Pria berkemeja hitam itu berdiri di sudut taman yang dipenuhi temaram cahaya, dia mengamati dari jauh saat Siena berjalan keluar dari kafe favoritnya. Ia tahu, meski Siena selalu berusaha tampak kuat, tapi gadis itu tetap harus dijaga. Ini adalah tugasnya—menjaga Siena memastikan dia aman dan baik-baik saja. Meski dia tahu Siena mungkin akan marah jika mengetahui bahwa dirinya diam-diam diawasi. Raksa ingat, dulu beberapa bulan yang lalu bahkan Siena sampai memanggil orang-orang dan mengatakan kalau Raksa orang jahat, beruntung Raksa bisa meyakinkan orang-orang sampai dirinya tidak diamuk masa.
Sejak beberapa tahun terakhir, Siena memang selalu menghindari kontak dengan siapa pun yang berkaitan dengan ayahnya, termasuk Raksa meski mereka sebenarnya sudah saling kenal sejak kecil. Ayah Raksa adalah orang kepercayaan Adyaksa, karena itulah Siena mengenal Raksa karena seringnya Raksa ikut ayahnya saat ayahnya diundang ke rumah. Dan karena Raksa juga bekerja dengan Adyaksa, Siena membenci lelaki itu. Raksa menghela napas panjang, ia tahu kalau tugasnya tidak mudah, mengingat Siena sangat sulit didekati. Andai Siena menyambut tawaran persahabatannya, mungkin dia tidak kesulitan dengan tugas yang diberikan Adyaksa. Sebenarnya kalau diminta untuk memilih, Raksa memilih bekerja di kantor. Sia-sia dia belajar hingga S2 ke luar negeri kalau ternyata hanya ditugaskan untuk mengawasi anak bos yang susah diatur itu. Namun, tugas kali ini rasanya beda semenjak dia mengetahui kalau Siena sudah dikhianati oleh Tsania –satu-satunya orang yang dekat dengan Siena. Raksa bisa saja melakukan apa pun untuk melindungi Siena, tapi dia tidak ingin gegabah apalagi Adyaksa juga melarangnya untuk bertindak lebih dulu selama Siena masih bisa mengatasinya sendiri. Adyaksa melakukan itu untuk mengajari putrinya agar menjadi wanita kuat dan bisa mengatasi masalahnya sendiri. Siena memang disiapkan menjadi penerus. Ketika Siena berbelok di tikungan jalan, Raksa mulai mengikutinya dengan langkah tenang. Ia sedikit memberi jarak agar tidak ketahuan, tetapi juga cukup dekat untuk memastikan bahwa dia bisa bertindak jika terjadi sesuatu. Siena memang bukan tipe wanita yang suka meminta bantuan, tapi Raksa tahu wanita tidak sekuat laki-laki. Siena berhenti tiba-tiba dan membalikkan badannya. Raksa terhenti di tempat, tapi sudah terlambat. Mata Siena langsung menangkap sosoknya yang berdiri di bawah bayangan lampu jalan. “Raksa?” Wanita itu melotot. “Kenapa kamu di sini? Kamu mengikutiku?” Raksa berusaha tetap tenang, seharusnya Siena tidak melihatnya saat ini. “Saya hanya kebetulan lewat, Nona,” jawabnya dengan suara tenang. Siena mendengus. “Hanya orang gila yang percaya jawabanmu. Aku tahu kamu pasti dikirim papa untuk memata-mataiku.” Tatapannya tajam, penuh amarah yang dipendam. Raksa menatap Siena dalam-dalam. “Saya tidak memata-matai Anda, Nona. Saya hanya ingin memastikan Anda aman.” Siena berjalan mendekat masih dengan tatapannya yang tajam pada lelaki jangkung itu. “Aku tidak butuh penjaga. Apalagi kamu. Jadi, berhenti mengikutiku!” “Saya sebenarnya juga tidak sudi