau tidak yang jelas gossip kalau Tsania adalah anak Adyaksa membuat hati Siena panas, apalagi kabar pertunangan Danu dengan Tsania semakin membuat Siena terjebak dalam perasaan tidak nyaman karena mereka berasumsi sendiri tentang Siena.“Pantas saja Seina ditinggal, Danu lebih memilih anak tunggal Pak Adyaksa dibanding karyawan biasa.”Biasanya, Siena tidak pernah tersinggung jika dia dianggap karyawan biasa karena saat ini dia memang berperan sebagai karyawan di kantor ayahnya. Ya, Siena memang bekerja di kantor cabang milik ayahnya, itu pun karena ayahnya memberi syarat membolehkan dirinya tinggal jauh dari ayahnya asal tetap bekerja di kantor ayahnya dan dia bekerja di sana juga bersama Tsania karena ayahnya juga mempercayakan dirinya pada Tsania.Siena duduk di meja kubikel, menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Pikirannya berkecamuk, berusaha menyatukan potongan-potongan infor
Pria berkemeja hitam itu berdiri di sudut taman yang dipenuhi temaram cahaya, dia mengamati dari jauh saat Siena berjalan keluar dari kafe favoritnya. Ia tahu, meski Siena selalu berusaha tampak kuat, tapi gadis itu tetap harus dijaga. Ini adalah tugasnya—menjaga Siena memastikan dia aman dan baik-baik saja. Meski dia tahu Siena mungkin akan marah jika mengetahui bahwa dirinya diam-diam diawasi. Raksa ingat, dulu beberapa bulan yang lalu bahkan Siena sampai memanggil orang-orang dan mengatakan kalau Raksa orang jahat, beruntung Raksa bisa meyakinkan orang-orang sampai dirinya tidak diamuk masa.Sejak beberapa tahun terakhir, Siena memang selalu menghindari kontak dengan siapa pun yang berkaitan dengan ayahnya, termasuk Raksa meski mereka sebenarnya sudah saling kenal sejak kecil. Ayah Raksa adalah orang kepercayaan Adyaksa, karena itulah Siena mengenal Raksa karena seringnya Raksa ikut ayahnya saat ayahnya diundang ke rumah. Dan karena Raksa juga bekerja dengan Adyaksa, Siena membenci
“Sie, kenapa nggak dipakai. Ini hadiah papa kamu,” kata Tsania sembari menunjukkan jam tangan mewah hadiah Adyaksa sepulang dari luar negeri. “Kalau kamu suka, pakai saja.” Meski Siena tahu hadiah dari ayahnya harganya tentu tidak murah, tapi dia tidak suka dengan apa pun yang diberi ayahnya. Selama ini Siena hidup dengan dari harta peninggalan ibunya, membayar sekolah juga dari harta ibunya.“Makasih, Sie. Kamu baik banget.” Tsania memeluk Siena kemudian memakai jam tangan itu.Tidak hanya sekali dua kali, bahkan setiap kali ayahnya mengirim barang-barang yang dibeli ketika pergi ke suatu tempat, Siena selalu memberikan barang itu pada Tsania hingga saat mereka bersama, Tsania lah yang tampak seperti putri Adyaksa. Tsania, gadis itulah yang sejak kecil berada di sampingnya. Bi Narsih bekerja di rumah orang tuanya semenjak masih mengandung Tsania, Ibunya bilang karena Bik Narsih hamil tanpa suami merasa kasihan akhirnya menerima lamaran kerja dari Bik Narsih.Pekerjaan Bik Narsih ju