mengikuti Nona kalau bukan karena tugas dari Pak Adyaksa.” Siena membuka mulutnya lebar mendengar jawaban Raksa. “Saya itu lulusan Amerika, lulusan terbaik, tapi apa ini? saya di sini malah ditugaskan menguntit Nona. Kalau bukan karena ayah yang terlalu patuh dengan Pak Adyaksa, saya lebih memilih menjauh dari kalian.” “Raksa, kamu ….” “Andai Pak Adyaksa punya keluarga, punya anak yang peduli padanya, mungkin tiap malam kami tidak harus kerepotan menemaninya. Kami tidak perlu menghiburnya ketika beliau sedang sedih. Andai Pak Adyaksa punya satu anak lagi yang memperhatikan hidupnya, mungkin beliau tidak akan menangis ketika menatap pintu kamar putrinya yang tidak tahu diri itu.” “Raksa, diam!” Mata Siena berkaca-kaca, dia tidak pernah mendengar ayahnya menderita karena kehilangan istrinya, ayahnya tidak pernah merasa sedih saat putrinya menjauh, Siena selalu berpikir ayahnya adalah lelaki ambisius yang tidak punya hati, hidupnya hanya untuk harta saja. Lalu … omong kosong apa yang Raksa katakan? “Kami juga punya keluarga, ayah saya juga punya istri. Gara-gara anak tidak tahu diri seperti Anda keluarga saya ikut menanggung akibatnya. Ayah saya lebih mementingkan kepatuhannya pada Pak Adyaksa dibanding istrinya sendiri, bahkan sekarang ayah saya hampir kehilangan istrinya kalau saja Pak Adyaksa tidak menyadari bahwa dirinya menjadi beban orang lain. Seharusnya Anda yang menjaganya, bukan kami.” “Raksa, diam!” bentak Siena lagi. Dia memalingkan wajahnya. Raksa tahu kalau wanita itu sedang menahan tangis. Raksa memang sengaja memancing emosi Siena, karena selama ini wanita itu sulit dijangkau hatinya. “Maaf, Nona. Untuk kali ini tolong jangan persulit pekerjaan saya. Biarkan saya menjalani tugas ini dengan baik.” Lelaki itu menghela napasnya. “Saya juga peduli dengan Nona.” Siena terdiam sejenak, lalu menertawakan pernyataan itu. “Peduli? Kamu hanya sedang melakukan pekerjaanmu, Raksa. Jangan berpura-pura seolah-olah kamu melakukan ini karena kamu peduli padaku. Kamu hanya ingin menyenangkan papa.” Raksa menghela napas. Dia tahu Siena masih ingin keras kepala. Ya, Siena dan ayahnya sama-sama keras kepala. Andai Adyaksa menurunkan ego meminta maaf pada putrinya, mungkin gadis keras kepala ini juga akan memaafkannya dan Siena … dia terlalu lama terjebak dalam kebencian hingga tidak mudah percaya dengan orang-orang yang dekat dengan ayahnya. “Anda mungkin tidak percaya, Nona. Tapi saya ada di sini bukan hanya karena Pak Adyaksa yang memintanya,” Raksa berkata dengan lembut, mencoba mendekatkan diri tanpa membuat Siena merasa terancam. “Saya ada di sini karena saya benar-benar ingin memastikan Anda baik-baik saja.” “Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku sudah terbiasa hidup tanpa bantuan kalian semua.” Raksa merasakan ada kegetiran di balik kata-kata Siena. Dia tahu betul bahwa Siena bukan orang yang mudah membuka diri. Tapi ia juga tahu, di balik semua kemarahan dan ketidakpercayaan itu, ada luka yang belum sembuh—luka yang telah ia simpan sejak kematian ibunya dan ketidakmampuannya memaafkan ayahnya. Ya, Raksa tentu tahu karena sejak sepuluh tahun yang lalu ditugaskan menjaga Siena tanpa sepengetahuan Siena. Selama itu Siena tidak menyadari keberadaannya, baru beberapa bulan terakhir Seina memprotes pada ayahnya agar tidak mengirim orang mematainya. Meski Siena menolak penjagaan itu, tapi Adyaksa tetap memerintah Raksa untuk menjaga Seina diam-diam. “Terserah Nona mau berpikir apa, saya juga peduli pada diri saya. Saya tidak mau bertanggung jawab jika Anda mungkin ingin mengakhiri hidup karena patah hati.” Seina melotot kemudian dia menedang tulang kering Raksa. “Memangnya aku selemah itu?” Dia berjalan menjauhi Raksa. Raksa mengikuti dari belakang. “Orang bisa melakukan apa pun saat patah hati. Jadi, saya akan tetap berada di sekitaran Anda, Nona.” “Aku tidak butuh siapa pun, pergi dari sini.” “Saya akan tetap di sini, Nona, sampai Nona kembali pada Pak Adyaksa. Saya sudah menyewa unit di dekat Nona.” Raksa mendahului Siena menuju unit apartemen, sedang Siena terus saja mengomel dan mengumpatinya. Raksa tersenyum, sepertinya pekerjaannya akan jauh lebih menyenangkan dibanding dia hanya menguntit diam-diam."Kamu jahat, Tsan.""Maaf.""Lihat, apa yang kamu perbuat? Ibu meninggal, Tsan, kenapa kamu tega mencelakai kami, bisa saja kami semua meninggal." Danu meraup kasar wajahnya, matanya memerah, tangan kanannya mencengkeram lengan Tsania. "Aku hanya memberi kalian sedikit pelajaran." Tsania menunduk, dia meringis saat tangan Danu semakin mencengkeram lengannya. "Sedikit katamu? Ibu meninggal, Tsan? Apa yang membuatmu tega melakukannya padahal kami hanya kecewa padamu. Kami tidak melakukan kekerasan.""Kalian menghinaku.""Tidak. Kami tidak menghinamu, kami hanya kecewa padamu dan mengingatkan kalau kamu salah, kamu salah mengambil identitas orang lain agar diterima, padahal identitas kamu tidak buruk.”Ibarat nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi. Tsania melakukan segala cara demi mendapatkan keinginannya padahal itu hanya perasaan iri dengki saja. Tsania telah terjebak dalam kubangan perasaan yang tidak bisa dia kendalikan, dia terjebak dalam tipu daya setan. Hanya karena men
“Raksa … Raksa …!”Siena memanggil-mangil Raksa yang sedang berada di kamar mandi. Tangannya mengetuk keras hingga membuat lelaki yang masih penuh busa itu terpaksa membuka pintu.“Sayang, ada apa?” jawab Raksa dengan tetap tenang.“Tsania, dia ….” Siena menarik napas kemudian menggeleng. “Tidak mungkin Tsania sekriminal itu.”“Apa pun yang kamu dengar, itu yang terjadi. Aku memang mau mengabari soal Tsania tadi. Setelah aku mandi, kita ke kantor polisi, tadi aku dihubungi polisi untuk dimintai keterangan.”Lelaki itu masuk kembali ke kamar mandi karena belum menyelesaikan mandinya.Siena berjalan mondar-mandir, dia masih belum mengerti kenapa bisa Tsania dan ibunya justru kena masalah di waktu yang sama, dia sebenarnya belum sepenuhnya percaya dengan Narsih yang tega meracuni ibunya. Kenapa sulit mempercayai apa yang terjadi, tapi mungkin inilah yang sebenarnya, Tuhan telah menunjukkan kebenaran.Setelah Raksa selesai mandi dan berganti pakaian, mereka langsung menuju kantor polisi.
“Cari lelaki ini sampai ketemu.” Adyaksa meminta orang yang memberikan informasi padanya tentang Surya. Dan … Finally, setelah sepuluh tahun akhirnya menemukan titik terang tentang kematian istrinya dan orang yang membuat putrinya menjauh.Sebenanrya sudah lama sejak istrinya meninggal Adyaksa mencurigai Narsih terlibat, tapi dia tidak punya bukti akurat ditambah lagi kejahatan Narsih sepertinya tersusun rapi hingga tidak mudah bagi Adyaksa menemukan bukti dan juga alasan putrinya yang saat itu begitu dekat dengan Narsih.Awalnya kasus kematian istrinya dia bawa ke polisi, tapi karena kesibukannya, dia menarik kasus itu apalagi semenjak putrinya semakin dekat dengan Narsih. Adyaksa sempat mengira kalau kecurigaanya tidak benar. Namun, setelah Narsih dan Tsania berhenti bekerja dan memilih pergi dari rumahnya, Adyaksa kembali mencari informasi tentang Narsih dan Tsania. Awalnya dia ingin mencari tahu alasan Tsania merebut Danu, tapi dia curiga kalau ada sesuatu hal lain yang membuat Na
Raksa berdiri mematung, pandangannya menyapu sekeliling. Lelaki itu sudah tidak ada. Dia yakin benar tadi melihat sosok misterius menyeret Narsih menjauh dengan kecepatan yang membuatnya hampir tak percaya. Bayangan lelaki itu menghilang di lorong gelap menuju tangga darurat. Sepertinya lelai itu sudah mengintai sejak awal dan sudah tahu situasi di sana.Raksa mengepalkan tangan, frustrasi. "Dia terlalu cepat," gumamnya, melangkah menyusuri lorong untuk mencoba mencari jejak. Namun, tidak ada yang tersisa kecuali suara langkah kakinya sendiri.Raksa mengambil ponselnya pantas melakukan panggilan telepon. “Buat opsi kedua, kemungkinan mereka menuju silang.” Raksa memberi kode lantas mematikan ponselnya.Sementara itu, lelaki misterius itu dengan sigap membawa Narsih ke sebuah mobil yang sudah menunggu di belakang gedung. Wajah Narsih pucat pasi, tapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya ada ketakutan yang terpancar jelas di matanya."Tenang, aku tidak akan membiarkan mereka men
Siena sedang duduk di ruang tamu rumahnya, jemarinya sibuk membuka dokumen-dokumen kecil terkait pekerjaannya. Raksa belum pulang, dan dia merasa ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan beberapa hal. Namun, suasana tenang itu terusik saat bel pintu berbunyi.Siena bangkit dengan sedikit enggan, membuka pintu, dan langsung mendapati Tsania berdiri di sana dengan senyum tipis yang penuh arti.“Tsania?” Siena menatapnya penuh curiga. “Kenapa kamu ke sini?” Seingat Siena, sejak kematian Nimas waktu itu, Tsania tidak lagi datang karena polisi mulai menyelidiki penyebab kecelakaan. Meski Siena mendengar dari tante Mona kalau Tsania ada hubungannya dengan kecelakaan itu, tapi Siena masih tidak mempercayai karena menurutnya Tsania tidak akan melakukan hal criminal. “Aku cuma ingin bicara sebentar,” Tsania menjawab santai, melirik ke dalam rumah Siena dengan pandangan sinis. “Tidak lama kok, hanya lima menit.”Siena menghela napas, merasa enggan, tapi akhirnya mengizinkan Tsania masuk. Wanit
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Siena mendongak, terkejut melihat Raksa berdiri tak jauh darinya. Wajah lelaki itu tegang, matanya seperti menyala. Dalam sekejap, Raksa melangkah mendekat, tangannya meraih pergelangan Siena dengan gerakan yang membuatnya tersentak.Hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah pemakaman, menambah suasana kelabu yang sudah menyelimuti tempat itu. Saat itu Siena memang berdiri di dekat Danu, menatap tanah basah tempat Nimas baru saja dimakamkan. Hatinya terasa berat melihat kesedihan Danu yang tak henti menunduk, wajahnya sendu, tapi tetap tegar.“Siena, kita pulang,” ucap Raksa, nada suaranya rendah, tapi penuh penekanan.“Raksa—” Siena mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Raksa terlalu kuat. “Tunggu, aku belum selesai di sini.”Raksa mengabaikannya. Tanpa banyak bicara, dia menarik tangan Siena, langkahnya cepat dan pasti. Danu yang menyadari apa yang terjadi langsung maju, mencoba menghentikan Raksa.“Raksa, tunggu!” Danu berseru.